• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 24 Desember 1978 dari ayah Drs. Sofyan Muchtar, MM dan ibu Nursyidah Ibrahim (Alm). Penulis merupakan putri ketiga dari tujuh bersaudara.

Tahun 1997 penulis lulus dari SMUN 1 Banda Aceh dan masuk Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) pada tahun 2001 dan mendapat gelar Dokter Hewan pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis diangkat menjadi staf pengajar di Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dan pada tahun tersebut pula penulis memulai studi Pascasarjana di Program Studi Sains Veteriner, Sekolah Pascasarjana IPB.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... .xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN...xiii PENDAHULUAN... .1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 3 Manfaat Penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Gambaran Umum Kancil ... 5 Klasifikasi ... 5 Tingkah Laku ... 6 Habitat ... 7 Penyebaran ... 7 Reproduksi Kancil Betina ... 8 Gambaran Umum Organ Reproduksi Ruminansia Betina ... .9 Karakteristik Ovarium Ruminansia Berkaitan dengan Proses Perkembangan Folikel (Folikulogenesis) ... 11 Pematangan Oosit In Vitro... 15 BAHAN DAN METODE... 17 Tempat dan Waktu Penelitian ... 17 Sampel yang Digunakan ... 17 Metode Penelitian ... 17 Morfologi dan Morfometri Organ Reproduksi Kancil Betina ... 17 Karakteristik Histologi, Distribusi Karbohidrat dan Residu

Gula pada Perkembangan Folikel Ovarium ... 18 Pembuatan Preparat Histologi... 18 Karakteristik Histologi Perkembangan Folikel... 18 Distribusi Karbohidrat dan Residu Gula ... 19

Morfologi dan Pematangan Oosit In Vitro... 20 HASIL DAN PEMBAHASAN... 21 Morfologi dan Morfometri Organ Reproduksi Kancil Betina ... 21 Karakteristik Histologi, Distribusi Karbohidrat dan Residu

Gula pada Perkembangan Folikel Ovarium ... 24 Karakteristik Histologi Perkembangan Folikel... 24 Distribusi Karbohidrat dan Residu Gula ... 37 Morfologi dan Pematangan Oosit In Vitro... 44 SIMPULAN DAN SARAN... 47 DAFTAR PUSTAKA... 48 LAMPIRAN... 55

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Jenis, spesifisitas, dan dosis lektin yang digunakan... 19 2 Ukuran ovarium kancil, domba, rusa dan sapi... 22 3 Ukuran panjang saluran reproduksi betina pada kancil, domba,

rusa dan sapi... 23 4 Karakteristik berbagai tahapan perkembangan folikel pada ovarium fase luteal kancil (T. javanicus) ... 29 5 Ukuran diameter folikel dan oosit pada kancil, tikus, sapi dan babi... 36 6 Distribusi karbohidrat dan residu gula pada folikel ovarium kancil

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Salah satu kancil (T. javanicus) yang dipelihara di Unit Rehabilitasi

Ruminansia (URR) FKH IPB, Bogor ... 6 2 Penyebaran kancil di Indonesia dan beberapa negara tetangga ... 8 3 Gambaran skematis organ reproduksi ruminansia betina ... 9 4 Gambaran melintang ovarium mamalia ... 11 5 Organ reproduksi kancil betina setelah dikeluarkan dari

rongga tubuh ... 21 6 Gambaran histologi ovarium kancil ... 24 7 Folikel tipe 1 ... 25 8 Folikel tipe 2 ... 25 9 Folikel tipe 3 ... 26 10 Folikel tipe 4 ... 26 11 Folikel tipe 5 ... 26 12 Folikel tipe 6 ... 27 13 Folikel tipe 7 ... 27 14 Folikel tipe 8 ... 27 15 Folikel tipe 9 ... 28 16 Folikel tipe 10 ... 28 17 Persentase jumlah folikel yang berkembang pada ovarium

kancil fase luteal... 33 18 Diameter folikel dan oosit yang berkembang pada ovarium

kancil fase luteal... 34 19 Distribusi karbohirat asam pada struktur folikel ovarium kancil... 39 20 Distribusi karbohirat netral pada struktur folikel ovarium kancil ... 40 21 Pola distribusi lektin PHA, LCA, WGA dan RCA pada folikel

ovarium kancil... 43 22 Oosit hasil pematangan in vitro... 44 23 Oosit hasil pematangan in vitro... 45

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Prosedur pewarnaan hematoksilin-eosin (HE)... 55 2 Prosedur pewarnaan alcian blue (AB) pH 2.5 ... 56 3 Prosedur pewarnaan periodic acid schiff (PAS) ... 57 4 Prosedur pewarnaan histokimia lektin ... 58

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dengan 17.508 pulau besar dan kecil merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Meskipun luas wilayahnya hanya 1.3% dari luas bumi, namun Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, bahkan nomor tiga tertinggi di dunia setelah Brazil dan Zaire, sehingga Indonesia disebut sebagai salah satu negara megabiodiversity. Hal ini ditunjukkan dengan dimilikinya koleksi 10% dari jenis tumbuhan berbunga dunia (20.000 spesies), 12% dari jenis mamalia dunia (800 spesies), 17% dari jenis burung dunia (1.300 spesies), 16% dari reptil dan ampibi dunia (3.000 spesies) serta 25% atau lebih dari jenis ikan dunia (2.500 spesies). Selain itu, Indonesia memiliki tingkat endemisme (keaslian) spesies yang tinggi yang tersebar pada beragam tipe ekosistem. Mamalia diperkirakan ada 36% endemik, serangga 44% endemik dan burung sekitar 28% endemik (Anonim 2003; Muntasib& Masy’ud 2003). Salah satu dari keanekaragaman hayati tersebut adalah kancil.

Kancil (Tragulus sp) atau yang biasa disebut pelanduk dalam Bahasa Melayu merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Di Indonesia terdapat dua spesies kancil yaitu Tragulus javanicus dan

Tragulus napu. Pada saat ini, populasi kancil diduga semakin menurun. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab menurunnya populasi kancil adalah maraknya penebangan hutan, perburuan liar, dan pembakaran hutan untuk pembukaan lahan perkebunan. Oleh karena itu, upaya konservasi kancil sangat penting dilakukan. Hal ini didukung oleh keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) yang menetapkan kancil sebagai salah satu hewan langka yang dilindungi di Indonesia (Alikodra 1993; BKSDA 2000).

Usaha penyelamatan dan pelestarian kancil dapat dilakukan pada kawasan

in situ (habitat aslinya) seperti Taman Nasional, Cagar Alam, dan Suaka Margasatwa maupun kawasan ex situ (di luar habitat aslinya) seperti Kebun Binatang, Kebun Raya, Taman Safari dan lain-lain. Sejauh ini, upaya pemeliharaan kancil di kawasan ex situ tidaklah mudah karena hewan ini memiliki

tingkat stres yang tinggi terhadap lingkungan yang berbeda dengan habitat aslinya. Nurhidayat et al. (1993) melaporkan bahwa usaha pemeliharaan kancil di beberapa kebun binatang seperti Kebun Binatang Ragunan Jakarta, Bandung, dan Surabaya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Oleh sebab itu, diperlukan suatu manajemen penangkaran kancil yang tepat untuk menyediakan kondisi lingkungan yang optimal untuk mengurangi stres pada kancil sehingga berdampak pada kemampuan reproduksi yang lebih baik pada kawasan ex situ.

Selain itu, faktor yang tidak kalah pentingnya untuk meningkatkan populasi kancil adalah status reproduksi yang dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan proses fertilisasi yang ditentukan dari kualitas kedua sel gamet (oosit dan spermatozoa). Hal ini sangat penting terutama pada proses produksi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi reproduksi seperti fertilisasi dan produksi embrio in vitro. Muntasib dan Masy’ud (2003) menyatakan bahwa proses penyelamatan dan perlindungan suatu keanekaragaman hayati (saving) baik hewan maupun tumbuhan harus didukung oleh kajian-kajian (studying) tentang kondisi fisiologi dari keanekaragaman hayati itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi tentang kondisi fisiologis organ reproduksi kancil betina terutama berkaitan dengan proses folikulogenesis untuk menghasilkan sel gamet (oosit atau sel telur).

Kancil merupakan ruminansia terkecil yang memiliki potensi untuk dikaji lebih lanjut. Selain sebagai salah satu kekayaan biodiversitas yang dimiliki Indonesia, kancil juga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber protein hewani dan sebagai model pada penelitian biomedis maupun ruminansia yang lebih besar karena penggunaannya dapat mengurangi biaya penelitian dan dosis bahan yang dipakai. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan pada hewan kancil diantaranya telah dilaporkan Snyder dan Weathers (1977), Whittow et al.

(1977), Vidyadaran et al. (1979), Terai et al. (1998), Jumaliah (1999), Abdullah et al. (1999), Haron et al. (1999), Matsubayashi et al. (2003), Farida et al. (2002, 2003, 2004), Agungpriyono et al. (1992, 1994, 1995a, 1995b, 1997, 2001, 2002, 2005, 2006), Kimura et al. (2004), dan Prasetyaningtyas (2005). Namun demikian, penelitian yang ada masih terbatas pada informasi tentang perilaku kancil, kesukaan terhadap makanan, fungsi respirasi, saluran pencernaan,

hematologi, regulasi suhu tubuh, morfologi cranium dan mandibula, organ reproduksi kancil jantan dan karakteristik semen kancil. Penelitian mengenai biologi reproduksi kancil betina belum banyak dilaporkan. Kimura et al. (2004) telah melakukan penelitian pada gambaran anatomi dan struktur histologi organ reproduksi kancil betina terutama ovarium, tuba Fallopii, uterus dan plasenta. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ovarium kancil memiliki struktur yang relatif sama dengan ruminansia lainnya seperti domba dan sapi. Ovarium terdiri dari epitel germinativum, tunika albuginea, bagian korteks dan medula. Tuba Fallopii terdiri dari ampula, isthmus, dan fimbriae. Uterus terdiri dari dua kornua uteri dan satu korpus uteri. Pada permukaan dalam uterus tidak ditemukan karunkula sehingga kancil memiliki tipe plasenta difusa seperti pada babi dan kuda (Senger 1999). Namun pada penelitian tersebut belum dilaporkan secara mendalam tentang morfologi perkembangan folikel dan oosit (folikulogenesis dan oogenesis). Sejauh ini juga belum ada laporan tentang proses pematangan oosit kancil secara in vitro. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan beberapa kajian untuk meningkatkan pemahaman tentang biologi reproduksi kancil (T. javanicus) betina melalui studi morfologi organ reproduksi kancil betina terutama ovarium yang berkaitan dengan tahapan perkembangan folikel dan proses pematangan oosit in vitro. Hasil penelitian diharapkan dapat melengkapi data-data yang telah ada yang nantinya dapat digunakan sebagai landasan pemikiran bagi pemeliharaan dan peningkatan populasi kancil baik secara alami (kawin alam) maupun dengan bantuan manusia (melalui penerapan teknologi reproduksi seperti fertilisasi in vitro maupun embrio in vitro).

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari morfologi dan morfometri organ reproduksi kancil betina dengan tinjauan khusus pada ovarium.

2. Mempelajari karakteristik histologi, distribusi karbohidrat dan residu gula pada perkembangan folikel ovarium (folikulogenesis).

3. Mempelajari morfologi dan pematangan oosit pada kancil betina secara in vitro.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai data untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang fisiologi reproduksi kancil betina.

2. Sebagai landasan awal dalam penerapan teknologi reproduksi pada kancil betina.

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Kancil Klasifikasi

Kancil termasuk ke dalam ordo Artiodactyla, famili Tragulidae dan genus Tragulus. Famili Tragulidae terdiri dari dua genus yaitu genus Tragulus yang terdiri dari tiga spesies yaitu Tragulus javanicus, Tragulus napu, dan Tragulus meminna dan genus Hyemoschus yang terdiri dari satu spesies yaitu Hyemoschus aquaticus. Genus Tragulus menghuni hutan-hutan tropis dan hutan sekunder di Asia Tenggara dan India sedangkan genus Hyemoschus terdapat di Afrika Tengah dan Afrika Barat. Di Indonesia hanya ditemukan dua spesies kancil yaitu T. javanicus dan T. napu. Spesies T. javanicus merupakan ungulata terkecil dengan panjang tubuh sekitar 45-55 cm, tinggi bahu 20-25 cm, panjang ekor 5 cm dan berat tubuh 1.5-2.5 kg (Lekagul & McNeely 1977; Payne et al. 1985; Farida et al. 2004). T. napu memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan T. javanicus dengan tinggi bahu 30-35 cm dan berat badan 4-6 kg (Francis 2001). Tubuh kancil tampak pendek dengan kepala yang kecil, moncongnya panjang dan lancip, serta kaki yang kurus. Hewan ini memiliki hidung berwarna hitam, mata yang besar dan lidah yang panjang jika dijulurkan (Hoogerwerf 1970 diacu dalam

Farida et al. 2004). Kancil mempunyai bulu dengan warna dasar coklat dengan

spot atau belang berwarna putih dan ada juga yang memiliki bulu warna coklat kemerahan dengan garis-garis halus berwarna hitam (DEPDIKNAS 1992; Farida

et al. 2004). Secara umum, kancil betina memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan kancil jantan. Kancil tidak memiliki tanduk dan sebagai gantinya kancil jantan memiliki sepasang gigi taring (canini) yang menonjol keluar dari rahang atasnya yang dipergunakan sebagai senjata pada saat berkelahi dengan lawannya. Pada kancil betina, gigi taring tidak tumbuh memanjang. Kancil memiliki gigi sebanyak 34 gigi dengan formula 0/3, 1/1, 3/3, 3/3. Seperti halnya dengan hewan berkuku genap lainnya, kancil memiliki dua buah kuku besar di tengah dan berat badannya dipikul oleh bagian ini. Bagian samping dari dua kukunya terbentuk cukup baik dan benar-benar menyentuh tanah ketika berjalan. Ini merupakan suatu kondisi primitif dan menunjukkan suatu tahap

permulaan dari evolusi hewan berkuku genap seperti pada rusa yang bagian samping dari kukunya tidak lagi dipergunakan (Lekagul & McNeely 1977; Nowak et al. 1983 diacudalam Strawder 2000; Myers 2001).

Meskipun termasuk hewan ruminansia, pada lambung kancil tidak ditemukan omasum, serta bagian internal mukosa memperlihatkan struktur yang berbeda dengan distribusi papila yang subur (Agungpriyono et al. 1992).

Gambar 1 Kancil (T. javanicus) yang dipelihara di Unit Rehabilitasi Ruminansia (URR) FKH IPB, Bogor

Tingkah Laku

Pada umumnya kancil memiliki sifat pemalu, hidup soliter, sering terlihat sendiri kecuali pada musim kawin dan cenderung bersembunyi agar tidak terlihat. Terkadang hewan ini mengeluarkan lengkingan bila merasa ketakutan (Lekagul & McNeely 1977; Strawder 2000). Kancil jantan menandai daerah kekuasaan dan pasangannya melalui cairan yang dikeluarkan oleh kelenjar bau (glandula intermandibularis) yang terletak di daerah dagunya (Ralls et al. 1975; Agungpriyono et al. 2006). Biasanya aktivitas ini bersamaan dengan aktivitas urinasi dan defekasi kancil tersebut. Kancil jantan menggunakan gigi taringnya untuk berkelahi dan membela diri serta melindungi dirinya dari ancaman predator (Nowak et al. 1983 diacu dalam Strawder 2000). Kancil juga memiliki kemampuan mengelabui musuhnya. Dilaporkan bahwa pemburu kancil sering

terkecoh oleh kancil sebab hewan ini dapat bertingkah seolah-olah mati tetapi setelah dilepas dari jeratannya, segera bangun dan melarikan diri dengan cepat.

Habitat

Kancil memiliki habitat di hutan tropis dan hutan sekunder yang cukup lebat, dengan kontur tanah yang kering, baik di dataran rendah maupun di kaki- kaki bukit. Hewan ini menyukai tempat-tempat kering seperti celah bebatuan dan pepohonan yang tidak jauh dari sungai dengan vegetasi yang rapat (DEPHUT 1993; Suyanto 2002; Farida et al. 2002, 2003). Kancil aktif pada malam hari atau nokturnal dan siang hari atau diurnal (Matsubayashi et al. 2003). Kancil selektif terhadap pemilihan pakan atau makanannya. Hewan ini memakan jenis makanan tertentu seperti daun muda dari semak belukar, kecambah, sayuran dan buah- buahan (Kudo et al. 1995 diacu dalam Abdullah et al. 1999; Myers 2001). Kancil juga dilaporkan sebagai pemencar biji karena kebiasaannya suka memakan buah- buahan yang jatuh atau yang tumbuh didekat permukaan tanah dan pada saat memamah biak, biji yang termakan akan dimuntahkan kembali (Suyanto 2002).

Penyebaran

Penyebaran kancil di Indonesia cukup luas yaitu di hutan tropis dan sekunder di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Selain itu juga tersebar di beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, Indocina (Vietnam, Laos dan Kamboja) sampai Cina (Suyanto 2002). Pada saat ini, kancil memiliki status dilindungi oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 266 dan UU No. 5 Tahun 1990 yang dipertegas dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991 dan SK MenHut tanggal 6 September 1992 No. 882/Kpts-II/92 (DEPHUT 1993).

Gambar 2 Penyebaran kancil di Indonesia dan beberapa negara tetangga ( ) (Robin 1990 diacu dalam Huffman 2004)

Reproduksi Kancil Betina

Fisiologi dari sistem reproduksi pada kancil betina belum banyak dilaporkan baik pada aspek perilaku reproduksi maupun organ reproduksinya. Beberapa hal yang telah dilaporkan diantaranya adalah kancil umumnya mampu memperoleh keturunannya satu kali dalam setahun dan kadang-kadang bisa dua kali dalam setahun. Hewan ini mengalami pubertas pada umur 4-5 bulan, memiliki siklus estrus 16 hari, dan periode estrus selama 35-48 jam (Kudo et al.

1997), lama kebuntingan hewan ini sekitar 140-177 hari (Lekagul & McNeely 1977), dan biasanya hanya melahirkan satu ekor anak dengan berat lahir sekitar 375 gram. Anak yang baru lahir cenderung disembunyikan oleh induknya. Anak yang baru dilahirkan segera disusui oleh induk betina yang memiliki dua pasang kelenjar mamae dan mulai disapih setelah berumur 10-13 minggu. Kancil dapat hidup selama 12 tahun (Strawder 2000). Oleh karena informasi reproduksi kancil masih sangat sedikit maka dalam penelitian ini digunakan informasi reproduksi hewan ruminansia lainnya seperti domba dan sapi sebagai acuan dan bahan komparasi untuk mempelajari morfologi dan fisiologi reproduksi kancil.

Penelitian terhadap reproduksi kancil jantan relatif lebih banyak dilaporkan dibandingkan kancil betina. Prasetyaningtyas (2005) melaporkan bahwa spermatozoa kancil merupakan spermatozoa terkecil dibandingkan dengan

spermatozoa ruminansia lainnya dengan ukuran panjang 36.52±5.6 µm. Kancil jantan menghasilkan ejakulat dengan volume relatif sedikit yaitu sekitar 19.44±6.8 µl dengan konsentrasi spermatozoa 47.44±4.9x106 sel/ml dan motilitas spermatozoa 36.43±1.1%. Semen memiliki warna krem, putih, kuning dengan konsentrasi kental.

Gambaran Umum Organ Reproduksi Ruminansia Betina

Hewan ruminansia betina memiliki organ reproduksi yang terdiri dari sepasang ovarium, tuba Fallopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva. Ovarium merupakan organ reproduksi primer yang memiliki ukuran yang bervariasi tergantung kepada spesies, umur dan status reproduksinya. Ovarium memiliki dua fungsi yaitu sebagai kelenjar eksokrin maupun endokrin, masing-masing karena kemampuannya menghasilkan oosit dan hormon-hormon estrogen serta progesteron (Hafez & Hafez 2000).

Gambar 3 Gambaran skematis organ reproduksi ruminansia betina. A. Ovarium, B. Tuba Fallopii, C. Karunkula, D. Kornua uteri, E. Korpus uteri, F. Serviks, G. Vesika urinaria, H. Vagina, I. Uretra, J. Divertikulum suburetrale, K. Vulva, L. Klitoris.

Ovarium terletak retroperitoneal di dalam rongga pelvis, menggantung dan bertaut melalui mesovarium ke uterus. Bentuk ovarium juga sangat bervariasi sesuai dengan spesies dan jumlah anak yang mampu dilahirkan. Pada kelompok

A E D C B F I H G J K L

hewan yang melahirkan anak lebih dari satu (multipara), ovarium biasanya berbentuk seperti buah beri sedangkan pada kelompok hewan melahirkan tunggal (unipara), bentuk ovarium mendekati bulat telur (ovoid). Ukuran ovarium juga bervariasi antar spesies. Pada sapi, ovarium berukuran antara 0.8-5 cm, sedangkan pada domba dan kambing, ovarium berukuran kurang lebih 1.2 cm (Sukra et al.

1989).

Struktur histologi ovarium tergantung pada spesies, umur dan fase siklus estrus dari hewan tersebut. Gambaran histologis sayatan melintang ovarium mamalia disajikan pada Gambar 4. Ovarium terdiri dari dua bagian yaitu korteks (bagian lateral) dan medula (bagian medial). Pada bagian korteks banyak ditemukan folikel-folikel pada berbagai tahap perkembangan dan juga korpus luteum, sedangkan pada bagian medula terdapat pembuluh darah dan syaraf yang masuk (ke bagian medula ovarium) melalui hillus yaitu pertautan antara ovarium dan mesovarium (Toelihere 1979). Bagian korteks dilapisi oleh satu lapisan epitelium kuboid rendah. Stroma pada bagian korteks terdiri atas jaringan ikat longgar. Tunika albuginea terdiri atas jaringan ikat yang terdapat pada bagian profundal lapisan epitel germinativum.

Tuba Fallopii merupakan saluran kecil perluasan dari uterus yang berperan dalam transpor gamet jantan dan betina, serta sebagai tempat terjadinya proses fertilisasi, kapasitasi sperma dan terjadinya proses pembelahan zigot. Uterus memegang peranan penting dalam sistem reproduksi sebagai tempat implantasi dan perkembangan embrio dan fetus, sedangkan kontraksi uterus penting untuk transpor spermatozoa. Bentuk uterus pada beberapa spesies hewan berbeda-beda. Pada ruminansia, uterus memiliki dua tanduk uterus yang besar, badan uterus dan serviks yang disebut uterus bikornua (Sukra et al. 1989). Uterus terdiri atas tiga lapisan yaitu endometrium, miometrium dan perimetrium. Mukosa endometrium akan mengalami penebalan pada saat berahi.

Gambar 4 Gambaran histologis sayatan melintang ovarium mamalia memperlihatkan beberapa struktur ovarium. (a) Epitel germinativum, (b) folikel primer, (c) folikel sekunder, (d’) folikel tertier, (d”) folikel de Graff, (e) korpus hemarogikum, (f’) korpus luteum, (g) korpus albikan, (h) pembuluh darah, (i) mesovarium. (Sumber: Dellmann & Brown : Textbook of Veterinary Histology, 1976).

Serviks terdiri atas bagian mukosa dan lapisan otot. Mukosa serviks menghasilkan lendir yang pada saat berahi menjadi lebih cair sedangkan pada saat hewan bunting membentuk sumbatan. Vagina berfungsi sebagai tempat penumpahan semen, jalur keluar fetus dan plasenta pada kelahiran. Vulva terdiri dari labia dan vestibula. Sedangkan klitoris merupakan bagian dari vestibula yang homolog dengan penis pada hewan jantan (Banks 1993).

Karakteristik Ovarium Ruminansia Berkaitan dengan Proses Perkembangan Folikel (Folikulogenesis)

Proses perkembangan folikel di dalam ovarium dikenal dengan nama folikulogenesis. Folikulogenesis merupakan proses perkembangan folikel yang berawal dari terbentuknya folikel primordial sampai berkembang menjadi folikel matang dan siap melakukan proses ovulasi. Folikel primordial akan berkembang menjadi folikel primer, sekunder, tertier dan folikel de Graaf yang pada akhirnya oosit akan diovulasikan. Proses folikulogenesis ini disertai dengan proses pertumbuhan dan pematangan oosit yang merupakan bagian dari proses oogonesis

yaitu proses yang menghasilkan oosit yang haploid. Berikut karakteristik dari masing-masing tahapan perkembangan folikel :

1) Folikel primordial merupakan folikel yang pertama kali ditemukan pada hewan setelah lahir dengan jumlah tertentu pada setiap spesies (Hafez & Hafez 2000). Folikel ini ditandai dengan oosit yang dikelilingi oleh satu lapis sel pregranulosa yang berbentuk pipih (Hartono 1992; Cushman et al. 2000). Folikel ini berkembang di bagian korteks ovarium (Hartono 1992).

2) Folikel primer ditandai dengan adanya perubahan bentuk dari satu lapis sel pregranulosa yang berbentuk pipih menjadi sel granulosa yang berbentuk kuboid (Bearden et al. 1997; Cushman et al. 2000; Hafez & Hafez 2000; Guerin 2003). Perkembangan folikel primordial menjadi folikel primer terjadi pada saat hewan mencapai pubertas (Hafez & Hafez 2000).

3) Folikel sekunder ditandai dengan terbentuknya dua atau lebih lapisan sel-sel granulosa dan telah terbentuk sebuah membran (zona pelusida) yang mengelilingi oosit (Nalbandov 1990; Bearden et al. 1997; Cushman et al. 2000). Oosit dan sel granulosa berperan dalam proses pembentukan zona pelusida yang mengandung glikoprotein yang berperan pada proses pelekatan spermatozoa pada oosit (Junqueira et al. 1995). Folikel sekunder juga dikelilingi oleh lapisan sel yang tidak beraturan yang berasal dari diferensiasi sel-sel epiteloid dari fibroblast. Sel-sel epiteloid ini akan membentuk sel teka interna dari folikel. Folikel sekunder dengan sel teka interna disebut folikel preantral (Guerin 2003). Pada akhir tahap perkembangan folikel sekunder mulai terbentuk antrum folikuli yang berisi cairan folikel yang mengandung transudat dari plasma dan produk yang disekresi oleh sel granulosa dan hormon steroid seperti estrogen, progresteron, dan androgen (Junqueira et al. 1995).

4) Folikel tertier (folikel antral) ditandai dengan terbentuknya lebih dari lima lapis sel granulosa yang mengelilingi oosit, antrum folikuli semakin meluas, sel teka eksterna menyusun diri mengitari folikel, dan sel yang mengitari zona pelusida mulai membentuk korona radiata (Hartono 1992; Junqueira et al. 1995; Cushman 2000). Diameter folikel semakin meningkat akibat adanya proliferasi sel granulosa dan sel teka, serta pembentukan antrum folikuli yang semakin membesar karena produksi cairan folikuli yang semakin meningkat pula sehingga

oosit terdesak ke bagian tepi folikel. Dinding folikel semakin menipis dan akan menjadi stigma yang nantinya akan robek pada saat ovulasi. Pada kondisi inilah, folikel yang terbentuk disebut dengan folikel de Graaf (Hartono 1992; Hafez &

Dokumen terkait