• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2 Saran

Berdasarkan hasil, pembahasan, dan kesimpulan yang didapat, maka saran yang dapat diajukan oleh penelitian ini antara lain:

1. Program penanggulangan kemiskinan hendaknya difokuskan pada wilayah yang memiliki persentase rumah tangga miskin yang tinggi.

2. Pemerintah perlu melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan untuk menambah penghasilan bagi rumah tangga di Kota Padangsidimpuan. 3. Sebaiknya dilakukan penelitian mengenai karakteristik kemiskinan yang

2.1Landasan Teori

2.1.1Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Prastyo (2010) menyatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.

Berdasarkan Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN, kemiskinan terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang, baik laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Menurut Ridlo (2001) definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial yang meliputi: aset, sumber-sumber keuangan, organisasi dan jaringan sosial, pengetahuan dan informasi untuk memperoleh pekerjaan menjadikan seseorang menjadi miskin.

kemiskinan diartikan kekurangan jaringan sosial dan struktur untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan meningkatkan produktivitas. Sedangkan secara politik kemiskinan diartikan kekurangan akses terhadap kekuasaan.

Sedangkan Nugroho dan Dahuri (2004) menyatakan bahwa dari aspek ekonomi, kemiskinan merupakan kesenjangan antara lemahnya daya pembelian (positif) dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasar (normatif). Dari aspek sosial, kemiskinan mengindikasikan potensi perkembangan masyarakat yang rendah. Sedangkan dari aspek politik, kemiskinan berhubungan dengan rendahnya kemandirian masyarakat.

Kemiskinan didefinisikan sebagai standar hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Secara ekonomis, kemiskinan juga dapat diartikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejehtaraan sekelompok orang. Kemiskinan memberi gambaran situasi serba kekurangan seperti terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan.

Suharto (2005) memaknai kemiskinan sebagai konsep dan fenomena yang multidimensional. Dengan menyampaikan beberapa ciri kemiskinan : 1) mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dasar; 2) ketiadaan akses terhadap kebutuhan dasar lainnya; 3) ketiadaan jaminan masa depan; 4) kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individu dan masal; 5) rendahnya kualitas SDM

dan keterbatasan sumber daya alam; 6) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat; 7) ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan; 8) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik atau mental; 9) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial.

Dari beberapa definisi di atas inti permasalahan kemiskinan adalah ukuran standar minimum kebutuhan dasar. Menentukan ukuran standar minimum tersebut tergantung dari pendekatan mana yang digunakan. Secara umum pendekatan yang dapat digunakan dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan obyektif dan pendekatan subyektif (Rejekiningsih, 2011). Dalam pendekatan obyektif, standar minimum kebutuhan dasar ditentukan berdasarkan studi lapangan yang dilakukan oleh pihak lain, baik itu para ahli, lembaga sosial maupun lembaga pemerintah. Sedangkan untuk pendekatan subyektif, ukuran standar minimum kebutuhan dasar diukur dari pendapat orang miskin itu sendiri, hal ini terjadi ketika orang miskin tersebut membandingkan diri dengan orang yang memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi di lingkungan sekitarnya.

2.1.2Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan menurut Sharp et. all. dalam Kuncoro (2010), dari sudut pandang ekonomi disebabkan antara lain; Pertama, karena adanya perbedaan pola kepemilikan sumberdaya sehingga terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Dan penduduk dikatakan miskin karena memiliki sumber daya yang hanya terbatas dengan kualitas rendah. Kedua, karena kualitas sumber daya

atau nasib yang tidak beruntung atau adanya diskriminasi. Dan ketiga, karena adanya perbedaan mendapatkan kemudahan dalam memperoleh modal.

Dari sebab kemiskinan yang dikemukakan, muaranya ada pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) sebagaimana yang dikatakan oleh Ragnar Nurkse dalam Kuncoro (2010), “a poor country is poor because it is poor”, dengan kata lain negara miskin itu disebabkan dia miskin.

Modal yang terbatas dengan pasar yang tidak sempurna serta adanya keterbelakangan, menyebabkan produktivitas rendah. Produktivitas rendah menyebabkan upah yang diterima rendah. Upah atau pendapatan rendah akan berakibat langsung terhadap rendahnya konsumsi, tabungan maupun investasi. Rendahnya investasi berdampak kembali pada keadaan awal seperti keterbelakangan dan seterusnya, sehingga jika digambarkan akan membentuk suatu lingkaran. Inilah yang disebut lingkaran setan kemiskinan (vicious circle poverty).

2.1.3Konsep Kemiskinan

Sebelum tahun 1993 seseorang dikategorikan miskin apabila total pengeluaran yang dibutuhkan untuk pembelian makanan senilai 2100 kalori per kapita per hari. Ini merupakan garis batas kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS. Sejak 1993, Indonesia telah mengadopsi basic needs approach yang terdiri dari pengeluaran untuk makanan dan non-makanan. Pada tahun 1996 BPS memperbaharui metode penghitungan garis kemiskinan untuk memasukkan komponen pengeluaran bukan makanan secara lebih memadai.

Kemiskinan memiliki pengertian yang berbeda antar daerah dan waktu. Hal ini berarti masalah kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Kemiskinan

tidak hanya berbicara masalah pendapatan yang rendah, tetapi juga menyangkut masalah perumahan yang buruk, rendahnya pembangunan manusia (human development) dalam hal pendidikan dan kesehatan, ketiadaan akses pada aset-aset produktif, ketakutan akan masa depan, dan lain-lain.

Dalam memahami kemiskinan dapat ditinjau dari beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan pendapatan (income approach) dimana seseorang disebut miskin jika pendapatan dan konsumsinya berada di bawah tingkat tertentu yaitu tingkat pendapatan dan pengeluaran minimal yang layak secara sosial. Kedua, pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), yang mana seseorang disebut miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, sandang, papan, sekolah dasar, dan lain-lain. Ketiga, pendekatan aksesibilitas dimana seseorang miskin karena kurangnya akses terhadap aset produktif, akses terhadap infrastruktur sosial dan fisik, akses terhadap informasi, akses terhadap pasar, dan akses terhadap teknologi. Keempat, pendekatan kemampuan manusia (human capability approach) dimana seseorang disebut miskin jika tidak memiliki kemampuan yang dapat berfungsi pada tingkat minimal. Kelima, pendekatan ketimpangan (inequality approach) yang merupakan pendekatan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan (proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata).

Pembangunan Manusia) dengan komponen antara lain tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf penduduk dewasa, tingkat penyelesaian studi pada sekolah dasar dan menengah, dan PDB riil per kapita. UNDP juga secara rutin mempublikasikan angka indeks yang mengukur kemiskinan yaitu the Human Poverty Index (IKM, Indeks Kemiskinan Manusia).

Indeks ini terdiri dari tiga komponen dasar yaitu longevity; menghitung persentase penduduk yang meninggal sebelum berusia 40 tahun. Kedua adalah literacy; persentase penduduk dewasa yang melek huruf. Ketiga adalah living standard yang merupakan kombinasi dari persentase penduduk yang memiliki akses yang cepat pada layanan kesehatan, persentase penduduk yang memiliki akses air bersih dan sehat, dan persentase balita kurang gizi. Menurut Sajogyo (1986), untuk mengkategorikan penduduk miskin, tidak cukup hanya menggunakan satu garis kemiskinan saja. Tiga garis yang harus digunakan adalah: melarat (destitute), miskin sekali (very poor) dan miskin (poor). Di desa pada tingkat 180 Kg dikategorikan melarat, 240 Kg dikategorikan miskin sekali dan 320 Kg setara beras per orang per tahun dikategorikan miskin. Untuk di kota, setara 270 Kg, 360 Kg dan 480 Kg setara beras per orang per tahun.

Korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan hubungan pertumbuhan dan kesenjangan. Menurut Simon Kuznets, hubungan antara pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita berbentuk U terbalik. Demikian juga dengan hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses

transisi dari suatu ekonomi perdesaan (rural) atau ekonomi tradisional ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industri.

Hipotesis Kuznets menjelaskan bahwa pada awal proses pembangunan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan meningkat sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi dan pada akhir proses pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada saat sektor industri di daerah perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari perdesaan atau pada saat pangsa pasar pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan.

Hipotesis U terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori Lewis mengenai perpindahan penduduk dari perdesaan (pertanian) ke perkotaan (industri). Daerah perdesaan yang sangat padat penduduknya mengakibatkan tingkat upah di sektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai dari pertanian ke industri tidak terbatas. Pada fase terakhir, pada saat sebagian besar dari tenaga kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industri, perbedaan pendapatan per kapita antara perdesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak lagi.

Hipotesis U terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori Lewis mengenai perpindahan penduduk dari perdesaan (pertanian) ke perkotaan (industri). Daerah perdesaan yang sangat padat penduduknya mengakibatkan tingkat upah di sektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai dari pertanian ke industri tidak terbatas. Pada fase terakhir, pada saat sebagian besar dari tenaga kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industri, perbedaan pendapatan per kapita antara perdesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak lagi.

Menurut Sajogyo (2006), untuk mengkategorikan penduduk miskin, tidak cukup hanya menggunakan satu garis kemiskinan saja. Tiga garis yang harus digunakan adalah: melarat (destitute), miskin sekali (very poor) dan miskin (poor). Di desa pada tingkat 180 Kg dikategorikan melarat, 240 Kg dikategorikan miskin sekali dan 320 Kg setara beras per orang per tahun dikategorikan miskin. Untuk di kota, setara 270 Kg, 360 Kg dan 480 Kg setara beras per orang per tahun.

2.1.4Indikator Kemiskinan

Menurut Badan Pusat Statistik Kota Padangsidempuan pada tahun 2014, indikator penduduk yang digolongkan miskin adalah sebagai berikut:

1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang;

2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal tanah atau bambu atau kayu murahan; 3) Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu atau rumbia atau kayu

berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester;

4) Tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar atau menggunakan bersama-sama dengan rumah tangga lain;

6) Sumber air minum dari sumur atau mata air tidak terlindung atau sungai atau air hujan;

7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari menggunakan kayu bakar atau minyak tanah atau arang;

8) Tidak pernah mengkonsumsi daging/susu/ayam per minggu atau hanya satu kali dalam seminggu ;

9) Tidak pernah membeli pakaian baru dalam setahun atau hanya satu kali membeli dalam setahun (untuk setiap anggota rumah tangga);

10)Hanya satu kali atau dua kali makan dalam sehari (untuk setiap anggota rumah tangga);

11)Tidak mampu membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik; 12)Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga adalah petani dengan luas

lahan 0,5 hektar atau buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan kurang dari Rp 600.000 per bulan;

13)Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya SD atau tidak tamat SD maupun tidak sekolah;

14)Tidak mempunyai tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

2.1.5Konsep Pengangguran

Penduduk dalam suatu negara dibedakan menjadi dua golongan, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Menurut Bank Dunia, tenaga kerja adalah penduduk yang berumur antara 15 hingga 64 tahun. Selanjutnya, tenaga kerja dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja atau tenaga kerja yang sedang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara sedang tidak bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja atau tenaga kerja yang tidak bekerja, tidak

yang bukan wanita karir), serta menerima pendapatan tetapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya (pensiunan, penderita cacat yang dependen). Angkatan kerja dibedakan juga ke dalam dua kelompok, yaitu pekerja dan penganggur. Pekerja ialah orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang bekerja (saat dilakukan sensus atau survei), serta orang yang mempunyai pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja.

Sedangkan pengangguran adalah seseorang yang mau dan membutuhkan pekerjaan dan atau seseorang yang seharusnya dilihat dari segi kebutuhan dan kemampuannya telah dan harus mempunyai pekerjaan yang layak dan sah menurut hukum dinegaranya. Pekerjaan tersebut digunakan sebagai sumber kehidupan dan penghidupan dirinya, keluarganya, masyarakat, dan bangsanya. Tetapi karena sesuatu hal, dia tidak memiliki kesempatan itu.

Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan pengangguran struktural. Pengangguran siklis adalah pengangguran yang terjadi ketika permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih kecil dari keluaran potensial. Pengangguran siklis dikatakan sebagai orang yang menganggur terpaksa yaitu mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan tidak tersedia.

Pengangguran struktural adalah pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan struktur permintaan akan tenaga

kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah penduduk usia muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Selain itu, pengangguran friksional juga disebabkan oleh orang-orang yang keluar dari pekerjaannya, baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena diberhentikan.

Menurut BPS, pengangguran terbuka adalah orang yang mencari pekerjaan, yang sedang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan, dan mereka yang sudah punya pekerjaan. Mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang tidak bekerja dan pada saat survei orang tersebut sedang mencari pekerjaan, seperti yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan atau orang yang sudah pernah bekerja, karena suatu hal berhenti atau diberhentikan dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.

2.2Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penenlitian sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti mengenai analisis tingkat kemiskinan rumah tangga. Dimana masing-masing penelitian mempunyai variabel yang berbeda-beda dari tahun ke tahun dan penelitian tersebut biasanya selalu bervariasi sesuai dengan kebutuhan sipeneliti (menambah atau mengembangkan penelitian yang sudah ada sebelumnya dengan objek penelitian yang berbeda dari periode penelitian yang berbeda). Berikut penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya mengenai analisis tingkat kemiskinan

Raya Kota Pekanbaru”. Metode analisis yang digunakan adalah Deskriptif Kuantitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa Dari hasil observasi dan pengolahan data, maka penulis menarik kesimpulan bahwa dari hasil kuesioner sebanyak 100 responden di Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru dapat diketahui bahwa tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat Kelurahan Sail menunjukan pendapatan yang relatif tidak merata atau ketimpangannya parah (Gini Ratio 0,82383), artinya bahwa pendapatan yang diterima oleh Penduduk Kelurahan Sail penerimaan pendapatannya tidak sama dan Pada tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan penduduk Kelurahan Sail dilihat dari pekerjaan atau mata pencahariannya maka ada 23 atau 23% responden yang masih dibawah angka kemiskinan dan kedalaman kemiskinan terparah merata dan terdapat pada semua jenis pekerjaan dan persentase penduduk miskin yang berada di Kelurahan Sail yaitu sebesar 3,7% dari seluruh jumlah penduduk.

Sementara penelitian yang dilakukan oleh Setrellita Lindiasari (2008) yang

berjudul “Analisis Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga di Kabupaten Bogor”.

Hasil analisis menunjukan bahwa Jumlah rumah tangga miskin di Kabuapten Bogor sebesar 16,06 persen, dengan urutan jumlah rumah tangga miskin terbesar berada di wilayah pengembangan Bogor Barat sebesar 25 persen. Jumlah rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah sebesar 22,77 persen, dan Bogor Timur sebesar 10,3 persen. Status pekerjaan kepala keluarga tidak berpengaruh terhadap status kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Bogor. Hanya di Kecamatan Leuwisadeng, Pamijahan, Rumpin, Sukajaya, Bojong Gede, Cijeruk, Ciomas, Gunung Sindur, Tajurhalang, Gunung Putri, dan Jonggol yang

memiliki keterkaitan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala keluarga dengan keterkaitan yang sangat lemah sangat lemah. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Barat adalah kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis pekerjaan, kemampuan berobat, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah adalah kepemilikan aset, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, jenis pekerjaan, jenis dinding, luas lantai bangunan tempat tinggal, fasilitas buang air besar, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Timur adalah kepemilikan aset, jenis pekerjaan, sumber penerangan, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, frekuensi makan dalam sehari, luas lantai, jenis lantai, dan jenis dinding.

Tabel 2.1

Tinjauan Penelitian Terdahulu No Nama, Tahun & Judul

Penelitian

Variabel Penelitian Hasil Penelitian

1 Sefty Dwi Juwita (2013) dengan judul

“Analisis Tingkat Kemiskinan Masyarakat Kelurahan Sail

Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru”.

Tingkat Kemiskinan Masyarakat Tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat Kelurahan Sail menunjukan pendapatan yang relatif tidak merata atau ketimpangannya parah (Gini Ratio 0,82383) 2 Setrellita Lindiasari (2008) yang berjudul “Analisis Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga di Kabupaten Bogor”. Tingkat Kemiskinan Rumah Tangga

Jumlah rumah tangga miskin di Kabuapten Bogor sebesar 16,06 persen, dengan urutan jumlah rumah tangga miskin terbesar berada di wilayah

pengembangan Bogor Barat sebesar 25 persen

2.3Kerangka Konseptual

Jumlah penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan permintaan terhadap tuntutan kehidupan yang paling minimum atau kebutuhan dasar juga semakin meningkat. Hal ini terkadang tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan kebutuhan dasar tersebut sehingga mengakibatkan tidak semua orang terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut dapat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut menunjukkan kesejahteraan seseorang. Apabila kesejahteraan

seseorang tidak terpenuhi secara terus-menerus, hal ini akan menyebabkan kemiskinan.

Peningkatan jumlah penduduk juga mengakibatkan peningkatan pada permintaan lapangan kerja. Hal ini apabila tidak ditunjang dengan jumlah lapangan kerja yang memadai akan menyebabkan masalah pengangguran. Selain itu, dengan meningkatnya jumlah penduduk akan terjadi transformasi lahan dari sektor pertanian ke sektor non pertanian seperti untuk perumahan. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Sehingga dengan semakin menurunnya luas lahan pertanian akan mengakibatkan banyak terjadi pengangguran di sektor tersebut.

Indikator kemiskinan rumah tangga memberikan suatu gambaran tentang penyebab kemiskinan di wilayah Kota Padangsidempuan. Indikator tersebut mencakup 14 indikator, yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal (m2), jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas, jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas, sumber air minum yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari, penggunaan fasilitas tempat buang air besar, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari, sumber penerangan (energi) rumah tangga, jenis barang yang dimiliki minimal senilai 500.000 (emas, televisi berwarna, kulkas/mesin cuci, sepeda motor), frekuensi anggota rumah tangga makan dalam sehari, frekuensi anggota rumah tangga membeli pakaian baru dalam setahun, frekuensi

tertinggi yang pernah atau sedang ditempuh, bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga.

Melalui analisis tabulasi silang terhadap indikator-indikator yang telah dijabarkan diharapkan dapat lebih memahami potret kemiskinan rumah tangga di Kota Padangsidempuan. Hubungan status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala rumah tangga di Kota Padangsidempuan juga dianalisis menggunakan analisis tabulasi silang. Selain itu, untuk mengetahui karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kota Padangsidempuan maka dilakukan analisis CHAID terhadap indikator-indiaktor tersebut. Melalui analisis-analisis tersebut diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan penanggulangan masalah kemiskinan terutama di Kota Padangsidempuan. Gambar di bawah ini untuk mempermudah alur penelitian.

Gambar.2.1. Kerangka Koseptual Penelitian 14 Indikator Kemiskinan Kemiskinan di Kota Padangsidempuan CHAID Crosstab

Karakteristik yang paling menonjol dalam membedakan rumah tangga miskin dan tidak Hubungan antara

status kemiskinan dan status pekerjaan di Potret kemiskinan di Kota

Padangsidempuan

1.1Latar Belakang

Kemiskinan didefinisikan secara berbeda oleh para ahli karena kemiskinan merupakan masalah yang multidimensi. Secara bahasa, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang artinya tidak memiliki harta benda dan serba kekurangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kemiskinan adalah orang atau kelompok orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya (Kuncoro, 2010:9).

Besar dan kecilnya standar hidup minimum diukur dan tergantung dari pendekatan mana yang akan digunakan. Dalam studi tentang kemiskinan terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu menggunakan pendekatan objektif atau menggunakan pendekatan subjektif (Rejekiningsih, 2011:13). Menggunakan pendekatan objektif berarti mengukur kemiskinan berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan oleh pihak lain, baik oleh para ahli maupun oleh lembaga pemerintah.

Dokumen terkait