• Tidak ada hasil yang ditemukan

38 rumah tangganya sendiri (daerah - daerah otonom). Desentralisasi

MEMAHAMI PERSOALAN KORUPSI DI DAERAH

38 rumah tangganya sendiri (daerah - daerah otonom). Desentralisasi

ini adalah sistem untuk mewujudkan asas demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara.

Menurut konsep ini, desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam:

Dekonsentrasi (deconcentration) atau ambtelijke decentralisatie adalah pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam desentralisasi semacam ini rakyat tidak diikut sertakan;

Desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie)

atau juga disebut “desentralisasi politik” (politieke decentralisatie) adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende bevoegheid)

kepada daerah - daerah otonom di dalam lingkungannya.

Di dalam desentralisasi politik atau ketatanegaraan ini, rakyat dengan mempergunakan berbagai saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan. Desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) ini dibagi lagi menjadi dua macam:

Desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing - masing (otonom);

Desentralisasi fungsional (functionele decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu.

Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan - kepentingan tertentu diselenggarakan oleh golongan - golongan yang bersangkutan sendiri. Kewajiban pemerintah dalam hubungan ini hanyalah memberikan pengesahan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh golongan-golongan kepentingan tersebut.

24

Kedua pandangan ini membagi desentralisasi teritorial

(territoriale decentralisatie) menjadi dua macam, yaitu: otonomi

(autonomie) dan medebewind atau zelfbestuur. Otonomi berarti pengundangan sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi, menurut

24Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bandung: Binacipta, 1979, hlm: 14.

perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi itu selain berarti perundangan (wetgeving), juga berarti pemerintahan (bestuur).

Seperti dikatakan C.W. van der Pot bahwa autonomie betekent anders dan het woord zou doen vermoeden-regeling en bestuur van eigen zaken, van het de Grondwet noemt, eigen huishouding. Hal ini berbeda dengan pendapat J.J. Schrieke yang mengatakan bahwa

autonomie adalah eigen meesterschap, zelfstandigheid, dan bukan

onafhankelijkheid.

25

Dengan diberikannya hak dan kekuasaan perundangan / pengaturan dan pemerintahan kepada badan - badan otonom, seperti propinsi, kotamadya dan seterusnya, badan - badan tersebut dengan initiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya dengan jalan mengadakan peraturan - peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan Undang - Undang dasar atau perundang - undangan lainnya yang tingkatnya lebih tinggi, dan dengan jalan menyelenggarakan kepentingan umum.

26

Maka dengan demikian, adalah kurang tepat kalau dikatakan bahwa otonomi dan medebewind (tugas pembantuan) sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah asas penyelenggaraan dalam pemerintahan daerah. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah “misleading” dan dikhawatirkan akan menyesatkan, baik ditinjau dari perspektif akademik, maupun dari tataran operasional. Karena, otonomi

adalah hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dengan perkataan lain, otonomi itu merupakan manifestasi atau perwujudan kewenangan yang diberikan (“toekennen”) oleh pemerintah pusat, sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi teritorial

(territoriale decentralisatie) sebagai suatu sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Kalau dikatakan, bahwa otonomi itu bermakna kebebasan atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan

25 Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Ibid: 15.

26Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,

40

(onafhankelijkheid), maka di dalamnya terkandung dua aspek utama, Pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk menyelesaikan suatu urusan; Kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan dan menetapkan sendiri cara - cara penyelesaian tugas tersebut.

27

Dengan demikian, otonomi dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menggunakan prakarsa sendiri atas segala macam nilai yang dikuasai untuk mengurus kepentingan umum (penduduk). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu merupakan wujud pemberian kesempatan yang harus

dipertanggungjawabkan.

28

Kemudian mengenai medebewind atau zelfbestuur, diartikan sebagai pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas untuk minta bantuan kepada pemerintah daerah/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan pemerintah pusat atau rumah tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas) tersebut.

Istilah zelfbestuur adalah terjemahan dari selfgovernment

yang di Inggris diartikan sebagai segala kegiatan pemerintahan di tiap bagian dari Inggris yang dilakukan oleh wakil - wakil dari yang diperintah. Di Belanda medebewind atau zelfbestuur diartikan sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan - kepentingan dari pusat atau daerah - daerah yang tingkatannya lebih atas oleh alat - alat perlengkapan daerah yang lebih bawah. Dalam menjalankan tugas - tugas medebewind, urusan - urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat cq daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang dimintakan bantuan.

Akan tetapi, bagaimana cara daerah otonom yang dimintakan bantuan itu, dalam melakukan bantuannya itu diserahkan sepenuhnya kepada daerah itu sendiri. Daerah otonom yang diminta bantuan itu tidak berada di bawah perintah dari dan

Logeman, “Het Staatsrecht der Zelfregelende Gemeenschappen” dalam Ateng

Syafrudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Bandung: Binacipta, 1983, hlm.23. Logeman, “Het Staatsrecht der Zelfregelende Gemeenschappen” Ibid: 25.

tidak pula dapat diminta pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat/ daerah yang lebih tinggi.29 Selanjutnya dikatakan, bahwa

“Jika ternyata ada daerah yang tidak menjalankan tugas bantuannya atau tidak begitu baik melakukan tugasnya, sebagai sanksinya pemerintah pusat/ daerah yang minta bantuan hanya dapat menghentikan perbuatan dari daerah yang dimintakan bantuan, untuk selanjutnya dipertimbangkan tentang pelaksanaan kepentingan atasan termaksud dengan jalan lain, dengan tidak mengurangi hak pemerintah pusat/ daerah yang minta bantuan untuk menuntut kerugian dari daerah yang melalaikan kewajibannya.” 30

Berbeda dengan konsep medebewind menurut versi Indonesia yang menurut Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebut dengan tugas pembantuan, yaitu suatu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa untuk melaksanakan tugas tertentu, disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Jadi, antara yang menugaskan (pemerintah pusat) dan yang ditugaskan ada hubungan sub - ordinasi, karena yang ditugaskan berkewajiban untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkannya.

Pengertian tugas pembantuan versi Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 menurut pandangan saya adalah keliru, karena kalau itu rumusannya berarti “dekonsentrasi” bukan tugas pembantuan, karena dalam konsep itu pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, semuanya disediakan oleh pemerintah pusat. Padahal, di dalam konsep tugas pembantuan yang perlu disediakan oleh pemerintah pusat adalah hanya pembiayaan, sedangkan peralatan dan personil justru merupakan kewajiban pemerintah daerah dalam upaya membantu pelaksanaan tugas tertentu dari pemerintah pusat atau pem erintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya.

Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, op.cit: 21.

Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Ibid: 21-24.

42

Dokumen terkait