• Tidak ada hasil yang ditemukan

H. Metode Penelitian

I. Sistematika Pembahasan

2. Rukun dan Syarat Perkawinan

23

Perkawinan di atas dapat penulis simpulkan, bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mah}ram sebagai suami istri yang membangun suatu rumah tangga yang kekal, abadi dan bahagia di dunia dan di akhirat. Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput. Semua agama resmi di Indonesia memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.

2. Rukun dan Syarat Perkawinan

Keberadaan rukun dan syarat perkawinan menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Rukun adalah ketentuan yang harus dipenuhi, dalam melakukan suatu pekerjaan / ibadah. Bila tidak terpenuhi maka ibadah / pekerjaan tersebut tidak sah. Sahnya suatu perkawinan adalah dengan adanya akad yang telah memenuhi syarat dan rukunnya. Rukun merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dalam suatu akad.

Syarat adalah ketentuan atau perbuatan yang harus dipenuhi sebelum melakukan suatu pekerjaan atau ibadah. Tanpa memenuhi ketentuan / perbuatan tersebut, suatu pekerjaan dianggap tidak sah. Syarat merupakan suatu hal yang dilakukan sebelum kegiatan itu

24

dilakukan. Jika dalam hal perkawinan, maka syarat-syarat sebelum perkawinan itu dimulai. Oleh karena itu, rukun dan syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan keinginan keluarga kedua belah pihak. Rukun perkawinan adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.

Ulama Syafi’iyyah menjelaskab tentang unsur pokok suatu perkawinan, bahwa unsur tersebut adalah laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan yaitu akad itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan calon suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirincikan bahwa rukun perkawinan adalah sebagai berikut:6

a. Calon mempelai laki-laki, b. Calon mempelai perempuan,

c. Wali dari mempelai perempuan yang mengakadkan perkawinan, d. Dua orang saksi,

e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh calon suami.

Penjelasan terkait rukun dan syarat perkawinan di atas adalah, sebagai berikut:

a. Pihak-pihak yang langsung melangsungkan perkawinan.

25

Pihak yang melangsungkan perkawinan adalah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Keberadaan kedua calon suami istri ini tidak harus diartikan sebagai ada hadir secara fisik, mungkin karena satu dan hal lainnya tidak dapat hadir. Tetapi, tetap memberi kuasa hukum kepada seseorang untuk melakukan ijab qabulnya. Jadi yang menjadikan syarat penting dari masing-masing calon mempelai pengantin adalah, diantaranya:7

1) Dewasa (baligh). 2) Berakal.

Penjelasan dari syarat di atas diantaranya sebagai berikut adalah:8 Sebagaian Pengikut Madzhab Syafi’iyyah berpendapat, bahwa anak laki-laki dapat mengawinkan dirinya untuk meredean dan menjaga kemaluannya menjelang dewasa. Akan tetapi jika anak perempuan, ia tidak mempunyai hak untuk mengawinkan dirinya. Abdullah bin Hamid berkata, seorang hakim mengawinkannya jika terlihat dari si anak yang gila syahwat kepada perempuan dengan cara memandatangi dan menginginkannya, ini adalah pendapat Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah.

Berkenaan tentang menikahnya calon pengantin yang gila atau hilang akalnya, maka bagi seorang ayah boleh mengawinkannya dan anak laki-laki tidak boleh mengawinkannya sendiri. Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah berkata, ayah tidak boleh melakukan hal

7 Ibid., 38.

26

tersbeut, Karena dalam perkawinan terdapat kewajiban untuk memberikan mahar dan nafkah. Dengan ketidakadaan kebutuhan akan hal tersebut, maka ia tifak boleh mengawinksnnys, seperti halnya para wali.

Mengenai anak laki-laki yang sudah baligh tetapi gila, pernyataan dari Ahmad dan Al-Kharqi akan menjelaskan hal ini. mereka berkata, bagi seorang ayah dapat mengawinkannya dengan tampaknya atau tidaknya pertumbuhan keinginan syahwat. Al-Qadhi berkata, seorang ayah dapat mengawinkan anaknya dalam keadaan tersebut apabila Nampak dari anaknya pertumbuhan keinginan syahwatnya yang diketahui dengan mendatangi perempuan dan lain sebagainya, ini pendapat Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah.

b. Ijab Qabul

Akad dalam perkawinan adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Para ulama Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah terhadap ijab qabul sebagai salah satu rukun perkawinan. Syarat-syarat ijab qabul yang sebagian lain masih diperselisihkan tersebut meliputi sebagai berikut:9

1) Akad harus mulai dengan ijab dari wali pihak perempuan dan dilanjutkan dengan qabul dari calon mempelai laki-laki.

27

Meskipun demikian, ulama memperbolehkan laki-laki

mengucapkan ijab baru wali dari perempuan mengucapkan qabul. 2) Materi ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si

mempelai laki-laki dan perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang akan disebutkan.

3) Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat menurut ulama Imam Syafi’i. Namun ulama Malikiyyah memperbolehkan terlambatnya ucapan qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan itu hanya dalam waktu yang pendek / sebentar. Sedangkan, menurut al-Mughni apabila pengucapan qabul cukup berjarak dengan ijab dalam suatu majelis tetap sah apabila kedua belah pihak tetap pada satu majelis.

4) Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditunjukkan untuk sepanjang hayat.

5) Ijab dan qabul mesti menggunakan lafadz yang jelas dan terus terang, tidak boleh menggunakan ucapan sindiran, karena lafadz sindirian itu memerlukan niat sementara saksi tidak tahu yang diniatkan dalam hati yang bersangkutan. Ulama sepakat lafadz / bahasa yang jelas digunakan dalam ijab dan qabul dengan kata-kata nakaha atau zawaja atau dengan istilah “kawin” dalam

28

bahasa Melayu sebagaimana banyak digunakan pada masyarakat Indonesia.

Ada tiga keadaan terhadap orang yang terhalamg dalam pengucapan akad dalam perkawinannya menurut sebagian Pengikut Madzhab Syafi’iyyah adalah:10

1) Bagi walinya berhak untuk mengawinkannya ketika mengetahui darinya untuk kawin, karena hal tersebut berdampak pda kebaikan, menjaga agama, harta, dan dirinya. Apabila tidak melakukan perkawinannya dapat menimbulkan masalah buruk seperti zina.

2) Wali memberikan izin kepadanya untuk kawin dalam keadaan wali dapat mengawinkannya yaitu sesuai kebutuhan. Karena ia termasuk orang yang berhak untuk kawin berakal dan mampu memberikan tanggung jawab dan memiliki hak untuk thalaq dan khulu’ maka perkawinannya dapat dilimpahkan kepada wali lalu wali memilih antara menentukan seorang perempuan baginya atau hanya mengizinkannya. Sebagian Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah berkata, dalam hal ini dibutuhkan sebuah penetapan keputusan, agar tidak terjadi masalah apabila ia mengawini perempuan yang terhormat dengan mahar dan biaya yang banya akan tetapi semua itu tidak baik baginya.

29

3) Ia kawin tanpa izin dari wali, para Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah berkata, jika memungkinkan baginya untuk meminta izin walinya maka perkawinannya tidak akan sah tanpa izinnya, karena haknya terhalang oleh wali, maka perbuatannya tanpa izin wali dianggap tidk sah.

c. Wali dalam perkawinan

Sesungguhnya perkawinan tidak akan sah tanpa adanya wali dari calon mempelai perempuan. jadi perngertian wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad perkawinan. Pendapat Al-Ishthakhri dari pengikut madzhab syafi’I menjelaskan bahwa jika hakim telah memutuskan sahnya akad ini atau wali untuk akadnya adalah hakim maka keputusan tidak boleh dibatalkan, karena hal tersebut menyalahi Nash yang ada. Pendapat pertama lebih utama, karena masalah ini

berbeda dan diperbolehkan berijtihad dalam mengambil

keputusannya, maka tidak boleh membatalkan putusan hukum, seperti halnya menjatuhi hukuman kepada tetangga dengan mengambil manfaat. Perkara ini telah jelas dari awal, terdapat pendapat dalam sahnya dan telah menyimpang dari kenyataannya11.

Hak perwalian adalah hak yang berhubungan dengan kekerabatan, maka saudara laki-laki seayah dan seibu lebih diutamakan sama halnya dalam hal warisan dan hak warisan perwalian. Syafi’iyyah

11 Ibnu Qadamah, Al-Mughni, penerjemah Mamduh Tirmidzi, Dudi Rosadi, (Jakarta: 2012,

30

diutamakan saudara laki-laki seayah dan seibu yang pertama telah gugur12.

Perwalian apabila berhalangan boleh untuk diwakilkan. Dan wakil dari wali dapat menggantikannya walaupun dia hadir menurut pengikut madzhab Syafi’iyyah ada dua pendapat pada masalah perwakilan walu selian dengan ayah dan kakek, salah satunya adalah tidak diperbolehkan, karenanya perwalian dengan izin, maka dalam hal ini tidak boleh diwakilkan. Bagi duda yang sudah terikat sebagian pengikut mazdhab Syafi’iyyah adalah melarang hal perwakilan wali dengan seorang duda dan menganggapnya tidak sah.13

Keberadaan wali dalam perkawinan merupakan menunjukkan keabsahan dalam perkawinan maka hak perwalian yang diperoleh menjadi wali berdasarkan madzhab Syafi’iyyah, diantaranya adalah:

1) Berakal 2) Merdeka 3) Islam 4) Laki-laki 5) Baligh 6) Adil

Penjelasan syarat-syarat di atas diantaranya sebagai berikut:14

12 Ibid., 244.

13 Ibid., 251.

31

Syarat pertama berakal, ibarat perwalian ditetapkan pada orang yang memiliki kearifan dan tidak dapat menjadikannya dirinya wali, dan orang yang berakal tidak dapat memiliki kearifan dan tidak dapat menjadikannya dirinya wali. al-Qadhi berkata, bahwa orsng tuan yang telah lama melemah kearifnnya karena faktor usia, ia tidak dapat mengetahui dengan baik begainya perempuan maka tidak ada hak perwalian baginya.

Syarat kedua merdeka, seorang hamba sahaya tidak memiliki hak perwalian, sesuai dengan pendapat sekumpulan ulama madzhab Syafi’iyyah menyatakan bahwa hamba sahaya tidak mempunya ha katas dirinya.

Syarat ketida Islam, orang kafir tidak mempunyai hak dalam perwalian orang muslimah.

Syarat keempat laki-laki, syarat untuk perwalian menurut semua para ulama. Karena laki-laki dianggap sempurna dan perempuan dianggap kurang sempurna sebab pemikirannya yang pendek\.

Syarat kelima baligh, ini syarat yang amat jelas dalam semua madzhab khususnya ulama madzhab Syafi’iyyah bahwa seorang anak kecil (laki-laki) tidak dapat menikahkan sehingga ia bermimpi.

Syarat keenam adil, ada dua pendapat tentang syarat wali perkawinan adil. Yang pertama, disini jelas bahwa tidak akan sah tanpa sikap adil pada walinya. Hukum wali yang fasiq dan dua saksinya adil, bahwa wali yang fasiq dapat merusak akad perkawinan.

32

Ini hakikat yang menyatakan dari perkataan al-Kharqi yang menyatakan bahwa anak kecil, hamba sahaya dan orang kafir dan tidak menyatakan di dalamnya orang fasiq.

Adapun wali yang mengawinkannya dari selainnya, sedangkan wali yang berhak juga datang dan tidak mencegahnya dalam pendapat sebagian pendapat pengikut Mazdhab Syafi’iyyah berkata, bahwasannya jika ia dikawinkan oleh wali yang kedudukannya lebih jauh, sedangkan wali yang dekat juga hair , maka ijab perkawinan tanpa izin dari wali yang lebih dekat tidaklah sah, karena tidak mendapat izin dari wali yang lebih dekat dan lebih berhak dalam perwalian seorang perempuan.15

Dan apabila terdapat wali yang lebih berhak telah disampaikan pemberitahuannya akan tetapi tidak menghadiri perwalian tersebut, maka wali yang lebih jauh kekerabatannya dapat mengawinkannya atau jika tidak ada juga maka penguasa (wali hakim) yang mengawinkannya. Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah berpendapat, bahwa yang dapat mengawinkan jika wali yang lebih dekat tidak ada adalah hakim (penguasa), karena ketidaksampaiannya wali terdekat ke perkawinan dengan tetapnya hak perwalian atasnya, maka hakimlah yang berhak menggantikan kedudukannya.16

Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah berselisih pendapat dalam wali tang tidak datang dan perwaliannya digantikan oleh hakim. Sebagian

15 Ibid., 272.

33

berkata, bahwa jaraknya dekat. Dan sebagian ynag lain berkata, hakim yang mengawinkannya, walaupun wali tersebut termasuk kerabat dekat. Ini adalah hakikat dari apa yang dituliskan oleh Asy-Syafi’i.17

Wali yang memiliki hak memaksa anak perempuannya kawin hanyalah ayah dan kakek. Selain ayah tidak ada yang boleh memasa perempuan yang telah dewasa atau masih kecil untuk kawin. Dalam hal unu pendapat Mazdhab Syafi’iyyah berpendapat, kecuali pada kakeknya, karena ia dijadikan seperti ayah, Karena hak perwaliannya merupakan hubungan anak, maka ia memiliki hak untuk memaksa perempuan seperti ayahnya.18

d. Saksi dalam perkawinan

Keberadaan saksi dalam perkawinan terdiri dari 2 orang saksi. Menurut Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah dan Hanabilah menempatkan saksi sebagai rukun perkawinan.19 Dan bagi Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah berkata, akad tidak akan dilaksanakan kecuali dua saksi laki-laki muslim, walaupun kedua calon pengantin tersebut muslim atau hanya calon laki-lakinya saja yang muslim20.

Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah mengambil pendapat tentang akad kawinnya yang tidak diterima bagi saksi yang fasid. Karena perkawinannya tidak dapat disahkan dengan kesaksian dua orang

17 Ibid., 284

18 Ibid., 307.

19 Ibid., 41.

34

fasiq, mereka berdua dianggap seperti dua orang gila. Dan satu saksi laki-laki dan 2 saksi perempuan tidak diperbolehkan bagi perempuan menjadi saksi dalam perkawinan, walaupun bersama seorang laki-laki untuk mempermudahkan21.

Tidak diperbolehkan saksi dua orang anak kecil, walaupun laki-laki karena mereka bukan termasuk orang yang diterima kesaksiannya dan diperbolehkan menggunakan kesaksian dua orang remaja laki-laki yang berakal. Tidak menerima kesaksian dua orang gila dan semua orang termasuk dalam kelompok yang tidak diterima kesaksiannya, karena kesaksian mereka sia-sia dan kesaksian dua orang bisu tidak diterima.

Sebagian Pengikut Madzhab Syafi’iyyah berpendapat tentang kesaksian dua hamba sayaha laki-laki tidak diterima. Dan kesaksian orang buta dapat diterima, dalam hal ini pandangan Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah memiliki dua pandangan.22

Jadi, dari pendapat Pengikut Mazdhab Syafi’iyyah tersebut dapat disimpulkan bahwa persyaratan dari saksi dalam perkawinan adalah sebagai berikut: 1) Laki-laki 2) Muslim 3) Berakal 4) Baligh 21 Ibid., 230-231. 22 Ibid., 233.

35

5) Tidak tuli dan bisu.

6) Buta (bagi Pengikut Madzhab Syafi’iyyah memiliki dua pandangan, adanya yang berkata tidak boleh dan ada yang berpendapat boleh).

Persyaratan di atas, ada beberapa syarat yang lain dalam melakukan perkawinan, diantaranya sebagai berikut:

a. Penyebab larangan adanya perkawinan

Larangan perkawinan yang dimaksud adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan, yakni perempuan-perempuan mana saja yang haram dikawini oleh laki-laki atau sebaliknya. Maka dari itu di setiap akan mendaftar perkawinan di KUA ketika rafa’ pasti akan ditanyai “apakah pernah ada hubungan dengan calon mempelai” karena itu bertujuan untuk mengetahui calonnya masuk dalam hal larangan untuk dikawini atau tidak.

Kutipan Fiqih Sunnah yang ditulis oleh Sayyid Sabiq ada dua macam perempuan yang diharamkan untuk dikawini, yakni mah}ram mu’abbad dan mah}ram mu’aqqad.23

1) Mah}ram mu’abbad adalah haram untuk mengawini perempuan tersebut untuk selamanya. Ada tiga sebab perempuan yang diharamkan untuk dikawini oleh seorang laki-laki, sebagai berikut: 1). Karena nasab, yakni: ibu kandung, anak perempuan, saudara perempuan seayah seibu atau sekandung, bibi dari pihak

36

ayah, bibi dari pihak ibu, keponakan laki-laki dan perempuan. 2). Karena perkawinan, yakni: mertua, anak tiri yang ibunya sudah digauli, mantu dan ibu tiri. 3). Karenan susuan, yakni: ibu susu, ibu dari ibu susuan, ibu dari dari bapak susunya, saudara perempuan dari ibu susunya, saudara perempuan dari bapak susunya, cucu perempuan ibu susunya, saudara perempuan sesusuan baik seayah atau seibu.

2) Mah}ram mu’aqqad adalah perempuan yang dilarang dikawini hanya untuk semantara saja. Diantaranya: 1). Perempuan yang dikawini dan sesamanya. Artinya perempuan yang masih dalam masa iddah baik cerai hidup atau cerai mati. 2). Perempuan yang tertalak tiga kali bagi suaminya. 3). Poligami melebihi empat orang istri. 4). Perempuan yang bukan beragama samawi. 5). Perempuan murtad.

b. Mahar / Maskawin

Kedudukan mahar / maskawin sebagai kewajiban perkawinan dan sebagai syarat sahnya perkawinan. Bila tidak ada mahar, maka perkawinannya menjadi tidak sah. Dasarnya adalah Q.S. al-Nisa’ ayat 4: ”Berikanlah maskawin (s}adaq / nih}lah) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagai maskawin itu senang hati, maka gunakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap dan nikmat”. Ayat 24: “ Dihalalkan bagimu (mengawini) perempuan-perempuan dengan hartamu (mahar), seperti

37

beristri dengan dia, dan bukan berbuat jahat. Jika kamu telah menikmati (bersetubuh) dengan perempuan itu, hendaklah kamu memberikan kepadanya maskawin yang telah kamu tetapkan”.24 Madzhab Syafi’iyah berpendapat Mahar itu tidak ditentukan baik minimal atau maksimalnya, apapun yang berbentuk harta boleh digunakan sebagai mahar. tetapi sah dengan apa yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak. Alasannya, karena beberapa teks Al-Quran yang menjelaskan tentang mahar dengan jalan kebijaksanaan, layak baginya sedikit dan banyak.

Ulama Syafi’iyah juga mengatakan bahwa mahar manfaat adalah sah. Kaidahnya menurut mereka adalah setiap sesuatu yang dapat menjadi harga dalam jual beli dapat pula menjadi mahar, jika sah membeli rumah dengan harga berupa memanfaatkan suatu tanah pertanian selama waktu tertentu, maka begitu pula sah menjadikan manfaat tersebut sebagi mahar.25

Imam Syafi’I dan pengikutnya memberikan pendapat bahwa ia tidak memberikan batasan terendah dalam memberikan mahar kepada wanita, yang penting dalam perspektif Imam Syafi’I itu mahar mempunyai nilai harga.26

24 Ibid., 10.

25 Ismail Yakub, Terjemah al-Umm, Jilid V, (Jakarta: CV. Faizan, 1984), 287.

38

c. Kesetaraan agama dan kedudukan

Pengikut Madzhab Syafi’iyyah berkata, bahwa selian dari Bani Quraisy tidak setara dengannya, dan selain dari Bani Hasyim tidak setara dengan mereka.

B. Perceraian