• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis bernama Siska Oktavia (Siska), dilahirkan di Lampung pada tanggal 23 Oktober 1991. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, pasangan Umi Kulsum dan Makhasin Akhlak. Penulis telah menempuh pendidikan formal di TK Aisyah Rancabanteng, dilanjutkan dengan bersekolah di MIM Kalipetung, SMPN I Wangon dan SMA N Jatilawang. Cita–cita penulis menjadi seorang pekerja sosial (Social Worker) diwujudkan dengan niatnya untuk melanjutkan perguruan tinggi sehingga pada tahun 2009 penulis mendaftar sebagai calon mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Niat tersebut terlaksana setelah penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis telah memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang berada di bawah naungan Fakultas Ekologi Manusia angkatan kelima. Penulis menyelesaikan studinya dengan menempuh pendidikan di semester 6 dengan mengikuti program akselerasi.

Dedikasi penulis selama menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor diwujudkan dengan aktivitas organisasi penulis. Penulis pernah tergabung ke dalam lembaga struktural Bina Desa BEM KM IPB yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat di desa Ciaruteun Ilir tahun 2009–2011 sebagai Sekertaris Umum dan Kepala Departemen Pendampingan Masyarakat, Penulis juga aktif sebagai Staff Soskemas BEM KM IPB tahun 2009/2010, Staff Soslingmas tahun 2010/2011, anggota Paskibra IPB 2009/2010, Staff Community Development di FORCES IPB, Dewan Gedung Asrama A4 TPB IPB, Direktur Community Development di Himpunan Mahasiswa Peminat Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) tahun 2012, Kadept Social Center KAMMI IPB tahun 2012, dan Pendamping Posdaya di tahun 2012.

Selain itu penulis juga aktif mengikuti organisasi ekstra kampus tingkat nasional yaitu Forum Indonesia Muda (FIM), Future Leader Summit, dan Young Leader Summit. Penulis juga berpengalaman menjadi assisten praktikum Mk. Sosiologi Umum dan Mk. Berpikir dan menulis ilmiah selama tahun 2011/2012. Keahlian tentang pengembangan masyarakat penulis juga mengantarkan penulis sebagai penerima Hibah MITI dalam program Community Development Tk. Nasional dan perwakilan departemen SKPM dalam IPB Goes to field 2011 sekaligus menjadi pengalaman mendampingi masyarakat dalam program KKP di wilayah Kalimantan Selatan yang di fasilitasi oleh PT Arutmin Indonesia.

SISKA OKTAVIA. Hubungan Peran Stakeholders dengan Partisipasi Masyarakat dalam Program Agropolitan Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SAHARUDDIN

Program agropolitan merupakan program pengembangan kawasan yang berupaya mengurangi kesenjangan antara kota dan desa. Program ini diimplementasikan melalui program pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan budidaya, pengembangan permodalan dan peningkatan fasilitas infrastruktur. Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisa tingkat partisipasi dan bentuk masyarakat dalam program agropolitan, menganalisa peran stakeholders

dalam program agropolitan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor dan menganalisa hubungan antara peran stakeholders dengan tingkat partisipasi masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif menggunakan kuesioner serta panduan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat berada pada tingkat tokenisme dalam keseluruhan tahapan program dengan bentuk partisipasi yang dominan adalah partisipasi menyumbang pendapat. Hasil pengujian hipotesis menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peran stakeholders dengan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan, yaitu semakin tinggi peran

stakeholders maka semakin tinggi pula tingkat partisipasi masyarakat. Kata kunci: partisipasi, stakeholders, agropolitan

ABSTRACT

SISKA OKTAVIA. The Relationship between Role of the Stakeholders and Community participation in Agropolitan Program in Karacak Village, Leuwiliang Subdistrict, Bogor District. Supervised by SAHARUDDIN

Agropolitan is a program which seeks to reduce disparities between towns and villages. This program was implemented through human resource development, agriculture development, capital development and improvement of infrastructure facilities. There are three purposes of this study, that is to analyze the level and form of community participation in the agropolitan program, to analyze the role of stakeholders in the agropolitan program of Karacak village, Leuwiliang subdistrict, Bogor district and to analyze the relationship between the role of the stakeholders with the level of community participation. The research was carried out by quantitative and qualitative methods using questionnaires and in-depth interview guide. The results of this study indicate that the level of community participation is at the level of tokenisme in all phases of the program with the participation of the dominant forms of participation contribute opinions. The results of testing the hypothesis clarify that there is a relationship between the role of stakeholders and community participation in the implementation. That is, the higher level of stakeholders roles will be higher level of community participation.

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris dengan ciri kehidupan pedesaannya. Fenomena pembangunan ekonomi yang sentralistik di perkotaan yang selama ini diterapkan telah menyebabkan disparitas ekonomi antar daerah terutama antara perkotaan dengan pedesaan. Hal ini menyebabkan ketertinggalan perkembangan kehidupan sosial ekonomi di pedesaan seperti rendahnya kesejahteraan, tingkat pendidikan, terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan, kurangnya akses transportasi, permodalan, dan fasilitas umum lainnya di pedesaan. Data penduduk Indonesia tahun 2011 menunjukkan perbandingan penduduk yang bertempat tinggal di perdesaan tidak jauh berbeda jika dibandingkan di perkotaan, yakni 119.7 juta jiwa di pedesaan dan 120.6 juta jiwa di perkotaan (BPS 2011). Namun, perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat pembangunan wilayah di antara keduanya menunjukkan kawasan pedesaan masih tertinggal jika dibandingkan dengan perkotaan. Terbukti dengan perbandingan jumlah penduduk miskin di perdesaan dengan perkotaan pada tahun 2011. Jumlah penduduk miskin di pedesaan hingga tahun 2011 mencapai 18.9 juta jiwa, jauh lebih tinggi dibandingkan penduduk miskin perkotaan, yaitu 11 juta jiwa.

Kesenjangan pertumbuhan wilayah tersebut juga terjadi karena lemahnya keterkaitan antara desa dan kota yang memunculkan gagasan pengembangan kawasan pedesaan yang mampu menangani urban bias. Konsep pembangunan yang menawarkan solusi untuk permasalahan tersebut salah satunya diwujudkan dalam program agropolitan (Rustiadi 2007). Pentingnya agropolitan dalam pembangunan ekonomi daerah pedesaan adalah mengurangi disparitas antar

daerah karena terjadinya “pendaerahan” pengelolaan pembangunan ekonomi

akibat UU No 32 tahun 2004 yang mengatur otonomi daerah seperti dijelaskan oleh Amalia (2006). Program agropolitan tersebut direalisasikan menjadi program nasional yang tertera dalam Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional (RJPN) tahun 2005–2025, pada point 321 yang menyebutkan bahwa agropolitan merupakan salah satu program yang akan diusung untuk pembangunan pedesaaan terutama pedesaan yang berbasiskan pada pertanian.

Perkembangan kawasan agropolitan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 telah mencapai 172 kawasan2, yaitu sebanyak 146 kawasan merupakan kawasan agropolitan dengan basis agribisnis peternakan, pertanian sayuran, buah- buahan dan tanaman pangan yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia. Agropolitan ini juga mendapatkan dukungan program yang dilaksanakan oleh pemerintah yang diwakili oleh: Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan instasi terkait lainnya. Pihak tersebut mendukung pengembangan kawasan agropolitan melalui program pengembangan sistem usaha agribisnis, pengembangan sarana–prasarana kawasan,

1

Disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disampaikan dalam Musrenbang Jangka Panjang di Jakarta tanggal 7 februari. Diunduh dari

http://www.batan.go.id/ref_utama/rpjp_2005.pdf 2

Ditulis dalam Rustiadi E dan Bardak E.E. 2007. Agropolitan Strategi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Pada Kawasan Perdesaan. Crespent Press. Bogor

peningkatan sumber daya manusia (SDM), permodalan, kelembagaan dan usaha tani serta melaksanakan pekerjaan non-fisik seperti penyusunan rencana teknis dan perkerjaan fisik pembangunan prasarana-sarana kimpraswil (PSK), meliputi: peningkatan jalan usahatani, jalan poros, perbaikan pasar desa, sub-terminal agribisnis, pembangunan kios dan saluran pembawa air baku.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah agropolitan yang berpusat di Kecamatan Leuwiliang. Kecamatan tersebut memiliki desa-desa pusat dan penyangga agropolitan. Desa Karacak merupakan salah satu pusat agropolitan di Kecamatan Leuwiliang dengan daerah hinterland pada kawasan pendukung yaitu: Leuwisadeng, Rumpin, Cibungbulang, Pamijahan, Nanggung, Jasinga, Cigudeg, dan Sukajaya. Hal ini dibuktikan dengan SK. Mentan No.312/TU.210/A/X/2002 yang menjelaskan tentang pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Bogor. Sesuai dengan persyaratan pembagian zonasi kawasan agropolitan yang harus memperhatikan: komoditas unggulan, kondisi agroklimat, kondisi sumberdaya manusia, kelembagaan, kependudukan, aspek posisi geografis kawasan agropolitan dan ketersediaan infrastruktur, maka Desa Karacak terpilih menjadi salah satu desa pusat agropolitan yang memiliki komoditi unggulan buah manggis. Sebagai program berkelanjutan, program agropolitan membutuhkan partisipasi masyarakat yang diwujudkan dalam kelembagaan lokal. Kondisi kelembagaan dalam program agropolitan diwujudkan dengan dukungan kelembagaan pertanian berupa koperasi dan kelompok tani yang memfasilitasi anggotanya dalam mengatasi permasalahan pertanian. Menurut laporan evaluasi Dinas Pertanian tahun 2010, sejak tahun 2005–2010 telah dilaksanakan banyak program yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan di Desa Karacak, antara lain empat program besar yang terkait dengan pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan budidaya dan pengembangan permodalan serta peningkatan fasilitas dan infrastruktur.

Indikator keberhasilan program agropolitan yang berupa pengembangan infrastruktur kawasan agropolitan dan sistem usaha agribisnis yang baik dapat diukur dengan adanya peningkatan infrastruktur serta kemajuan agribisnis setelah adanya program agropolitan. Proses pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Leuwiliang khususnya Desa Karacak memerlukan usaha bersama dalam pemahaman terhadap karakteristik wilayah juga melibatkan peran aktif semua stakeholders dalam menggambarkan kemampuan kawasan agropolitan bersama keterlibatan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Selama ini program agropolitan seringkali mengandalkan peran pemerintah, mulai dari penyusunan masterplan sampai pembentukan POKJA dan POSKO agropolitan di setiap kabupaten. Sedangkan kelompok tani sebagai “obyek program” belum terlihat eksistensinya. Tanpa keterlibatan semua stakeholders baik LSM, pihak swasta maupun pemerintah dengan peran yang proposional serta kerjasama dengan masyarakat maka tidak terjadi keberlanjutan program. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat bagaimana bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam program agropolitan dan peran stakeholders dalam program agropolitan, selain itu juga perlu mengetahui hubungan pengaruh peran stakeholders terhadap partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan program pembangunan agropolitan.

Pelaksanaan program agropolitan sudah berlangsung sejak tahun 2005 di Indonesia, namun keberhasilan program yang ditandai dengan sustainability

program agropolitan, belum tercapai. Di Kabupaten Bogor, hasil evaluasi pelaksanaan agropolitan Propinsi Jawa Barat oleh BAPPEDA Jawa Barat tahun 2010 menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan program agropolitan, antara lain: belum optimalnya peran masing-masing sektor baik di tingkat propinsi maupun kabupaten, masih lemahnya perlindungan terhadap petani terutama terkait kepemilikan lahan, benih/bibit dan harga jual hasil produksi. Hal tersebut juga didukung dengan hasil evaluasi dari BP4K Kabupaten Bogor tentang kondisi agropolitan Kabupaten Bogor saat ini yang menyatakan bahwa pendapatan masyarakat dan keluarga petani di kawasan agropolitan belum meningkat (belum mencapai 5 persen), peningkatan investasi (petani, swasta, dan BUMN) belum mencapai 10 persen, selain itu pengelolaan sumberdaya alam juga belum optimal. Hal ini dikarenakan kurangnya keterlibatan masyarakat pada setiap kawasan dan kurang efektifnya program peningkatan sumber daya manusia.

Berdasarkan rencana program pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Bogor masa proyek 2005-2010, program agropolitan di Desa Karacak sudah selesai. Optimalisasi pemanfaatan prasarana dan sarana tersebut seakan berhenti setelah program selesai tanpa ada keberlanjutan. Tentunya agar representasi keberhasilan, pemenuhan harapan, dan optimalisasi pencapaian dampak sesuai dengan indikator keberhasilan maka program agropolitan seyogyanya disinergikan dengan konsep pembangunan berlandaskan ekonomi lokal. Keberhasilan pelaksanaan program agropolitan sangat ditentukan keterlibatan termasuk masyarakat yang merupakan aktor utama dalam pembangunan yang harus diprioritaskan partisipasinya dimulai dari proses sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi program untuk mewujudkan tujuan utama dari agropolitan serta keberlanjutan program di kawasan agropolitan. Selain itu pelaksanaan program juga melibatkan

stakeholders yang menghasilkan peran stakeholders yang berasal dari pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap program agropolitan. Melalui kerjasama dengan masyarakat dalam pengembangan program agropolitan harapannya seluruh pihak yang berkepentingan nantinya mampu memahami program secara utuh mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi. Penempatan masyarakat dalam tingkat partisipasi yang tepat dan peran stakeholders yang nantinya dapat mendukung masyarakat sebagai subyek pembangunan wilayah melalui program agropolitan sangat diharapkan.

Menurut Sastropoetro (1988), partisipasi merupakan keterlibatan pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggungjawab terhadap usaha pembangunan yang bersangkutan. Termasuk dalam program agropolitan, sesuai dengan prinsip dasar pembangunan agropolitan maka dibutuhkan partisipasi masyarakat yang dalam hal ini dilihat dari keterwakilan masyarakat dimana setiap tahapan memiliki jenis aktivitas yang berbeda-beda. Terkait dengan agropolitan, proses program saat ini telah berada pada tahap menikmati hasil menurut Uphoff (1977) sehingga pengukuran tingkat partisipasi dalam program tersebut lebih menyeluruh.

Arnstein (1969) mengemukakan bahwa terdapat delapan tingkatan dalam tangga partisipasi yang merepresentasikan partisipasi masyarakat, tingkatan tersebut adalah manipulasi, terapi, informasi, konsultasi, placation (penenangan) kemitraan, delegasi kewenangan dan kontrol warga negara yang kemudian digolongkan menjadi kelompok non-partisipasi, tokenisme dan citizen power. Terkait partisipasi masyarakat dalam program agropolitan maka diperlukan analisis sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dan bentuk partisipasi dalam tahapan program agropolitan.

Terdapat empat program agropolitan yang dijalankan selama tahun 2005 sampai tahun 2010 di Desa Karacak sesuai dengan masterplan agropolitan Kabupaten Bogor. Banyak pihak yang turut berpartisipasi dalam pelaksanaan program agropolitan yang digolongkan sebagai stakeholders agropolitan.

Stakeholders tersebut mempunyai pengaruh dan kepentingan masing–masing yang kemudian melahirkan peran yang berbeda dalam pelaksanaan program agropolitan sehingga perlu menganalisis peran stakeholders dalam penyelenggaraan program agropolitan. Pihak yang terlibat dalam program agropolitan tersebut tentunya memiliki tujuan dan motif dalam penyelenggaraan program sehingga menghasilkan kinerja yang berbeda. Keterlibatan stakeholders

secara langsung maupun tak langsung dapat dikelompokkan dalam klasifikasi

stakeholders yang menunjukan posisi stakeholder dalam grid stakeholders

menurut IFC (2007).

Tentunya peran tersebut erat kaitannya dengan partisipasi masyarakat yang beragam, interaksi antara masyarakat dengan stakeholders dalam program melahirkan hubungan relasi individu masyarakat dengan stakeholders dan saling mempengaruhi antar keduanya sehingga antara jaringan, kekuatan dana,

personality dan kepentingan yang dimiliki oleh stakeholders memungkinkan memiliki pengaruh yang berbeda pada masyarakat maka perlu dianalisa

hubungan antara peran stakeholders melalui keterlibatannya dalam program agropolitan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam menjalankan tahapan program agropolitan selama masa proyek tahun 2005-2010.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan di atas, disusun beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah dan pertanyaan penelitian tersebut, antara lain:

1. Menganalisis peran stakeholders dan posisi masing-masing stakeholders

berdasarkan dalam klasifikasi stakeholders selama penyelenggaraan program agropolitan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis tingkat partisipasi dan bentuk partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan program agropolitan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis hubungan antara peran stakeholders dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam tahapan program agropolitan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, terutama pihak yang berkepentingan dengan program agropolitan, antara lain:

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya tentang hubungan peran

stakeholders dengan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan khususnya agropolitan.

2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan program agropolitan kedepan sehingga lebih mengarahkan kepada partisipasi masyarakat pada tingkatan kemandirian dalam pelaksanaan program.

3. Bagi masyarakat, dapat memberikan pemahaman tentang peran yang dilakukan oleh stakeholders dalam program agropolitan sehingga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat dalam mengoptimalkan partisipasi masyarakat, khususnya dalam program agropolitan.

Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini disajikan tinjauan literatur yang berkaitan dengan beberapa konsep yang digunakan pada penelitian ini. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu melihat hubungan antara peran stakeholders dengan partisipasi masyarakat, maka dijelaskan dalam tinjauan literatur ini, antara lain: konsep program pengembangan kasawan agropolitan, analisis stakeholders, peran stakeholders dalam program agropolitan, partisipasi dan tingkat partisipasi masyarakat.

Program Pengembangan Kawasan Agropolitan

Program agropolitan merupakan suatu upaya percepatan pembangunan pedesaan. Gatra terkait dengan pengembangan agropolitan antara lain adalah pembangunan dalam arti luas, seperti: redistribusi lahan, kesesuaian lahan, desain tata guna lahan dan pembangunan sarana dan prasarana. Secara fenomenal konsep ini mewujudkan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan atau istilah lain yang

digunakan oleh Friedmann adalah “Menciptakan kota di pedesaan” (Tarsudi

2010). Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota dapat diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pancaharian utama bagi sebagian besar masyarakat perdesaan.

Menurut Saefulhakim dkk (2004) pengertian agropolitan berasal dari kata

“agro” yang bermakna “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman” yang digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian dan “polis” bermakna “a Central Point or Principal”. Agro-polis bermakna lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan. Berdasarkan uraian tersebut diatas agropolitan dapat diartikan sebagai suatu model pembangunan mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara wilayah perkotaan, dengan kegiatan pengelolaan agribisnis yang berkonsentrasi di wilayah perdesaan. Pendekatan agropolitan dapat mengurangi dampak negatif pembangunan yang telah dilaksanakan. Konsep agropolitan sendiri merupakan konsep pembangunan berkelanjutan yang mendapatkan dukungan masyarakat dan menjadi milik masyarakat sehingga dominasi peran berada di pihak masyarakat (Rustiadi 2006)

Secara lebih luas pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Djakapermana (2003) menyatakan bahwa pengembangan kawasan agropolitan menjadi sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan keunikan lokal. Selain itu pengembangan kawasan agropolitan dapat meningkatkan pemerataan mengingat sektor yang dipilih merupakan basis aktifitas masyarakat. Keberlanjutan dari pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor yang dipilih mempunyai

keunggulan kompetitif dan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya. Penetapan pusat agropolitan terkait dengan sistem pusat-pusat nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten) sehingga dapat menciptakan pengembangan wilayah yang serasi dan seimbang. Menurut Rivai dalam Tarsudi (2003), tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi (wewenang berada di pemerintah daerah dan masyarakat) di kawasan agropolitan.

Melalui berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on- farm) saja tetapi juga "off-farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan agropolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud.

Analisis Stakeholders

Menurut Freedman (1975), stakeholders merupakan kelompok dan individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan dari sebuah program. Stakeholders juga diartikan sebagai mereka yang memiliki kepentingan dan keputusan tersendiri, baik sebagai individu maupun wakil kelompok. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholders jika memiliki karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Budimanta dkk (2008), yaitu mempunyai: kekuasaan, legitimasi, kepentingan terhadap program. Soemanto (2007) mengkategorikannya ke dalam empat kelompok, antara lain: pemerintah (government), sektor privat (private sector), lembaga swadaya masyarakat (LSM)/Non-Governmental Organizations

(NGOs), dan Masyarakat (community). Mitchell et al dalam Sukada (2007) mengungkapkan bahwa derajat relevansi pemangku kepentingan terhadap aktivitas perusahaan ditimbang dengan tiga hal, yaitu: kekuasaan, legitimasi, dan urgensi. Kekuasaan adalah derajat kemampuan pemangku kepentingan untuk mempengaruhi perusahaan melalui penggunaan unsur-unsur koersif atau pemaksaan, insentif atau disinsentif material, dan normatif atau simbolik. Pemangku kepentingan yang dapat menggunakan salah satu atau lebih unsur- unsur kekuasaan itu, mampu mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mempertahankan dirinya. Keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan tidaklah baru, dalam pengertian bahwa dalam program pihak tersebut selalu berinteraksi dengan berbagai kelompok eksternal, seperti: pembuat peraturan, pemerintah, pelanggan, dan penduduk asli. Menurut Sukada (2007) pelibatan pemangku kepentingan ditentukan berdasarkan derajat relevansinya atau kesesuian dengan keberadaan serta program yang akan diselenggarakan.

stakeholders yang merupakan semua aktor atau kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah program. Analisis stakeholders dilakukan menggunakan metode pendekatan yang dikembangkan oleh Groenendijk (2003) untuk mengetahui peranan dan fungsinya. Metode tersebut diawali dengan mengidentifikasi stakeholders yang terlibat dan mengklasifikasikan berdasarkan keterkaitannya secara langsung/tidak langsung dengan proyek yang ada. Kemudian, tiap stakeholders yang berbeda tersebut