"Pak Ali, pada sangkaku baik dimulai memasang lampu, karena hari hampir gelap," kata Samsu kepada kusirnya, di rumah orang tuanya, di Kampung Jawa Dalam di Padang. Tatkala itu Samsu telah berpakaian yang baik-baik, sebagai orang hendak pergi ke mana-mana.
"Baiklah, Engku Muda," jawab sais Ali, sambil pergi mengambil geretan api.
"Suruhlah si Amat kemari, supaya dapat membantu Pak Ali," kata Samsu pula.
Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, datanglah pula sais Ali bersama-sama Amat, lalu memasang lampu-lampu di serambi muka.
"Sekalian lampu harus dipasang, Pak Ali!" kata Samsu, "sampai setengah rumah dan serambi belakang. Dan engkau Amat, bawalah pot-pot bunga ini ke bawah dan susunlah meja- meja dan kursi-kursi ini di sana, sebab di sini tempat menari; tak boleh ada apa-apa."
Kedua bujang ini bekerjalah menurut perintah tuannya yang muda itu. Setelah selesai pekerjaan di serambi muka, masuklah Samsu ke ruang tengah, lalu menyuruh mengatur meja panjang
dua buah, dengan beberapa kursi makan. Kemudian disuruhnya tutup kedua meja itu dengan alas meja lenan putih yang ber- bunga.
Sedang mereka asyik bekerja itu, datanglah Nurbaya dari rumahnya dengan berpakaian yang indah-indah, membawa dua ikat karangan dari bermacam-macam bunga yang baik warnanya, lalu bertanya, "Belum selesai, Sam?"
Tatkala mendengar perkataan ini, menolehlah Samsu ke belakang dan ketika terpandang olehnya gadis ini, tiadalah terkata-kata ia sejurus lamanya. Mukanya yang mula-mula riang, tiba-tiba menjadi muram. Jika Nurbaya tiada lekas menegurnya pula, barangkali kedatangan Nurbaya ini akan mengeluarkan air matanya.
"Sakitkah engkau, Sam?" tanya Nurbaya pula.
Barulah Samsu seakan-akan terkejut, ingat akan dirinya kembali, lalu menahan perasaan hatinya dan menjawab dengan tersenyum, "Manis benar engkau kupandang hari ini, Nur; se- hingga lupalah aku akan diriku sejurus."
"Dengan sengaja aku memakai-makai hari ini, sebab esok petang tiadalah engkau akan melihat aku lagi," jawab Nurbaya sambil tersenyum pula.
Jawaban ini jangankan dapat melipur hati Samsu bahkan rupanya menambah muram durjanya dan sedih hatinya. Dengan
pendek berkata pula ia, "Sesungguhnyalah katamu itu," lalu ditundukkannya kepalanya.
Tatkala dilihat Nurbaya hal Samsu yang sedemikian itu, dihampirinyalah sahabatnya ini, lalu dipegangnya bahunya, sambil berkata, "Ayuh, Sam! Malam ini kita harus bersuka- sukaan. Apabila engkau, yang punya rumah, berdukacita, bagai- manakah kelak jamu yang datang?" kata Nurbaya, sambil mem- bujuk saudaranya ini.
"Benar sekali katamu itu, Nun' Tetapi apalah dayaku? Sejak kemarin hatiku tak enak saja, walau bagaimana pun juga kulipur. Makin dekat aku kepada hari esok, makin bertambah-tambahlah duka nestapaku. Sungguhpun demikian, nantilah kukatakan kepadamu, bagaimana rasa hatiku sekarang ini," kata Samsu pula.
Ketika itu tiba-tiba masuk Bakhtiar ke tengah rumah, lalu membuka topi rumputnya dan membungkuk, sehingga kepalanya hampir sampai ke lututnya, seraya berkata, "Tabik Nyonya- nyonya dan Tuan-tuan sekalian!"
"Ada berapakah Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan di sini, Bakhtiar?" tanya Nurbaya.
"Ada seratus satu Nyonya-nyonya dan seratus satu pula Tuan-tuan," jawab Bakhtiar dengan mengeraskan kata "satu" itu.
"Disengaja, Tuan hamba, siang-siang datang kemari, karena hendak memeriksa, adalah sekaliannya telah lengkap, untuk menyambut kedatangan sekalian jamu Tuan-tuan dan Nyonya- nyonya, yang dipersilakan datang bermain-main kemari," kata Bakhtiar pula dengan menghalus-haluskan bahasanya, sambil membungkuk pula.
"Bohong," teriak Arifin yang telah berdiri di belakang Bakhtiar. "Tuan Bakhtiar hendak melihat dahulu, banyakkah makanan yang disediakan atau tidak. Kalau tak cukup, ia hendak kembali saja, takut takkan kenyang perutnya. Demikian katanya di atas bendi tadi."
"Memang engkau tak dapat memegang rahasia, Arifin. Telah kupesan benar-benar, supaya maksudku yang sebenar-benarnya, jangan kausampaikan kepada siapa pun juga. Sekarang kepada orang yang mula-mula kaulihat saja telah kaubukakan rahasia itu dan kelak, tentulah kepada sekalian orang kaukatakan. Malu aku rasanya, terlebih-lebih kepada Nyonya Nurbaya, sebagai sesungguhnyalah aku datang kemari ini, hanya karena kue-kue saja," kata Bakhtiar pura-pura marah dan malu.
"Tak usah kau menangis, Bakhtiar, karena malu," kata Nurbaya. "Rahasiamu itu bukan rahasia lagi bagiku, karena telah lama kuketahui. Apabila kau tak percaya, bahwa makanan cukup, walaupun untuk sepuluh Bakhtiar sekalipun, marilah
kubawa engkau ke belakang, akan melihat-lihat saja dahulu. Tetapi hendaklah engkau berjanji dan bersumpah akan menahan nafsumu dan tiada akan menganggu-ganggu makanan itu," kata Nurbaya, seraya menghampiri Bakhtiar, akan membawanya melihat makan-makanan yang telah tersedia.
Bakhtiar berpikir sejurus dengan menggaruk-garuk kepala- nya, seraya berkata dalam hatinya, "Sesungguhnya terlalu ingin aku hendak melihat segala makanan yang akan kurasai kelak, tetapi adakah akan dapat kutahan tanganku mengambil makanan itu?"
"Ah, masakan tak dapat kutahan nafsuku," katanya pula keras-keras, untuk menjawab perkataan Nurbaya tetapi pada mukanya nyata kelihatan, bahwa ia tiada akan dapat menurut janjinya. Maka dibukanyalah topinya, diangkatnya tangannya ke atas, serta berdiri benar-benar lalu bersumpah, "Di atas nama segala kue yang sangat kucintai, terutama kue sepekuk, kue koneng, kue tar, bolu, serikaya, sus dan lain-lain, aku bersumpah di hadapan tiga saksi, tiada akan mengganggu makanan yang ada di belakang, Jika aku tiada menurut janjiku ini, maulah aku, perutku dan perut tujuh keturunanku, selama-lamanya diisinya."
"Baiklah," kata Nurbaya dengan tersenyum. "Sesungguhnya sumpahmu itu sangat keras, tetapi tiada mendatangkan kecelakaan kepadamu. Salah tak salah, perutmu akan penuh
berisi kue-kue. Tetapi tak mengapa, marilah kubawa!" lalu dipegangnya tangan Bakhtiar, hendak dibawanya ke belakang.
"Jangan percaya!" teriak Arifin, "Telah kelihatan olehku di matanya, ia tiada akan menurut sumpahnya. Aku tahu akal lain yang lebih sempurna, yaitu kedua belah tangannya harus diikat ke belakang."
"Engkau benar terlalu amat sangat, Arifin!" kata Bakhtiar dengan pura-pura merengut. "Masakan aku berani melanggar sumpahku yang sekeras itu. Tentu aku takut berdosa kepada segala kue-kue lazat cita-rasanya itu."
"Tidak percaya," kata Arifin pula, lalu datang mengikat kedua belah tangan Bakhtiar ke belakang dengan sehelai setangan. Setelah selesai, barulah ia dibawa oleh Nurbaya.
"Pak Ali," kata Nurbaya, tatkala hendak membawa Bakhtiar ke belakang, "bunga-bungaan itu masukkan ke dalam jambang bunga itu dan taruh di atas meja makan!"
"Baiklah, Siti," jawab Ali.
Setelah sampailah Nurbaya dan Bakhtiar ke belakang, diper- lihatkanlah oleh Nurbaya kepada Bakhtiar segala kue-kue, makanan-makanan dan minum-minuman yang lezat-lezat yang telah tersedia dan teratur di atas beberapa meja, berbagai-bagai warna dan baunya.
Jansen. Cukupkah itu bagimu atau tidak?" tanya Nurbaya. Tatkala Bakhtiar melihat segala makanan yang enak-enak itu, timbullah keinginan dalam hatinya, yang rasakan tak dapat ditahannya lagi, hendak mengecap segala yang lezat-lezat itu. Apabila tangannya tiada terikat, paslilah ia lupa akan sumpahnya tadi dan tentulah akan diterkamnya kue-kue itu, walaupun bagaimana juga keras sumpahnya. Tetapi apa daya? Ia tak dapat berbuat apa-apa dengan tangannya karena sungguh teguh ikatan Arifin tadi. Maka berjalanlah ia, sebagai hendak melipurkan hatinya, dari sebuah meja ke meja yang lain, dengan berkata, "Alangkah cantiknya buatan kue ini! Bagaimanakah rasanya? Dan ini, sangat sedap baunya," lalu diciumnya kue itu.
Akan tetapi karena tiada tertahan oleh seleranya, sebelum diingatnya kembali sumpahnya tadi, telah masuklah giginya ke dalam suatu kue yang besar dan dapatlah digigitnya sekerat, sehingga berlubanglah kue itu. Oleh sebab kue itu memakai rum gula, hidung dan bibir serta muka Bakhtiar, penuhlah berlumur rum gula ini.
Tatkala Nurbaya melihat hal yang demikian, ditariknya Bakhtiar ke belakang dengan berkata "Gilakah engkau, Bakhtiar?" Tetapi ia tertawa gelak-gelak, tatkala melihat muka Bakhtiar yang penuh berlumuran rum gula, sehingga Samsu dan Arifin, yang sedang bersedia-sedia di luar, berlari ke belakang.
Setelah sampai mereka ke sana, diceritakanlah oleh Nurbaya, apa sebabnya muka Bakhtiar sebagai topeng itu. Kedua mereka itu pun tertawa pula mendekak-dekak, sehingga Arifin memegang perutnya, karena tak dapat menahan geli hatinya, melihat temannya seperti alan-alan. Hanya Bakhtiarlah yang tiada berkata-kata, seakan-akan malu atau menyesal rupanya akan perbuatannya yang ceroboh itu. Tetapi kue yang telah ada dalam mulutnya, dikunyahnya juga, lalu ditelannya.
Setelah puaslah mereka mentertawakan Bakhtiar, berkatalah Arifin, "Kesalahan ini sangat besar; pertama karena tiada menurut sumpah, kedua karena mencuri dengan mulut; sedangkan pencuri yang sangat berbahaya sekalipun, hanya baru dapat mencuri dengan tangan saja. Oleh sebab kepandaian Bakhtiar ini dapat memberi contoh yang tak baik kepada penjahat-penjahat lain, haruslah ia dihukum dengan hukuman yang berpadanan dengan kesalahannya. Marilah kita bertiga menjadi hakimnya! Apa hukuman yang baik diberikan kepada- nya?"
"Aku tahu suatu hukuman yang patut," kata Nurbaya. "Ia tak boleh mendapat kue-kue lagi kelak, sebab sekarang sudah dimakannya bagiannya."
"Jangan!" jawab Samsu. "Hukuman yang sedemikian terlalu berat baginya. Aku khawatir kalau-kalau ia kelak menjadi buas,
apabila melihat temannya sekalian makan enak-enak sedang ia sendiri tak boleh."
"Lagi pula siapakah yang berani menanggung, ia akan menjalankan hukumannya itu dengan patuh, kalau tidak diikat kaki tangannya," kata Arifin pula.
"Pada pikiranku lebih baik begini. Tetapi janganlah kau ceritakan lebih dahulu, supaya jangan diketahuinya rahasia ini. Nanti kaulihat sendiri! Maukah engkau menerima hukumanku?" tanya Arifin kepada Bakhtiar.
"Mau, asal boleh aku ikut makan kue-kue nanti," jawab Bakhtiar, pura-pura menangis, tetapi gula yang melekat pada bibirnya, dicobanya juga menjilat dengan lidahnya.
"Baik, sabarlah dahulu!" kata Arifin.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, kedengaranlah beberapa jamu telah datang di serambi muka. Samsu dan Nurbaya ke luar menjemput sekalian mereka, yakni murid-murid sekolah Belanda, sahabat Samsu dan Nurbaya, laki-laki dan perempuan, lalu dipersilakan duduk, bercakap-cakap dan ber- senda gurau, terlalu ramainya. Meskipun, waktu itu rupanya telah ada, lalu mulai bermain melagukan lagu mars.
Sedang ramai mereka bersuka-sukaan itu, tiba-tiba dibawalah Bakhtiar oleh Arifin ke tengah-tengah jamu. Mula-mula tercengang sekaliannya, karena mereka tiada tahu, apakah
maksud pertunjukan ini. Akan tetapi setelah diceritakan oleh Arifin hal Bakhtiar mencuri kue dengan mulutnya itu, dari mulanya sampai ke akhirnya, riuh rendahlah bunyi tertawa, rasa tak dapat disabarkan. Sudah itu barulah dilepaskan oleh Arifin ikat tangan Bakhtiar. Akan tetapi baru saja bebas tangan Bakhtiar dari ikatannya, lalu diambilnya rum gula yang masih ada melekat di mukanya, dilemparkannya ke muka Arifin, lalu ia lari ke belakang membasuh mukanya. Arifin yang menjadikan orang tertawa kembali, pun lari ke belakang, membersihkan mukanya pula.
Sejurus kemudian musik pun bermain pula, melagukan lagu wals. Sekalian muda remaja menarilah masing-masing dengan pasangannya. Samsu menuntun tangan Nurbaya, lalu menari bersama-sama. Demikianlah perbuatan anak-anak muda itu ber- ganti-ganti berdiri, menari dan duduk berkata-kata, tertawa gelak-gelak, bersenda gurau dan bersuka-sukaan. Nurbaya, setelah menari dengan Samsu menari pula dengan Arifin dan Bakhtiar. Oleh sebab Bakhtiar dan Arifin selalu berbuat olok- olok, walaupun sedang menari, ramainya tiadalah terkatakan lagi.
Sementara itu segala kue-kue yang lezat rasanya diedarkan- lah, dibawa kepada sekalian jamu. Demikian pula minum- minuman kopi, teh, coklat, sirop, dan limonade.
Bakhtiar pura-pura membantu menjadi jongos mengedarkan makanan dan minuman tadi, tetapi terlebih dahulu segala kue yang dapat disimpannya, dimasukkannya ke kocek baju dan celananya, sehingga gembunglah pakaiannya rupanya. Dengan tiada diketahui Bakhtiar digantungkanlah oleh Arifm pada punggung baju, Bakhtiar, sehelai kertas yang lebar, yang ditulisnya di atasnya, "Aku inilah gergasi kue-kue". Maka ramailah pula bunyi suara murid-murid itu mentertawakan Bakhtiar dengan tiada diketahuinya, apa yang menggelikan hati mereka.
Setelah diketahui Bakhtiar perbuatan musuhnya Arifin itu, dicarinyalah akal untuk membalas kelakar ini, lalu pergilah ia ke belakang meminta beberapa lada kutu yang amat pedas itu, sebab diketahuinya Arifin sangat takut kepada lada. Lada kutu.ini dimasukkannya beberapa butir ke dalam sekerat kue lapis, ditutupnya baik-baik dan ditaruhnya di atas piring, lalu dibawa- nya kepada Arifin, sambil berkata dengan hormatnya, akan menghilangkan syak wasangka hati sahabatnya ini, "Jika Tuan hamba sudi, persilakanlah santap juadah ini!" Sekalian yang mendengar basa Bakhtiar ini tersenyum.
Dengan tiada berpikir lagi, dimakanlah oleh Arifin kue itu. Tetapi setelah dua tiga kali dikunyahnya, tiba-tiba berteriaklah ia kepedasan. Mulutnya ternganga, sehingga segala kue yang ada di
dalamnya jatuh ke luar. Air ludah dan air matanya meleleh, sehingga ia hampir tak dapat berkata-kata meminta air dingin untuk menyejukkan mulutnya yang sangat panas rasanya.
Mula-mula gemparlah sekalian tamu karena tiada tahu apa sebabnya Arifin jadi demikian. Akan tetapi setelah diceritakan- nya, ia termakan lada, kena tipu Bakhtiar, sekaliannya tertawalah pula gelak-gelak amat ramainya.
Setelah hari pukul sembilan, masuklah sekalian anak muda itu ke tengah rumah, lalu masing-masing duduk di atas kursi makan. Sup dan anggur dijalankan. Seorang daripada sahabat Samsu berdiri dengan memegang gelas anggurnya, lalu ber- pidato. Mula-mula ia memberi selamat kepada Samsu, Arifin, dan Bakhtiar di atas nama sekalian yang datang, karena ketiga mereka telah tamat pelajarannya dalam sekolah Belanda di Padang dan sekarang akan meneruskan pelajarannya di Sekolah Dokter Jawa dan Sekolah Opseter di Jakarta. Diharapnya dengan sepenuh-penuh pengharapan, mereka di sana akan maju pula dalam pelajarannya, supaya dapat menjabat pangkat yang tinggi dan beroleh kesenangan kemudian hari.
Selama mereka bercampur dengan ketiga sahabatnya yang akan berangkat itu, belumlah pernah berselisih, melainkan selalu beramah-ramahan dan bersahabat sahabat karib. Oleh sebab itu ia percaya, tentulah ketiga sahabat ini di Jakarta, akan segera
pula mendapat sahabat dan kenalan baru yang baik, tempat berkasih-kasihan dan beramah-ramahan sebagai di Padang. Supaya mereka jangan lekas-lekas lupa kepada sahabat kenalannya di Padang, diberikannyalah tiga buah potret sekalian murid sekolah Pasar Ambacang dengan guru-gurunya, kepada ketiga mereka. Akhirnya diucapkannyalah selamat jalan dan panjang umur kepada ketiga sahabatnya yang akan berangkat itu dan didoakan supaya mereka kembali ke Padang dengan pangkat yang diharapkannya itu. Kemudian bersoraklah sekaliannya, "Hip, hip, hura!!" tiga kali, disambut oleh musik.
Samsu membalas ucapan ini. Mula-mula ia minta terima kasih kepada sekalian sahabatnya yang hadir, atas kedatangan mereka dan tanda mata yang telah diberikan mereka itu. la ber- janji akan menyimpan potret itu sungguh-sungguh dan akan selalu mengingat sekalian sahabat kenalannya yang akan di- tinggalkannya di Padang, yang banyak menolong dan memberi kesukaan hatinya. Diharapnya supaya sekalian sahabatnya itu pun akan lekas pula tamat pelajarannya, supaya dapat melanjut- kan pelajarannya dalam sekolah yang lebih tinggi dan ia berjanji akan mengirimkan tanda mata kepada sekalian mereka, apabila ia telah sampai ke Jakarta kelak. Akhirnya ia pun mengucapkan selamat tinggal, selamat belajar dan umur panjang kepada mereka itu, lalu bersorak pula tiga kali.
Sekali itu makanlah sekaliannnya, mula-mula sup, kemudian keroket, sudah itu kentang, salada dan kue-kue; akhirnya barulah ditutup dengan buah-buahan dan kopi. Tengah makan, tak putus- putusnya Arifin dan Bakhtiar berolok-olok, sehingga banyak yang batuk, karena salah makan.
Setelah selesai makan, masing-masing berjalan jalan di halaman rumah, diterang bulan, karena malam itu bulan terang purnama raya. Sesudah itu menari pulalah mereka dan bersuka- suka hati sampai pukul dua belas malam; barulah pulang masing- masing ke rumahnya. Yang akan tinggal, memberi selamat jalan kepada yang akan pergi, dan yang pergi mengucapkan selamat tinggal kepada yang akan tinggal.
Ketika Nurbaya hendak kembali pula ke rumahnya, berkatalah Samsu,
"Biarlah kuantarkan engkau ke rumahmu, sebab hari telah jauh malam. Tak baik perempuan berjalan seorang diri."
Oleh karena Nurbaya setuju dengan maksud Samsu ini, kedua anak muda ini berjalanlah perlahan-lahan menuju rumah Nurbaya. Tatkala itu bulan bercahaya bagaikan siang. Bintang- bintang yang serupa mestika, berkilau-kilauan di langit tinggi, sebagai kunang-kunang di tempat yang gelap. Awan berarak beriring-iring dari barat lalu ke timur.
"menambah rawan dan pilu hatiku, sehingga bertambah-tambah berat bagiku meninggalkan Padang ini. Memang sejak dari kemarin, tiadalah dapat kulipur hatiku dengan pikiran akan melihat negeri yang lebih besar dan menuntut pelajaran yang lebih tinggi saja. Makin dekat aku pada waktu akan berangkat, makinlah hancur rasa hatiku."
"Apakah yang engkau susahkan? Sekaliannya telah tersedia; engkau tinggal berangkat saja lagi. Sampai ke sana, lalu belajar. Apabila telah tamat pelajaranmu kelak, tentulah engkau akan berpangkat tinggi dan bergaji besar. Kami sekadar akan inelihat dan berbesar hati dari jauh saja. Perceraian dengan ibu-bapa dan kami sekalian, tentu saja mula-mula berat bagimu. Akan tetapi, pada sangkaku, lekas juga engkau biasa kepada keadaan yang baru itu. Dan bila engkau telah biasa, tentulah tiada akan engkau rasai lagi keberatan perceraian ini. Ingatlah akan pepatah: Hilang bisa karena biasa, hilang geli karena gelitik. Tetapkanlah hatimu! Jangan banyak pikiran yang lain-lain."
"Tentu, tentu," jawab Samsu, "tetapi ada suatu pikiran yang menggoda hatiku, yang selalu melintas dalam ingatan dan tak dapat kulupakan siang malam."
"Pikiran apakah itu? Adakah orang atau sesuatu benda yang mengikat hatimu, sehingga tak dapat engkau tinggalkan?" tanya Nurbaya, sambil memandang muka Samsu.
"Bukan demikian, Nur. Dahulu tatkala kita berjalan jalan ke gunung Padang, telah kuceritakan kepadamu mimpiku. Sejak waktu itu sampai sekarang ini, pikiran yang menggoda itu tiadalah hendak meninggalkan aku. Beberapa malam aku tak dapat tidur nyenyak, karena mengenang-ngenangkan mimpi itu. Sebagai kelihatan olehku bahaya mengintai dan mengikut kita, barang ke mana kita pergi, menanti saat yang baik akat menerkam engkau dan aku, bila kita telah bercerai kelak. Itulah yang memberatkan hatiku; itulah yang menjadikan aku was-was. Apabila aku tiada ingat akan janjiku kepada ayahku untuk pergi, tentulah lebih suka aku tinggal menjaga engkau."
Dengan bercakap-cakap sedemikian sampailah keduanya ke dalam pekarangan Nurbaya, lalu duduklah mereka berdekat- dekatan di atas sebualt bangku, di bawah pohon tanjung yang rindang, dalam kebun anak gadis ini.
"Sebagai telah kukatakan," kata Nurbaya pula, "janganlah engkau terlalu percaya akan mimpi itu, karena tiada selamanya mimpi ada artinya. Bahaya apakah yang akan menimpa diri kita? Sebab kita tiada berbuat dosa atau kesalahan kepada siapa pun. Apabila sesungguhnya untung kita ini malang, apa hendak dikata? Karena sekaliannya itu telah takdir daripada TuhanYang Mahakuasa. Biar bagaimana sekalipun kita tiada suka, jika telah nasib sedemikian itu, tak dapat diubah lagi. Siapakah yang dapat
mengubah suratan pada lahulmahfut?
Oleh sebab itu berhati-hatilah menjaga diri, dan marilah kita pohonkan bersama-sama kepada Rabbul-alamin, supaya mudah- mudahan dipeliharakannya juga kita di dalam segala hal. Jika kaugoda hatimu dengan pikiran yang semacam tadi, tentulah pelajaranmu tiada akan maju kelak. Alangkah sayangnya!
Apabila engkau telah menjadi dokter, berapakah besar hati ibu-bapamu dan hatiku, melihat anak dan saudaranya telah berpangkat tinggi. Jika Susah bagimu kelak meninggalkan Padang ini, kaumintalah tetap bekerja di sini supaya dapat ber- campur gaul selama-lamanya dengan sekalian orang yang kau cintai."
"Engkau tiada tahu rasa hatiku sekarang ini; itulah sebabnya agaknya kaupermudah saja hal ini. Pikiran yang ada dalam hatiku rupanya tak ada dalam hatimu, sehingga tak dapat kau pikirkan halku."