• Tidak ada hasil yang ditemukan

Femy Amalia Arizi Putri lahir di Jakarta pada tanggal 19 Desember 1991. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Zulkifli H.S. dan Nurarini. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-kanak (TK) Aisiyah 32 pada tahun 1996-1997. Kemudian melanjukan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) 01 Cipedak pada tahun 1997-2003, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 131 Jakarta pada tahun 2003-2006, dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 49 Jakarta pada tahun 2006-2009. Setelah lulus dari jenjang pendidikan SMA, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama penulis menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti organisasi dan kegiatan kepanitiaan. Penulis aktif dalam organisasi mahasiswa saat di asrama, yaitu Tim PPAMB Asrama TPB IPB pada periode kepengurusan 2009-2010 (Divisi Kegiatan). Penulis juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan lain, yaitu Ikatan Mahasiswa Peminat Ekologi Manusia (IMPEMA) pada periode kepengurusan 2010-2011 dan 2011-2012 sebagai anggota Divisi Riset dan Pengembangan Masyarakat; Sanggar Juara periode kepengurusan 2010-2011 (Anggota) dan 2011-2012 (Divisi Human Research and Development); Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) pada tahun 2011-2012 (Divisi Research and Development). Penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan dalam beberapa acara di IPB, seperti kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Departemen (MPD) Sains Komuninikasi dan Pengembangan Masyarakat dan Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Ekologi Manusia, dan berbagai kepanitiaan di organisasi.

ABSTRAK

FEMY AMALIA ARIZI PUTRI. Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh WINATI WIGNA.

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha WKRT; menganalisis hubungan karakteristik WKRT dengan peluang bekerja dan berusaha; dan menganalisis hubungan peluang bekerja dan berusaha WKRT dengan tingkat upah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan didukung dengan kualitatif. Secara umum WKRT memiliki ideologi gender kuat, peluang bekerja dan berusaha yang sulit, dan tingkat upah rendah. Ideologi gender berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha, peluang bekerja dan berusaha tidak berhubungan dengan tingkat upah, karakteristik usia berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha, karaktersitik lamanya menjadi WKRT tidak berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha, dan karakteristik tanggungan anak tidak berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha.

Kata kunci: wanita kepala rumah tangga, ideologi gender, karakteristik, peluang bekerja dan berusaha, tingkat upah

ABSTRACT

FEMY AMALIA ARIZI PUTRI. The Opportunity to work and business Women Head of Household (WHH) and Influence to wage rate in Cihideung Udik’s village, Bogor’s regency. Supervised by WINATI WIGNA.

The objectives of this research are: to analyze gender's ideology associated with opportunity to work and business WHH, to analyze characteristic associated with opportunity to work and business WHH, to analyze opportunity to work and business associated with wage rate WHH. This research was using quantitative method and supported by qualitative. In common show that respondent majority have categorised gender’s ideology strong, opportunity to work and business are hard, dan low wage rate. Gender's ideology is associated with opportunity to work and business, opportunity to work and business is not associated with wage rate, age characteristic is associated with opportunity to work and business, the duration as WHH and child responsibility characterisic are not associated with opportunity to work and business.

Keywords: women head of household, gender's ideology, characteristic, opportunity to work and business, wage rate

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian ini. Subbab latar belakang menjelaskan alasan penelitian ini dilakukan. Subbab perumusan masalah menjelaskan hal-hal apa saja yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Sementara itu, subbab tujuan penelitian mengarahkan untuk menjawab perumusan masalah yang telah dibuat dan mengarahkan pencari data yang dibutuhkan. Subbab yang terakhir dalam bab ini adalah kegunaan penelitian yang menjelaskan manfaat dari penelitian ini.

Latar Belakang

Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang yang biasanya tinggal bersama dalam satu bangunan serta pengelolaan makan dari satu dapur, maksudnya jika pengurusan kebutuhan sehari-harinya dikelola bersama-sama jadi satu (BPS 2012). Satu rumah tangga dapat terdiri dari hanya satu anggota rumah tangga. Rumah tangga memiliki kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas rumah tangga yang dipimpinnya. Kepala rumah tangga identik dengan pria yang memimpin, namun di dalam masyarakat juga terdapat wanita yang berperan sebagai kepala rumah tangga.

Sajogyo dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) dapat dijelaskan baik secara de jure maupun secara de facto. Definisi WKRT yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ialah secara de jure, yaitu wanita yang memang hidup berumah tangga sendiri dalam arti tidak menikah, atau bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Sementara itu secara de facto, wanita yang menjadi kepala rumah tangga ialah karena wanita itu merantau tanpa suami atau wanita itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri, dan wanita yang suaminya tidak mampu secara fisik atau mental sebagai pengelola rumah tangga.

Jumlah WKRT terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011.

Budaya yang paling dominan di Indonesia ialah budaya patriarkhi. Menurut Rianingsih (2005), patriarkhi secara luas mengacu pada dominasi pria pada hubungannya dengan kekuasaan, yaitu pria mendominasi wanita dengan berbagai cara tetap berada di bawah (subordinat). Negara juga turut mempertegas dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pada pasal 31 dan 34, dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan di Indonesia, kepala rumah tangga adalah suami atau pria. Kedua hal tersebut menempatkan wanita dalam posisi subordinat apalagi wanita yang menjadi kepala rumah tangga.

Konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai dan konstruksi sosial budaya seringkali memandang masing-masing jenis kelamin

2

dari segi seks bukan dari segi kemampuan. Kuatnya nilai sosial budaya patriarkhi di Indonesia lalu didukung dengan adanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang menyebabkan semakin kuatnya ideologi gender di masyarakat. Ideologi gender adalah suatu pemikiran yang dianut masyarakat mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam akses dan kontrol. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Adanya ideologi gender yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial budaya mengakibatkan ketidakadilan gender, seperti subordinasi, marginalisasi, beban kerja banyak, kekerasan, dan stereotipe (Handayani dan Sugiarti 2008). Hal tersebut seringkali merugikan wanita begitu pula WKRT. Posisi WKRT menjadi sulit baik dalam hukum yang berlaku maupun dalam kehidupan sosialnya. WKRT yang secara de jure dipersulit oleh ideologi gender sedangkan WKRT secara de facto statusnya tidak diakui secara hukum dan dipersulit juga dengan ideologi gender. Hal tersebut menyebabkan kepala rumah tangga wanita sering didiskriminasi haknya dalam berbagai bidang seperti sosial politik, ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. Sementara itu, WKRT harus memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan bekerja dan berusaha. Namun, dalam proses bekerja dan berusaha tersebut mereka mengalami kesulitan, status yang seringkali dianggap negatif membuatnya menjadi tidak percaya diri dan Wigna (1990) menyatakan bahwa status pekerjaan mereka cenderung sektor tradisional dan informal. Tak heran apabila rumah tangga yang dikepalai wanita umumnya miskin dengan tingkat pendapatan yang rendah dalam strata sosial ekonomi di Indonesia.

Wanita sebagai pencari nafkah utama di Indonesia sebesar 14%-17% dan akan terus bertambah karena migrasi musiman, keluarga berantakan, kematian atau permanen migran dari male breadwinner, inilah alasan bertambahnya WKRT (Hubeis 2010). Hubeis (2010) juga menambahkan bahwa WKRT yang termasuk dalam kelompok termiskin secara langsung terkait pada status ekonomi, yaitu tidak adanya peluang ekonomi dan otonomi, kurangnya akses ke pendidikan, dan jasa pendukung, serta minimnya partisipasi dalam penentuan keputusan. Sementara itu WKRT menjadi penopang dalam memenuhi rumah tangganya dengan bekerja dan berusaha. Namun, wanita dalam hal ini WKRT kurang diberikan kesempatan kerja. BPS (2011) melalui Susenas tahun 2009- 2011, angka partisipasi kerja wanita yang menjadi kepala rumah tangga lebih rendah (61.72%) dibandingkan angka partisipasi kerja pria yang menjadi kepala rumah tangga (92.80%). Oleh karena itu, perlu digali lebih dalam gambaran kesulitan wanita bila menjadi kepala rumah tangga yang umumnya berada dalam kelompok termiskin ketika bekerja dan berusaha.

Masalah Penelitian

Secara umum perkembangan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) telah mengalami peningkatan sejak tahun 1970-an. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya

3 kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011. Selain itu juga terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada perceraian hidup atau mati baik di desa maupun di kota. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wanita menjadi kepala rumah tangga, yaitu adanya industrialisasi, perceraian, dan migrasi. Konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai dan konstruksi sosial budaya seringkali memandang masing-masing jenis kelamin dari segi seks bukan dari segi kemampuan, kesempatan secara universal yang menyebabkan ketidakadilan gender. Banyak aplikasi gender di masyarakat yang belum sesuai dengan yang diharapkan karena masih dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dan telah menghasilkan ketidakadilan gender. Ideologi gender merupakan suatu pemikiran yang dianut oleh masyarakat mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Ideologi gender akan menghasilkan ketidakadilan gender. Perumusan masalah yang pertama adalah sejauh mana ideologi gender berhubungan dengan peluang berusaha dan bekerja WKRT. Lalu perumusan kedua adalah sejauh mana karakteristik WKRT berhubungan dengan peluang berusaha dan bekerja WKRT.

Nilai sosial dan budaya yang berlaku cenderung merugikan wanita apalagi WKRT, masih saja ada label negatif di masyarakat terhadap status WKRT. Hal tersebut berpengaruh terhadap rumah tangga yang dikepalai wanita sehingga mereka menjadi pihak yang tidak diuntungkan. Posisi ini tentunya akan berdampak pada peluang bekerja dan berusaha di mana hal ini berhubungan dengan tingkat upah yang diperolehnya. Perumusan masalah yang ketiga adalah sejauh mana peluang bekerja dan berusaha WKRT berhubungan dengan tingkat upah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini akan melihat peluang bekerja dan berusaha kepala rumah tangga. Fokus penelitiannya, yaitu peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga dan pengaruhnya terhadap tingkat upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan dalam menganalisis hubungan ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha WKRT; menganalisis hubungan karakteristik WKRT dengan peluang bekerja dan berusaha; dan menganalisis hubungan peluang bekerja dan berusaha WKRT dengan tingkat upah.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu gender khususnya terfokus pada Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT). Selanjutnya kegunaan praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi beberapa kalangan, antara

4

lain: (1) bagi kalangan pemerintah Kabupaten Bogor, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi yang bermanfaat dalam menentukan arah kebijakan yang turut memperhitungkan WKRT pada masa yang akan datang; (2) bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan mampu menyumbang penelitian dan mampu mendorong berkembangnya penelitian mengenai WKRT; (3) bagi masyarakat Desa Cihideung Udik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan mereka mengenai gambaran WKRT dalam bekerja dan berusaha dan pengaruhnya terhadap tingkat upah.

5

PENDEKATAN TEORETIS

Bab ini menjelaskan tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, dan definisi operasional. Subbab tinjauan pustaka berisi bahan pustaka yang dirujuk berasal dari beberapa sumber berupa buku dan hasil penelitian sebelumnya. Subbab kerangka pemikiran menjelaskan variabel-variabel yang diuji dalam penelitian ini. Subbab hipotesis penelitian memaparkan proposisi yang diuji dalam penelitian ini dan subbab definisi operasional memaparkan kriteria dan standar pengkategorian masing-masing variabel yang diuji.

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka memuat telaah singkat, jelas, dan sistematis tentang kerangka teoretis, hasil-hasil penelitian yang relevan yang melandasi masalah penelitian atau gagasan guna menggali pemahaman mengenai masalah penelitian dan pemecahan masalahnya. Subbab ini terdiri dari gender dan ketidakadilan gender, wanita kepala rumah tangga, karakteristik wanita kepala rumah tangga, faktor yang menyebabkan peningkatan wanita kepala rumah tangga, posisi wanita kepala rumah tangga terhadap hukum di Indonesia, peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga,

Gender dan Ketidakadilan Gender

Analisis gender merupakan alat analisis untuk memahami realitas sosial, serta memahami bahwa pokok persoalannya ialah sistem dan struktur yang tidak adil. Pemahaman antara konsep gender dengan konsep seks diperlukan untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum wanita. Handayani dan Sugiarti (2008) menyatakan,

“..di mana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi akibat ketidakadilan gender sementara kaum lelaki mengalami dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender”.

Seks ialah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis antara pria dan wanita yang memiliki fungsi organisme yang berbeda, fungsinya tidak dapat dipertukarkan, ketentuan Tuhan (kodrati). Handayani dan Sugiarti (2008) juga menjelaskan konsep gender, yaitu sifat yang melekat pada kaum pria dan wanita yang terbentuk oleh faktor sosial maupun budaya, pembedaan peran dan fungsi antara pria dan wanita menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing- masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Fungsi dan peranan antara pria dan wanita dapat dipertukarkan. Hal ini sangat berkaitan dengan faktor sosial, geografis, dan kebudayaan suatu masyarakat seperti pada Tabel 1. Hubeis (2010) juga menyatakan, bahwa gender adalah suatu konsep yang merujuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara pria dan wanita yang ditentukan oleh sosial budaya, politik dan ekonomi di mana cara dan proses implementasi gender

6

dikonstruksikan di masyarakat. Jadi, gender dapat diartikan sebagai perbedaan antara pria dan wanita dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya, adat istiadat dari kelompok masyarakat.

Proses sosialisasi yang berjalan secara turun temurun akan mempengaruhi perkembangan visi, emosi, ideologi, fisik dan biologis masing-masing jenis kelamin. Hal inilah yang akhirnya melahirkan keyakinan masyarakat tentang bagaimana pria dan wanita berpikir, bertindak, serta terciptanya norma-norma atas “pantas” atau “tidak pantas” masing-masing jenis kelamin yang sesuai dengan ketentuan sosial tersebut. Perbedaan gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya seringkali telah melahirkan berbagai ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender. Hubeis (2010) menyatakan bahwa sosialisasi nilai-nilai gender yang mencakup sosialisasi sifat, cara bertingkah laku dan peran telah ditanamkan sejak masih dalam kandungan hingga berakhir masa hidup. Kebanyakan kepercayaan yang muncul di masyarakat -seperti wanita berfungsi 3 m (masak, macak, manak) sedangkan pria pantang memasak, mencuci, dan melakukan kegiatan rumah tangga- menguntungkan kaum pria dan meminggirkan kaum wanita. Hal tersebut juga mengakibatkan wanita sudah tersosialisasi untuk melakukan peran domestik, yaitu mengurus rumah tangga, mengasuh anak, dan melayani suami. Sementara pria disosialisasikan untuk berperan publik, yaitu melindungi dan menafkahi anak dan istri.

Tabel 1 Perbandingan antara gender dan seks

Karakteristik Seks Gender

Sumber pembeda Tuhan Manusia (masyarakat)

Visi, misi Kesetaraan Kebiasaan

Unsur pembeda Biologis (alat reproduksi) Sosiologis (tingkah laku) Sifat Kodrat, tertentu, tidak

dapat dipertukarkan

Harkat, martabat, dapat dipertukarkan

Dampak Terciptanya nilai-nilai

(kesempurnaan,

kenikmatan, kedamaian) sehingga menguntungkan kedua belah pihak

Terciptanya norma-norma/ ketentuan tentang

kepantasan, seringkali merugikan salah satu pihak dan biasanya adalah

perempuan Keberlakuan Sepanjang masa, di mana

saja, tidak mengenal pembedaan kelas

Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas Sumber: Handayani dan Sugiarti (2008)

Perbedaan gender mengakibatkan ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja lebih berat. (1)Marginalisasi disebut juga pemiskinan ekonomi, sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan. (2)Subordinasi adalah anggapan bahwa wanita tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Hal ini terlihat dalam prosentase jumlah pekerja wanita, penggajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hak-hak wanita

7 yang berkaitan dengan kodratnya belum terpenuhi. Bentuk subordinasi terlihat juga dengan pengkategorian semua pekerjaan yang termasuk domestik dan reproduksi yang dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi terhadap pekerjaan produksi. (3)Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan antara pria dan wanita. Hal ini mengakibatkan peluang wanita bekerja di luar rumah sangat terbatas. (4)Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun mental psikologis seseorang. Budaya yang didominasi oleh pria menyebabkan kekerasan sering terjadi terhadap wanita seperti untuk memenangkan perbedaan pendapat dan menyatakan rasa tidak puas yang menunjukkan bahwa pria berkuasa atas wanita. (5)Beban kerja wanita lebih berat karena peran wanita yang berkembang justru menambah perannya, dan umumnya wanita mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan pembangunan (Handayani dan Sugiarti 2008).

Persentase wanita yang berada di sektor publik masih lebih rendah dibandingkan pria. Wanita yang berada di sektor publik berarti telah melakukan kegiatan produktif, yaitu menghasilkan produksi barang atau jasa, namun seringkali dipersulit. Konstruksi sosial budaya juga menentukan jenis pekerjaan yang cocok dan tidak cocok untuk dilakukan seorang wanita karena dianggap lemah maka hanya dapat melakukan pekerjaan ringan, sedangkan pria dapat dianggap dapat melakukan pekerjaan berat. Terdapat permasalahan ketika yang bekerja di sektor publik adalah wanita yang bertujuan menopang kehidupan rumah tangganya atau dapat disebut sebagai wanita kepala rumah tangga. Mereka akan memiliki beban yang lebih berat karena di samping bekerja di sektor publik, mereka juga bekerja di sektor domestik. Stereotipe terhadap status WKRT dari masyarakat bahkan konstruksi sosial di masyarakat (yang menempatkan wanita di sektor domestik) akan menghambat kegiatan wanita sebagai kepala rumah tangga yang pada akhirnya mempersulit mereka dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut akan berbeda ketika yang berada di sektor publik adalah pria apalagi pria sebagai kepala rumah tangga. Pria lebih mudah melakukan kegiatan produktif karena konstruksi sosial di masyarakat memandang pria pantas bekerja di sektor publik. Hal ini memudahkan pria sebagai kepala rumah tangga memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehingga kesejahteraan mereka lebih tinggi dibandingkan wanita kepala rumah tangga. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai dan konstruksi sosial budaya seringkali memandang masing-masing jenis kelamin dari segi seks bukan dari segi kemampuan, kesempatan secara universal yang menyebabkan ketidakadilan gender.

Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT)

Secara umum perkembangan Wanita sebagai Kepala Rumah Tangga (WKRT) telah mengalami peningkatan sejak tahun 1970-an. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Jumlah WKRT yang meningkat terutama bagi mereka yang muda atau berusia 10-24 tahun dan bertempat tinggal di daerah perkotaan serta berstatus belum kawin. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya

8

kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011. Selain itu juga terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada perceraian hidup atau mati baik di desa maupun di kota.

Perubahan status sosial wanita menjadi kepala rumah tangga dapat disebabkan oleh perceraian (cerai mati atau cerai hidup) atau proses migrasi. Menurut Sajogyo dalam Gardiner dan Surbakti (1991), status sosial wanita kepala rumah tangga dapat dijelaskan, baik secara de jure maupun secara de facto. Secara de jure menggambarkan wanita sebagai kepala rumah tangga karena memang hidup berumah tangga sendiri, dalam arti tidak menikah atau karena bercerai (cerai hidup, cerai mati). Secara de facto menggambarkan wanita sebagai kepala rumah tangga karena wanita merantau tanpa suami atau wanita itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri. Wanita kepala rumah tangga adalah wanita yang belum kawin, cerai atau janda, dan tinggal sendiri atau bersama anak-anak atau anggota rumah tangga lainnya, serta

Dokumen terkait