BAB III SETTING SOSIAL PERJUANGAN PANGLIMA
3.2 Riwayat Pendidikan Panglima Polem IX
diangkat sebagai kosai kyokutyo (kepala urusan kesejahteraan) pada 28 desember 1948 diangkat sebagai Asisten Residen Aceh merangkap ketua kemakmuran keresidenan Aceh.7
selanjutnya yaitu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Kutaradja, setelah beberapa tahun ia menempuh pendidikan MULO namun ia tidak menyelesaikanya, hal ini mengacu bahwa dengan usianya semakin dewasa lantas bertambah pula wawasan ilmu pengetahuanya dalam melihat sesuatu dari sudut pandang positif sehingga lebih bijak menanggapi sebuah masalah atau situasi.
Teuku Panglima Polem Muhammad Ali sekolah di ELS tersebut seangkatan dengan Teuku Muhammad Hasan Ibrahim dan Teuku Muhammad Daud Syah dari kenegerian Idie Rayeuk.10
Teuku Muhammad Ali Panglima Polem layaknya anak bangsawan namun ia tidak terlepas dari pergaulan dengan anak- anak masyarakat biasa, walaupun dalam lingkungan sekolah pergaulanya mayoritas dengan anak-anak eropa dan bangsawan. ia benar-benar memimilih teman yang memiliki pola pikir yang maju bukan bedasarkan materi atau ras melainkan memiliki kepandaian yang selevel dan karakter yang baik. sehingga mempengaruhinya tidak mau menyelesaikan pendidikan mulo di kutaradja. Karena mengingatkan pendidikan yang ia tempuh selama ini menanamkan rasa benci kepada ulama dan kaumnya.
Hal ini bedasarkan penjelasan Snouck Hurgronje seorang ahli ilmu keislaman yang menjabat sebagai penasehat politik Pemerintah Hindia Belanda di Aceh menyarankan kepada pemerintah Belanda, bahwa pemerintahan Belanda tidak akan bisa menguasai kaum pribumi Aceh dengan strategi perang, cara terbaik untuk bisa menguasai Aceh adalah dengan cara menerapkan strategi pendidikan sekuler, melalui strategi pendidikan sekuler maka islam sebagai agama akan bisa dijauhkan dari kaum pribumi Aceh, apabila ini berhasil dikembangkan dengan baik, maka di indonesia akan lahir generasi muda yang sekuler yaitu generasi muda yang memiliki persepsi negatif pada Islam sebagai agama
10 Nazaruddin Syamsuddin, Revolusid di Serambi Mekah: Perjuangan Kemerdekaan Dan Pertarungan Politik Aceh 1945-1949, (Jakarta: UI Press 1998), hlm, 25.
dan memuja-muja pemikiran yang dihasilkan oleh ilmuan barat.
Pemeritahan Belanda melakukan usaha untuk mengantikan pendidikan ulama dengan membangun suatu sistem sekolah umum yang terus-menerus menyalahartikan isi Al Quran.11
Pendirian sekolah ini bukan disebabkan oleh maksud yang baik untuk persedian pegawai-pegawai yang terpelajar tetapi sebagai suatu bagian yang menyeluruh dari strategi paritifikasi penertiban daerah Aceh yang menetapkan untuk mendidik anak- anak Uleebalang sebagai calon-calon raja di masa depan.
Kemudian saran tersebut dilakukan karena kekhawatiran anak-anak Uleebalang yang dekat dengan pemimpin agama akan menjadi seorang yang menentang pemerintah Hindia Belanda di Aceh. Hal ini dikarenakan keyakinan belanda bahwa semua pendidikan agama dan pelajaran Alquran yang diberikan oleh kaum ulama kepada anak-anak Aceh semakin menanamkan jiwa Nasionalisme rakyat Aceh saat itu dan semakin membuat rasa benci mareka kepada kaum kafir sebagai penjajah.
Teuku Panglima Polem Muhammad Ali orang yang tidak menginginkan jabatan tinggi dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda, hal ini karena sejak kecil ia telah dipersiapkan oleh ayahnya Teuku Panglima Polem Muhammad Daud untuk menjadi calon panglima sagi XXII, untuk itu ia di didik dengan pendidikan Islam, adat istiadat leluhur kerajaan Aceh, dan ilmu bela diri dari militer yang bertujuan agar Teuku Panglima Polem Muhammad Ali kelak sebagai Panglima Sagi XXII menjalankan memudahkan tugasnya dalam menghadapi tantangan dari masyarakat maupun pihak Belanda.
Disisi lain Teuku Panglima Polem Muhammad Ali adalah seorang murid yang paling dekat dengan Syeikh Ibrahim Ayahanda, seorang ulama di Aceh Besar yang terang-terangan menantang penjajahan Belanda. Selain peranya sabagai ulama,
11 Anthony Reid, perjuangan rakyat : revolusi dan hancurnya kerajaan
di sumatera, Terj. Tim PSH, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 52.
Syeikh Ibrahim Ayahanda adalah salah seorang kepercayaan ayahnya Teuku Panglima Polem Muhammad Daudyang berperan sebagai ahli politik di Aceh Besar yang saat itu sebagai pusat militer seluruh Aceh. Teuku Panglima Polem Muhammad Ali banyak belajar Ilmu Politik bersama Syeikh Ibrahim Ayahanda.
Selain di Aceh Teuku Panglima Polem Muhammad Ali juga pergi ke jawa untuk belajar ilmu politik, hal ini sebagaimana dalam tulisan Ali Hasjmy menuliskan bahwa ketika muda Teuku Muhammad Ali pergi ke jawa untuk mempelajari politik lebih dalam, di jawa ia kemudian bertemu dengan banyak tokoh pergerakan nasional seperti Haji Agus Salim, Abi Kusno, M. Husni Thamrin, A.K, Gani, HOS Cokroaminoti, Dr Sutomo dan dr.
Syamsi yang kemudia ia banyak belajar ilmu politik dan ilmu koperasi/ekonomi pada dr Syamsi.12
Teuku Panglima Polem Muhammad Ali pergi ke tanah jawa tanpa sepengetahuan ayahnya Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, ia pergi secara diam-diam untuk mempelajari ilmu politik.sehingga dengan adanya peristiwa tersebut Teuku Panglima Polem Muhammad Daud pun lantas mendapat teguran dari pihak pemerintahan belanda agar memberi tahu anaknya untuk tidak ikut campur dalam urusan politik di Aceh. Akan tetapi teguran dari pemerintah Belanda di tolak secara tegas oleh Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan Syeikh Ibrahim Ayahanda.13
Datangnya belanda ke Aceh tentu membawa dampak yang besar bagi masyarakat Aceh, belanda banyak melakukan kebijakan- kebijakan yang memberatkan rakyat Aceh. Kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah belanda secara tidak langsung membuat kehidupan rakyat aceh semakin terbelakang. Hal inilah yang kemudian melatar belakangi ke-tidaksukaan Teuku Panglima Polem Muhammad Ali terhadap pemerintah belanda.
12 A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan
Pembangunan Tamaddun Bangsa (Jakarta: bulan bintang, 1997), hlm. 66.
13 A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan.., hlm. 67.
Ketidaksukaan Teuku Panglima Polem Muhammad Ali sudah tampak ketika ia masih anak-anak. Hal tersebut juga di dukung oleh pengaruh agama islam yang dianutnya sangat kuat, bahwa menerima kekuasaan kafee (kafir) adalah hal yang buruk. Sebagai seorang penganut agama yang baik adalah suatu kewajiban agama untuk melakukan perang sabi untuk menentang pemerintah kafir.14
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Teuku Panglima Polem Muhammad Ali adalah sosok yang sangat Sosialis bertolak belakang dengan seseorang bangsawan Aceh lainya yang pada saat itu mempunyai hubungan yang tidak baik dengan masyarakat pribumi. bedasarkan hasil Wawancara bahwa kaum- kaum Uleebalang pada saat itu dibagi menjadi dua kelompok, pertama kaum Uleebalang yang di angkat oleh belanda dan kedua Uleebalang yang di angkat oleh ulama. Teuku Panglima Polem Muhammad Ali adalah seorang Uleebalang yang di pilih oleh ulama. Hal ini dapat dilihat kepedulian Syeikh Ibrahim Ayahanda seorang ulama kharismatik di Aceh Besar, secara tegas membela Teuku Panglima Muhammad Ali dari teguran pemerintah Belanda.
Teuku Muhammad Ali Panglima Polem semenjak kecil sudahmemperlihatkan minat besar belajar agama, karena jiwanya di bentengi dan dikokohkan dengan nilai-nilai agama, ia semakin tidak menginginkan jabatan yang tinggi dalam sistem pemerintahan belanda.15