• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV WATAK TOKOH-TOKOH DALAM KUMPULAN CRITA

4.1.7. Sabar

a.Wedhus (Crita cekak”Jaring”)

Tokoh Wedhus merupakan tokoh tambahan dimana hanya muncul beberapa kali saja dalam cerita. Tokoh Wedhus merupakan tokoh yang baik dan sabar terhadap orang lain. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kutipan di bawah ini.

Wedhus unjal ambegan landhung. Sajak rumangsa bisa nggelar-nggulung kedadeyan mau. Rinasa ora ana sing ngganjel nyumurupi apa sing katindakake Kancil”.

(”Jaring” hlm 35)

Wedhus lalu bernafas lega. Ia tidak merasa yang memulai dan mengakhiri kejadian tadi. Seperti tidak ada yang mengganjal dengan apa yang dilakukan oleh Kancil.

Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Wedhus adalah tokoh yang sabar. Ia bisa meredam kemarahannya saat cecok dengan Kancil. Penggambaran tokoh yang dilakukan oleh pengarang adalah secara tidak langsung atau disebut dengan teknik ekspositori.

b. Ibu Tina ( Crita cekak ”Suwung” )

Ibu Tina merupakan tokoh tambahan, karena kemunculannya hanya beberapa kali saja. Tokoh Ibu Tina merupakan tokoh yang sabar dan ia sangat baik kepada siapa saja. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.

”Ngaten njih mas, blaka suta kemawon, Tina sampun tilar donya dinten kepengker. Amargi kacilakan ingkang mboten kaduga. Tilar donya sadereng kadugen kekajenganipun. Injih menika...Ngk...ngk njih menika, pranyata penyiar sing asring dipun cariosaken menika panjenengan. Lajeng, tiyang-tiyang menika kula sraya supados mbiyantu anggen kula nylameti arwahipun anak kula Tina”. (”Suwung” hlm 126)

”Gini ya Mas, jujur saja, Tina sudah meninggal hari kemarin. Karena kecelakaan yang tak terduga. Meninggal sebelum bertemu dengan orang yang dicintainya. Yaitu....Ngk...ngk yaitu, seorang penyiar radio yang sering diceritakan olehnya. Lalu, semua orang juga saya beritahu supaya membantu untuk mendoakan arwah anak saya yaitu Tina.

Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan bahwa Ibu Tina dalah seorang Ibu yang sangat sabar. Ibu Tina berusaha untuk mengikhlaskan putrinya yang meninggal akibat kecelakaan. Dan yang sangat disedihkan Ibu Tina adalah, Tina meninggal sebelum bertemu dengan orang yang dicintainya. Meskipun begitu Ibu Tina tetap sabar karena semua itu sudah kehendak Tuhan. Penggambaran tokoh

yang dilakukan oleh pengarang adalah secara tidak langsung atau disebut dengan teknik ekspositori.

c. Marjan (Crita cekak ” judeg”)

Marjan merupakan tokoh utama, karena frekuensi kemunculannya dalam cerita lebih banyak dibandingkan dengan tokoh yang lainnya. Peristiwa dari awal hingga akhir cerita menceritakan tentang Marjan. Tokoh Marjan diceritakan seorang kepala rumah tangga yang baik. Ia sabar mengahadapi hidupnya yang serba kekurangan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.

Petugas banjur mlebu ing ruangan njero. Rada sautara. Janu kudu gelem sabar lan pasrah. Bathine mung nggedumel mangkel, apa ya ngene iki rasane wong ora duwe. Banjur kaya ngapa ya rasane wong sugih? (”Judeg” hlm 56)

Petugas lalu masuk ke dalam ruangan. Seketika. Janu harus mau sabar dan pasrah. Hatinya mangkel, apa seperti ini rasanya orang yang tidak punya. Lalu bagaimana rasanya jadi orang kaya?

Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa Marjan itu orang yang sabar menerima nasib. Namun dalam hatinya selalu bertanya-tanya mengenai bagaimana rasanya menjadi orang kaya. Penggambaran tokoh yang dilakukan oleh pengarang adalah secara langsung atau disebut dengan teknik ekspositori.

d. Munyuk (Crita cekak ”Jaring”)

Munyuk merupakan tokoh utama, karena frekuensi kemunculannya dalam cerita lebih banyak dibandingkan dengan tokoh yang lain. Peristiwa dari awal hingga akhir cerita menceritakan tentang munyuk. Tokoh Munyuk diceritakan ia

sebagai tokoh yang sabar. Hal ini dapat ditunjukkan dalam kutipan cerita di bawah ini.

”Alah wis ta awake dhewe iki mung rakyat cilik! Padha nasibpe karo Ula, Semut lan Cacing. Awake dhewe iki ora bisa suwala. Kudu mung nrima. Wis rasah neka-neka!” celathune Munyuk. (”jaring” hlm 31)

”Sudah ta kita itu rakyat kecil! Nasibnya sama dengan Ular, Semut dan cacing. Kita semua itu tidak bisa berontak. Harus menerima apaadanya. Sudah tidak usah yang macam-macam lagi!”

Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Munyuk sedang sabar mengahadapi nasibnya. Ia seolah-olah memikirkan teman-temannya untuk belajar pasrah. Penggambaran tokoh yang dilakukan oleh pengarang adalah secara langsung atau disebut dengan teknik ekspositori.

e. Kancil (Crita cekak ”Jaring”)

Kancil merupakan tokoh sentral yang memenuhi penceritaan dalam crita cekak ”Jaring”. Tokoh Kancil ini sabar dengan keadaan yang sudah terjadi saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan di bawah ini.

”Gusti, kenging menapa masalah negari Klawu menika tansah jejel uyel. Lumintu, dereng ngantos setunggal masalah purna, kasusul masalah sanesipun. Menapa menika pacoban? (”Jaring” hlm 38)

”Tuhan, kenapa masalah negara klawu itu semakin rumit. Padahal, satu masalah saja belum selesai, ditambah masalah lagi. Apakah itu suatu ujian?

Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Kancil diceritakan sedang sabar. Ia meminta petunjuk supaya masalah negara Klawu cepat selesai. Penggambaran tokoh yang dilakukan oleh pengarang adalah secara tidak langsung atau disebut dengan teknik ekspositoris.

f. Lusianto (Crita cekak ”Suwung”)

Tokoh Lusianto merupakan tokoh utama. Diawal cerita sampai akhir cerita menceritakan tentang Lusianto. Ia adalah seorang penyiar radio. Ia pasrah dan sabar ketika mengetahui kalau sebenarnya orang yang telah dicintainya sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.

Suwung rasane pangrasa. Anyep njejet, pindha es ing kutub lor. Ora krasa andharane wong tuwanealmarhum Tina, kodal ndhodok ati. Mataku mbrabak tuwuh rasa trenyuh lan getun ohhh Tina, jenengmu wis kacathet ing atiku. Muga-muga sliramu tinampa ing ngayunane Gusti Amin!! (”Suwung” hlm 126-127)

Sepi rasanya. Dingin banget rasanya, seperti es yang ada dikutub utara. Tidak terasa perkataan orang tua Tina, bisa membuka hatiku. Mata memerah dan timbul rasa sedih dan kecewa ohhh Tina, namamu sudah tercatat dalam hatiku. Mudah-mudahan kamu dapat diterima disisi Tuhan. Berdasarkan kutipan di atas, menunjukkan bahwa tokoh Lusianto sabar dan pasrah dengan kenyataan yang seperti ini. Ia sangat sedih dan berserah diri ternyata orang yang dicintainya sudah meninggal. Kutipan diatas penggambaran tokoh yang dilakukan pengarang adalah secara tidak langsung atau disebut dengan teknik dramatik yang dilihat berdasarkan perasaan, pikiran, yang terlintas dan dirasakan pada tokoh.

g. Gilig (Crita cekak ”Ajur”)

Gilig merupakan tokoh sentral yang memenuhi penceritaan dalam cerita ini. Tokoh Gilig ini diceritakan sedang sabar dan pasrah karena nasibnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.

Nggrantes, nelungake rasa ngujiwat panelangsane Gilig. Omah gedhek, jogan lemah, amben empring lan dimar lenga. Samukalir gaweyan ditandhangi. Nanging kenapa saiki nalika Sabit anake lanang nandhang

lara, ndadak ora bisa digawa menyang rumah sakit utawa dokter spesialis amarga ora duwe dhuwit. Hemmm!! (”Ajur” hlm 137-138)

Mengeluh, Gilig merasakan nasibnya. Rumah reyot, lantai tanah, tempat tidur bambu dan penuh minyak. Semua pekerjaan sudah dilaksanakan. Tapi kenapa sekarang saat Sabit anak laki-lakinya sakit, sampai tidak bisa membawa kerumah sakit atau dokter spesialis karena tidak mempunyai uang.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa Gilig sabar dan pasrah dengan nasibnya yang serba kekurangan. Saat anak laki-lakinya sakit sampai tidak kuat membawanya kerumah sakit. Kutipan diatas juga dapat diketahui penggambaran tokohnya dapat dilihat secara tidak langsung atau menggunakan teknik dramatik yang dilihat berdasarkan perasaan, pikiran yang terlintas dan dirasakan oleh tokoh.

h. Ronggo (Crita cekak ” AHH...!”)

Tokoh Ronggo adalah tokoh utama, karena frekuensi kemunculannya paling banyak daripada tokoh-tokoh lain. Tokoh Ronggo diceritakan menyesali perbuatannya karena ia melakukan suatu kesalahan, ia sabar dan pasrah ketika dimarahi oleh istrinya. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan di bawah ini.

Ngerti guneme bojone, Ronggo meneng wae. Dheweke ngrumangsani salah. Kleru lan luput. Ronggo getun, semana uga Karsa. Cunthel! (“AHH…!” hlm 16)

Tahu perkataan istrinya, Ronggo diam saja. Ia merasa salah. Ronggo menyesal, begitu juga Karsa.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa tokoh Ronggo sabar dan menyesali perbuatannya. Ia terdiam saja saat istrinya bicara karena ia merasa salah. Penggambaran tokoh yang dilakukan oleh pengarang adalah secara tidak langsung atau disebut dengan teknik ekspositori.

i. Ibu Giras (Crita cekak ”Oalah Pakne...Pakne...”)

Tokoh ini juga banyak dimunculkan dalam pengisahan cerita. Apalagi ia berperan sebagai istri tokoh utama Ibu Giras. Tokoh Ibu Giras ini adalah seorang ibu yang penyabar, baik dan sayang sekali terhadap keluarganya, karena sangat sayangnya ia merasa bingung dan sedih ternyata suaminya belum samapai pada tempat yang dituju kemarin. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kutipan berikut ini.

Gendhelong, aku mung isa plenggongan oleh kabar menawa Mas Giras durung tekan papan sing dituju. Atiku tansaya kebat-kebit. Kamangka wis dak bel lan SMS lan telponku ora dijawab. Gek ana apa. Mas Giras sampeyan ana ngendi. Sidane wektu terus lumaku, mrambat. Dak penthelengi anakku sing cacah telu siji mbaka siji. Ayu-ayu ngono batinku ngalem anakku sing turu angler. Saiki wis jam siji. Atiku tambah tansaya goreg. Pikiran ora tenang. Rasaku minangka bojo kaya sajak kedudul rasa sing nunjem. Blas ora kepenak. Malah kaya-kaya dhadaku seseg. Apa meneh nalika ketambahan gelas sing dak cekel tiba, mak krompyang. Pecah, dadi sewalang-walang(”Oalah Pakne...Pakne... hlm 143)

Terkejut, saya cuma diam setelah mendapat kabar kalau Mas Giras belum sampai tempat yang ia tuju. Hatiku semakin kacau. Padahal sudah saya SMS dan telepon, akan tetapi teleponnya tidak dijawab. Ada apa ya. Mas Giras kamu ada dimana. Waktu terus berjalan. Saya lihatin ketiga anakku. Cantik-cantik ternyata anakku yang lagi pada tidur. Sekarang sudah jam satu. Hatiku semakin panik. Pikiran tidak tenang. Rasanya sama saja suami seperti membuat rasa sayang yang paling dalam. Sama sekali tidak enak. Rasanya seperti dada saya sesak. Apalagi gelas yang saya pegang jatuh, pyaarr. Pecah, jadi kecil-kecil.

Wektu jam terus mlaku. Jam siji, jam loro, jam telu, saiki wis jam papat. Apa aku kudu nelpon panitia meneh? Aku wis ora sranta. Aku bingung. Saupama dibeleh mesthi ora metu getihe kesurung rasa goreh banjur dakpencet nomer tilpon sing ana kop undangan seka sanggar triwida. Sajake wis ngerti yen sing nelpon aku. Mula swara ing sebrang gupuh anggone njawab. (”Oalah Pakne...Pakne...” hlm 147)

Waktu terus berjalan. Jam satu, jam dua, jam tiga, sekarang sudah jam empat. Apa saya harus telepon panitia lagi ya? Saya sudah tidak sabar lagi. Saya bingung. Saumpama dibelah pasti tidak keluar darahnya sampai mempunyai keinginan untuk menekan nomor teleponyang ada di kop undangandari sanggar triwida. Kelihatannya sudah tahu kalau yang telepon itu saya. Dengan suara yang tergopoh-gopoh dijawabnya.

Aku tansaya ora bisa mikir. Aku dadi kaya wong linglung. Aku bingung. Oalah Pakne...pakne...ana ngendi sliramu. Durung nganti gantalan suwe gagang telpon dak selehke telpon muni kaping telu. (”Oalah pakne...Pakne...” hlm148)

Saya semakin tidak bisa berpikir. Saya seperti orang yang sedang kebingungan. Saya bingung. Oalah...bapak....bapak....kamu ada dimana. Tidak lama telepon saya taruh terus berdering lagi sampai tiga kali.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ibu Giras orangnya sangat bingung. Karena sangat pedulinya ketika suaminya belum sampai tempatnya ia langsung kebinggungan. Penggambaran tokoh yang dilakukan oleh pengarang dilakukan secara langsung atau disebut dengan teknik ekspositori.

Dokumen terkait