• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUKUM JUAL BELI

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Agar dalam melakukan suatu transaksi berjalan dengan baik, maka harus dipenuhi syarat dan rukun jual beli, sehingga tidak ada seorangpun yang merasa dirugikan yang dapat mengakibatkan kurangnya rasa percaya dan mufakat.

Agar jual beli itu dapat sah maka haruslah dipenuhi semua rukun dan syaratnya, Antara lain:

a. Rukun jual beli menurut jumhur ulama’ adalah:22

1) Ada orang yang berakad atau al-muta’a>qidaini (penjual dan pembeli)

2) Ada shigat i>ja>b dan qabu>l

3) Ada barang yang diperjualbelikan 4) Ada nilai tukar pengganti barang b. Adapun syarat jual beli adalah sebagai berikut:

1) Syarat orang yang berakad

Adapun syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad adalah: a) Berakal yaitu dapat membedakan atau memilih mana yang

terbaik bagi dirinya, dan apabila salah satu pihak tidak berakal, maka jual beli yang diadakan tidak sah.

27

b) Baligh atau dewasa. Dewasa dalam hukum Islam adalah telah berumur 15 tahun, atau telah bermimpi (bagi anak laki-laki) dan haid (bagi anak perempuan), dengan demikian jual beli yang dilakukan oleh anak kecil adalah tidak sah.

c) Dengan kehendaknya sendiri, keduanya saling merelakan, bukan karena dipaksa.23

2) Syarat I>ja>b Qabu>l

Lafal akad, berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifa>q).

sebelum i>ja>b qabu>l dilakukan. Hal ini karena i>ja>b qabu>l menunjukkan kerelaan kedua belah pihak.25

Dengan demikian i>ja>b dan qabu>l adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan (kerelaan) dalam berakad diantara dua oarang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.

Syarat sah i>ja>b qabu>l yaitu:

a. Antara si>gha>ti>ja>b dan qabu>l harus bersambung. Ciri-cirinya antara lain: 1) Tidak ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli tidak boleh

diam saja setelah si penjual menyatakan i>ja>b, atau sebaliknya. 2) Ada kesepakatan i>ja>b dan qabu>l pada barang yang saling mereka

relakan berupa barang yang dijual dan harga barang. Jika sekiranya kedua belah pihak tidak sepakat, jual beli (akad) dinyatakan tidak sah. Seperti jika penjual mengatakan: “Aku jual kepadamu baju ini seharga lima Pound,” dan pembeli mengatakan: “Saya terima barang tersebut dengan harga empat Pound”, maka jual beli dinyatakan tidak sah. Karena i>ja>b dan qabu>l berbeda.26

3) Tidak dita’likkan. Misalnya, “Jika bapakku telah mati, barang ini akan kujual kepadamu”, dan lain-lainnya.

4) Tidak dibatasi waktunya. Misalnya, “Aku jual barang ini kepadamu untuk satu bulan ini saja”, dan lain-lainnya. Jual beli

25 Fiqih Madzhab Syafi’i, Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 26. 26 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 12 terjemah nor hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 47.

29

seperti ini tidak sah sebab suatu barang yang sudah dijual menjadi hak milik bagi si pembeli untuk selama-lamanya, dan si penjual tidak berkuasa lagi atas barang itu.

b. Dinyatakan dalam satu majelis. Artinya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama. Apabila penjual mengucapkan i>ja>b, lalu pembeli berdiri sebelum mengucapkan qabu>l atau pembeli mengerjakan aktifitas lain yang tidak terkait dalam jual beli, kemudian ia mengucapkan qabu>l maka menurut kesepakatan ulama fiqih, jual beli ini tidak sah. Sekalipun mereka berpendirian bahwa i>ja>b tidak harus dijawab langsung dengan qabu>l. Pengertian hadir di sini tidak hanya secara fisik tetapi bisa diartikan dengan satu situasi dan satu kondisi, sekalipun antara keduanya berjauhan, tetapi topik yang dibicarakan adalah jual beli itu.

3) Syarat Barang (ma’qud ‘alaih) yang Dijualbelikan Syarat-syarat benda yang menjadi objek akad adalah:

a) Suci. Ulama selain Hanafiyah menerangkan bahwa ma’qud ‘alaih harus suci, tidak najis dan mutanajis (terkena najis). Dengan kata lain, ma’qud ‘alaih yang dapat dijadikan akad adalah segala sesutau yang suci, yakni yang dapat dimanfaatkan menurut syara’. Oleh karena itu, anjing, bangkai, darah, dan lain-lain tidak boleh diperjualbelikan. Ulama Hanafiyah tidak menetapkan syarat di atas. Oleh karena itu, mereka membolehkan penjualan bulu binatang, kulit bangkai untuk dimanfaatkan. Ma’qud ‘alaih yang

mereka larang untuk dijadikan akad adalah yang jelas dilarang syara’, seperti anjing, khamar, bangkai, dan lain-lain.27

b) Bisa diserahterimakan. Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.

c) Bermanfaat menurut syara’. Pada asalnya sesuatu yang ada di bumi ini mengandung manfaat, berdasarkan firman Allah SWT:











Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al-Baqarah; 275)

Dengan prinsip ayat tersebut di atas, maka barulah sesuatu benda dipandang tidak bermanfaat jika telah ditegaskan dalam Nash. Mazhab Hanafi dan Mazhab Z}ahiri mengecualikan barang yang ada manfaatnya, hal itu dinilai halal untuk dijual, untuk itu mereka mengatakan: “Diperbolehkan seseorang menjual kotoran-kotoran atau tinja dan sampah-sampah yang mengandung najis oleh karena sangat dibutuhkan guna untuk keperluan perkebunan. Demikian pula diperbolehkan menjual setiap barang yang najis

31

yang dapat dimanfaatkan bukan untuk tujuan memakannya dan meminumnya, seperti minyak najis yang digunakan untuk keperluan bahan bakar penerangan dan untuk cat pelapis, serta tujuan mencelup, semua barang tersebut dan sejenisnya boleh diperjualbelikan sekalipun najis, selagi pemanfaatannya ada selain untuk dimakan atau diminum.28

d) Barang itu milik sendiri dan dalam kekuasaan aqi>d. Pemilikan di sini dimaksudkan adalah barang yang akan diperjualbelikan adalah milik orang yang melakukan akad atau orang yang menguasakan kepadanya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan jika seseorang menjual sesuatu yang bukan miliknya atau orang yang menguasakannya.

e) Harus diketahui dengan jelas. Salah satu syarat dalam jual beli adalah kejelasan barang, yaitu meliputi ukuran, takaran, timbangan, jenis, dan kualitas barang. Kedua belah pihak yang mengadakan akad harus mengetahui keberadaan barang yang dijadikan objek jual beli, baik dalam bentuknya, wujudnya keadaannya maupun jenisnya. Hal tersebut untuk menjaga agar tidak terjadi persengketaan diantara kedua belah pihak.

Dalam hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah;

33

b) Dapat diserahkan pada waktu akad (transaksi), apabila barang itu dibayar kemudian (berhutang), maka waktu pembayarannya pun harus jelas waktunya.30

c) Jika harga berupa uang, akad tidak batal sebab dapat diganti dengan yang lain, namun jika harga menggunakan barang yang dapat rusak dan tidak dapat diganti waktu itu, menurut ulama Hanafiyah akadnya batal.31

Dokumen terkait