• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang lingkup Pengangkatan Anak

Dunia lembaga pengangkatan anak (Adopsi) bukanlah masalah baru. Sejaka zaman dahulu, pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sejalan dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan, Indonesia sendiri yang belum memiliki peraturan dan perundang-undangan yang lengkap, pengangkatan anak sudah sejak zaman dulu dilakukan. Tujuan dari lembaga pengangkatan anak adalah bermacam-macam. Ada yang bertujuan untuk meneruskan keturunan, bilamana didalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan (di jawa) yakni dengan mengangkat anak. Keluarga yang di angkat (Adopsi) akan dikaruniai anak kandung sendiri. Ada yang khusus mengangkat anak laki-laki agar dapat membakar jenazah orang tuanya serta untuk memelihara abunya. Dan ada pula suatu kepercayaan bahwa suatu suku bangsa akan musnah, apabila kepala suku tidak mempunyai anak laki-laki. Dalam kedua kepercayaan tersebut pengangkatan anak laki-laki sangat didambakan. Disamping itu ada yang disebabkan oleh belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu atau disebabkan oleh keadaan orang tua nya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Dalam hukum Belanda yang semula tidak mengenal lembaga pengangkatan anak (Adopsi), sekarang pengangkatan anak diakui (BW Belanda yang baru) akan tetapi tujuan nya adalah dari segi social ekonomi dan bukan untuk meneruskan keturunan. Dari hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk social dalam kehidupan

keluarga yang merupakan kelompok masyarakat terkecil belum merasa lengkap dan bahagia apabila tidak terdiri dari bapak, ibu dan anak atau dengan kata lain masyarakat memang membutuhkan Lembaga Pengangkatan Anak (Adopsi).108

Bushar Muhammad, membagi pengangkatan anak dalam dua macam, yaitu : adopsi langsung (mengangkat anak), dan adopsi tidak langsung (melalui perkawinan).109Nyentanayang adalah salah satu bentuk adopsi langsung (mengangkat anak) di Bali, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dengan cara mengambil anak dari lingkungan klan besar, dari kaum keluarga, bahkan akhir-akhir ini sering terjadi dari luar lingkungan keluarga. Apabila istri tua tidak mempunyai anak, dan bini selir mempunyai anak, maka anak-anak tersebut dijadikan sebagai anak angkat istri tua. Apabila tidak ada anak laki-laki yang dapat diambil anak, dapat juga anak perempuan dipungut menjadi Santana, yang diangkat dengan fungsi rangkap, yaitu pertama dipisahkan dari kerabatnya sendiri dan dilepas dari ibu kandungnya sendiri dengan

jalan pembayaran adat berupa “seribu kepeng” serta “seperangkat pakaian perempuan” kemudian dia baru dihubungkan dengan kerabat yang mengangkat

(diperas). Suami yang mengambil anak bertindak dengan persetujuan kerabatnya, lalu diumumkan dalam desa “siar” dan dari pihak raja sebagai kepala adat dikeluarkan

izin yang disusun dalam suatu penetapan raja, berupa akta yang disebut Surat Peras. Alasan dari pengangkatan semacam ini, ialah suatu kekhawatiran akan kepunahan,

108

R. Sooeroso, Op, Cit, Perbandingan Hukum Perdata, Hal : 176-177 109

malahan sesudah meninggalnya suami, istripun dapat mengangkat anak dengan mengangkat keris atas nama suami sebagi wakilnya.110

Sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pengangkatan anak, namun praktik pengangkatan anak ditengah-tengah kehidupan social masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. 111 Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama pengangkatan anak WNI oleh WNA ternyata tidak mencukupi. 112Meskipun belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pengangkatan anak, karena lembaga pengangkatan anak telah menjadi bagian dari kultur masyarakat dan telah menjadi kebutuhan masyarakat, maka praktik pengangkatan anak secara adat telah ditertibkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan113 yang tersebar di beberapa peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

Meskipun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

pengangkatan anak belum mencukupi, telah ada garis asas hukum bahwa “Pengadilan

tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkata yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib

110

Ibid, Hal : 30 111

Ahmad Kamil, Fauzan, Op, Cit, Hal : 49 112

Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979

113

Peraturan perundang-undangan berarti peraturan yang posotif berlaku sebagai fungsi untuk ketertiban, bentuknya bias berupa Staatsblad, beberapa pasal dalam undang-undang yang relevan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Surat Edaran Mentri Sosial, dan lain-lain

untuk memeriksa dan mengadilinya”114

.bahkan pasal 22AB(Algemene Bepalingen van Wetgeving vor Indonesia) secara tegas menentukan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.115Asas hukum tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia juga menjunjung tinggi sistem hukum dalam common law yang menghargai hakim sebagai mahluk mulia dan memiliki hati nurani serta kemampuan untuk menangkap sinyal nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum riil yang oleh hakim dapat digali sebagai bahan ramuan untuk menciptakan hukum yurisprudensi116 dalam menangani kasus hukum tertulisnya belum mencukupi seperti hukum pengangkatan anak di Indonesia.

5. Pihak Yang Mengangkat Dan Yang Diangkat

Siapa yang boleh mengadopsi diatur dalam Stb 1917 No. 129 pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa seorang laki-laki beristri atau pernah beristri tak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan karena pengangkatan, boleh mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya. Pada ayat 2 disebutkan, bahwa pengangkatan anak yang demikian harus dilakukan oleh seorang laki tersebut,

114

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 ayat (1)

115

Ahmad Kamil, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta, Prenada Media, 2005, Hal : 9 116

Hukum yurisprudensi adalah semua putusan hakim terhadap suatu perkarra yang dasar hukumnya tidak ada atau kurang jelas, diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutus kasus yang sama dalam waktu lama secara berulang-ulang

bersama-sama dengan istrinya atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri. Sedang ayat 3 menyatakan, apabila kepada seorang perempuan janda yang tidak telah kawin lagi, dan oleh suaminya yang telah meninggal tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagai termaktub ayat ke satu pasal ini, maka bolehlan ia mengangkat seorang laki sebagai anaknya. Jika sementara itu si suami yang telah meninggal dunia, dengan surat wasiat telah menyatakan tak menghendaki pengangkatan anak oleh istrinya, maka pengangkatan itupun tak boleh dilakukannya.

Dari ketentuan di atas, maka yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda yang tak mempunyai anak laki-laki ataupun seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, asal saja janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah yaitu berupa surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak. Di sini tidak diatur secara kongkret mengenai batasan usia dan orang yang belum kawin untuk mengangkat anak. Pasal 6 dan 7 mengatur tentang siapa saja yang dapat diangkat (diadopsi). Pasal 6 menyebutkan yang boleh diangkat hanyalah orang-orang tionghoa laki-laki yang tidak beristri pun tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain. Pasal 7 ayat 1 menyebutkan, orang yang diangkat harus paling sedikit 18 tahun lebih muda dari usia suami dan paling sedikit 15 tahun lebih muda dari usia si istri atau si janda yang mengangkatnya. Sedang ayat 2 mengemukakan, bahwa apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun keluarga di luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang kedua belah

pihak bersama, harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, sebelum ia diangkat.

Antara orang tua angkat dengan anak angkatnya minimal harus terdapat selisih umur 25 tahun dan maksimal 45 tahun. Untuk itu setiap orang dewasa dapat mengangkat anak. Apabila calon orang tua dalam perkawinan, maka usia perkawinan orang tua angkat minimal telah berlangsung selama 5 (lima) tahun. Sehingga ada selisih antara usia perkawinan calon orang tua angkat dengan usia calon anak angkat minimal lima tahun.117

Seorang anak angkat juga memiliki kewajiban terhadap orang tua angkatnya. Sebagaimana diatur dalam pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Anak, pasal ini menyatakan bahwa setiap anak berkewajiban untuk :

1) Menghormati orang tua, wali, dan guru.

2) Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman. 3) Mencintai tanah air, bangsa dan Negara.

4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan 5) Melaksanakan etika dan akhlah yang mulia.

Hak dan kewajiban di atas akan terus ada ketika anak angkat dan orang tua angkatnya masih hidup. Namun, ketika salah satu diantaranya telah meninggal dunia berpotensi meninggalkan persoalan, seperti dalam pembagian harta waris. Karena hubungan saling mewarisi hanya dapat terjadi ketika seorang memiliki pertalian darah maupun perkawinan dengan pewaris.118

Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh melakukan pengangkatan anak (adopsi) dan batas usianya, kepatutan batas usia

117

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997, Hal : 95 118

seorang anak yang patut untuk diangkat dan yang tidak patut untuk diangkat, antara daerah yang satu dengan lainnya berbeda. Di Banjarmasin contohnya, perbedaan usia antara anak angkat dengan orang tua angkat dipandang patut jika ada selisih usia 15 tahun.119

Mengenai hakiki suatu pengangkatan anak secara adat dipandang telah terjadi, yurisprudensi Mahkamah Agung menyatakan bahwa “menurut hukum adat di daerah

Jawa Barat, seseorang dianggap sebagai anak angkat bila telah diurus, dihitan,

disekolahkan, dikawinkan, oleh orang tua angkatnya”.120

Di daerah Kecamatan Singaraja Kabupaten Garut seorang perempuan yang belum pernah kawin tidak boleh melakukan pengangkatan anak. Tetapi janda/duda diperbolehkan. Sedang di Kecamatan Leuwidamar (Bandung) baik belum atau sudah kawin boleh saja, begitu pula di Kecamatan Banjarharjo, Brebes (Semarang). Kemudian di daerah Parindu Kalimantan Barat (suku Dayak Pandu) juga dibolehkan, tapi dalam hubungan keponakan saja. Begitu juga di Kecamatan Sambas (Kalimantan Barat), kecuali di Kecamatan Manyuke, Mempawah, maka seorang yang belum kawin hanya boleh memelihara seorang anak yang disebut nganahain, bukan dalam pengertian mengangkat anak.121Di daerah Kendari Sulawesi Tenggara lain lagi, disini tidak ditemukan orang yang belum kawin mengangkat anak, begitu pula di daerah Kolaka, kecuali janda/duda. Sedangkan di daerah Lombok Tengah belum diketahui

119

Putusan Pengadilan Negri Banjarmasin, sebagaimana dikutip oleh Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1999, Hal : 42

120

Mahkamah Agung, Nomor : 1074 K/Pdt./1995, tanggal 18 Maret 1996 121

dan belum pernah seorang bujangan mengangkat anak. Kalau di daerah Klungkung, umumnya yang mengangkat anak adalah suami istri, tapi ada juga wanita belum kawin mengangkat anak, demikian pula halnya di daerah Cianyar (Denpasar). Di daerah Palembang tidak terdapat orang yang belum kawin mengangkat anak, Cuma kebiasaan hanya suami itri yang tidak mempunyai anak, kecuali suku Mapur Kecamatan Belinyu (Bangka) juga terdapat orang yang belum/tidak kawin yang mengangkat anak adalah yang sudah tua.122

Berkenaan dengan siapa saja yang boleh diadopsi (diangkat), umumnya dalam masyarakat adat Indonesia tidak membeda-bedakan apakah anak laki-laki atau anak perempuan, kecuali di beberapa daerah Kecamatan Leuwidamar,123 disini anak perempuan tidak bias dijadikan anak angkat. Juga di Kabupaten Kupang, Alor, Lampung Peminggiran Kecamatan Kedondong, sebab masyarakatnya menganut sistem garis keturunan laki-laki (Petrilineal). Dalam hal usia, di Kecamatan Garut yang dijadikan anak angkat adalah di bawah usia 15 tahun dan dapat pula di atas 15 tahun, asalkan belum kawin. Sedang di Kecamatan Cikajang biasanya anak yang diangkat ialah sejak masih bayi sampai anak tersebut berumur 3 tahun. Kemudian di daerah Parindu Kalimantan Barat, seorang anak mulai dapat diangkat sebagai anak angkat biasanya setelah anak lepas dari susu ibunya.124

122

Ibid, Hal : 44 123

Leuwidamar, dahulu dalam wilayah hukum Provinsi Bandung, sekarang setelah pemekaran berada dalam wilayah hukum Provinsi Banten.

124

Kecamatan Sambas tidak ditentukan batas usia, melainkan factor kelayakan yang harus diperhatikan, yaitu umur anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat harus mempunyai perbedaan yang sesuai sebagai anak dengan orang tuanya sendiri. Lain halnya dengan lingkungan masyarakat Melayu di daerah Pontianak, biasanya yang dijadikan anak angkat adalah anak yang baru berumur 40 hari dan paling besar 5 tahun. Di Kecamatan Kendari umumnya anak yang diangkat sejak kecil berusia 1-6 tahun. Kalau beberapa daerah di Kabupaten Kolaka, pada umumnya anak yang diangkat itu diambil sejak masa kecil, semasa si anak belum tahu betul orang tuanya yang sebenarnya. Sebaliknya kalau di Lombok Tengah, bahkan orang yang sudah dewasa pun dapat diambil sebagai anak angkat yang disana disebut dengan anak akon. Berbeda pula dengan Kabupaten Kupang dan Alor bagi suku Rote, umur anak setinggi-tingginya 2 tahun, bahkan bagi suku Timor hanya berumur 1 tahun yang biasanya dijadikan anak angkat.125 Kemudian di Kabupaten Tidore (Ambon) secara khusus tidak ditentukan batas umur, namun satu keunikan di daerah ini, dimana ada seorang anak yang masih dalam kandungan sudah dibuatkan perjanjian oleh yang mengangkat dengan orang tua yang mengandung untuk dijadikan anak angkat.126 Umumnya di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya, sering mengangkat keponakan menjadi anak angkat. Pengangkatan anak dari kalangan keponakan itu sesungguhnya merupakan pergeseran dari hubungan kekeluargaan (dalam pengertian yang luas) dalam lingkungan keluarga. Lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa

125

Ibid

126

Ahmad Kamil, Fauzan, Op, Cit, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Hal : 41

disertai pembayaran uang atau penyerahan suatu barang kepada orang tua anak yang sebenarnya, yang pada hakikatnya masih saudara sendiri dari orang yang mengangkat anak tersebut. Bahkan dalam masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) pun sering kali seperti ini terjadi tanpa suatu acara apapun.127

6. Tata Cara Dan Proses Pengangkatan Anak

Mengenai tata cara pengangkatan anak diatur dalam Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 dalam pasal 3 sampai pasal 6.

Pasal 3 : (1) calon orang tua harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat

(2) dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.128

Pasal 4 : pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.129

Pasal 5 : pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.130

Pasal 6 : (1) orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya.

(2) pemberitahuan asal-usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.131

Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Pengadilan Negri di tempat domisili anak yang akan diangkat tersebut. Adapun alasan permohonan diajukan adalah untuk kepentingan anak, kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental serta pelindungan anak itu sendiri. Untuk mengabulkan permohonan itu,Hakim wajib

127

Ibid

128

PP No.54 Tahun 2007 Pasal 3 129

PP No.54 Tahun 2007 Pasal 4 130

PP No.54 Tahun 2007 Pasal 5 131

mengadakan penilaian tentang motif dan latar belakang yang mendasari orang tua melepaskan anaknya, dan disisi lain keinginan calon orang tua angkat untuk mengangkat anak. Keadaan ekonomi dan rumah tangga orang yang akan mengangkat anak, apakah harmonis atau tidak. Disamping itu juga kesungguhan, ketulusan dan kerelaan dari pihak yang melepaskan anakmaupun yang mengangkatnya, serta kesadaran para pihak akan akibatnya.132 Dan juga dipertimbangkan hari depan anak pada keluarga orang tua angkatnya. Adapun kelengkapan untuk permohonan itu harus dilampirkan sebagai berikut :133

1) Dari calon orang tua angkat a) Akta perkawinan b) Akta kelahiran

c) Surat keterangan kesehatan dan kesehatan jiwa d) Surat keterangan berkelakuan baik

e) Surat keterangan penghasilan 2) Dari calon anak angkat

a) Surat persetujuan dari : I. Orang tua kandung

II. Ibu kandung bila orang tua tidak kawin sah

III. Mereka yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak 3) Dari pemerintah

a) Surat persetujuan mentri social bagi : I. Calon orang tua angkat II. Calon anak angkat

Untuk dapat mengangkat anak harus ada persetujuan terlebih dahulu antara suami istri yang hendak melakukannya. Bila yang hendak di angkat adalah seorang anak sah, maka diperlukan persetujuan orang tua kandungnya. Kalau salah seorang dari padanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, yang harus memberikan persetujuan ialah orang tua yang masih hidup, kecuali bila yang masih hidup itu adalah seorang

132

Stb. 1917 No. 129 jo SEMA No. 2/1979 133

ibu yang telah menikah lagi dengan laki-laki lain, dalam hal itu bagi anak yang masih di bawah umur yang memberikan persetujuan ialah walinya dan balai harta peninggalan. Demikian pula bila kedua orang tua kandungnya telah meninggal dunia, wali dan balai harta peninggalan memberikan persetujuannya. Untuk dapat diangkat bagi anak yang dilahirkan di luar nikah yang memberikan persetujuan ialah orang tua yang mengakuinya sebagai anak. Apabila yang mengakui itu hanyalah salah seorang dari mereka, maka yang akan memberikan persetujuan ialah orang tua yang mengakuinya itu. Demikian pula kalau salah seorang dari orang tua yang mengakuinya telah meninggal dunia, maka yang akan memberikan persetujuan ialah orang tua yang masih hidup. Dalam keadaan tidak ada orang tua sama sekali, mungkin oleh karena kedua-duanya telah meninggal dunia, atau tidak ada di antaranya yang mengakuinya karena dilahirkan di luar nikah, bila anaknya masih di bawah umur untuk dapat diangkat persetujuan dapat diberikan oleh wali dan balai harta peninggalan pula.134

Di dalam hukum adat dikenal du acara pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak secara tidak langsung. Pengangkatan anak secara langsung yaitu mengangkat seorang anak secara langsung sebagai anak, sedangkan pengangkatan anak secara tidak langsung adalah pengangkatan anak melalui suatu perkawinan. Perkawinan ini mungkin dilakukan

134

oleh orang yang hendak mengangkat sendiri tetapi mungkin pula dengan cara orang yang hendak mengangkat mengawinkan anaknya.135

Mengenai pengangkatan anak sebenarnya sudah lama dikenal dan dilakukan orang diberbagai tempat di dunia ini baik oleh masyarakat yang primitive maupun oleh masyarakat yang sudah maju. Cara melakukan pengangkatan itu banyak macamnya, terutama di Indonesia sendiri yang mempunya banyak ragam sistem peradatannya. Pengangkatan anak ini lebih banyak didasarkan pada pertalian darah, sehingga kelnjutan keluarga yang mengadopsi atau mengangkat anak tergantung kepadanya. Mengenai harta kekayaan anak yang bersangkutan juga tergantung kepada hubungan pertalian darah atau tidak. Begitu pula mengenai kedudukan tersebut di dalam masyarakat masih dipengaruhi oleh perlakuan dan pertimbangan tertentu. 136

Dalam praktek sering kali juga pengangkatan anak itu dilakukan berdasarkan adat setempat. Menurut adat karo misalnya, upacara pengangkatan anak dilakukan dengan Kahkah Bohan, yang dilaksanakan dalam musyawarah adat anak Beru, Senina dan Kalimbubu dari Sukut (yang mengangkat anak). Lauk pada upacara ini dibuat cincang yang dimasak dalam Bohan (potongan bambu) dan selesai makan Anak Beru memukul Bohan itu sambal mengumumkan tentang telah sah nya pengangkatan anak itu. Pada acara di Kalimbubu memberikan Perembah (kain gendong), dan Puang Kalimbubu memberikan ndawa (mantel) untuk si anak angkat. Untuk itu anak angkat akan mengikuti marga atau Beru dari marga ayahnya, Bere-bere dari Beru ibu

135

Rusli Pandika, Op, Cit, Hukum Pengangkatan Anak, Hal : 48 136

angkatnya, Kempu dari Bere-bere ibu angkatnya, Binuang dari Bere-bere neneknya dari garis ibu (ibu dari ibu) angkatnya dan Kampah dari Bere-bere dari kakeknya dari garis ayah angkatnya. Anak angkat menurut adat Karo menjadi ahli waris dari orang tuanya. Di samping anak angkat pada masyarakat Karo juga dikenak anak Anduh (pelihara). Dimana sesuatu keluarga mengambil salah seorang dari anak saudaranya sebagai anak anduh (pelihara). Anak anduh menurut adat bukan merupakan ahli waris dari orang tua anduhnya. Selain itu juga dikenal pekuanak, yaitu orang yang sudah besar diakui sebagai anak oleh keluarga tertentu. Semua ini harus dilakukan dalam musyawarah (rungun) anak Beru-Senina-Kalimbubu, dan secara tegas ditentukan batas-batas tanggung jawabnya. 137

Pengangkatan anak angkat lazim di daerah Aceh dengan sebutan “aneuk geunteung”.

Dokumen terkait