• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang Lingkup Penelitian

Dalam dokumen PEMBUATAN BIOPLASTIK POLI- (Halaman 20-80)

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

a) Pembuatan bioplastik dengan menggunakan Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA), isopropil palmitat sebagai pemlastis, dan kloroform sebagai pelarut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rastonia eutropha

R. eutropha termasuk bakteri gram negatif, aerob obligat, motil, suhu optimum 20 – 37 oC, koloni pada NA (Nutrient Agar) tidak berwarna, termasuk oksidase positif dan katalase positif, tidak memproduksi indol, kemoorganotrofik atau dapat menggunakan berbagai macam asam organik dan asam amino sebagai sumber karbon, dapat mereduksi NO3- menjadi NO2- dan dapat tumbuh secara anaerobik dengan adanya NO3-. Habitat alaminya adalah tanah dan air tapi juga dapat ditemukan pada usus vertebrata (John et al., 1994).

Lafferty et al. dalam Rehm dan Reed (1988) mengatakan bahwa PHA dapat diproduksi oleh mikroorganisme pada kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang, seperti ketika terbatasnya jumlah nutrien seperti nitrogen, pospat atau sulfat, konsentrasi oksigen yang rendah, atau pada kondisi rasio C:N dalam substrat tinggi.

Lee dan Choi dalam Babel dan Steinbuchel (2001) meyatakan bahwa R. eutropha dapat tumbuh baik pada media minimal yang relatif murah dan mengakumulasi PHB pada kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang. Sumber karbon yang dapat digunakan untuk pertumbuhannya adalah D-glukosa (mutan), D-fruktosa, D-glukonat, asetat, adipat, itakonat (John et al. 1994). R. eutropha menghasilkan PHB pada kondisi terbatasnya nitrogen, oksigen dan fosfor (Klem dalam Robinson et al., 1999). Kim dan Lenz dalam Scheper (2001) menyatakan bahwa ammonium merupakan nutrisi pembatas bagi R. eutropha. Polimer diakumulasi dalam bentuk granula sitoplasma dan berfungsi sebagai cadangan karbon dan sumber ekivalen pereduksi. Jumlah granula per sel R. eutropha yang ditumbuhkan pada kondisi nitrogen terbatas tidak berubah sejak awal fase akumulasi polimer dan produksi polimer mulai menurun ketika kadar PHB hampir 80% meskipun aktifitas sintase PHB masih cukup tinggi. Gambar granula PHB pada R. eutropha dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil scanning electron microscope granula PHA pada R. eutropha (Sumber : http://che.kaist.ac.kr/~biosyst/research/pha/pha.html)

B. Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA)

Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) merupakan poliester hidroksialkanoat yang disintesa oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan karbon intraseluler, diakumulasi sebagai granula dalam sitoplasma sel (Lee, 1996).PHA disintesis jika salah satu elemen nutrisi seperti N, P, S, O atau Mg ada dalam jumlah terbatas namun sumber karbon ada dalam jumlah berlebih (Lee dan Choi 2001).

Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) adalah poliester dari hidroksialkanoat dengan struktur umum seperti pada Gambar 2. (Ojumu et al., 2003)

O C H (C H2)n C R O 1 0 0 -3 0 0 0 0

n = 1 R = Hidrogen Poly (-3-hidroksipropionat)

Metil Poly (-3-hidroksibutirat)

Etil Poly (-3-hidroksivalerat)

Propil Poly (-3-hidroksiheksanoat)

Pentil Poly (-3-hidroksioktanoat)

Nonil Poly (-3-hidroksidodekanoat)

n = 2 R = Hidrogen Poly (-4-hidroksibutirat)

n = 3 R = Hidrogen Poly (-5-hidroksivalerat)

Gambar 2. Struktur Umum Poli-β-hidroksialkanoat

PHA ada dalam bentuk homo dan heteropolimer. Homopolimer poli-(3-hidroksibutirat)/PHB memiliki sifat termoplastik dengan sifat mekanis bagus, mirip dengan polipropilen dan merupakan jenis PHA yang pertama ditemukan dan paling banyak diteliti. Namun demikian, sebagai plastik, PHB bersifat sangat rapuh karena tingginya derajat kristalinitas, di samping itu suhu pelelehannya

(180oC) mendekati suhu degradasi termalnya (200oC). Kelemahan ini dapat diperbaiki dengan kopolimerisasi 3HB (hidroksibutirat) dan 3HV (hidroksivalerat) menjadi kopolimer poli-(3HB-co-3HV) yang lebih fleksibel dan rendah suhu prosesnya (Kim dan Lenz dalam Scheper, 2001). Suatu galur mutan Ralstonia eutropha yang ditumbuhkan dengan glukosa dan asam propionat dapat menghasilkan kopolimer dari monomer 3HB dan 3HV. Kerapuhan kopolimer HB-HV lebih rendah daripada PHB, sifat termomekanisnya lebih bervariasi tergantung dari kadar unit 3-HV penyusunnya sehingga aplikasinya lebih luas (Lefebvre et al. 1997, Klem dalam Robinson et al., 1999).

Asam poli-β-hidroksibutirat (poli-HB) adalah polimer dengan sifat optik aktif asam D(-)-3-hidroksibutirat (3-hidroksibutanoat) dengan struktur molekul seperti pada Gambar 3. Jumlah unit berulang (n) dipengaruhi oleh beberapa faktor dan dapat mencapai nilai n = 35.000. Contoh poli-HB dengan bobot molekul mencapai 3,39 x 106 telah ditemukan pada bakteri Azotobacter vinelandii dengan menggunakan klorofom atau diklorometan pada proses ekstraksi dari massa sel (Lafferty et al. dalam Rehm dan Reed, 1988).

Gambar 3. Struktur molekul Poli-β-Hidroksibutirat (Lafferty et al. dalam Rehm dan Reed, 1988)

Menurut Poirer et al. (1995), PHB sering dibandingkan dengan polipropilen (PP) karena sifat fisiknya yang sama, namun PHB lebih rapuh dengan rasio elastisitas PHB hampir dua kali lebih rendah dibandingkan dengan PP. Meskipun PHB bersifat rapuh dan lebih sensitif terhadap pelarut dibandingkan poliester komersial, tetapi PHB memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap radiasi sinar UV dan bersifat dapat didegradasi (Crueger dan Crueger, 1984). Perbandingan karakteristik PHB dan PHB/HV dengan plastik konvensional secara lengkap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Karakteristik PHB dan PHB/HV dengan Plastik Konvensional Karakteristik Fisik Satuan PHB PHB/HV 10% HV PHB/HV 20% HV PP PET HDPE PS Melting point oC 177 150 135 170 262 135 110 Tensile strength MPa 40 25 20 34.5 56 29 50 Flexual modulus GPa 3.5 1.2 0.8 1.72 2.2 0.94 3.1 Extension to break % 3.0 20 100 400 7300 - -

Notched Izod J/m 35 100 300 45 3400 32 21 Keterangan : PP = polipropilen, PET = polietilenterephathalat, HDPE = high density polietilen, PS = polistiren. Sumber : Bryom, 1994

Menurut Atifah (2006), pengumpanan sumber karbon dilakukan pada saat bakteri memasuki fase pertumbuhan stasioner dari daur hidupnya. Bakteri Ralstonia eutropha mengalami fase pertumbuhan logaritmik hingga jam ke 36 dan memasuki fase pertumbuhan stasioner mulai jam ke 48. Pada fase stasioner konsentrasi residu gula mendekati titik nol (<1 g/L) seiring dengan laju pertumbuhan spesifik (μ) yang menunjukkan angka nol. Pada saat laju pertumbuhan spesifik mendekati nol, bakteri sebagian besar tidak lagi memperbanyak diri, sehingga sumber karbon pada media digunakan untuk pembentukan PHA di dalam sitoplasmanya.

Aplikasi PHA difokuskan pada 3 hal yaitu kesehatan dan farmasi, pertanian, dan kemasan produk (Lafferty et al. di dalam Rehm dan Reid, 1988; Lee, 1996). Meskipun bidang aplikasinya luas, namun pemanfaatan PHA masih terbatas karena harganya mahal. Berbagai penelitian akhir-akhir ini diarahkan untuk menurunkan biaya produksi, meliputi penelitian tentang (1) galur bakteri baru yang dapat mensintesis PHA, (2) substrat yang murah, (3) strategi kultivasi yang baru, (4) penggunaan mikroba rekombinan, (5) pengembangan tanaman transgenik yang dapat mensintesis PHA dan (6) penggunaan kultur sel serangga (insekta) untuk memproduksi PHB (Lefebvre et al. 1997). Beberapa aplikasi poli-β-hidroksialkanoat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Aplikasi poli-β-hidroksialkanoat

Medis dan farmasi

1 Keperluan operasi bedah: benang jahit, pin, penyeka

2 Pembalut luka

3 Pemasangan pembuluh darah dan jaringan tubuh (karena kemampuan depolimerisasi PHB menjadi monomer asam D(-)-3-hidroksibutirat 4 Pemasangan tulang dan lempeng tulang

5 Stimulasi pertumbuhan tulang (karena PHA mempunyai sifat piezoelektrik) 6 Pembawa (biodegradable carrier) bahan aktif pada obat-obatan

Pertanian

1 Pembawa (biodegradable carrier) bahan aktif pada herbisida, fungisida, insektisida atau pupuk (karena kemampuan degradasi di dalam tanah) 2 Kontainer semaian bibit

3 Matrik (biodegradable matrix) untuk obat pada bidang veteriner

Kemasan dan komoditas lain

1 Kemasan kontainer, botol, pembungkus, kantong, dan film 2 Bahan-bahan sekali pakai seperti popok bayi dan pembalut wanita Sumber : Brandl et al. dalam Babel dan Steinbuchel, 2001; Punrattanasin, 2001

C. Isopropil Palmitat

Pemlastis adalah zat aditif dengan titik didih tinggi yang dapat berupa cairan, padatan, gum sintetis atau murni alami. Penambahan pemlastis baik sintetis maupun alami bertujuan untuk memperbaiki sifat bahan selama pembuatan plastik, memperluas atau memodifikasi sifat dasarnya atau dapat memunculkan sifat baru yang tidak ada dalam bahan dasarnya (Spink dan Waychoff dalam Frados, 1958).

Perbedaan utama antara pemlastis dengan pelarut adalah kemampuan penguapan kedua bahan tersebut. Pelarut lebih mudah menguap sedangkan pemlastis tidak mudah menguap. Persyaratan ideal yang harus dimiliki suatu pemlastis meliputi kecocokan (compatibilitas), permanen atau tidaknya pemlastis tersebut berada dalam polimer, dan efisiensi penggunaannya. Pemlastis umumnya memiliki sifat-sifat tidak berbau, tidak berasa, tidak beracun dan tidak mudah terbakar (Beeler dan Finney dalam Frados, 1958).

Menurut Sadi dan Purboyo (1996), ester asam lemak epoksi atau trigliserida dapat digunakan sebagai bahan pemlastis dan stabilizer dalam industri polimer dan plastik. Berdasarkan komposisi asam lemak minyak sawit yang unik dengan kandungan asam lemak utama, yaitu asam oleat dan palmitat atau fraksi olein dan stearin, kedua fraksi tersebut dapat dikonversi menjadi pemlastis.

Pemlastis dari asam oleat antara lain butil oleat, amil oleat, metoksi etil oleat, fenoksi etil oleat, tetrahidrofurfuril oleat, butil epoksi stearat, butil hidroksi-asetoksi stearat dan butil poli hidroksi-asetoksi sterat. Sedangkan pemlastis yang dapat dibuat dari fraksi asam palmitat masih terbatas, yaitu isopropil palmitat dan isokotil palmitat (Sadi dan Purboyo, 1996).

Isopropil palmitat biasanya tidak berwarna seperti ester-ester turunan oleat. Ester ini larut dalam aseton, castrol oil, kloroform, minyak biji kapas, etil asetat, etanol dan minterol oil. Ester ini tidak larut dalam air, gliserol dan propilen glikol (Sadi dan Purboyo, 1996).

Isopropil palmitat merupakan ester dari isopropil alkohol dan asam palmitat, mempunyai nama resmi 1-metil etil heksadekanoat. Rumus empiris isopropil palmitat C19H38O2 dengan rumus struktur CH3(CH2)14COOCH(CH3)2. Struktur molekul isopropil palmitat dapat dilihat pada Gambar 4. Bobot molekul isopropil palmitat sesuai dengan rumus kimianya adalah 298,51. Pada suhu ruang isopropil palmitat merupakan cairan jernih tidak berwarna sampai berwarna kekuningan, tidak berbau, dan bersifat kental. Viskositas yang terukur adalah antara 5 sampai 10 mPa.s (5-10 cP) pada 25°C. Suhu didih isopropil palmitat adalah 160°C pada 266 Pa (2 mm Hg). Titik beku terukur antara 13 sampai 15 °C, dan umumnya isopropil palmitat ini memadat pada suhu di bawah 16 °C. Isopropil palmitat mudah larut dalam pelarut non polar. Isopropil palmitat larut dalam aseton, kloroform, etanol etil asetat, minyak mineral, propan-2-ol, minyak sayur, serta hidrokarbon aromatik dan alifatik. Pada prinsipnya isopropil palmitat tidak larut dalam gliserin, glikol, dan air. (Anonim1, 2006)

Gambar 4. Struktur Molekul Isopropil Palmitat

(Modifikasi www.chemicalland21.com/lifescience/foco/ISOPROPYL_PALMITATE)

Berat jenis isopropil palmitat antara 0,850 sampai 0,855 pada 25°C sesuai dengan standar Amerika dan Eropa. Indeks bias isopropil palmitat antara 1,4350 sampai 1,4390 pada 20°C. Toksikologi isopropil palmitat diketahui berdasarkan sifat sebagai berikut: LD50 (tikus, IP) sebesar 0,1 g/kg, LD50 (kelinci, kulit) lebih dari 5 g/kg, dan LD50 (mencit, oral) lebih dari 5 g/kg. Secara umum isopropil palmitat merupakan materi tidak beracun dan tidak melakukan iritasi. (Anonim1, 2006)

Penyimpanan isopropil palmitat menuntut kondisi yang gelap, karena meteri ini memang sensitif terhadap cahaya. Isopropil palmitat menuntut resistan terhadap oksidasi dan hidrolisis, dan tidak dapat berubah menjadi tengik, namun demikian disarankan tempat penyimpanannya tertutup dengan baik. Suhu penyimpanan disarankan di atas 16°C (Anonim1, 2006).

D. Kloroform

Kloroform merupakan cairan dengan berat molekul tinggi, tidak berwarna, berbau harum, dan sangat toksik. Kloroform merupakan cairan stabil dengan titik didih rendah (Mellan, 1950).

Karena bersifat narkotik dan toksik, kloroform tidak digunakan secara luas sebagai pelarut (Durran dan Davies, 1988). Tetapi menurut Mellan (1950) kloroform memiliki daya larut yang sangat tinggi dan telah dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan khusus seperti untuk lemak, minyak, lilin, alkanoid, asam asetat, resin, tar, selulosa asetat, nitrat, dan berbagai kepentingan lainnya. Kloroform dapat larut dengan semua hidrokarbon terhalogenasi dan dengan sebagian besar pelarut umum lainnya. Sifat-sifat fisika dan kimia kloroform dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat Fisik dan Kimia Kloroform

Sifat Fisik dan Kimia Nilai

Berat molekul 119.38

Gravitasi spesifik 1.499 (15 oC)

Titik didih 60 – 62 oC

Titik beku – 63.5 oC

Panas laten penguapan 59.1 cal/g

106.4 B.t.u/lb

Panas spesifik 0.233 cal/g/oC atau B.t.u/lb/oF

Viskositas 5.63 millipoise (20 oC)

5.10 millipoise (30 oC)

Sumber : Mellan, 1950

Penggunaan pelarut (solvent) pada saat proses pembuatan plastik dimaksudkan untuk melarutkan bahan polimer padat sehingga memudahkan pengolahan dalam proses selanjutnya. Pengklasifikasian jenis pelarut didasarkan pada tingkat penguapan, struktur kimia, dan kekuatan pelarut (Frados, 1959).

Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) dapat larut pada berbagai pelarut seperti kloroform, metilen klorida, etilen klorida, piridin atau campuran diklorometan/etanol (Atkinson dan Mavituna, 1991).

E. Pembuatan Bioplastik

Menurut Cowd (1991) proses terbentuknya suatu polimer dikenal dengan istilah polimerisasi. Polimerisasi ini merupakan pembentukan molekul raksasa (polimer) melalui penggabungan molekul-molekul kecil dan sederhana yang disebut monomer. Pembentukan ikatan polimer menghasilkan ikatan kunci antar monomer yang disebut sebagai ikatan tulang punggung (backbone).

Menurut Ramsay et al. (1993), terdapat dua macam cara pembuatan film PHB. Solvent-cast film dibuat dengan cara menuangkan larutan kloroform-PHB 5% (w/v) pada sebuah plat kaca atau teflon. Pelarut kemudian diuapkan dan film yang terbentuk dibiarkan selama dua minggu pada suhu ruang untuk mencapai keseimbangan kristalinitas. Heat-pressed film dibuat dengan cara menuangkan larutan 25% PHB (b/v) pada plat kaca, lalu dikeringkan semalam pada suhu ruang dan kemudian ditempatkan diantara dua lembar lempengan yang dibungkus aluminium foil. PHB dalam cetakan lalu di-press pada suhu 155-160OC pada tekanan 5000 lb/in2 selama satu menit.

Spink dan Waychoff di dalam Frados (1958) menjelaskan teori mengenai reaksi yang terjadi antara pemlastis dengan suatu polimer. Pemlastis yang ditambahkan pada suatu bahan polimer resin akan tersisip secara fisika di antara rantai-rantai polimer tersebut. Penambahan pemlastis dapat mengakibatkan terbentuknya ‘ikatan yang hilang’. Ikatan baru yang terbentuk biasanya ikatan jembatan hidrogen antara polimer resin dan pemlastis tersebut.

Ikatan hidrogen merupakan sejenis interaksi elektrostatis diantara molekul yang hidrogennya terikat pada atom elektronegatif (F, N, O). Ikatan tersebut terjadi akibat adanya gaya tarik-menarik elektron dari atom elektronegatif. Kekuatan ikatan hidrogen kira-kira sepersepuluh ikatan kovalen normal. Meskipun demikian, ikatan hidrogen mempengaruhi sifat fisik (Sukardjo, 1985).

F. Karakteristik Bioplastik

1. Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus

Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film sampai film tersebut putus. Kuat tarik dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses pembuatan film. Persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus. Elastisitas akan menurun seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film. Elastisitas merupakan ukuran dari kekuatan film yang dihasilkan (Latief, 2001).

Pengujian kuat tarik akan menghasilkan kurva tegangan-regangan (stress-strain). Informasi yang diperoleh dari kurva tegangan-regangan untuk polimer adalah kekuatan tarik saat putus (ultimate strength) dan perpanjangan saat putus (elongation at break, ε) dari bahan (Billmayer, 1971).

Elastisitas akan menurun seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film. Elastisitas adalah sifat benda yang mengalami perubahan bentuk atau deformasi secara tidak permanen (Dede, 2006). Benda dapat dikatakan elastis sempurna artinya jika gaya penyebab perubahan bentuk hilang maka benda akan kembali ke bentuk semula. Banyak benda yang bersifat elastis sempurna yaitu mempunyai batas-batas deformasi yang disebut limit elastis sehingga jika melebihi dari limit elastik maka benda tidak akan kembali ke bentuk semula. Sifat yang lain adalah sifat plastis atau sifat tidak elastis dan perubahan cenderung tidak kembali ke bentuk semula, misalnya lilin. Perbedaan antara sifat elastis dan plastis adalah pada tingkatan dalam besar atau kecilnya deformasi yang terjadi (Dede, 2006).

Allcock dan Lampe (1981) mengatakan bahwa sifat tegangan dan regangan dari sebagian besar bahan sangat tergantung pada waktu, sehingga pada saat pengukuran harus diukur kecepatan awal tegangannya.

2. Gugus Fungsi

Gugus fungsi suatu sampel dapat dideteksi menggunakan Fourier Transform Infra-Red Spectroscopy (FTIR). FTIR adalah alat yang

organik maupun senyawa anorganik (Fessenden dan Fessenden, 1986). Infra merah merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang diatas daerah sinar tampak yaitu pada 700-3000 μm atau 0.7-3 μm (Mohsenin, 1984).

Menurut Murray dan Williams dalam Williams, (1990), informasi dari spektrum pantulan ini didapat karena radiasi infra merah dekat yang dipancarkan oleh sumber radiasi berkorespondensi dengan frekuensi vibrasi dari molekul-molekul yang ada di dalam bahan organik karena setiap ikatan kimia CH, NH dan OH memiliki frekuensi vibrasi tertentu sedangkan yang tidak berkorespondensi dengan molekul yang ada dalam bahan tersebut akan dipantulkan.

Spektrum pantulan yang dihasilkan berisi basil pengukuran parameter-parameter yang dijelaskan oleh panjang gelombang dalam nanometer, amplitudo dengan tinggi puncak gelombang dan lebar gelombang yang menjelaskan intensitasnya sehingga dengan parameter-parameter ini seluruh informasi penyerapan dari suatu bahan dapat dijelaskan (Murray dan Williams, 1990).

3. Sifat Termal

Menurut Jandali dan Widmann (1995) analisa sifat termal merupakan suatu teknik untuk mengetahui karakteristik suatu bahan berdasarkan fungsi suhu dan waktu. Pada teknik ini, sampel dipanaskan atau didinginkan pada laju konstan. Salah satu teknik analisis sifat termal adalah DSC (Diffrential Scanning Calorimetry). Perubahan entalpi maupun suhu yang terjadi pada sampel dimonitor oleh sensor yang terpasang pada DSC, sehingga dapat memberikan informasi tentang suhu transisi kaca (transition glass temperature, Tg) dan suhu pelelehan (melting temperature, Tm). Informasi mengenai sifat termal suatu polimer berguna untuk menentukan aplikasi yang sesuai serta bagaimana kondisi proses terutama suhu dari polimer tersebut.

DSC mengukur sejumlah energi (panas) yang diserap atau dilepaskan oleh suatu sampel ketika dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada suhu konstan. DSC juga mengukur suhu sampel pada kondisi tersebut. Prinsip kerja

menggunakan metode ini adalah pengukuran aliran panas berdasarkan kompensasi tenaga (Rabek 1983).

4. Derajat Kristalinitas

Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan pendekatan hasil uji DSC berdasarkan perubahan entalpi yang terjadi saat tercapai suhu pelelehan. Menurut Hahn et al. (1995), PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan mempunyai perubahan entalphi sebesar 146 J/g.

Menurut Sutiani (1997), Difraktometer sinar-X merupakan suatu alat yang dapat menentukan derajat kristalinitas suatu polimer. Bagian kristalin dan amorf suatu polimer dapat berinteraksi dengan sinar-X dan menunjukkan aktifitas difraksi yang spesifik. Derajat kristalinitas dapat ditentukan bila difraksi kristalin dapat dipisahkan dari difraksi amorf. Derajat kristalinitas diketahui dengan cara menghitung perbandingan luas difraksi kristalin terhadap luas total difraksi.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat 1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bioplastik ini antara lain; (1) Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA) sebagai biji plastik; (2) kloroform sebagai pelarut; (3) isopropil palmitat sebagai pemlastis. Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA) yang digunakan dalam penelitian ini adalah PHA hasil kultivasi secara fed-batch oleh bakteri Ralstonia eutropha IAM 12368 yang diperoleh dari IAM Culture Collection, Institute of Molecular and Celular Bioscience, The University of Tokyo. Sumber karbon yang digunakan dalam substrat kultivasi adalah hidrolisat pati sagu yang dibuat dengan hidrolisis enzimatis pati sagu dengan enzim α–amilase dan amiloglukosidase.

Bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk kultivasi bakteri dan isolasi PHA adalah nutrient broth, (NH4)2HPO4, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4 0.1 m, FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H2O, CaCl2.7H2O, CuCl2.2H2O, ZnSO4.7H2O, buffer tris-hidroklorida, NaOH, NaOCl dan NH4OH.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan untuk kultivasi PHA adalah bioreaktor skala 13 liter dengan volume kerja 10 liter, autoklaf, pH meter, waterbath sheker, rotary shaking inkubator, sentrifuse, penyaring vakum, termometer, oven, desikator, freezer, neraca analitik, clean bench, pipet mikro, ose bunsen, pendingin tegak, hotplet, lemari asap, plat kaca, dan alat-alat gelas.

Peralatan untuk pengujian yang digunakan meliputi alat pengukur kuat tarik dengan jenis Tensilon, alat untuk mengetahui gugus fungsi bahan Fourier Transform Infra Red (FTIR), dan alat untuk menganalisa titik leleh polimer Differential Scanning Calorimetry (DSC).

Gambar 5. Bioreaktor skala 13 liter dengan kapasitas kerja 10 liter. Laboratorium Rekayasa Bioproses – Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB

B. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penyiapan bahan biji bioplastik dan tahap penelitian utama. Tahap penelitian utama terdiri dari pembuatan bioplastik dan pengujian karakteristik bioplastik yang dihasilkan. 1. Persiapan Bahan Biji Bioplastik

Secara umum tahap persiapan bahan biji plastik terdiri dari dua tahapan utama, yaitu; (1) persiapan kultur dan media kultivasi, (2) kultivasi PHA, dan (3) Proses hilir PHA.

a. Persiapan kultur dan media kultivasi (Atifah, 2006)

Kultur R. eutropha yang digunakan dipelihara dalam bentuk kering-beku. Kultur disegarkan setiap 2 minggu pada media cair Nutrient Broth pada suhu 34oC. Media yang digunakan adalah hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon, (NH4)2HPO4 sebagai sumber nitrogen, K2HPO4 dan KH2PO4 sebagai sumber fosfat, serta mikroelemen yang terdiri dari FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H2O, CaCl2.2H2O, CuCl2.2H2O, dan ZnSO4.7H2O.

Sebelum dilakukan proses kultivasi pada bioreaktor, terlebih dahulu kultur R. eutropha ditumbuhkan pada media propagasi (volume 10 mL, 100 mL, dan 1000 mL) selama 3 x 24 jam, pada suhu 34oC dan kecepatan 150 rpm.

b. Kultivasi PHA secara fed-batch (Atifah, 2006)

Kultivasi fed-batch dilakukan pada bioreaktor skala 13 liter, volume kerja 10 liter, pH 6.9, agitasi 150 rpm, suhu 34oC dan aerasi 0.2 vvm. Kultivasi dilakukan selama 96 jam. Metode pengumpanan dilakukan pada saat mikroba memasuki fase pertumbuhan stationer yaitu pada jam ke-48. Umpan berupa hidrolisat pati sagu yang setara dengan 20 gram per liter kultur dengan kecepatan pengumpanan konstan 1.7 ml/menit.

c. Proses Hilir PHA (Atifah, 2006; Imamura et al., 2001 dan Lee, 1996)

Setelah proses kultivasi selesai, cairan kultivasi disentrifugasi pada kecepatan 13000 rpm selama 10 menit. Proses sentrifugasi terdiri dari empat tahap, yaitu; (i) pemisahan biomassa dari fase cair, (ii) pencucian endapan biomassa yang diperoleh dengan aquades, (iii) digest dengan NaOCl 0.2% selama 1 jam, (iv) pencucian endapan biomassa yang telah di digest dengan aquades. Endapan biomassa yang diperoleh dikering dalam oven pada suhu ± 50oC selama 24 jam.

PHA kering yang diperoleh dari hasil sentrifugasi terlebih dahulu dihaluskan dan kemudian dilarutkan dalam kloroform dengan perbandingan 1 gram PHA kering banding 50 ml kloroform. Larutan kemudian diaduk dan dipanaskan pada suhu ± 50oC selama 24 jam. Untuk mencegah penguapan pelarut, maka dipasang pendingin tegak. Setelah itu, larutan disaring dengan menggunakan kertas saring whatman 42 pada penyaring vakum. Filtrat hasil saringan yang mengandung PHA yang terlarut dalam kloroform diuapkan pada lemari asam untuk memperoleh PHA kering yang lebih murni.

2. Pembuatan Bioplastik PHA

a. Motode pembuatan bioplastik (modifikasi Akmaliah, 2003) Proses pembuatan bioplastik dilakukan dengan teknik solution casting. Proses pembuatan bioplastik dimulai dengan pencampuran PHA, kloroform, dan isopropil palmitat. Pencampuran dilakukan dengan

pengadukan biasa sampai terbentuk larutan PHA-kloroform-isopropil palmitat yang homogen. Kemudian larutan yang telah homogen dituang pada cetakan (plat kaca). Diagram alir proses pembuatan bioplastik dapat dilihat pada Lampiran 1.

b. Penentuan jumlah kloroform

Menurut Lee (1996), untuk melarutkan satu bagian PHA diperlukan 20 bagian pelarut. Jumlah pelarut yang optimal akan ditentukan dengan cara melarutkan PHA pada kloroform dengan perbandingan PHA-kloroform 1:5, 1:10, 1:15 dan 1:20.

c. Penentuan jumlah PHA

Jumlah PHA yang digunakan disesuaikan dengan ketebalan bioplastik yang akan dihasilkan. Jumlah PHA yang optimal adalah

Dalam dokumen PEMBUATAN BIOPLASTIK POLI- (Halaman 20-80)

Dokumen terkait