• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN

7.2 Rumusan Penguatan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial

sangat sulit untuk dilaksanakan. Kesulitan yang dijumpai terutama menyangkut pengendalian dan pengawasan, sebab membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal PHKA, Balai Besar KSDA Sulsel, serta LIPI memiliki kendala dalam melaksanakan peraturan perundang- undangan pemanfaatan SL. Besarnya kewenangan instansi pusat dalam mengatur pemanfaatan SL dihadapkan pada karakteristik SL kupu-kupu di habitat alam sebagai CPRs, hal ini menyebabkan implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL tidak efektif. Tidak efektifnya implementasi peraturan perundang-undangan tersebut disebabkan oleh instansi pemerintah pusat khususnya Balai Besar KSDA Sulsel memiliki tanggung jawab yang terlalu luas. Balai KSDA mempunyai tugas bukan hanya mengatur dan mengendalikan pemanfaatan SL dari berbagai jenis, tetapi mencakup pengelolaan kawasan sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 ayat (2) Permenhut 02/2007.

Pelaksanaan inventarisasi dan monitoring populasi sebagai dasar penetapan kuota penangkapan kupu-kupu untuk tujuan komersial khususnya untuk Provinsi Sulawesi Selatan belum dilaksanakan sebab membutuhkan biaya serta tenaga yang tidak sedikit. Sementara itu, instansi pemerintah pusat tersebut memiliki keterbatasan dalam hal pendanaan serta sumber daya manusia.

Berdasarkan temuan di lapangan, terdapat beragam latar belakang dan umur para penangkap kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul, bahkan para penangkap tersebut didominasi oleh anak-anak laki-laki usia sekolah (SD─SMU). Sementara menurut Pasal 26 ayat (1) Kepmenhut 447/2003 bahwa penangkapan SL wajib diliput dengan izin.

Pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros memerlukan aturan operasional sebagai penjabaran dari PP 38/2007. Peraturan opersional tersebut disusun berdasarkan karakteristik alami SL kupu-kupu yang memiliki siklus hidup spesifik serta musim perkembangbiakan. Selain itu, peraturan operasional tersebut perlu mempertimbangkan karakteristik masyarakat pemanfaat serta nilai penting kupu-kupu bagi TN Babul maupun Kabupaten Maros.

Berpijak pada beberapa permasalahan yang telah dijelaskan tersebut, maka rumusan penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros dapat ditempuh melalui upaya: (1) pendelegasian wewenang pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu kepada Pemerintah Kabupaten Maros; (2) penyusunan aturan operasional pemanfaatan komersial kupu-kupu; dan (3) izin penangkapan dan izin peredaran kupu-kupu untuk tujuan komersial diberikan kepada pengumpul pedagang dengan mendaftarkan atau melaporkan seluruh penangkap yang dikoordinirnya secara periodik.

7.2.1 Pendelegasian Wewenang Kepada Pemerintah Kabupaten Maros Hasil penelitian ini menekankan pentingnya pendelegasian wewenang (desentralisasi) pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu kepada Pemerintah Kabupaten Maros. Alasan teoritisnya bahwa dengan pelimpahan wewenang kepada Pemerintah Kabupaten Maros, maka efisiensi alokasi pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam di daerah penyangga TN Babul sebagai CPRs ketika berhadapan dengan berbagai preferensi warga, dapat dipertahankan.

Mekanisme pendelegasian wewenang pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros dapat ditempuh melalui 2 cara. Pertama, Kementerian Kehutanan menerbitkan peraturan tentang pedoman pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam, seperti halnya peraturan tentang pemanfaatan sarang Burung Walet (Collocalia spp) yang diatur melalui Kepmenhut 100/200315. Pasal 8 ayat (1) dalam Kepmenhut 100/2003 menyebutkan bahwa:

"... Izin pemanfaatan sarang Burung Walet di habitat alami yang lokasinya berada di luar kawasan Cagar Alam dan kawasan Suaka Margasatwa, di luar kawasan Taman Nasional, di luar kawasan Taman Wisata Alam dan di luar Taman Buru, diberikan oleh Bupati/Walikota setempat ...".

Kedua, Pemerintah Kabupaten Maros mengajukan permohonan kepada Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri untuk melaksanakan pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Hal tersebut mengacu kepada PP 38/2007, Pasal 14 ayat (2) yang menyebutkan bahwa:

"... Dalam hal pemerintahan daerah provinsi atau pemerintahan daerah kabupaten/kota akan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini terlebih dahulu mengusulkan

kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapat

penetapannya...".

Terkait dengan hal ini, dibutuhkan kesediaan atau kerelaan dari Kementerian Kehutanan (Ditjen PHKA) untuk mendelegasikan sebagian kewenangnya yang terkait dengan pengaturan pemanfaatan SL khususnya pemanfaatan komersial kupu-kupu kepada Pemerintah Kabupaten Maros. Pendelegasian wewenang tersebut perlu disertai dengan kejelasan tugas-tugas bagi pihak yang didelegasikan serta pemberi delegasi. Menurut Ekawati (2007) bahwa hal krusial yang menjadi kendala dalam memberikan tugas-tugas ini kepada daerah, yaitu kendala kemampuan daerah, khususnya yang menyangkut sumber daya manusia dan keuangan daerah.

Kementerian Kehutanan selanjutnya melakukan pembinaan dan pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian Dalam Negeri melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan mampu menciptakan harmonisasi antar kementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.

Berdasarkan mekanisme pendelegasian wewenang tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Maros selanjutnya membuat peraturan daerah tentang pemanfaatan komersial kupu-kupu. Beberapa contoh pembuatan peraturan daerah

15

yang terkait dengan pemanfaatan sarang Burung Walet telah dibuat oleh beberapa pemerintah kabupaten di seluruh Indonesia.

Peraturan daerah tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari PP 38/2007, sehingga diharapkan menjadi payung hukum bagi Pemerintah Kabupaten Maros dalam menjalankan fungsinya mengatur pemanfaatan komersial kupu-kupu. Pentingnya peraturan tersebut adalah untuk mensinkronkan keseluruhan peraturan perundang-undangan, baik antara peraturan yang terkait dengan pemanfaatan SL sebagai peraturan sektoral dengan peraturan yang terkait dengan otonomi daerah.

Pendelegasian wewenang pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu kepada Pemerintah Kabupaten Maros bertujuan untuk mendekatkan serta meningkatkan pelayanan kepada warga pemanfaat kupu-kupu. Selain itu bertujuan untuk melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul.

Konsekuensi dari pelibatan partisipasi aktif tersebut maka ide co-

management dalam pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu menjadi suatu

keniscayaan, di mana Pemerintah Kabupaten Maros dapat membagi kewenangan, tanggung jawab, dan fungsi pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu dengan kelompok masyarakat yang tergabung dalam Forum Pelestari Kupu-Kupu.

Dalam rangka co-management tersebut, peranan yang lebih besar diharapkan dilakukan oleh Forum Pelestari Kupu-Kupu sebagai perwakilan dari warga. Hal ini diperlukan karena Forum Pelestari Kupu-Kupu dapat menjadi penghubung antara kebijakan pemerintah dengan implementasi peraturan di lapangan. Oleh sebab itu, untuk memperkuat keberadaan forum ini maka perlu kekuatan hukum yang mengikat yang diatur melalui peraturan yang dibuat oleh instansi terkait. Selain itu forum ini dapat merumuskan aturan main bagi masing- masing anggotanya. Pada tingkat lapangan, forum tersebut masih perlu diperkuat melalui proses pendampingan.

7.2.2 Penyusunan Aturan Operasional Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu Penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros selanjutnya disusun dalam bentuk aturan operasional yang spesifik sesuai dengan karakteristik alami SL kupu-kupu. Peraturan operasional tersebut disusun dengan mengacu kepada PP 8/1999 serta Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati sebagai wujud dari pendelegasian wewenang tersebut. Kepmenhut 447/2003 dan Permen LH 29/2009 dijadikan sebagai norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dengan beberapa penyelarasan sesuai dengan PP 38/2007. Peraturan operasional tersebut memuat antara lain tentang: (1) batasan sumber daya kupu-kupu yang dapat dimanfaatkan; (2) batasan pelaku pemanfaatan; (3) aktivitas pemanfaatan; serta (4) mekanisme sanksi.

Peraturan operasional menyangkut batasan sumber daya kupu-kupu yang boleh dimanfaatkan secara komersial mengatur antara lain tentang: (a) penangkapan dari habitat alam hanya dapat dilakukan di luar kawasan TN Babul; (b) spesimen kupu-kupu yang dapat diperdagangkan adalah jenis-jenis yang tidak dilindungi; serta (c) jenis dan jumlah spesimen kupu-kupu yang dapat ditangkap dibatasi oleh kuota penangkapan.

Kuota penangkapan penting untuk menjamin suksesnya regenerasi kupu- kupu di habitat alam. Penetapan kuota dilakukan berdasarkan data dan informasi

yang akurat dari semua pihak yang terlibat dengan pemanfaatan komersial kupu- kupu di daerah penyangga TN Babul. Supaya kuota tersebut efektif dan dipatuhi oleh warga, maka penetapan kuota secara lokal lebih baik. Pengetahuan warga pemanfaat tentang jenis kupu-kupu, rasio kelamin, musim berkembang biak dan sebaran lokasinya, perlu diakomodir sebagai sumber data dalam rangka penetapan kuota penangkapan. Penetapan kuota tersebut dapat dilakukan secara bersama- sama oleh para pelaku pemanfaat kupu-kupu, Pemerintah Kabupaten Maros serta Balai Besar KSDA Sulsel.

Batasan pelaku pemanfaat terkait dengan siapa-siapa yang boleh terlibat dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul. Aturan operasional yang disusun dapat memberikan defenisi yang jelas tentang siapa- siapa dari warga yang boleh terlibat sebagai penangkap, pengumpul pedagang, dan pengrajin souvenir yang memiliki hak akses dan hak pemanfaatan. Secara teknis beberapa contoh yang dapat dilakukan adalah dengan menerbitkan kartu anggota sebagai bukti sah.

Aturan operasional pemanfaatan komersial kupu-kupu diharapkan efektif mengatur permintaan (demand) antara lain dengan mengendalikan jumlah penangkap yang boleh melakukan aktivitas penangkapan. Aturan tersebut juga diharapkan efektif mengatur persediaan (supply), yaitu menyangkut pengaturan lokasi penangkapan, waktu dan musim penangkapan, kualitas kupu-kupu yang boleh ditangkap, upaya pencegahan terhadap perusakan habitat kupu-kupu, serta meningkatkan penanaman jenis-jenis tumbuhan pakan larva dan imago kupu-kupu di seluruh pekarangan rumah warga. Sebab bagi kupu-kupu, ketersediaan dan kelimpahan tanaman penghasil nektar dan tanaman inang adalah salah satu persyaratan yang paling penting (Kramer et al. 2012).

Adopsi pengetahuan lokal dalam aturan operasional pemanfaatan komersial kupu-kupu menjadi penting terkait dengan prinsip pengelolaan pemanfaatan SL yang adaptif dan partisipatif. Aturan operasional dibangun dari pengetahuan masyarakat, seperti misalnya mengenai kriteria kualitas kupu-kupu (A1, A-, A2, dan A3) ditujukan untuk membuat aturan penangkapan secara selektif sesuai dengan segmen pasar tertentu. Bioekologi dari jenis-jenis kupu-kupu seperti pola sebaran (berkelompok, soliter), atau menyukai (preferensi) terhadap habitat tertentu, musim kemunculan pada periode waktu tertentu, seluruhnya merupakan pengetahuan lokal masyarakat yang dapat diadopsi menjadi aturan operasional bagi penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu.

Dalam konteks penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros, sistem sanksi dan penegakan hukum dirancang dalam kerangka co-management. Sebab dalam kerangka co-

management, penegakan hukum bersifat efektif dan efisien karena alokasi biaya

dapat diminimalisir dengan mengurangi kerangka proses hukum secara struktural (Adrianto et al. 2011). Pengenaan sanksi secara ekonomi seperti denda atau sanksi sosial oleh komunitas lokal terhadap pelaku pelanggaran dalam banyak kasus cukup efektif. Dengan demikian, penyelesaian masalah pelanggaran dapat lebih efektif dan efisien.

7.2.3 Izin Pemanfaatan Kepada Pengumpul Pedagang

Hasil temuan menunjukkan bahwa para penangkap kupu-kupu umumnya merupakan anak-anak usia sekolah, sehingga sulit untuk mewajibkan mereka

mengurus izin penangkapan secara perorangan. Sementara itu, para penangkap tersebut umumnya dikoordinir oleh para pengumpul pedagang. Oleh sebab itu, izin penangkapan kupu-kupu untuk tujuan komersial diwajibkan kepada pengumpul pedagang. Dengan ketentuan bahwa para pengumpul pedagang wajib melaporkan para penangkap yang dikoordinirnya secara periodik kepada instansi terkait. Izin peredaran juga diwajibkan kepada pengumpul pedagang. Instansi terkait perlu melakukan sosialisasi tentang prosedur dan tata cara pengurusan izin, pembinaan kepada pengumpul pedagang yang telah memiliki izin, serta fasilitasi pengurusan izin bagi para pengumpul pedagang yang belum memiliki izin, baik izin penangkapan maupun izin peredaran.

8 SIMPULAN DAN SARAN