• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN TENTANG JUAL BELI BONEKA

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Dalam menentukan rukun jual beli, terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijāb (ungkapan membeli dari pembeli), dan qabūl (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (riḍā/tarādhi) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindera sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual, menurut mereka boleh tergambar dalam ijāb dan

qabūl, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang

(ta’āṭῑ).22

Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:

a. Ada orang yang berakad atau al-muta’āqidain (penjual dan pembeli). b. Ada ṣῑghat (lafal ijāb dan qabūl).

c. Ada barang yang dibeli.

d. Ada nilai tukar pengganti barang.23

Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.24

22 Ibid., 115.

23 Ibid.

Dalam transaksi jual beli harus terpenuhi empat syarat, yaitu: syarat terjadinya transaksi jual beli, syarat sah jual beli, syarat berlakunya jual beli,

dan syarat keharusan (komitmen) jual beli.25

Adapun syarat terjadinya transaksi jual beli yang sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah sebagai berikut: 1. Syarat terjadinya transaksi jual beli

Syarat terjadinya transaksi jual beli adalah hal-hal yang disyaratkan

terpenuhi agar transaksi dianggap legal menurut syariat.26 Syarat-syarat

sahnya jual beli antara lain adalah: a. Syarat orang yang berakad

Berikut merupakan syarat-syarat orang yang berakad:

1) Baligh dan berakal agar tidak mudah ditipu orang. Batal akad anak kecil, orang gila, dan orang bodoh sebab mereka tidak pandai mengendalikan harta. Oleh karena itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh menjual harta sekalipun miliknya.

Menurut ulama Hanafiyah, apabila transaksi yang dilakukan anak kecil yang telah mumayyiz mengandung manfaat dan mudarat sekaligus, seperti jual beli, sewa menyewa, dan perserikatan dagang, maka transaksi ini hukumnya sah, jika walinya mengijinkan. Dalam kaitan ini, wali anak kecil yang telah

mumayyiz itu benar-benar mempertimbangkan kemaslahatan anak

kecil itu.27

25 Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islamiy..., 304.

26 Ibid.

Sedangkan, Jumhur Ulama berpendirian bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus telah baligh dan berakal. Apabila orang yang berakad itu masih mumayyiz, maka jual belinya

tidak sah, sekalipun mendapat ijin dari walinya.28

2) Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang

kafir untuk merendahkan mukmin.29

3) Orang yang melakukan akad harus berbilang (tidak sendirian). Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh satu orang yang mewakili dua pihak hukumnya tidak sah, kecuali apabila dilakukan oleh ayah yang membeli barang dari anaknya yang masih di bawah umur dengan harga pasaran. Hal ini oleh karena dalam jual beli terdapat dua hak yang berlawanan, yaitu menerima dan menyerahkan. Dan merupakan hal yang mustahil, pada saat yang sama satu orang bertindak sebagai penjual yang menyerahkan barang sekaligus menjadi pembeli yang menerima barang. Hal ini berbeda apabila akad yang dilakukan adalah akad nikah. Dalam akad nikah satu orang bisa mewakili dua pihak, pihak mempelai

laki-laki dan pihak mempelai perempuan.30

4) Atas kemauan sendiri. Jual beli yang dilakukan dengan paksaan

28 Ibid.

29 Hendi Suhendi, Fiqih Mualmalah..., 74-75.

dan intimidasi pihak ke tiga tidak sah karena salah satu prinsip jual beli adalah suka sama suka sesuai dengan al-Quran surat an-Nisa ayat 29. Kecuali pemaksaan itu suatu hal yang mesti dilakukan karena menjaga hak orang, seperti menjual barang gadai karena keputusan hakim untuk melunasi utang.

5) Bukan pemboros dan pailit. Terhadap orang ini tidak dibenarkan melakukan jual beli karena mereka dikenakan hajru (larangan melakukan transaksi terhadap harta). Bagi pemboros dilarang melakukan jual beli adalah untuk menjaga hartanya dari kesia-siaan. Bagi orang pailit dilarang melakukan jual beli karena

menjaga hak orang lain.31

b. Syarat yang terkait dengan ijāb qabūl

Syarat akad yang sangat penting adalah bahwa qabūl harus sesuai dengan ijāb, dalam arti pembeli menerima apa yang di- ijāb-kan (dinyatakan) oleh penjual. Apabila terdapat perbedaan antara qabūl dan ijāb, misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan

yang dinyatakan oleh penjual, maka akad jual beli tidak sah.32

Syarat-syarat sah ijāb qabūl adalah sebagai berikut:

1) Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijāb dan sebaliknya.

2) Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijāb dan qabūl.

3) Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual

31

Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasi pada Sektor Keuangan Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 66-67.

hambanya yang beragama Islam kepeda pembeli yang tidak beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir

untuk merendahkan mukmin.33

c. Syarat barang yang diperjualbelikan

Syarat-syarat benda yang menjadi objek jual beli adalah, sebagai berikut:

1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Misalnya, di sebuah toko, karena tidak mungkin memajang barang dagangan semuanya, maka sebagiannya diletakkan pedagang di gudang atau masih di pabrik, tetapi secara meyakinkan barang itu boleh dihadirkan sesuai dengan persetujuan pembeli dan penjual. Barang di gudang dan dalam proses pabrik ini dihukumkan barang yang ada.

2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, bangkai, khamar dan darah, tidak sah menjadi objek jual beli, karena dalam pandangan syara’ benda-benda seperti itu tidak

bermanfaat bagi muslim.34

3) Barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki. Dengan demikian tidak sah menjual barang yang belum dimiliki oleh seseorang, seperti rumput, meskipun tumbuh di tanah milik

33 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., 71.

perseorangan, dan kayu bakar.

4) Barang yang dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli. Dengan demikian, tidak sah menjual barang yang tidak bisa diserahkan, walupun barang tersebut milik si penjual,

seperti kerbau yang hilang, burung di udara, dan ikan di laut.35

d. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)

Termasuk unsur terpenting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang). Terkait dengan masalah nilai tukar ini, para ulama fikih membedakan

al-thaman dan as-si’r. Menurut mereka, al-al-thaman adalah harga pasar

yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara aktual, sedangkan

as-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang

sebelum dijual ke konsumen (consumtion).36

Oleh sebab itu, harga yang dapat dipermainkan para pedagang adalah thaman. Para Ulama fikih mengemukakan syarat-syarat

al-thaman sebagai berikut:

1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya. 2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum,

seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga

barang itu dibayar kemudian (berutang), maka waktu

pembayarannya harus jelas.

3) Apabila jual beli itu dipertukarkan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayyadah), maka barang yang dijadikan nilai tukar

35 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah..., 190.

bukan barang yang diharamkan syara’, seperti babi dan khamar.37 2. Syarat sah jual beli

Syarat-syarat sah transaksi terbagi menjadi dua macam, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah syarat yang harus ada di setiap jenis transaksi jual beli agar transaksi tersebut dapat dianggap sah

menurut syariat.38

Yang dimaksud dengan syarat umum adalah bahwa transaksi tersebut harus terhindar dari cacat, yaitu kriteria barang yang diperjualbelikan itu tidak diketahui, baik jenis, kualitas maupun kuantitasnya, jumlah harga tidak jelas, jual beli itu mengandung unsur

paksaan unsur tipuan, mudarat,39 serta syarat-syarat yang dapat

membatalkan transaksi jual beli, yaitu syarat yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak transaksi, dan tidak ada ketentuannya dalam syariat dan adat.

Sedangkan syarat khusus adalah syarat yang menyangkut sebagian jenis jual beli saja, seperti apabila barang yang diperjualbelikan itu benda bergerak, maka barang itu boleh langsung dikuasai pembeli dan harga barang dikuasai penjual. Sedangkan barang tidak bergerak, boleh dikuasai pembeli setelah surat menyuratnya diselesaikan, sesuai dengan

‘urf setempat.40

3. Syarat berlakunya jual beli

Untuk sahnya sebuah transaksi jual beli harus terpenuhi dua syarat:

37

Ibid., 119.

38 Wahbah zuhayli, al-Fiqh al-Islamiy..., 379.

39 Nasrun haroen, Fiqih Muamalah..., 119.

a. Hak milik dan hak wewenang. Hak milik adalah hak memiliki barang di mana hanya orang yang memilikinya yang mampu berkuasa penuh atas barang itu selama tidak ada halangan syariat. Sedangkan hak wewenang adalah kekuasaan yang diberikan oleh agama agar bisa melegalkan ataupun melakukan sebuah transaksi.

b. Hendaknya pada barang yang dijual tidak ada hak milik selain

penjual.41

4. Syarat keharusan jual beli

Syarat keharusan atau syarat yang berkaitan dengan kekuatan hukum akad jual beli. Para Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa suatu jual beli baru bersifat mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala macam ḥiyār (hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli). Apabila jual beli itu masih mempunyai hak ḥiyār, maka jual beli itu

belum mengikat dan masih bisa dibatalkan.42

Dokumen terkait