• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM

C. Rukun Jual Beli dan Syarat Jual Beli

27

3. Ijma’

Jumhur ulama telah bersepakat bahwa jual beli diperbolehkkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Namun, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan tersebut harus diganti dengan barang lain

yang memiliki nilai sesuai atau sepadan dengan barang yangdibutuhkan.12

C. Rukun Jual Beli dan Syarat Jual Beli 1. Rukun Jual beli

Dalam menentukan rukun jual beli, terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Menurut ulama Hanafiyah

rukan jual beli hanya ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul

(ungkapan menjual dari penjual).13

Berbeda dengan jumhur ulama, mereka menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat yaitu:

a. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli) b. Ada shighat (lafal ijab dan kabul).

c. Ada barang yang dibeli.

d. Ada nilai tukar pengganti barang.

12Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah...75.

13Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah) (Surabaya: UINSA Press, 2014), 20.

28

Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.14

2. Syarat Jual Beli

Syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama adalah sebagai berikut:

a. Orang yang berakad

Ulama fiqh telah bersepakat bahwa orang yang melakukan akad

jual beli haruslah memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Berakal, yaitu dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik bagi dirinya, Apabila salah satu pihak tidak berakal maka

jual beli yang diadakan tidak sah.15 Oleh karena itu jual beli yang

dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila hukumnya tidak sah.

2) Yang melakukan akad adalah orang yang berbeda, yaitu seseorang yang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli. Misalnya, ahmad menjual sekaligus membeli barangnya sendiri, maka jual belinya tidak sah.16

3) Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa), artinya dalam melakukan jual beli salah satu pihak tidak melakukan tekanan atau

14Ibid., 21.

15SuhrawardiK. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 130. 16Abdul Rahman Ghazaly, et.al.,Fiqh Muamalat..., 72.

29

dipaksakan atas pihak lain, sehingga pihak lain tersebut melakukan perbuatan jual beli bukan disebabkan kemauan sendiri, tapi ada unsur paksaan. Jual beli yang dilakukan bukan atas dasar

‚kehendak sendiri‛ adalah tidak sah.17

4) Keduanya tidak mubazir, yaitu pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli bukanlah manusia yang boros (mubazir), sebab orang yang boros di dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak.

5) Baligh (dewasa), dewasa dalam hukum Islam adalah apabila telah berumur 15 (lima belas) tahun, atau telah bermimpi (bagi anak laki-laki) dan haid (bagi anak perempuan). Dengan demikian jual beli yang dilakukan oleh anak kecil adalah tidak sah.

Meskipun demikian anak-anak yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi belum dewasa (belum mencapai usia 15 tahun dan belum bermimpi atau haid). Menurut pendapat sebagian ulama diperbolehkan melakukan perbuatan jual beli, khususnya untuk barang-barang kecil dan tidak bernilai tinggi.18

17Suhrawardi dan Farid Wadji, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 141. 18Ibid., 142.

30

b. Syarat yang terkait denganSighat(Ijab dan qabul)

Dalam transaksi jual beli, sighah diperlukan karena jual beli

adalah akad yang berorientasi pada kerelaan hari dan ijab qabul.19

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. kerelaaan kedua belah

pihak dapat dilihat dari ijab dan qabul yang dilangsungkan.Apabila

ijab dan qabul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan dari pemilik semula. Untuk

itu para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul

adalah sebagai berikut:20

1) Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal, menurut

umhur ulama, atau telah berakal menurut ulaha Hanafiyah.

2) Qabul sesuai dengan Ijab, apabila antara ijab dan qabul tidak

sesuai maka jual beli tidak sah.

3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.

4) Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya.

5) Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul.21

c. Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan (Ma’qud ‘alaih)

Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan adalah sebagai berikut:22

19Tim Laskar Pelangi, Metodelogi Fiqh Muamalah: Diskursus Metodelogi Konsep Interaksi Sosial Ekonomi (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 10.

20Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam..., 21-22.

31

1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. 2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.

3) Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan dilaut atau emas dalam tanah, karena ikan dan emas ini belum dimiliki penjual.

4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

5) Bersih barangnya, maksudnya barang yang diperjualbelikan bukanlah benda yang dikualifikasikan sebagai benda najis atau digolongkan sebagai benda yang diharamkan.

6) Barang tersebut dan harganya diketahui, bila barang tersebut atau harganya tidak diketahui, maka jual beli tersebut tidak sah, karena

mengandung gharar.23

d. Syarat-syarat Nilai Tukar (Harga Barang)

Nilai tukar dari barang yang dijual termasuk unsur terpenting

dalam jual beli. Terkait dengan tukar menukar para ulama fiqh

membedakan antara tsaman dengan as-si’ir. Menurut mereka, ats-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat

secara aktual, sedangkan as-si’ir adalah modal barang yang

seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen.

22Abdul Rahman Ghazaly, et.al.,Fiqh Muamalat..., 75–76. 23Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam..., 133.

32

Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dengan konsumen (harga jual di pasar).

Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat ats-tsaman adalah sebagai berikut:

1) Harga yang disepakati kedua belah pihak.

2) Boleh diserahkan dalam waktu akad, sekalipun secara hukum. Seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang), maka waktu pembayarannya harus jelas.

3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang

diharamkan syara’.24

Disamping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli

diatas, para ulama fiqh juga mengemukakan syarat-syarat lain yaitu

sebagai berikut:

a. Syarat sahnya jual beli.

Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu jual beli di anggap sah apabila:

1) Jual beli itu terhindar dari cacat.

2) Apabila barang yag diperjualbelikan itu benda bergerak, maka barang itu boleh langsung dikuasai pembeli dan harga barang

33

dikuasai penjual. Adapun barang tidak bergerak boleh dikuasasi pembeli setelah surat-menyuratnya diselesaikan sesuai dengan urf’ (kebiasaan) setempat.

b. Syarat yang terkait dengan jual beli.

Jual beli baru boleh dilaksanakan apabila yang berakad mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli. Misalnya. Barang itu milik sendiri, akad jual beli tidak boleh dilaksanakan apabila orang yag melakukan akad tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan akad. c. Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli.

Para ulama fiqh sepakat bahwa suatu jual beli baru bersifat mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiya>r (hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli), apabila jual beli

itu masih mempunyai hak khiya>r, maka jual beli itu belum mengikat

dan masih boleh di batalkan.

Dokumen terkait