• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sambutan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan*

Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh, salam sejahtera bagi kita semua. Yang saya hormati,

Dr. Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham, Senior Executive dari International IDEA; Francisia SSE Seda, Direktur Program Perempuan dan Pemilu, CETRO; para peserta Konferensi nasional dan para hadirin.

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas izin-Nya pada hari ini kita dapat berkumpul bersama untuk menghadiri Konferensi Nasional yang diadakan atas kerjasama International IDEA dan CETRO yang akan membahas upaya dan mekanisme meningkatkan keberadaan perempuan khususnya di lembaga legislatif. Kementerian Pemberdayaan Perempuan menyambut baik prakarsa yang telah diambil, dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya karena momentum yang telah dimanfaatkan, serta mempertimbangkan kondisi yang dialami kaum perempuan tidak saja ditingkat nasional, tapi juga di tingkat internasional.

Di Indonesia tingkat partisipasi perempuan khususnya di bidang politik telah dijamin secara yuridis formalnya dalam konstitusi UUD 1945, dan TAP MPR, Garis-Garis Besar Haluan Negara. Selain itu terdapat komitmen resmi pada Konvensi-Konvensi Internasional menyangkut persamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah diratifikasi dengan peraturan perundang-undangan No. 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW), serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 46 telah mengatur bahwa sistem Pemilihan Umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai persyaratan ynag ditentukan dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun pada kenyataanya, secara de facto partisipasi perempuan masih sangat rendah dan memprihatinkan.

Data menunjukan bahwa pada tingkat nasional, mulai dari periode Demokrasi Parlementer (DPR Sementara), keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat meningkat dari 3.8% dari 237 jumlah anggota menjadi 6.3% pada pemilu 1955, kemudian menjadi 7.8% dari 460 anggota parlemen pada pemilu 1971, dan mencapai puncaknya yaitu 13% dari 500 anggota dalam pemilu 1987. Jumlah ini menurun lagi pada pemilu 1999 mencapai 8.8% anggota parlemen perempuan. Pada tingkat propinsi, dan kabupaten/kota yang mulai menjalani otonomi daerah, menunjukkan angka yang lebih memprihatinkan lagi, yaitu di bawah 5% dan bahkan 0% di tingkat kabupaten/kota.

Merujuk pada angka-angka tersebut, Kementrian Pemberdayaan Perempuan telah berupaya memusatkan perhatiannya untuk meningkatkan partisipasi, peran serta kedudukan perempuan dalam bidang politik dengan cara-cara sebagai berikut:

* Pidato yang dipresentasikan pada Konferensi Nasional IDEA-CETRO Memperkuat Partisipasi Politik

1. Peningkatan kualitas dan kuantitas perempuan pada posisi strategis sebagai pengambil keputusan/perumusan kebijakan khususnya pada lembaga politik dengan mengadakan pendidikan politik.

2. Sosialisasi kebijakan keadilan dan kesetaraan jender secara sektoral melalui strategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) dengan telah dikeluarkannya Inpres No. 9 tahun 2000.

3. Sosialisasi kebijakan dan kesetaraan jender kepada masyarakat dalam upaya mendorong terciptanya iklim sosial budaya yang lebih baik kondusif bagi perempuan terutama dalam mempengaruhi kebijakan politik nasional sebagaimana yang telah ditegaskan dalam GBHN 1999 tentang kesetaraan dan keadilan jender yang merupakan arahan bagi penyelenggara negara melalui kebijakan nasional maupun pada pelaksanaan otonomi Daerah.

Kebutuhan untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas perempuan sebagai pengambil keputusan dan penentu dalam proses penyusunan dan pengawasan kebijakan berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya, baik secara formal maupun tradisional, merupakan hal yang sangat mendesak terutama dalam lembaga legislatif. Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini banyak sekali kasus-kasus yang menimpa kaum perempuan seperti kekerasan, perkosaan, eksploitasi perempuan dan anak untuk diperdagangkan, penyalur narkoba/HIV, pornografi, serta penayangan di televisi yang mengakibatkan semakin kaburnya nilai-nilai budaya bangsa.

Keadaan ini disebabkan faktor sosio-kultural dan ekonomi masyarakat yang belum mempunyai keberpihakan kepada kepentingan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki – yang dikenal sebagai ”bias jender”. Di samping itu, terdapat kultur politik yang dibarengi perundang-undangan yang masih memprihatinkan, terlihat dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan kesewenang-wenangan.

GBHN 1999-2004, yang mencakup TAP MPR No. IV/MPR/1999 secara tegas menjamin keterwakilan perempuan dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berwawasan keadilan. GBHN menetapkan arah kebijakan, yaitu :

1. Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, melalui kebijakan nasional.

2. Mengembangkan sistem politik nasional yang berkedaulatan rakyat dan menerapkan prinsip persamaan dan anti-diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3. Meningkatkan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif kepada masyarakat untuk mengembangkan budaya politik yang demokratis, menghormati keberagaman aspirasi dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

4. Di bidang hukum yaitu menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan dan ketidaksesuaian dengan tuntutan reformasi, melalui program legislasi. Sesuai dengan tema Konferensi yaitu ”Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan”, Kementrian Pemberdayaan Perempuan mengharapkan agar Konferensi Nasional ini dapat menghasilkan program-program maupun strategi yang dapat mempercepat keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki, khususnya dalam bidang politik. Dirasa perlunya diadakan ”tindakan

khusus sementara” atau ”affirmative action” untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dengan memilih calon legislatif berdasarkan standar minimum yang diatur dan dijamin dalam peraturan perundang-undangan sistem politik nasional untuk meningkatkan partisipasi, peran serta kedudukan perempuan khususnya dalam proses pengambilan keputusan kebijakan nasional maupun regional. Tindakan ini menjadi syarat mewujudkan pembangunan berdasarkan keadilan, melalui proses demokratis yang tidak diskriminatif, serta yang menghormati keragaman aspirasi politik.

Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan semoga dapat bermanfaat. Terima kasih atas perhatiannya.

Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,

H J. S R I R E J E K I S U M A R Y O T O, S.H

Menteri Pemberdayaan Perempuan

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Lampiran I: