• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang Lingkup, Keluaran, dan Manfaat Penelitian

Bab I. Pendahuluan

1.4. Ruang Lingkup, Keluaran, dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini menganalisis proses dan kemungkinan negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk suatu unit moneter regional di kawasan tersebut. Lankah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan kemungkinan integrasi ekonomi dan moneter di kawasan ASEAN+3. Pada bagian ini digunakan indikator laju inflasi, tingkat suku bunga jangka pendek, dan

kebijakan fiskal (general budget deficit dan public debt) negara-negara ASEAN+3

sebagaimana yang tertuang dalam konvergensi Maastricht criteria. Pada bahasan

ini pun akan diperoleh negara mana saja di kawasan ASEAN+3 yang sudah siap untuk membentuk suatu uni moneter regional, dan negara mana saja yang belum siap untuk perihal tersebut.

Kemudian dalam penelitian ini akan melakukan konstruksi ACU sebagai

parallel currency negara-negara di Kawasan ASEAN+3 dengan menggunakan

variabel Gross National Product (GDP) dan variabel perdagangan (Trade). Dalam

pembahasan ini akan diperoleh beberapa hal, antara lain (i) bobot masing-masing mata uang negara-negara ASEAN+3 dalam membentuk ASEAN+3, (ii)

pergerakan vis-à-vis antara nilai tukar ACU terhadap mata uang US Dollar, (iii)

nilai tukar mata uang domestik setiap negara-negara ASEAN+3 terhadap ACU, serta (iv) koridor pergerakan mata uang domestik setiap negara anggota ASEAN+3 terhadap ACU.

Sementara pada analisis selanjutnya adalah melihat keuntungan yang diperoleh jika negara-negara di kawasan ASEAN+3 menerapkan ACU. Analisis dilakukan dengan menggunakan penentuan pilihan penggunaan mata uang dalam kawasan. Hal ini meliputi apakah kawasan ASEAN+3 ini lebih baik menggunakan nilai tukar domestik setiap negaranya, atau lebih baik menggunakan

ACU. Pilihan tersebut akan diuji dengan menggunakan Model Vector

Autoregression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM) untuk menentukan mata uang terbaik yang dapat dipilih oleh setiap negara di kawasan ASEAN+3 dengan variabel inflasi sebagai tolak ukurnya.

Adapun manfaat dari penelitian ini selain sebagai literatur maupun referensi bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini merupakan informasi mengenai kesiapan negara ASEAN+3 dalam mewujudkan integrasi ekonomi dan moneter di ASEAN+3.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan moneter regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh suatu konsep dasar, yakni bahwa manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara anggota dalam kawasan. Dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait dengan integrasi keuangan dan moneter ini pun terus melakukan perbaikan seiring dengan perkembangan ekonomi.

Bab ini secara khusus akan meninjau secara teoritis mengenai pengertian, pentahapan, dan manfaat yang diperoleh dari adanya integrasi ekonomi regional. Hasil studi empiris juga akan dipaparkan dalam bab ini untuk melengkapi argument-argumen terkait dengan teori ekonomi dan moneter regional.

2.1. Pentahapan Proses Integrasi

Pasar keuangan di suatu kawasan dikatakan telah terintegrasi secara penuh apabila masing-masing negara dalam kawasan tersebut telah menghadapi

kebijaksanaan dan atau ketentuan yang sama dalam pasar keuangan (single set of

rules), di mana investor dan penerbit aset keuangan mempunyai akses yang sama

terhadap pasar keuangan (equal access) dan diperlakukan secara sama (treated

equally) ketika beroperasi di pasar keuangan (Baele et al, 2004). Definisi integrasi

keuangan tersebut sangat terkait dengan the law of one price yang merupakan

definisi lain dari integrasi keuangan. The law of one price ini pada dasarnya

menyebutkan bahwa apabila suatu pasar keuangan mempunyai resiko dan tingkat pengembalian yang identik, maka aset keuangan tersebut haruslah mempunyai harga yang sama, terlepas dari tempat transaksi keuangan di mana aset keuangan tersebut dilangsungkan.

Definisi integrasi keuangan ini baik secara teoritis maupun dalam prakteknya tidak mengalami banyak perdebatan. Namun demikian, dalam ranah teori integrasi keuangan, perdebatan yang seringkali muncul ialah terkait dengan bagaimana proses integrasi keuangan ini harus dijalankan. Haruskah integrasi

keuangan dan moneter di suatu kawasan didahului oleh integrasi sektor riil (perdagangan) atau tidak? Ada dua kelompok pendapat mengenai hal tersebut, kelompok pertama berpendapat bahwa integrasi keuangan harus didahului oleh integrasi sektor riil (perdagangan) di kawasan tersebut. Kelompok kedua berpendapat bahwa integrasi keuangan dan moneter tidak harus didahului adanya integrasi perdagangan. Perkembangan dari aliran pendapat ini, kemudian diikuti oleh munculnya berbagai pandangan yang memperkuat fenomena bahwa integrasi

moneter merupakan langkah untuk memperkuat integrasi di sektor riil.10

Melihat pengalaman di Asia khususnya ASEAN+3, inisiatif integrasi keuangan dan moneter yang meningkat setelah krisis keuangan di Asia tahun 1997 dapat dikatakan mengikuti pendapat yang kedua, dimana proses integrasi keuangan dan moneter berlangsung tanpa didahului oleh adanya integrasi sektor riil. Kondisi ini berbeda dengan pengalaman Eropa di mana proses menuju integrasi keuangan dan moneter didahului oleh integrasi sektor riil terlebih dahulu.

2.1.1. Integrasi Sektor Riil menuju Integrasi Ekonomi

Teori awal mengenai tahapan dalam mencapai integrasi ekonomi, secara

populer disebut sebagai Coronation Theory. Teori ini berpandangan bahwa

integrasi sektor riil yang dilakukan melalui liberalisasi perdagangan dan mobilitas faktor produksi adalah sebagai prasyarat dalam mencapai integrasi ekonomi secara penuh (Sholihah dan Saicu, 2007). Teori ini berdasarkan pengalaman kawasan Eropa dalam proses menuju pembentukan Uni Eropa. Pada proses tersebut, inisiatif dimulai dengan adanya kerjasama di sektor riil yaitu melalui

pembentukan komunitas batubara dan baja eropa (The European Coal and Steel

Community-ECSC) melalui Threaty of Paris pada tahun 1951 dengan enam negara anggota, yaitu Belgia, Jerman Barat, Luksemburg, Prancis, Italy, dan Belanda.

Pengalaman sukses ECSC mendorong keenam negara tersebut untuk mengintegrasikan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1957 keenam negara tersebut

menandatangani Treaties of Rome, the European Atomic Energy

Community-EEC). Selanjutnya negara anggota menetapkan pembebasan hambatan

10

Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta.

perdagangan di antara mereka dan membentuk suatu pasar tunggal (common market) sebelum pada akhirnya mewujudkan suatu mata uang tunggal Euro. Dari perjalanan tersebut dapat diketahui bahwa negara-negara kawasan eropa melakukan proses yang panjang dalam menuju sebuah integrasi moneter (monetary union) dengan mengawalinya dari inisiatif integrasi di sektor riil/perdagangan.

Proses integrasi yang terjadi di Eropa maupun di belahan bumi lainnya menunjukan bahwa perekonomian antar negara maupun antar kawasan saling

terbuka. Secara harfiyah, kata integrasi (integration) dapat diartikan sebagai

penggabungan. Jovanovic (2006) menggunakan istilah integrasi dalam ranah ekonomi pertama kali pada konteks organisasi dalam suatu industri. Sementara itu, Timbergen (1962) membedakan definisi integrasi sebagai bentuk penghapusan diskriminasi serta kebebasan bertransaksi dan sebagai bentuk penyerahan kebijakan pada lembaga bersama.

Pada sisi lain, Balassa dalam Sholihah dan Saicu (2007) membedakan

integrasi sebagai konsep dinamis melalui penghapusan diskriminasi di antara negara yang berbeda, maupun dalam konsep statis yang melihat ada atau tidaknya perbedaan dalam diskriminasi. Di tengah berbagai perbedaan definisi yang berkembang, Jovanovic (2006) menyimpulkan bahwa konsep integrasi ekonomi sebagai sebuah proses di mana sekelompok negara berupaya untuk meningkatkan tingkat kemakmurannya. Integrasi juga mensyaratkan paling tidak, adanya beberapa pembagian tenaga kerja dan kebebasan mobilitas yang bebas atas faktor produksi.11

Balassa menyebutkan bahwa usaha-usaha untuk menuju integrasi ekonomi haruslah melalui berbagai tahapan. Tahapan tersebut dibagi dalam lima tahap

dimulai dari integrasi sektor perdagangan dalam bentuk free trade area dan

custom union, dilanjutkan dengan pasar bersama (common market), economic union, dan terakhir adalah integrasi ekonomi secara total. Secara lebih ringkas tahapan integrasi ekonomi Bela Balassa dapat dilihat pada Tabel 1.

11

Kosotali, A. dan Gunawan Saichu. 2007. Integrasi Ekonomi : Konsep Dasar dan Realitas. Bank Indonesia.

Tabel 1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa Tahapan Keterangan

Prefential Trading

Area (PTA)

Blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk produk-produk tertentu dari negara tertentu dengan melakukan pengurangan tarif (bukan menghilangkan).

Free Trade Area

(FTA)

Suatu kawasan di mana tarif dan kuota antar negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.

Custom Union Merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan komiditi antar negara anggota tetapi menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan anggota.

Common Market Merupakan Custom Union yang juga meniadakan hambatan-hambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien.

Economic Union Interation

Merupakan suatu Common Market dengan tingkat

harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan struktural)

Total Economic Penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial yang diikuti dengan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota.

Sumber : Sholihah dan Saichu, 2007

Teori tahapan/tingkat integrasi lainnya yang hampir mirip dengan Balassa adalah teori yang dikemukan oleh Griffin dan Pustay (2002). Griffin dan Pustay menyusun integrasi ekonomi dalam lima tingkatan, yaitu kawasan perdagangan bebas, persekutuan pabean, pasaran bersama, uni ekonomi, dan uni politik yang dapat dilihat pada Gambar 1.

TINGGI

Uni Politik

Uni Ekonomi

Pasaran Bersama

Persekutuan Pabean

Kawasan Perdagangan Bebas

RENDAH

Meliputi integrasi politik dan ekonomi

Pasaran pabean + mengkoordinasikan kebijakan ekonomi di antara

negara-negara anggota

Persekutuan Pabean + menghapuskan hambatan pergerakan factor produksi

di antara negara-negara anggota

Kawasan perdagangan bebas + menyeragamkan kebijakan perdagangan untuk negara-negara

Menurunkan hambatan tariff dan non tariff terhadap sesama negara anggota,

namun masing-masing negara berhak menentukan sendiri kebijakan perdagangannya terhadap negara

Sumber : R. W. Griffin dan M. W. Pustay, 2002

Gambar 1. Tingkatan Integrasi Ekonomi Menurut Griffin dan Pustay

Untuk memperjelas berbagai tahapan mengenai integrasi yang

dikemukakan oleh Balassa maupun Griffin dan Pustay, maka pada bahasan selanjutnya akan diberikan berbagai teori terkait dengan integrasi ekonomi. Berdasarkan literatur yang terkumpul, terdapat berbagai landasan teori integrasi

ekonomi antara lain : (i) teori custom union, (ii) teori common market, dan (iii)

2.1.2. Teori Integrasi Ekonomi

Pergerakan barang dan jasa di antara negara yang sepakat membentuk integrasi difasilitasi oleh upaya penghapusan tarif dan hambatan non tarif (NTB) yang mendistorsi perdagangan intra negara-negara tersebut. Salah satu teori yang membahas pendekatan tariff dalam kaitannya dengan perbedaan secara geografis

adalah teori custom union (CU). Teori CU ini merupakan teori integrasi neo-clasic

dan teori perrdagangan yang paling berkembang. Pembahasan teori ini dilakukan mengingat CU merupakan tahapan penting dalam rangkaian tahap integrasi.

1. Teori Custom Union

CU adalah tipe integrasi ekonomi dimana negara-negara yang berpartisipasi dalam kesepakatan tersebut tidak hanya melakukan penghapusan tarif dan hambatan kuantitatif lainnya di antara anggota terhadap barang yang berasal dari negara-negara tersebut, tetapi juga menerapkan tarif yang sama

terhadap negara bukan anggota yaitu Common Effective Preferential Tariff

(CEPT). Dalam CU tidak terdapat kebutuhan untuk menerapkan preferential rules

of origin sebagaimana dalam FTA.

2. Teori Common Market (CM)

Dalam teori CM ini, mobilitas faktor produksi dalam suatu kawasan adalah kondisi integrasi pasar di mana tidak terjadi perlakuan diskriminasi (Juvanovic, 2006). Tidak adanya diskriminatif ini, di mana faktor produksi bebas, akan mendorong alokasi faktor produksi yang efisien melalui pergerakan faktor tersebut menuju tempat dengan tingkat produktifitas yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan perbedaan produktifitas antara CU dan CM.

3. Model Gravitasi

Model Gravitasi dikembangkan oleh Tinbergen pada 1962 dan Linnemann pada 1996 (Helmers dan Pasteels, 2005) yang menunjukkan bahwa perdagangan mengikuti prinsip-prinsip fisik dari gravitasi yakni dua kekuatan yang bertentangan menentukan volume perdagangan bilateral di antara negara-negara melalui (i) tingkat aktifitas dan pendapatan ekonomi, serta (ii) tingkat hambatan perdagangan. Hal-hal yang termasuk dalam hambatan perdagangan yaitu biaya transportasi, kebijakan-kebijakan perdagangan, ketidakpastian, perbedaan budaya dan karakteristik geografi.

Teori-teori integrasi yang dikemukakan merupakan serangkaian teori yang mendukung tahapan integrasi ekonomi di seluruh dunia. Integrasi ekonomi yang telah dilakukan oleh Eropa menjadi sebuah momentum baru kebangkitan ego regional dalam membuat suatu komunitas ekonomi. Merujuk pada berbagai teori integrasi ekonomi, menjadi sebuah pertanyaan yakni seperti apa dan bagaimana negara-negara di Eropa berhasil menjadi sebuah komunitas ekonomi baru? Pada pembahasan selanjutnya akan dibahas secara singkat bagaimana proses yang telah dilalui oleh Uni Eropa, dan bagaimana kesiapan kawasan ASEAN+3 mempersiapkan diri dalam menyongsong sebuah komunitas ekonomi baru di kawasan tersebut.

2.2. Cerita Sukses Eropa

Keberhasilan Eropa menuju kesatuan Ekonomi dan Moneter dimulai

dengan penandatanganan Treaty of Paris pada tahun 1951 yang mengawali

pembentukan the European Coal and Steel Community (ECSC) oleh enam negara

(yaitu Belgia, Belanda, Luksemburg, Jerman Barat, Italia, dan Perancis) dan

Treaties of Rome (1957) sebagai dasar pembentukan the European Anatomic Energy Community (EUROATOM) dan the European Economic Community

(EEC). Tiga Komunitas tersebut pada akhirnya dilebur menjadi Masyarakat Eropa (European Community).

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi di The Haque, Belanda tahun 1969, disepakati bahwa Masyarakat Eropa akan secara progresif menuju pembentukan

European Monetary Union (EMU) dalam waktu sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1979. Untuk mencapai sasaran tersebut, dibentuk sebuah komite pakar yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Lukemburg, Pierre Werner, untuk mengkaji berbagai elemen yang diperlukan bagi pembentukan kesatuan ekonomi dan moneter tersebut. Namun demikian, seiring dengan terjadinya gejolak ekonomi dikawasan tersebut pada tahun 1970-an, maka rencana pembentukan EMU ini pun sempat terabaikan mengingat masing-masing negara mefokuskan dirinya pada pencapaian kepentingan domestik mereka.

Adanya kepentingan bersama yaitu mengendalikan fluktuasi nilai tukar di antara anggota Masyarakat Eropa menyebabkan kerja sama di bidang moneter

tetap tumbuh meskipun dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu masyarakat di Eropa berinisiatif membentuk sebuah mekanisme untuk mengelola batas fluktuasi antara mata uang anggota Masyarakat Eropa secara lebih tegas dalam sistem

snake in the tunnel. Sistem snake ini mengatur tingkat margin fluktuasi di antara mata uang negara anggota terhadap mata uang anggota Masyarakat Eropa lainnya dan juga terhadap dollar AS. Margin fluktuasi terhadap dollar AS ini turut dijaga ketat mengingat dollar AS masih merupakan referensi utama bagi mata uang

negara Masyarakat Eropa. Namun demikian, sistem snake ini tidak mencapai

sasaran yang dikehendaki terutama karena adanya kebijakan ekonomi yang

beragam di Eropa pasca krisis minyak bumi tahun 1973. Kegagalan sistem snake

ini pada akhirnya menumbuhkan semangat untuk kembali mewujudkan EMU.

Akhirnya pada tahun 1979 dibentuklah European Monetary System (EMS) bagi

pembentukan sebuah bank sentral bersama di Eropa.

Ada tiga proses transisi utama yang ditempuh oleh Eropa untuk menuju EMU. Pada tahap pertama, yaitu Juli 1990-Desember 1993, arus transaksi neraca

modal (capital account) dan jasa keuangan dibebaskan secara substansial dalam

kawasan negara Masyarakat Eropa. Pada tahap kedua, yaitu Januari

1994-Desember 1998), the European Monetary Institute (EMI) dibentuk sebagai embrio

bagi pembentukan sebuah bank sentral bersama di Eropa. EMI berfungsi untuk memperkuat kerja sama antar negara dan bank sentral, melakukan koordinasi kebijakan moneter dan mempersiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk

membentuk suatu European Central Bank System (ECBS). Pada saat yang sama,

berdasarkan Maasttricht Treaty (1993), beberapa indikator divergen konvergensi

nominal mulai diberlakukan, yaitu laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit anggaran, dan pinjaman pemerintah. Pada tahap ketiga, (yaitu mulai Januari 1999), 11 negara anggota Masyarakat Eropa bergerak menuju penggunaan mata uang tunggal, euro, dan penggunaan sebuah bank sentral bersama, yaitu the

European Central Bank (ECB).

2.2.1. Pengalaman Uni Eropa untuk ASEAN+3

Pembentukan European Union (EU) merupakan prestasi keberhasilan

integrasi yang mencoba mengikuti EU seperti Latin American Free Trade Area

dan East African Common Market justru mengalami kegagalan.

Mencermati perjalanan integrasi di Eropa, banyak pelajaran dan pengalaman pembentukan yang dapat diambil bagi ASEAN. Namun demikian, para pemimpin ASEAN+3 perlu memperhatikan dengan seksama perbedaan-perbedaan yang ada di kawasan ASEAN+3 dan juga perbedaan-perbedaan latar belakang sejarah anggota ASEAN. Beberapa pembelajaran yang dapat diambil ASEAN bila

membandingkan dengan kondisi awal European Economic Community pada tahun

1950-an antara lain adalah (Plummer, 2005) : 1. Perbedaan Lingkungan Kelembagaan

Integrasi di Eropa pada 1950-an dipicu oleh semangat kawasan yang baru saja dilanda kehancuran Perang Dunia II dan timbulnya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga motivasi politik dan sosial dalam upaya penyatuan kawasan di Eropa sangat jauh berbeda dengan latarbelakang upaya integrasi di ASEAN+3. Meskipun kecil, ASEAN+3 juga berperan menjaga perdamaian di Asia Tenggara pada khususnya dengan menjaga stabilitas politik kawasan. Perkembangan kelembagaan di ASEAN berbeda dengan di Eropa karena (i) negara-negara ASEAN yang relatif baru, (ii) keragaman tingkat kelembagaan sosial dan politik di ASEAN yang relatif lebih tinggi, dan (iii) keterbatasan dana dalam pengembangan kelembagaan di ASEAN.

2. Perbedaan Lingkungan Ekonomi Internasional

Kemajuan tingkat keterbukaan pada saat ini sangat mewarnai perkembangan pasar global. Keterbukaan di pasar global dipicu antara lain : (i) meningkatnya pengurangan hambatan perdagangan internasional dengan adanya putaran-putaran perundingan seperti GATT, WTO, dan juga liberalisasi unilateral, (ii) meningkatnya aliran modal global (termasuk aliran modal asing). Tetapi di lain sisi, biaya yang harus dibayar dengan adanya integrasi regional, yaitu

memperbesar trade diversion, lebih besar daripada waktu yang lampau.

Perkembangan regionalism yang pesat ditunjukkan dengan meningkatnya

pembentukan grup-grup perdagangan dalam WTO yang mencapai lebih dari 200. Grup perdagangan tersebut banyak yang merupakan mitra dagang penting ASEAN sehingga dapat mempengaruhi eksistensi ASEAN.

3. Perbedaan Tingkat Perkembangan Ekonomi

Negara yang tergabung dalam ASEAN pada saat ini mempunyai keragaman tingkat ekonomi yang bervariasi dan dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan yaitu (i) kelompok negara maju, (ii) kelompok negara ”dinamis”, (iii) kelompok negara pendapatan menengah, dan (iv) kelompok negara belum maju. Sehingga memerlukan proses konvergensi yang cukup panjang untuk mencapai tingkatan perkembangan yang hampir sama.

4. Perbedaan Tingkat Keterbukaan Ekonomi

Dibandingkan dengan Eropa, secara umum ekonomi ASEAN lebih kecil

tetapi lebih terbuka, kecuali untuk negara-negara CLMV (Cambodia, Laos,

Myanmar, and Vietnam). Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi pada 1950-an tetapi juga pada saat ini dibanding mayoritas negara-negara maju.

2.2.2. Kondisi Kerjasama ASEAN+3

Krisis keuangan Asia 1997-1998 yang memperburuk kinerja ekonomi negara anggota ASEAN utama mendorong ASEAN untuk memperluas kerja sama

ekonomi dan keuangannya mencakup Cina, Korea, dan Jepang (ASEAN+3)12.

Tujuan kerja sama tersebut adalah memperkuat dialog kebijakan, koordinasi dan kerjasama dalam isu-isu bersama mengenai keuangan, moneter, dan fiskal. Kerja

sama tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu : (i) review perkembangan

ekonomi terkini dan dialog kebijakan (Economic Review and Policy Dialogue

-ERPD), (ii) Chiang Mai Initiative (CMI), (iii) Asian Bond Market Initiative

(ABMI), dan (iv) ASEAN+3 Research Group.

Tujuan ERPD adalah untuk mendukung upaya pencegahan krisis keuangan melalui pengimplementasian secara cepat dan tepat berbagai langkah kebijakan perbaikan. ERPD memfokuskan diri pada isu-isu yang menjadi kepentingan bersama. ERPD pun bertujuan untuk mempersiapkan landasan bagi penyediaan bantuan darurat, seperti CMI, pada saat terjadi krisis. Di bawah kerangka ERPD, menteri keuangan ASEAN+3 bertemu satu tahun satu kali (sementara para wakilnya bertemu dua tahun satu kali) untuk membahas isu-isu ekonomi dan kebijakan.

12

The Joint Statement on East Asia Corporation, November 1999 merupakan landasan utama

Sedangkan CMI merupakan hasil kesepakatan pertemuan Menteri Keuangan ASEAN+3 pada Mei 2000. CMI bertujuan untuk menyediakan bantuan keuangan regional sebagai bantuan pendamping yang diberikan oleh lembaga

internasional, melalui jejaring swap bilateral di antara negara-negara ASEAN+3.

Selain itu, CMI juga memperluas ASEAN Swap Arrangement (ASA), yang

semula dibentuk oleh lima negara ASEAN pada tahun 1977, dan berkembang menjadi seluruh negara ASEAN dengan jumlah komitmen yang meningkat pula.

Pada Agustus 2003, ASEAN+3 menyetujui inisiatif pengembangan pasar obligasi Asia (ABMI). Sebagai inisiatif utama dalam mengembangkan pasar modal yang efisien dan likuid sehingga penggunaan tabungan Asia untuk kebutuhan investasi di Asia dapat terlaksana dengan lebih baik. Selain itu, ABMI juga bertujuan untuk mendukung upaya mengatasi permasalahan ketidaksesuaian

mata uang (currency mismatch) dan jatuh tempo pinjaman (maturity mismatch).

Kegiatan ABMI difokuskan pada dua sasaran, yaitu : (i) mendorong akses pasar melalui perluasan berbagai kelompok penerbit obligasi, dan (ii) meningkatkan infrastruktur pasar modal di Asia. Untuk mencapai kedua sasaran

tersebut, saat ini terdapat empat kelompok kerja teknis yang terdiri dari (i) New

securitized debts instrument, yang memfokuskan pada metode-metode sekuritas

surat-surat utang sehingga dapat diperdagangkan di pasar obligasi, (ii) Credit

guarantee and investment mechanisme, yang meneliti berbagai pilihan mekanisme

dan skema penjaminan obligasi untuk proyek-proyek investasi, (iii) Foreign

exchange transactions and settlement issues, yang meneliti berbagai isu berkaitan dengan upaya meminimalkan resiko-resiko transaksi obligasi antar negara, dan

(iv) Rating system, yang memfokuskan pada kegiatan-kegiatan untuk

meningkatkan harmonisasi ketentuan dan peraturan lembaga pemeringkat kredit di negara-negara anggota, sehingga penilaiannya atas obligasi yang diterbitkan masing-masing negara anggota dapat diperbandingkan.

Untuk mendukung pengembangan upaya-upaya kerja sama ekonomi di ASEAN+3 terutama berkaitan dengan isu-isu jangka menengah-panjang,

ASEAN+3 mendirikan ASEAN+3 Research Group pada Nopember 2003.

Tujuannya adalah menggali berbagai ide untuk meningkatkan kerja sama keuangan dan mendorong stabilitas keuangan di dalam kawasan melalui

masukan-masukan akademik dari para peneliti atau lembaga-lembaga penelitian

Dokumen terkait