• Tidak ada hasil yang ditemukan

Riwayat Hidup dan Pendidikan

BAB III BISRI MUSTOFA DAN TAFSIR AL-IBRI>Z

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan

BAB III

BISRI MUSTOFA DAN TAFSIR AL-IBRI>Z

A. Biografi Bisri Mustofa

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan

Bisri Mustofa adalah salah seorang ulama di antara sekian ulama Indonesia yang mempunyai karya besar. Ia dilahirkan di desa Pesawahan Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Nama Bisri ia pilih sendiri sepulang dari menunaikan ibadah haji. Bisri adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan istri keduanya bernama Siti Khatijah. Saudaranya bernama Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’sum. Selain itu ia juga mempunyai beberapa saudara tiri bernama H. Zuhdi dan Hj. Maskanah dari pernikahan pertama ayahnya, serta Achmad dan Tasmin dari pernikahan pertama ibunya.1

Bisri lahir dalam lingkungan pesantren, karena memang ayahnya adalah seorang kyai. Sejak usia tujuh tahun, ia belajar di sekolah Ongko Loro Rembang. Ia hanya bertahan satu tahun belajar di sini, karena ketika hampir naik kelas dua ia diajak ayahnya untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan pulang dari haji, ayahnya wafat di pelabuhan Jeddah.2

1Ahmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Kyai Bisri Mustofa

(Yogyakarta: PT.LKis Pelangi Aksara, 2005), 8.

2Saifullah Ma’sum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung: Mizan, 1998), 319.

42

Sejak kewafatan ayahnya, tanggung jawab keluarga dipegang oleh kakak tirinya bernama H. Zuhdi.3 Bisri pun didaftarkan kakaknya untuk sekolah di HIS (Holland Inlands School). Ia diterima di sekolah HIS karena ia diakui sebagai keluarga Raden Sudjono, seorang mantri guru HIS sekaligus tetangga keluarga Bisri. Namun tak lama kemudian ia dipaksa keluar oleh gurunya, yanki KH. Cholil dengan alasan karena sekolah tersebut milik Belanda. Akhirnya, Bisri kembali sekolah di Ongko Loro hingga mendapatkan sertifikat dengan masa pendidikan empat tahun.4

Setelah lulus dari Ongko Loro, Bisri melanjutkan belajar di Pesantren Kasingan, pimpinan KH. Cholil. Pada awalnya ia tidak berminat belajar di pesantren sehingga hasil yang dicapai saat awal-awal mondok sangat tidk memuaskan. Hal ini dikarenakan pelajaran di pesantren dianggap terlalu sulit, kurang mendapat respon baik dari teman-temannya. Karena tidak betah di pondok, Bisri berhenti mondok dan lebih sering bermain dengan teman-teman sekampungnya.5

Setelah berhenti mondok selama beberapa bulan, pada permulaan tahun 1930 Bisri diperintahkan untuk kembali belajar di Kasingan dan dipasrahkan kepada Suja’i (ipar KH. Cholil) yang mengajari Bisri dengan berbagai pelajaran hingga dikuasainya dengan baik. Di pondok ini banyak sekali ilmu yang didapat, seperti Alfiyah ibn Ma>lik, Fath} Mu‘i>n, Fath}

3H. M. Bibit Suprapto, Ensikolpedi Ulama Nusantara (Jakarta: Gelegar Nedia Indonesia, 2009), 270.

4Fejrian Yazdajird Iwanebel, “Corak Mistis Dalam Penafsiran KH. Bisri Mustofa: Telaah Analitis Tafsir Al-Ibri>z”, Rasail, Vol. 1, No. 1 (2014), 20.

43

Wahha>b, Iqna’, Jam‘ al-Jawa>mi‘, ‘Uqu>d al-Lujayn, dan lain sebagainya dalam kurun waktu yang cukup singkat. Sejak tahun 1933, Bisri telah dipandang sebagai santri yang memiliki kelebihan hingga ia sering diminta sebagai rujukan oleh teman-temannya.6

Dalam pergulatan intelektualnya, Bisri melanjutkan pendidikan dengan menjadi santri di Pesantren Termas yang diasuh oleh Kiai Dimyathi.7 Selain itu ia juga mendgikuti khataman kitab S}ah}i>h} Muslim dan Tajri>d al-Bukha>ri> kepada H}ad}rat al-Shaykh Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang yang dimulai sejak 21 Sha‘ba>n 1354.8

Di usianya yang ke dua puluh tahun, Bisri dinikahkan oleh gurunya, yakni KH. Cholil dari Kasingan dengan putrinya yang bernama Ma’rufah. Dari pernikahannya ini ia dikarunia 8 orang anak, yakni Cholil, Musthofa, Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah, dan Atikah.9 Seiring berjalannya waktu, tanpa sepengetahuan keluarganya termasuk istrinya, Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal yang bernama Umi Atiyah pada tahun 1967. Dari pernikahan keduanya ini, ia dikaruniai seorang anak bernama Maemun.

Setahun setelah dinikahkan dengan putri KH. Cholil, Bisri berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama dengan beberapa keluarganya dari Rembang. Namun seusia haji ia tidak kembali pulang ke

6Fejrian Yazdajird Iwanebel, “Corak Mistis Dalam Penafsiran KH. Bisri Mustofa: Telaah Analitis Tafsir Al-Ibri>z”, Rasail, Vol. 1, No. 1 (2014), 26.

7Saifullah Ma’sum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung: Mizan, 1998) 322.

8Musthofa, Sejarah Pribadi, 15.

9Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah Kiai Bisri Mustofa (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005), 21.

44

tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana. Di Mekah ia belajar dari satu guru ke guru lain secar langsung dan privat. Tercatat, Bisri pernah belajar kepada Syekh Baqil, asal Yogyakarta, Syekh Umar Hamdan al-Maghriby, Syekh Ali Malik, Sayid Amid, Syekh Hasan Massath, Sayid Alwi, dan KH. Abdullah Muhaimin.10

Setelah dua tahun lebih belajar di Mekah, Bisri pulang ke tanah air atas perintah KH. Cholil. Setahun setelah kepualangannya, gurunya tersebut meninggal dunia dan ia menggantikan posisi guru sekaligus mertuanya tersebut sebagai pimpinan pesantren. Oleh karena pendudukan Jepang, pondok pesantren tersebut dihanguskan. Kemudian Bisri melanjutkan membuat pesantren di Leteh Rembang yang diberi nama Raudhatu at-Thalibin. 11

Selain mengajar di pesantren, Bisri juga aktif mengisi pengajian-pengajian keagamaan. Ia juga seorang politikus handal yang disegani semua kalangan. Sebelum NU keluar dari Masyumi, Bisri termasuk salah seorang yang berjuang di Masyumi. Setelah NU menyatakan keluar dari Masyumi, ia berjuang di NU. Pada pemilu 1955, Bisri terpilih menjadi angoota konstituante yang merupakan wakil dari NU. Pada tahun 1959, ia ditunjuk sebagai anggota MPRS dari kalangan ulama. Ketika pemerintahan Orde Baru menerapkan penggabungan atas partai-partai yang ada, partai NU juga dituntut untuk berafiliasi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Bisri pun akhirnya bergabung dengan PPP dan memperjuangkan partai

10Fejrian Yazdajird Iwanebel, “Corak Mistis Dalam Penafsiran KH. Bisri Mustofa: Telaah Analitis Tafsir Al-Ibri>z”, Rasail, Vol. 1, No. 1 (2014), 25.

45

tersebut. Hingga pada akhirnya, ia wafat pada hari Rabu tanggal 17 Februari 1977 (27 Shafar 1397 H).12

Bisri mempunyai perawakan yang tinggi, besar, dan gagah sehingga menimbulkan kesan berwibawa dan menyenangkan. Di antara sifat-sifat keteladanan yang menonjol dari dirinya adalah memiliki kasih sayang antar sesama, sangat dermawan, memiliki pendirian yang teguh, memiliki ambisi yang besar, menghormati orang yang berilmu, dan sebagainya.13

Dokumen terkait