BAB 3 ASAS-ASAS HUKUM
D. Ruang Lingkup Asas Hukum
Ditinjau dari ruang lingkupnya, asas hukum terbagi menjadi dua macam, yaitu asas hukum umum dan asas hukum khusus. Asas hukum umum yakni asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum. Contohnya asas restitutio in integrum (pengembalian kepada keadaan semula), asas lex posteriori derogat legi priori (peraturan yang baru akan menghapus peraturan yang lama sejauh mengatur objek yang sama), asas lex speciali derogat legi generali (peraturan yang lebih khusus akan mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum), asas lex superior derogat legi inferior (peraturan yang lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah), dan asas bahwa apa yang lahirnya tampak benar, untuk sementara harus dianggap demikian sampai diputus (lain) oleh hakim.
Asas hukum khusus merupakan asas yang berlaku dalam lapangan hukum tertentu. Asas yang khusus berfungsi dalam bidang yang
lebih sempit seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana dan sebagainya. Asas hukum ini lebih merupakan penjabaran dari asas hukum umum, seperti asas pacta sunt servanda (perjanjian yang sudah disepakati berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang bersangkutan). Asas konsensualisme di mana asas berlaku manakala telah terjadi kesepakatan antara para pihak. Asas ini sangat erat hubungannya dengan prinsip kebebasan dalam mengadakan perjanjian. Selanjutnya dalam hukum pidana berlaku presumption of innocence ( asas praduga tak bersalah), dan asas legalitas. Makna yang terkandung dalam asas praduga tak bersalah sebagai asas utama perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of law), yang mencangkup sekurang-kurangnya : 1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat
negara.
2. Pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa.
3. Sidang pengadilan harus terbuka (tidak boleh bersifat rahasia).
4. Tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya (Sasmita, 2011).
Asas hukum umumnya bersifat dinamis, namun ada juga asas hukum yang bersifat universal yang berlaku kapan saja dan di mana saja, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat. Sifat universal (universaliteits-beginsel) melihat bahwa pada suatu tata hukum, terlibat kepentingan bersama di semua negara di dunia (Prodjodikoro, 2003).
Setidaknya ada lima asas hukum universal yaitu: asas kepribadian, asas persekutuan, asas kesamaan, asas kewibawaan, dan asas pemisahan antara baik dan buruk. Asas kepribadian, persekutuan, kesamaan, dan kewibawaan merupakan asas hukum universal yang terdapat dalam setiap sistem hukum. Tidak ada sistem hukum yang tidak mengenal asas universal tersebut. Ada kecenderungan dari setiap asas hukum yang empat itu untuk menonjol dan mendesak
yang lain. Empat asas hukum yang universal tersebut didukung oleh pikiran bahwa dimungkinkan memisahkan antara baik dan buruk, asas hukum yang kelima. Asas hukum yang kelima menjadi pedoman tentang apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang seyogyanya tidak dilakukan, atau pemisahan antara yang baik dan buruk.
Manusia menginginkan adanya kebebasan individu dan ingin memperjuangkan kepentingannya. Perbuatan hukum yang dilakukan setiap individu tidak boleh merugikan individu lain atau berdampak buruk bagi orang lain (Ishaq, 2008). Asas kepribadian itu menunjuk pada pengakuan kepribadian manusia, bahwa manusia adalah subjek hukum, penyandang hak dan kewajiban.
Tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia. Manusia ingin bebas memperjuangkan hidupnya. Asas hukum ini pada dasarnya terdapat di seluruh dunia, walaupun bentuknya bervariasi satu sama lain. Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang agama atau kebudayaannya merupakan subjek hukum. Manusia sebagai pembawa hak (subjek), mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan tindakan hukum (Ishaq, 2008).
Asas persekutuan merupakan asas yang menghendaki terciptanya tatanan masyarakat yang tertib, seimbang, dan terjamin kepastian dalam hubungan kemasyarakatan. Masyarakat di manapun menginginkan suasana tersebut, walaupun manusia secara individu menginginkan kebebasan yang mengarah kepada ketentraman atau ketenangan pribadi (Ishaq, 2008).
Asas kesamaan hukum menghendaki setiap orang dianggap sama dalam hukum. Keadilan adalah apabila setiap orang memperoleh hak yang sama, dan diperlakukan sama tidak dibeda-bedakan (equality before the law). Kesamaan realisasinya adalah keadilan.
Menurut cara pandang fi lsafat hukum, keadilan merupakan tujuan dari terbentuknya hukum. Hukum diadakan sebagai upaya untuk
meraih sebuah keadilan. Asas hukum keadilan ini telah dikenal sepanjang zaman (Wasitaatmadja, 2015)
Rawls mengemukakan ada tiga asas untuk mencapai keadilan.
Pertama, asas kebebasan yang sama sebebas-bebasnya (principle of greatest equal liberty). Makna kebebasan meliputi kebebasan memperoleh keuntungan hak dari masyarakat dan keuntungan pribadi sepanjang tidak merugikan pihak lain, kebebasan dalam kehidupan politik (hak menyatakan pendapat), hak memilih dan dipilih, kebebasan pers, kebebasan berkeyakinan dan beragama, mempertahankan hak milik pribadi. Kedua, asas kejujuran (principle of fairness), yaitu prinsip permainan yang jujur dalam kesetaraan memperoleh kesempatan menduduki jabatan publik, kesempatan kerja dan berusaha. Ketiga, asas ketidaksetaraan di bidang ekonomi (principle of social and economic unequel). Secara faktual persamaan kebebasan melahirkan kesenjangan dalam sturktur dasar masyarakat, seperti kesenjangan antara yang kaya dan miskin, yang kuat dan lemah, elit dan rakyat jelata, majikan dan buruh.
Ketidaksetaraan sosial- ekonomi ini seyogyanya dibuat aturan hukum yang paling menguntungkan bagi golongan masyarakat yang berkedudukan paling lemah.
Rumusan keputusan hakim di Indonesia memuat “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Keadilan dalam kalimat tersebut sebagai nilai yang dijadikan dasar keputusan. Keadilan mendorong dibuatnya keputusan untuk suatu perkara yang diselesaikan di pengadilan, seperti keputusan tentang benar dan salah, dipenjara atau bebas, menang atau kalah dan sebagainya (Rhiti, 2011).
Dengan prinsip persamaan, sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang. Dikecualikan dari ungkapan ini kebijakan khusus yang dinamakan ‘affirmative actions’. Tujuannya untuk mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk
mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affi rmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adat tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum perempuan ataupun anak-anak terlantar (Asshiddiqie, 2004).
Asas pemisahan antara baik dan buruk merupakan bentuk pertanggugjawaban. Manusia telah diberi kebebasan oleh Tuhan untuk berbuat dengan segala potensi yang dimiliki. Seseorang dapat berbuat baik dan buruk, berbuat benar ataupun salah dengan penuh kesadarannya. Perbuatan baik atau buruk merupakan pilihan setiap orang. Meskipun pilihan bebas, setiap orang yang memilih tidak dapat bebas atas konsekuensi pilihannya. Seseorang akan bertanggungjawab secara individu atas konsekuensi pilihannya masing-masing (Wasitaatmadja, 2015).
Asas hukum juga tidak selamanya bersifat universal, karena beberapa asas hukum ada yang bersifat spesifi k, misalnya:
1. Asas the binding force of precedent, yaitu putusan hakim sebelumnya mengikat hakim-hakim lain dalam perkara yang sama. Asas khusus dianut dalam sistem hukum Anglo Saxon.
2. Asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenadi atau asas legalitas, yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali sebelumnya ada undang-undang yang mengaturnya.
Asas ini hanya dianut oleh masyarakat yang telah memiliki hukum tertulis.
3. Asas restitution in integrum, yaitu ketertiban dalam masyarakat haruslah dipulihkan pada keadaan semula, apabila terjadi
konfl ik. Asas ini digunakan dalam masyarakat sederhana yang cenderung menghindari konfi lik, dan budaya kompromistis.
4. Asas cogatitionis poena nemo patitur, yaitu tidak seorangpun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan dalam batinnya. Asas ini hanya berlaku pada masyarakat yang menerapkan sistem hukum sekuler. Sedangkan dalam hukum Islam, berniat jahat terhadap seseorang sudah merupakan sebab sehingga dapat dihukum.