• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tahap Pra-Pengolahan Lindi

4.1.3. Saponifikasi dan Foaming

Saponifikasi (Reaksi penyabunan) terjadi antara asam lemak rantai panjang (LCFA) yang terkandung dalam lindi dengan basa, sehingga membentuk sabun. Saponifikasi ditandai dengan terbentuknya busa di bagian atas bioreaktor.

Foaming (pembentukan busa) telah terjadi sejak awal proses seeding tetapi tidak

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 1 3 5 7 9 11 13 CO D, m g /L Waktu, hari COD T Ambient COD T 35C COD T 45C 0 1000 2000 3000 4000 5000 1 3 5 7 9 11 13 B O D, m g /L Waktu, hari BOD T Ambient BOD T 35C BOD T 45C

terlalu banyak, berukuran sangat kecil dan tidak terlalu tampak. Makin lama makin banyak dan menumpuk membentuk lapisan busa yang terakumulasi diatas permukaan lindi dalam bioreaktor. Seperti terlihat pada Gambar 4.4. dan Gambar 4.5.

a. b.

c. d.

Gambar 4.4. Foaming pada: a. awal seeding; b. temperatur ambient, c. temperatur 35°C, dan d. temperatur 45°C.

Hasil hidrolisis trigliserida, yaitu asam asam-asam lemak rantai panjang (LCFA) bila bereaksi dengan basa, lazim disebut saponifikasi, akan menghasilkan gliserol dan campuran garam yang berasal dari asam-asam lemak rantai panjang. Asam lemak rantai panjang ini akan bereaksi dengan basa menghasilkan sabun, sehingga terbentuk buih dibagian atas bioreaktor (Battimelli et al., 2009; Battimelli et al., 2010; Affes et al., 2013).

a. b. Gambar 4.5. Foaming pada bioreaktor anaerobik.

Hidrolisis dari polimer organik lipid akan membentuk asam lemak rantai panjang (LCFA) (Gujer dan Zehnder, 1983; Rinzema et al., 1994; Shin dan Song, 1995; van Lier et al., 2008; Zonta et al., 2013) dan gliserol (Battimelli et al., 2009; Battimelli et al., 2010). Pada kondisi anaerobik, lipid dihidrolisis oleh enzim lipase ekstraselular menjadi LCFA dan gliserol. Kemudian LCFA didegradasi melalui mekanisme β-oksidasi menjadi asam asetat dan hidrogen, yang selanjutnya dikonversi menjadi biogas, campuran metana dan karbondioksida. Gliserol dapat dengan mudah didegradasi menjadi asal lemak volatil (VFA) yang selanjutnya menjadi biogas (Battimelli et al., 2009; Battimelli

et al., 2010; Affes et al., 2013).

Beberapa peneliti mengidentifikasi bahwa foaming disebabkan oleh bahan-bahan hydrophobic dalam bioreaktor yang membentuk gelembung-gelembung gas dan menumpuk pada bagian atas bioreaktor membuat lapisan busa (Barjenbruch et

al., 2000, Bates, 2006; Pagilla et al., 1997, and Westlund et al., 1998).

Foaming dan akumulasi busa yang dihasilkan dalam bioreaktor

menyebabkan masalah operasional yang luas dan serius seperti: penyumbatan pompa, gangguan pada biogas-handling system, dan penurunan produksi biogas serta penuruan padatan volatil (Dalmau et al., 2010; Alfaro et al., 2014), berkurangnya volume efektif bioreaktor, kerusakan struktur, luapan busa, dan

penurunan produksi biogas hingga 40% (Subramanian and Pagilla, 2015; Kanu et

al., 2015).

Filamentous bacteria penyebab foaming, dapat hidup dan tetap tumbuh

dibawah kondisi anaerobik mesophilic meskipun merupakan obligate aerobes (Ganidi et al., 2009; Alfaro et al., 2014). Foaming pada temperatur thermophilic lebih resisten dari pada temperatur mesophilic (Dohanyos et al., 2004; Ganidi et

al., 2009). Hal ini menunjukkan pengaruh temperatur tinggi dalam menurunkan

tegangan permukaan dan viskositas serta peningkatan buih (Barber, 2005; Ganidi

et al., 2009). Oleh karena itu, temperatur bioreaktor thermophilic, secara efektif

dapat mengurangi dan atau menghancurkan buih yang terus-menerus terbentuk (Ganidi et al., 2009).

Keadaan hubungan sebab akibat akumulasi VFA dan LCFA yang terjadi pada pengolahan limbah dalam bioreaktor anaerobik, seperti terlihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6. Siklus penurunan efisiensi proses akibat akumulasi VFA dan LCFA

Foaming dalam bioreaktor anaerobik dipengaruhi oleh mikroorganisme

berfilamen, akumulasi VFA dan pengadukan yang kurang baik (Pagilla et al., 1997; Barjenbruch et al., 2000; Bates et al., 2006), fats/oil/grease (FOG) dan

kualitas lumpur umpan (Moeller et al., 2010; Kanu et al., 2015), zona pengumpanan bioreaktor, kelebihan FOG and scum dalam umpan masuk bioreaktor, fluktuasi temperatur bioreaktor (Barber, 2005; Kanu et al., 2015). Disamping itu, faktor non-biologis seperti OLR, pencampuran, dan ratio padatan

primary/activated sludge, juga mempengaruhi foaming dalam bioreaktor

anaerobik (Subramanian and Pagilla, 2014; Alfaro et al., 2014).

Beberapa masalah yang disebabkan oleh polimer bahan-bahan organik, lipid, saponifikasi dan foaming serta scum pada pengolahan limbah secara biologis anaerobik adalah penyumbatan (clogging), flotation, transfer massa substrat terlarut, pengurangan lumpur, aktifitas methanogenic dan produksi metana (Cammarota et al., 2001; Pereira et al., 2004; Demirel et al., 2005; Hatamoto et

al., 2007; Valladão et al., 2011). Saponifikasi dan foaming juga menyebabkan

pertumbuhan mikroorganisme yang kurang baik dan bersifat inhibitor LCFA (Carrere et al., 2012), perolehan biogas yang tidak efisien, terbentuknya dead zone dan biaya tambahan produksi (Ganidi et al., 2009), serta kehilangan produksi biogas 20 – 50% (Kougias et al., 2014).

Disamping itu, buffer yang digunakan untuk mempertahankan pH lindi, juga berpengaruh pada proses saponifikasi. Kandungan basa (NaOH) pada buffer akan bereaksi dengan asam lemak rantai panjang (LCFA) membentuk sabun.

C O OH R1 + C O ONa R1 + H2O

LCFA Basa Sabun Air

NaOH

4.1.

Ketika substrat di pretreatment dengan basa, salah satu hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa biomassa dapat mengkonsumsi basa tersebut. Sehingga basa yang diperlukan harus diperhitungkan untuk meningkatkan kinerja bioreaktor (Carrere et al., 2015). Beberapa peneliti mengusulkan, agar OLR sebagai volatile solids benar-benar diperhitungkan, karena dapat menyebabkan foaming (Pagilla et al., 1997, Barjenbrugh et al., 2000; Barber, 2005; Carrere et

al., 2015). Selama biodegradasi mesophilic dalam bioreaktor anaerobik, proses

saponifikasi dan foaming ditemukan secara luas, dengan dampak yang sangat besar pada efisiensi proses dan biaya operasi (Pagilla et al., 1997; Westlund et al.,

1998; Barjenbruch et al., 2000; Barber, 2005; Ganidi et al., 2009, Dalmau et al., 2010).

Saponifikasi dan foaming dapat mengganggu proses pengolahan jika busa atau buih yang dihasilkan besar (ukuran dan jumlah). Akibatnya pembacaan tekanan biogas pada manometer menjadi tidak stabil. Hal ini terjadi karena busa dan scum mendesak volume biogas yang akibatnya mengurangi volume efektif bioreaktor. Jika tekanan yang ditimbulkan busa tersebut makin meningkat, maka akan menekan volume bioreaktor dan dapat mendorong keluar air yang ada pada manometer.

Jadi saponifikasi prosedur pretreatment yang berpeluang untuk meningkat tahap hydrolysis dan laju biodegradasi awal, serta menurunkan waktu proses biodegradasi. Disamping itu, keuntungan yang diperoleh adalah dapat membatasi kelebihan akumulasi LCFA (Carrere et al., 2015). Oleh karena itu busa dan scum, yang ditimbulkan oleh proses saponifikasi dan foaming sebaiknya di-treatment terlebih dahulu karena menghambat proses pengolahan dan tahap proses selanjutnya.

Dokumen terkait