• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai negara berkembang, perhatian Indonesia terhadap masalah lingkungan pada dasarnya telah cukup baik. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai aturan serta lembaga yang kesemuanya bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan serta tercapainya pembangunan berkelanjutan. Bahkan prosedur kerja dalam menjaga keberlanjutan lingkungan ini dituangkan kedalam satu pasal dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yakni pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa : Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Khusus untuk pengelolaan persampahan, pemerintah RI baru pada tahun 2008 menerbitkan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).

Berdasarkan jenisnya, sampah dapat diklasifikasikan menjadi: a) Garbage yaitu sampah yang berasal dari pengolahan sisa pemasakan atau sisa makanan yang telah membusuk, tetapi masih dapat digunakan sebagai makanan organisme lainnya, seperti insekta, binatang pengerat, dan berbagai binatang pemakan bangkai ; b)

Rubbish, yaitu sisa pengolahan yang tidak mudah membusuk tetapi mudah terbakar,

seperti kayu, bahan plastik, kain serta sampah yang tidak mudah membusuk dan tidak mudah terbakar, seperti metal, kaca, keramik, dan tulang hewan ; c) Ashes dan cinder yaitu berbagai jenis abu dan arang yang berasal dari sisa pembakaran ; d) Dead

78

animal, yaitu sampah yang berasal dari bangkai hewan, baik hewan peliharaan

maupun hewan liar ; e) Street sweeping, yaitu sampah atau kotoran yang berserakan di sepanjang jalan, seperti pembungkus dan sisa makanan, kertas, daun, kayu, dan lainnya ; f) Industrial waste, yaitu sampah yang berasal dari kegiatan industri, sampah jenis ini biasanya lebih homogen bila dibandingkan dengan sampah jenis lain (Bahar, 1986).

Berdasarkan sumbernya, sampah dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) Sampah domestik adalah sampah yang sehari-harinya dihasilkan akibat kegiatan manusia secara langsung dan berasal dari permukiman, perdagangan, kantor pemerintahan dan swasta, dan lainnya ; 2) Sampah non domestik adalah yang sehari- harinya dihasilkan oleh kegiatan manusia secara tidak langsung, seperti dari pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, transportasi, dan sebagainya (Prihandarini, 2004).

Seluruh sampah yang diproduksi masyarakat Kota Medan, yang diangkut ke TPA merupakan sampah yang berasal dari rumah tangga, komplek perumahan, perguruan tinggi/ sekolah, perkantoran, plaza, hotel, rumah sakit, rumah makan/restoran, pabrik/industri (non B3), pasar, jalan umum, fasilitas umum, terminal, stasiun kereta api, taman hiburan, dll. Komposisi sampah tersebut terdiri dari sampah organik sebesar 48,2 persen, yang terdiri dari daun-daunan 32 persen dan makanan 16,2 persen; dan sampah anorganik sebesar 51,8 persen, terdiri dari kertas 17,5 persen; plastik 13,5 persen; kaca 2,3 persen; kayu 4,5 persen; dan bahan non organik lainnya 14,0 persen (Sinaga, 2008).

79

Gambar 2.8. Komposisi sampah diKota Medan

Komposisi sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Medan terdiri 68,8 persen sampah organik dan 31 persen sampah non organik (Zulfi, 2000). Komposisi sampah ini berubah menjadi 46,83 persen sampah organik dan 53,17 persen sampah non organik (BALITBANGSU, 2009 dan Sinaga, 2008).

Dalam konteks pengelolaan sampah, tentu saja memerlukan pendekatan yang dapat membawa keuntungan bagi semua pihak.Oleh karena itu, beberapa asas dalam pengelolaan sampah sebaiknya diterapkan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Menurut JICA (2003) dalam Muttaqin (2006), beberapa asas berikut sangat ideal dalam model pengelolaan sampah:

1. Asas pengelolaan sampah mulai dari sumbernya, yaitu pengelolaan sampah yang tidak lagi berpikir untuk memusnahkan sampah yang dihasilkan, tetapi melakukan upaya-upaya pada saat sampah tersebut belum timbul dan atau belum dibuang ke TPA. Asas ini dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan mulai dari menghindari timbulnya sampah, mengurangi, memanfaatkan kembali, dan mendaur ulang sampah; Dedaunan 32% Sisa makanan 16% Kayu 4% Kertas 18% Kaca 2% Plastik 14% Non Organik Lainnya 14%

80

2. Asas penghasil sampah membayar, yaitu bagi yang membuang sampah ke lingkungan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja harus membayar biaya dan atau bertanggung jawab atas pengelolaan sampah yang dibuangnya tersebut sebanding dengan jumlah barang yang dibuangnya. Asas ini diterapkan untuk mendorong masyarakat penghasil sampah mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari, agar supaya mereka tidak harus mengeluarkan biaya pengelolaan sampah yang lebih mahal;

3. Asas produk ramah lingkungan, yaitu produk yang dihasilkan oleh produsen beserta kemasannya kelak tidak menjadi beban timbulan sampah, maka produk dan kemasan tersebut harus bersifat ramah lingkungan. Asas produk ramah lingkungan ini adalah sebanyak mungkin mengurangi penggunaan bahan-bahan untuk kemasan yang pasti akan menjadi sampah;

4. Asas internalitas biaya pengelolaan sampah, yaitu biaya pengelolaan sampah tidak hanya yang dibayar oleh penghasil sampah melalui retribusi kebersihan, akan tetapi juga oleh para pelaku usaha yang turut menyumbang jumlah dan jenis sampah yang dihasilkan oleh konsumen. Biaya pengelolaan sampah tersebut langsung diperhitungkan dalam biaya produksi untuk menghasilkan barang. Semakin sulit suatu barang untuk diolah secara alami pada saat dibuang sebagai sampah, semakin tinggi pula biaya pengelolaan sampah yang harus dikenakan pada barang tersebut. Asas ini diharapkan dapat mendorong pelaku usaha untuk menghasilkan barang-barang yang ramah lingkungan;

5. Asas pembangunan berkelanjutan, yaitu upaya melaksanakan asas pengelolaan dari sumber, asas pencemar membayar, asas produk ramah lingkungan, dan asas

81

internalitas biaya pengelolaan sampah, dilakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi produksi sampah, yang berarti juga terjadi kegiatan pengurangan bahan baku dalam proses pemanfaatan dan pembuatan produk. Secara tidak langsung, kegiatan pengurangan produksi sampah juga berakibat pada penghematan penggunaan sumberdaya alam. Asas ini dapat menjamin berlangsungnya pembangunan yang berkelanjutan;

6. Asas kehati-hatian awal, yaitu dalam pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) harus dilakukan secara hati-hati mengingat proses-proses alam merupakan hal yang tidak bisa diperkirakan terlebih dahulu. Kehati-hatian ini dilakukan sebelum dampak negatif dari pengelolaan TPA timbul. Belum adanya laporan, data atau pembuktian ilmiah tentang dampak negatif dari pengelolaan TPA tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan upaya pencegahan dampak negatif dari pengelolaan TPA. Karena itu, maka pengelolaan sampah pada umumnya dan pengelolaan TPA pada khususnya dilakukan dengan mengambil risiko yang paling kecil;

7. Asas pendayagunaan dan pemanfaatan sampah, yaitu upaya untuk mengurangi beban TPA dan atau instansi pengelolaan sampah lainnya, melalui kegiatan mengurangi (reduce), memanfaatkan kembali (reuse), mendaur ulang (recycle), dan mengganti (replace) atau dikenal dengan istilah 4R;

8. Asas transportasi, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas, yaitu proses pengambilan

keputusan berkaitan dengan pengelolaan sampah dilakukan secara terbuka dan melibatkan publik. Untuk menciptakan kebijakan pengelolaan sampah yang berorientasi pada kepentingan publik, maka partisipasi masyarakat dalam prosespembuatankebijakan

82

perlu dijamin. Partisipasi terbuka pada seluruh proses pengelolaan mulai dari inventarisasi sampah, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan sampah. Dengan semangat perlindungan pada kepentingan publik, maka pelaksanaan pengelolaan sampah harus bertanggung jawab (accountability) kepada publik.

Model pengelolaan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu urukan dan tumpukan. Pengelolaan sampah dengan cara urukan adalah sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa memberikan perlakuan. Sedangkan cara yang kedua adalah tumpukan yaitu bila dilaksanakan secara lengkap sebenarnya sama dengan teknologi aerobik. Hanya saja tumpukan perlu dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan (leachat), dan pembakaran ekses gas metan (flare). Model yang lengkap ini telah memenuhi kesehatan lingkungan (Sudrajat, 2007).

Penanganan sampah yang selama ini dilakukan belum sampai pada tahap memikirkan proses daur ulang atau menggunakan ulang sampah tersebut. Penanganan sampah yang selama ini dilakukan hanya mengangkutnya dari tempat sampah di permukiman kota dan membuangnya ketempat pembuangan sampah akhir atau membakarnya. Cara ini kurang bisa mengatasi masalah sampah karena masih dapat menimbulkan pencemaran lingkungan (Setiawan, 2006).

Dalam pola pengelolaan sampah terpadu, ada lima tahap proses yang diterapkan. Pola ini mengupayakan agar sampah tidak sampai terbentuk dengan menerapkan upaya cegah (reduce) dan upaya pakai ulang (reuse). Jika terlanjur, hierarki pengelolaan daur ulang (recycle) menjadi solusi (Anonim, 2007).

83

Salah satu alternatif pengelolaan sampah adalah memilih sampah organik dan memprosesnya menjadi kompos atau pupuk hijau. Namun yang menjadi masalah adalah masyarakat belum mengetahui proses pengomposan limbah organik secara sederhana dan cepat, kurang memahami nilai kompos dan kurang memahami dampak negatif pencemaran lingkungan. (Setiawan, 2006).

Untuk setiap satu ton sampah yang terdapat di TPA rata-rata dapat menghasilkan 0,235 m3gas Metana (Henry, et all., 1996), sedangkan jika dikomposkan akan dapat mengasilkan 0,5 ton kompos. Dengan demikian, dengan menghasilkan 1 ton kompos rata-rata emisi gas rumah kaca sebesar 0,47 ton metana atau setara dengan 9,4 ton CO2 dapat dicegah (Suprihatin, 2003).

USEPA juga merelease perhitungan dampak yang dihasilkan oleh emisi CH4 dari penanganan sampah tempat dari dua skenario yang berbeda. Apabila 100 ton sampah kertas per tahun dibiarkan saja terbuang di TPA, ternyata akan memberikan kotribusi terhadap gas rumah kaca (GRK) sebesar 62 metric ton Carbon Ekivalen (MTCE) dari seluruh rangkaian produksinya. Sedangkan apabila 50% dari sampah tersebut dapat di recycle maka akan mampu mereduksi GRK sebesar– 65 ton MTCE melalu rangkaian proses produksinya (USEPA,2002a;USEPA,2006).

Dokumen terkait