Kepentingan
Oleh : Bambang Wirahyoso, Hadi Purnomo, Abdon Nababan
Sektor Pekerja – dari Isu Subversi ke Kriminalisasi :
SEPANJANG sejarah hubungan industrial, masyarakat pekerja merupakan
kelompok yang termarjinalisasi dan yang tidak diuntungkan, walaupun sebenarnya pekerja telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan terhadap prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja. Namun berdasar fakta di lapangan posisi pekerja tidak diuntungkan secara politik, sosial dan ekonomi. Bahkan masyarakat pekerja berada dalam kondisi terancam, tidak menikmati hak-hak dan kebebasan fundamental. Dalam konflik hubungan industrial kita banyak menemukan pelanggaran-pelanggaran normatif yang pada akhirnya memperlihatkan bahwa law enforcement tidak berjalan. Oleh karena itu posisi pekerja adalah tidak beruntung, rentan dan termarjinalisasi.
Di Indonesia konflik hubungan industrial banyak terjadi dalam bentuk aksi unjuk rasa akibat masih adanya pelanggaran hak normatif yang merupakan hak dasar pekerja, karena lemahnya penegakan hukum. Di satu sisi perusahaan terus menigkatkan produktivitas dan keuntungan, di sisi
lain, buruh kesulitan menyekolahkan anaknya, sulit makan dan tidak punya rumah yang layak.
Persoalan lain, sebagian besar buruh tidak terlindungi hak-haknya karena tidak termasuk (tidak memiliki serikat buruh). Sebagai contoh buruh di Surabaya berjumlah sekitar 1,3 juta orang, bekerja pada tiga ribu perusahaan. Dari jumlah itu hanya 7 persen yang menjadi anggota serikat buruh, yang hak normatifnya telindungi. Bagaimana dengan sisanya?
Kebebasan berorganisasi sudah diundangkan, tapi buruh kontrak tidak pernah punya hak berorganisasi. Jika mereka ikut bergabung dengan serikat buruh maka bisa dipastikan kontraknya akan habis, tidak diperpanjang oleh perusahaan.
Pengertian HAM dari sudut pekerja adalah hak dasar yang melakat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi, meliputi hak hidup, berkeluarga, mengembangkan diri, keadilan dan kemerdekaan, berkomunikasi, keamanan, kesejahteraan yang tidak boleh dirampas oleh siapapun. Definisi ini sebenarnya sudah sangat lengkap. Sehingga pemenuhan salah satu hak saja tidak menyelesaikan masalah.
Deklarasi ILO yang memberikan ketentuan-ketentuan mengenai perusahaan multinasional dan kebijakan sosial (1977) telah menetapkan prinsip-prinsip utama dalam lapangan kerja dan hubungan kerja, pelatihan, kondisi kehidupan pekerja serta hubungan industrial yang merupakan perwujudan hak-hak dasar di tempat kerja, termasuk di dalamnya hak berserikat, perundingan bersama, penghapusan kerja paksa, penghapusan pekerja anak dan penghapusan diskriminasi di tempat kerja. Pemerintah, pengusaha dan organisasi pekerja diminta komitmennya untuk mematuhi prinsip-prinsip dalam deklarasi tersebut secara sukarela.
Bagaimana situasi CSR di Indonesia ? Sebagai pelaksana dari tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan-perusahaan multinasional semakin marak membuat code of conduct. Kebanyakan code of conduct dibuat secara sepihak yang lebih bersifat sebagai alat untuk mempengaruhi pendapat masyarakat terhadap kinerja perusahaan. Jadi ada atau tidaknya serikat buruh, perusahaan bisa membuat code of conduct sendiri tidak
melibatkan serikat pekerja. Sehingga maraknya CSR melalui pembuatan code of conduct ini menimbulkan kekhawatiran yang nantinya menjadi sebuah peraturan yang menutup peran pemerintah dalam pengawasan ketenagakerjaan, karena sudah cukup menyerahkan pelaksanaan code of conduct kepada perusahaan.
Lalu juga muncul kekhawatiran terhadap lembaga-lembaga yang menyusun peraturan ini. Perlu ada upaya mengurangi kesenjangan dalam sebuah perusahaan.
Di Indonesia perusahaan multinasional semakin banyak membuat code of conduct, sebagai respon mereka untuk mempengaruhi pendapat masyarakat terhadap kinerja perusahaan.
Pertimbangan lain adalah, meski perusahaan memiliki program CSR dan code of conduct, pelanggaran terhadap hak normatif buruh masih terjadi seperti diungkapkan di muka, terutama buruh kontrak, yang tidak mendapat cuti hamil, dan lain-lain. Apa artinya CSR jika hak normatif saja tidak dilindungi negara ? Sebagai contoh ada sebuah perusahaan sepatu multinasional yang giat memberikan penghargaan terhadap pegiat dan pejuang HAM di seluruh dunia, tetapi membayar buruhnya sangat murah. Jadi ada standar ganda. Maka CSR tidak lebih dari sebuah kedok korporasi dalam mengambil keuntungan dengan cara yang lain.
Code of conduct hendaknya dilakukan secara luas, sehingga banyak lembaga independen yang melakukan monitoring bermunculan. Sayangnya lembaga monitoring itu tidak melakukan kerja sama yang baik dengan serikat buruh, sehingga terkesan pelaksanaan code of conduct itu sebagai lips service dan jawaban terhadap publikasi yang diterbitkan yang mengkritik kinerja perusahaan.
Kesimpulan :
• Ketika peran negara melemah, adalah tanda tanya besar jika diimbangi dengan peran korporasi yang semakin kuat, karena wataknya tidak lebih dari mencari keuntungan.
• Pelaksanaan HAM dalam praktik bisnis masih bersifat keterpaksaan. Koreksi yang dilakukan oleh korporasi masih sebatas jawaban atas koreksi yang muncul, jadi belum menjawab masalah-masalah perburuhan yang substantif.
• COC sebagai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan masih sekedar alat propaganda perusahaan saja untuk membangun citra di masyarakat. Ketika ada monitoring seolah-olah kondisi kerja diperbaiki padahal selanjutnya kita tidak tahu.
• Sebenarnya jika law enforcement berjalan secara efektif, maka peraturan standar perburuhan dapat diimplementasikan dengan baik. Kelemahannya adalah pengawasan tidak efektif sehingga implementasi kebijakan pemerintah soal perburuhan tidak berjalan. Padahal CSR sebenarnya adalah pelaksanaan dari standarisasi hak-hak di tempat kerja.
Hak-hak Masyarakat Adat Versus Bisnis Industri Ekstraktif atau negara ?
Uraian di bawah ini lebih kepada pengalaman dalam mendampingi masyarakat adat selama hampir 10 tahun terakhir melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Euforia reformasi dan turunnya Soeharto memunculkan tensi konflik dan kekerasan terhadap masyarakat adat kian marak, di mana perangkat represi negara ikut turun. Ini membuat perusahaan di daerah-daerah panik, sehingga responnya macam-macam, misalnya memanggil tentara masuk [menjaga usaha mereka] atau memelihara preman. Bahkan dalam beberapa kasus biaya untuk preman ini terkadang disebut sebagai community development. Ini terjadi karena memang konsepnya tidak jelas.
Konflik-konflik tersebut sebenarnya bukan antara masyarakat adat dengan perusahaan, tapi dengan pemerintah yang memberikan konsensi tanpa konsultasi. Negara membiarkan situasi ini berkembang, akhirnya masyarakat adat lalu berhadapan dengan korporasi. Frustasinya masyarakat adat ini bisa kita lihat dari pernyataan masyarakat yang tercermin dalam Kongres
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara I :”Kalau negara tidak mengakui kami, kami tidak mengakui negara”.
Secara historis pelanggaran hak-hakmasyarakat adat terjadi seiring proses pembentukan negara, yakni sejak era kerajaan/kesultanan, di mana terjadi persekongkolan antara kepentingan ekonomi politik pihak asing (pemilik modal dan para pedagang dari luar) dengan para elit lokal di nusantara. Para elit kekuasaan kemudian mulai mengembangkan berbagai perlengkapan politik untuk mengendalikan aspirasi masyarakat adat.
Proses ini terus berlanjut pada era Orde Baru hingga era otonomi daerah sekarang ini. Ciri utama pemerintahan rezim Orde Baru sebagai perpaduan kapitalisme, militerisme dan budaya politik kerajaan yang kemudian dibungkus dalam politik pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi. Masyarakat adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini, baik dari jumlah populasi, yang saat ini diperkirakan antara 50-70 juta orang, maupun nilai kerugian material dan spiritual atas penerapan politik pembangunan selama Rezim Orde Baru berkuasa.
Kondisi ini menjadi ironis karena di satu sisi masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia, namun hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas adat secara sistematis disingkirkan dari agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai “masyarakat terasing”, “masyarakat primitif” dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural.
Banyak kebijakan dan produk hukum secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan sumber daya alam, yang merupakan wilayah-wilayah adat, berada di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Berbagai peraturan perundang-undangan sektoral, sepertu UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang, telah menjadi instrumen untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif
dan nepotis kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki segelintir elit politik dan kroni-kroninya. Sungguh menakjubkan, bahwa kenyataannya sama UU ini tidak sesuai, atau bahkan bisa juga dikategorikan melanggar amanat pasal 18 UUD 1945.
Politik sumber daya alam yang sentralistik, represif dan sangat tidak adil ini, telah menimbulkan konflik kekerasan atas sumber daya alam antara masyarakat adat dengan penyelenggara negara dan pemilik modal yang melibatkan aparat keamanan. Konflik vertikal ini akhirnya banyak menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh penggiat dan pejuang hak-hak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekalipun seperti mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi pendudukan lahan, pengambilalihan ‘base camp’, penyanderaan alat-alat berat perusahaan selalu berujung pada tuduhan anti pembangunan dan kriminalisasi.
Kebijakan ekonomi khususnya dalam alokasi dan pengelolaan sumber daya alam, yang hanya memihak kepentingan modal ini nyata-nyata telah berdampak sangat luas terhadap kerusakan alam dan kehancuran ekologis. Korban pertama dan yang utama dari kehancuran ini adalah masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, di atas berbagai jenis mineral bahan tambang, mendiami pesisir dan mencari penghidupan di laut. Kebijakan sektoral yang ekstraktif (kuras cepat sumber daya alam sebanyak-banyaknya, jual murah secepat-cepatnya) tidak memberi kesempatan bagi kearifan adat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam kurikulum pendidikan formal.
Selain mengambil alih secara langsung sumber daya ekonomi primer, pemerintah melalui berbagai kebijakan perdagangan hasil bumi secara sistematis mengendalikan kegiatan ekonomi masyarakat adat. Pemberian monopoli kepada asosiasi atau perusahaan tertentu dalam perdagangan komoditas yang diproduksi masyarakat adat, seperti rotan dan sarang burung walet, pemerintah bertindak sebagai “pelayan” bagi para pemilik
modal untuk merampas pendapatan yang sudah semestinya diperoleh masyarakat adat.
Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ini juga ditopang oleh tatanan politik yang otoriter. Pada masa ini hampir tidak ada ruang publik di tingkat lokal. Kondisi ini bermuara pada politik penghancuran sistem pemerintahan adat yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus sepanjang masa pemerintahan rezim ini. Upaya penghancuran ini secara gambling bisa dilihat dari pemaksaan konsep desa yang seragam di seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sistem desa, dengan segala peringkatnya seperti LKMD dan RK/RT, secara “konstitusional” menusuk “jantung” masyarakat adat, yaitu berupa penghancuran atas sistem pemerintahan adat. Akibatnya kemampuan (energi dan modal sosial) masyarakat adat untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri secara mandiri menjadi punah.
Negara telah melakukan pelanggaran hak-hak sipil dan politik masyarakat adat selama lebih dari 20 tahun, termasuk hak asal-usul dan hak-hak tradisional yang dilindungi oleh UUD 1945. Angin “reformasi” tidak serta merta diikuti dengan perubahan kebijakan dan hukum yang berarti dalam pengelolaan sumber daya alam.
Otonomi Daerah merupakan tantangan paling nyata dan sangat kritis bagi masyarakat adat dalam mewujudkan kedaulatannya atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Otonomi daerah baru mengatur sistem pemerintahan (governance system), belum cukup mengatur sistem pengurusan (governance system), sehingga belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah. Pemerintah daerah berlomba-lomba mengeluarkan Perda untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya.
Respon dan konflik-konflik tersebut di atas kemudian melahirkan program community development (CD) atau perumusan code of conduct perusahaan. Biasanya bentuknya adalah bantuan uang ke organisasi-organisasi pemuda untuk menyelenggarakan acara masyarakat atau membangun tempat
ibadah. Kadang mereka memberikan dana ke organisasi preman sebagai dana CD sebagai bagian dari CSR. Padahal kalau masyarakat adat berunjuk rasa yang dihadap-hadapkan mereka-mereka ini.
Praktik community development yang lain misalnya di Riau Andalan Pulp and Paper, mereka ini sebenarnya punya program CD yang bagus, mulai dari pelatihan sampai program Hutan Tanaman Rakyat. Namun program mereka ini tidak memiliki relevansi dengan konflik-konflik tenurial yang sebenarnya jadi inti permasalahan. Jadi CD yang dibangun hanya untuk meredam sementara konflik-konflik yang muncul. Lalu muncul konflik yang lain lagi karena dipendam. Ada masalah dilematis, perusahaan menghadapi ketidakpastian aksi-aksi lokal itu, sementara mereka tidak bisa mengandalkan pemerintah untuk adanya kepastian usaha. Sehingga pada gilirannya perusahaan harus mengeluarkan uang yang banyak untuk meredam konflik itu.
Dengan fenomena itu CSR (corporate social responsibility) hanya bersifat sementara, bukan upaya yang berlangsung lama. Kalau CSR berlangsung lama maka korporasi malah mengambilalih kewajiban negara dalam perlindungan hak. Untuk sementara CSR bisa diterima karena ada ketidakpastian hukum ketidakpastian politik dan macam-macam.
Jadi tidak bisa disebut bahwa CSR-lah yang bisa melindungi hak masyarakat adat. Ini tidak mungkin, karena pendekatan masyarakat adat adalah rights based development, padahal CSR hanya memenuhi hak-hak kesejahteraan, cukup makan, cukup minum dan lain-lain. Sementara hak masyarakat adat adalah juga meliputi hak asal-usul, hak yang melekat sebelum negara ada.
Masyarakat adat dalam konteks itu memang menerima CD namun bukan karena pilihan tapi karena terpaksa, sebab kalau tidak menerima mau apa? Skema-skema yang ada juga tidak tersedia. Mau membentuk community logging atau hutan berbasis adat, izin Departemen Kehutanan tidak ada, karena kayu diperuntukkan bagi korporasi. Masyarakat adat itu cukup untuk hasil hutan non-kayu. Community Mining tidak ada aturannya.
Hukum kita itu melayani korporasi, khususnya strategic resources yaitu kayu, ikan, dan tambang itu untuk korporasi, bukan untuk rakyat.
Jadi CSR hanyalah pemadam kebakaran. Kalau pemerintah tidak mengambil alih tanggung jawab, maka CSR hanya jadi sementara. Boleh saja negara menggunakan CSR sebagai salah satu alat untuk memenuhi hak, namun jangan satu-satunya.