• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN DAN

1. Rukun-rukun perkawinan

Menurut ulama syafi’iyah yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala urusannya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.

20

Munib, Hr Sulistri, memahami Kata Dan Istilah Agama, Surabaya: Darussagaff, t.t., h. 16.

21

Muhammadong, Implementasi Pencatattan Perkawian, Jurnal Al Hikmah ,Vol. XV Nomor 1/2014, h. 71.

22

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2004, h. 96.

18

Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:

a. Calon mempelai laki-laki. b. Calon mempelai perempuan.

c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan. d. Dua orang saksi.

e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan kabul yang dilakukan oleh suami. Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk kedalam syarat perkawinan.23

Ulama Malikiyah sebagaimana yang dikutip oleh Amin Suma dalam bukunya juga menyebutkan ada lima macam rukunnya nikah, tetapi dengan unsur yang berbeda dengan ulama’ Syafi’iyah. Kelima rukun nikah yang diungkapkan oleh Malikiyah yaitu;

a. Wali perempuan b. Mas kawin c. Calon suami d. Calon istri dan e. S}igat akad.24

Ulama Hanafiyah sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu. Oleh karena itu yang menjadi rukun perkawinan menurut golongan ini hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan,

23

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat Dan

Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2009, h. 61.

24

sedangkan yang lain seperti saksi dan mahar dikelompokkan dalam syarat perkawinan.25

Walaupun demikian di antara para ulama berbeda-beda dalam menempatkan rukun dan syarat nikah, sesungguhnya di dalam rukun ada persamaan yang disepakati oleh para ulama’, yaitu mengenai akad nikah yang mana berupa “ijab dan kabul”. Ijab yaitu penyerahan calon istri oleh walinya kepada calon suami, dengan ucapan; “saya kawinkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an”. Sedangkan kabul adalah ucapan calon suami atas penerimaan calon istri, yang ucapannya; “saya terima mengawini anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an”. Dan pada dasarnya ijab kabul dilaksanakan secara lisan. Dan apabila dalam hal lisan tidak mungkin dilakukan karena ada sesuatu penyebab maka dapat dilakukan dengan isyarat.26

Di antara ijab dan kabul disyaratkan terjadi dalam satu majlis, tidak disela-selai dengan pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan. Menurut mazhab Syafi’i yang sekarang dipraktekkan di kalangan banyak kaum muslimin Indonesia ijab dan kabul harus berlangsung, yaitu setelah wali calon istri menyatakan ijab, maka calon suami harus segera menyatakan kabulnya tanpa senggang waktu (terus-menerus).27

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas;

a. Adanya calon suami dan calon istri yang akan melakukan perkawinan b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita

c. Adanya dua orang saksi

25

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat Dan

Undang-Undang Perkawinan, h. 60.

26

Ibid, h. 62.

27

Muhammad Jawad Mughniyat, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Penerbit Lentera, 2007, h. 311.

20

d. S}igat akad nikah yaitu ijab dan Kabul yang diucapkan oleh wali ataupun wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon mempelai laki-laki.28

Dari beberapa syarat tersebut yang paling penting ialah ijab kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad. Dari rukun-rukun tersebut juga mempunyai syarat, yaitu syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.

Adapun Syarat-syarat dari Rukun-rukun tersebut adalah: Syarat-syarat calon suami

a. Bukan mahram dari calon istri; b. Tidak terpaksa atas kemauan sendiri; c. Orangnya tertentu, jelas orangnya; d. Tidak sedang ihram.

Syarat-syarat istri

a. Tidak ada halangan syara’, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah;

b. Merdeka, atas kemauan sendiri; c. Jelas orangnya; dan

d. Tidak sedang berihram. Syarat-syarat wali a. Laki-laki; b. Baligh; c. Waras akalnya; d. Tidak dipaksa; e. Adil; dan

f. Tidak sedang ihram. Syarat-syarat saksi a. Laki-laki; b. Baligh;

28

Slamet Abidin dan H.Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, cet. Ke-1, h, 64-68

c. Waras akalnya; d. Adil;

e. Dapat mendengar dan melihat; f. Bebas, tidak dipaksa;

g. Tidak sedang mengerjakan ihram, dan

h. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul.

Syarat-syarat s}igat; s}igat (bentuk akad) hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi, s}igat hendaknya mempergunakan ucapan yang menunjukkan waktu akad dan saksi.29

Syarat-syarat ijab kabul

a. Wali dan calon mempelai pria harus sudah mumayiz.

Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz, maka pernikahannya tidak sah.

b. Ijab kabul harus dilaksanakan dalam satu majlis. Antara s}igat ijab dan s}igat kabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata atau perbuatan lain yang dapat dikatakan memisahkan antara s}igat ijab dan s}igat kabul. Adanya tenggang waktu antara ijab dan qabul menurut urf (kebiasaan) masih dikatakan tidak terpisah, maka hukum akadnya adalah sah. c. Antara s}igat ijab, s}igat kabul tidak boleh berlawanan.

Umpamanya wali mengucapkan maskawin Rp 1.000, tapi mempelai pria mengucapkan Rp 500,. Wali mengatakan anak anaknya si A, tapi mempelai mengatakan si B dan seterusnya.

d. Ijab dan kabul harus dilakukan dengan lisan dan didengar oleh masing-masing pihak, wali, mempelai, maupun saksi.

Selain s}igat ijab qabul itu sendiri, yang terpenting adalah niat masing-masing pihak bahwa mereka melaksanakan akad.30

29

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pres, 2010, h. 12-14.

30

Dokumen terkait