• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

6.2.3 Saran Kepada Peneliti Selanjutnya

Kepada peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan

pembahasan yang lebih luas dengan variabel yang belum dimasukan kedalam

penelitian

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN, HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Resiko

Resiko adalah konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan. Seluruh kegiatan

yang dilakukan baik perorangan atau perusahaan juga mengandung resiko.

Kegiatan bisnis sangat erat kaitannya dengan resiko. Resiko dalam kegiatan

bisnis juga dikaitkan dengan besarnya return yang akan diterima oleh pengambil

resiko. Semakin besarresiko yang dihadapi umumnya dapat diperhitungkan

bahwa return yang diterima juga akan lebih besar. Pola pengambilan resiko

menunjukkan sikap yang berbeda terhadap pengambilan resiko. Resiko adalah

ketidakpastian dan dapat menimbulkan terjadinya peluang kerugian terhadap

pengambilan suatu keputusan (Harwood, et al 1999).

Menurut Kountur (2006), resiko berhubungan dengan ketidakpastian, ini terjadi

akibat kurangnya atau tidak tesedianya informasi yang menyangkut apa yang akan

terjadi. Selanjutnya Kountur (2008), menyebutkan ada tiga unsur penting dari

suatu yang dianggap resiko yaitu:

1.Merupakan suatu kejadian.

2.Kejadian tersebut masih merupakan kemungkinan, jadi bisa saja terjadi bisa

tidakterjadi.

Apabila ketidakpastian yang dihadapi berdampak menguntungkan maka disebut

dengan istilah kesempatan (opportunity), sedangkan ketidakpastian yang

berdampak merugikan disebut sebagai resiko. Oleh sebab itu resiko adalah

sebagai suatu keadaan yang tidak pasti yang dihadapi seseorang atau perusahaan

yang dapat memberikan dampak yang merugikan.

Resiko adalah konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan. Seluruh kegiatan

yang dilakukan baik perorangan atau perusahaan juga mengandung resiko.

Kegiatan bisnis sangat erat kaitannya dengan resiko. Resiko dalam kegiatan bisnis

juga dikaitkan dengan besarnya returnyang akan diterima oleh pengambil resiko.

Semakin besar resiko yang dihadapi umumnya dapat diperhitungkan bahwa

returnyang diterima juga akan lebih besar. Pola pengambilan resiko menunjukkan

sikap yang berbeda terhadap pengambilan resiko. Analisis resiko berhubungan

dengan teori pengambilan keputusan (decision theory) berdasarkan konsep

expected utility model (Moschini dan Hennessy,1999).

Dalam menganalisis mengenai pengambilan keputusan yang berhubungan dengan

resiko dapat menggunakan expected utility model. Model ini digunakan karena

adanya kelemahan yang terdapat pada expected return model, yaitu bahwa yang

ingin dicapai oleh seseorang bukan nilai (return) tetapi kepuasan (utility).

Hubungan fungsi kepuasan dengan pendapatan adalah berhubungan positif,

dimana jika tingkat kepuasan meningkat maka pendapatan yang akan diperoleh

juga meningkat. Teori resiko terhadap kepuasan ditunjukkan pada Gambar 1.

11

UTILITY UTILITY

INCOME INCOME

RISK NEUTRAL RISK AVERSE

UTILITY

INCOME

RISK TAKER

Gambar 1. Hubungan Fungsi Kepuasaan dan Pendapatan

Sumber : Debertin, 1986

Debertin (1986), juga menjelaskan mengenai hubungan tingkat kepuasan petani

dengan keputusan strategi yang diambil pada tingkat resiko tertentu. Sehubungan

dengan Gambar 1, setiap petani yang ingin mendapatkan income (pendapatan)

yang lebih tinggi maka akan menghadapi resiko yang lebih besar, dimana tingkat

resiko selalu berbanding lurus dengan tingkat harapan pendapatan. Resiko adalah

konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan. Seluruh kegiatan yang dilakukan

baik perorangan atau perusahaan juga mengandung resiko. Kegiatan bisnis sangat

erat kaitannya dengan resiko. Resiko dalam kegiatan bisnis juga dikaitkan dengan

besamya return yang akan diterima oleh pengarnbil resiko. Semakin besar resiko

yang dihadapi umurnnya dapat diperhitungkan bahwa return yang diterima juga

akan lebih besar. Pola pengambilan resiko menunjukkan sikap yang berbeda

terhadap pengambilan resiko. Perilaku pembuat keputusan dalam menghadapi

resiko dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Robison dan Barry, 1987

dalam Fariyanti, 2008).

1) Pembuat keputusan yang takut terhadap resiko (risk aversion).

Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari

keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan

menaikkan keuntungan yang diharapkan yang merupakan ukuran tingkat

kepuasan.

2) Pembuat keputusan yang berani terhadap resiko (risk taker).

Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari

keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan

menurunkan keuntungan yang diharapkan.

3) Pembuat keputusan yang netral terhadap resiko (risk neutral).

Sikap ini menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari

keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan

menurunkan atau menaikkan keuntungan yang diharapkan.

2.1.2 Strategi Pengambilan Keputusan

Respon petani terhadap resiko dapat dikategorikan menjadi: a) usaha yang

diaraahkan untuk mengendalikan kemungkinan timbulnya resiko b) tindakan yang

ditujukan untuk mengurangi dampak resiko (Jolly,1983). Dalam usaha

mengontrol sumber resiko, petani harus memilih himpunan distribusi probabilitas

yang paling mungkin dihadapi. Keputusan-keputusan yang diambil dapat berupa

pemilihan jenis usaha, diversifikasi usaha atau pola tanam, tingkat penggunaan

input, penentuan skala usaha, pemilihan pasar, serta keikutsertaan dalam

keorganisasian petani. Sementara itu, jenis respon yang kedua tidak berdampak

13

langsung terhadap distribusi probabilitas yang dihadapi petani. Pada dasarnya,

respon tersebut sangat berpengaruh terhadap kapasitas usaha tani untuk tetap

bertahan mengahadapi kondisi yang kurang menguntungkan atau untuk

memanfaatkan peluang seoptimal mungkin dalam kondisi yang menguntungkan.

Respon petani terhadap goncangan/kejutan yang dihadapi usaha tani dapat

dibedakan menjadi: a) respon sebelum terjadi goncangan yaitu ex ante; b) respon

pada saat terjadi goncangan yaitu interactive, dan c) respon telah terjadi

goncangan yaitu expost (Adiyoga dan Soetiarso,1999). Respon yang pertama

dirancang untuk mempersiapkan usaha tani agar tidak berada pada posisi yang

terlalu rawan pada saat goncangan terjadi. Respon pada saat terjadi goncangan

melibatkan realokasi sumber daya agar dampak resiko terhadap produksi dapat

diminimalkan, sedangkan respon setelah goncangan diarahkan untuk

meminimalkan dampak berikutnya. Ketiga jenis respon tersebut saling bergantung

satu dengan yang lainnya (respon yang satu merupakan fungsi dari respon yang

lain).

2.1.3 Teknologi

Teknologi disini maksudnya adalah teknologi pertanian yang berarti cara-cara

bagaimana penyebaran benih, pemeliharaan tanaman, memungut hasil serta

termasuk pula benih, pupuk, obat-obatan, pemberantasan hama, alat-alat, sumber

tenaga kerja dan kombinasi jenis-jenis usaha oleh para petani sebagai fungsinya

selaku pengelola untuk mengambil keputusan (Suhardiyono, 1992).

Teknologi dapat dilihat atau diartikan dari proses kegiatan manusia yang

menjelaskan kegiatan pembuatan suatu barang buatan tersebut. Kegiatan manusia

menghasilkan barang itu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu membuat dan

menggunakan. Membuat merupakan kegiatan merancang dan menciptakan suatu

barang buatan, sedangkan menggunakan adalah melakukan kegiatan sesuai

dengan fungsi suatu barang yang telah dibuat. Teknologi sebagai kegiatan

manusia dalam merencanakan dan menciptakan benda-benda yang bernilai

praktis.

Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa teknologi harus dilihat secara utuh

dengan cara menguraikannya ke dalam empat komponen sebagai berikut;

1.

Perangkat keras (fasilitas berwujud fisik); misalnya traktor, computer,

peralatan tangkap ikan, mesin pengolah makanan dan minuman, mesin

pendingin. Komponen tersebut disebut juga technoware yang

memberdayakan fisik manusia dan mengontrol kegiatan operasional

transformasi.

2.

Perangkat manusia (berwujud kemampuan manusia); misalnya

keterampilan, pengetahuan, keahlian, dan kreativitas dalam mengelola

ketiga komponen teknologi lainnya di bidang agroindustri/agribisnis.

Komponen tersebut disebut juga humanware yang memberikan ide

pemanfaatan sumber daya alam dan teknologi untuk keperluan produksi.

3.

Peringkat informasi (berwujud dokumen fakta); misalnya website di

internet, informasi yang diperoleh melalui telpon dan mesin facsimile,

database konsumen produk agribisnis, informasi mengenai riset pasar

produk agribisnis, spesifikasi mesin pengolah makanan, buku mengenai

pemeliharaan mesin-mesin pertanian, jurnal-jurnal aplikasi teknologi

mutakhir.

15

Teknologi pertanian merupakan penerapan prinsip-prinsi

pengetahuan alam dalam rangka pendayagunaan secar

teknologi pertanian merupakan praktik-empirik yang bersifat pragmatik finalistik,

dilandasi paham mekanistik-vitalistik dengan penekanan pada objek formal

kerekayasaan dalam pembuatan dan penerapan peralat

siste

dalam i

pemeliharaan, pemungutan hasil dar

panen yang diperoleh, penanganan, pengolahan dan pengamanan sert

hasil. Oleh sebab itu, secara luas cakup

penerapan ilm

pemasaran.

2.1.4 Kelembagaan

Kelembagaan adalah suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang dan lembaga

untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Dalam

konteks sistem agribisnis di pedesaan (Kompasiana, 2013), dikenal delapan

bentuk kelembagaan yaitu:

1) kelembagaan penyediaan input usahatani,

2) kelembagaan penyediaan permodalan,

3) kelembagaan pemenuhan tenaga kerja,

4) kelembagaan penyediaan lahan dan air irigasi,

5) kelembagaan usahatani/usahaternak,

7) kelembagaan pemasaran hasil pertanian, dan

8) kelembagaan penyediaan informasi (teknologi, pasar, dll).

Dalam konteks kelembagaan ada tiga kata kunci, yaitu: norma, perilaku, kondisi

dan hubungan sosial. Signifikansi ketiga kata kunci tersebut dicerminkan dalam

perilaku dan tindakan, baik dalam tindakan tindakan individu, maupun dalam

tindakan kolektif. Setiap keputusan yang diambil selalu akan terkait atau dibatasi

oleh norma dan pranata sosial masyarakat dan lingkungannya. Vice-versa, kondisi

demikian menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan dalam masyarakat

merupakan suatu tindakan berbasis kondisi komunitas (community-based action)

yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu celah masuk (entry-point) upaya

diseminasi teknologi. Dalam kontek kelembagaan pertanian, pemahaman

terminologi ”lokal” dinterpretasikan sebagai suatu yang memiliki karakteristik

tersendiri yang berkaitan dengan kondisi setempat. Terminologi lokal dimaksud

meliputi dasar-dasar untuk melakukan tindakan kolektif, energi untuk melakukan

konsensus, koordinasi tanggung jawab; serta menghimpun, menganalisis dan

mengkaji informasi.

Kelembagaan usaha atau kelembagaan kesejahteraan sosial dapat diartikan

sebagai suatu sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi atau digunakan

dalam kegiatan usaha kesejahteraan sosial (UKS). Melalui kelembagaan itu pula

hubungan antar manusia diatur oleh sistem norma dan organisasi sosial yang

mengatur hubungan manusia tersebut. Sementara dalam hal hubungan dan

perilaku yang terjadi dalam suatu organisasi sosial, di dalam suatu kelompok

terdapat pengaruh dari perilaku organisasi (kelompok) terhadap perilaku

perorangan. Sebaliknya perilaku perorangan juga memberikan pengaruh terhadap

17

norma dan sistem nilai bersama yang biasanya menjadi perilaku kelompok.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian kelembagaan, dapat

disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan suatu sistem yang syarat dengan

nilai dan norma yang bertujuan mengatur kehidupan manusia di dalam

kelembagaan pada khususnya maupun manusia di luar kelembagaan pada

umumnya.

Norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat memiliki tingkatan kekuatan

mengikat tersendiri. Seperti yang dipaparkan Soekanto (2002) dalam Sosiologi

sebagai Pengantar bahwa untuk dapat membedakan kekuatan mengikat

norma-norma tersebut dikenal adanya empat pengertian, yaitu:

a. Cara (usage)

b. Kebiasaan (folksway)

c. Tata kelakuan (mores), dan

d. Adat istiadat (custom)

Setiap tingkatan di atas memiliki kekuatan memaksa yang semakin besar

mempengaruhi perilaku seseorang untuk menaati norma. Begitu pula yang

dipaparkan oleh Soemardjan dan Soelaeman (1974) bahwa setiap tingkatan

tersebut menunjukkan pada kekuatan yang lebih besar yang digunakan oleh

masyarakat untuk memaksa para anggotanya mentaati norma-norma yang

terkandung didalamnya.

2.1.5 Persepsi

Menurut Sunaryo (2004), persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang

diawali oleh proses pengindraan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat

indra, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang

sesuatu yang dipersepsikan

Menurut Rakhmat (2004), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa,

atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan

melampirkan pesan.

Persepsi adalah stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan

dan diinterpretasikannya sehingga individu menyedari tentang apa yang

diinderanya (Walgito, 2006). Ketika individu petani mendengar atau melihat suatu

inovasi teknologi, maka muncul stimulus yang diterima alat inderanya, kemudian

melalui proses persepsi suatu inovasi teknologi baru yang ditangkap oleh indera

sebagai sesuatu yang berarti dan bermanfaat baginya. Melalui suatu interpretasi

dan pemaknaan dari suatu teknologi maka muncul keyakinan dan kepercayaan

terhadap inovasi teknologi tersebut. Akan tetapi individu petani masih

memerlukan pembuktian terhadap kebenaran inovasi tersebut melalui uji coba

atau melihat kepada sesama petaninya yang telah mencoba.

Stimulus yang diterima alat indera, kemudian melalui persepsi sesuatu yang

diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan

diinterpretasikan (Walgito, 2006).

Dengan demikian menurut Walgito (2006) persepsi merupakan proses

pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh

individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang

terintegrasi dalam diri individu. Persepsi petani terhadap suatu inovasi teknologi

baru adalah merupakan proses pengorganisasian dan interpretasi terhadap

19

stimulus yang diterima oleh individu petani, sehingga inovasi teknologi tersebut

merupakan yang berarti dan bermanfaat serta merupakan aktivitas yang

terintegrasi dalam diri individu sebelum mengambil keputusan untuk berperilaku.

Bentuk keputusan berpelilaku adalah merupakan tindakan individu untuk

menerpakna inovasi teknologi yang telah diyakini dan dibuktikan. Persepsi petani

terhadap sesuatu inovasi teknologi baru dapat dipengaruhi oleh faktor internal

(dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (atau dari stimulus itu sendiri dan

lingkungan). Suatu inovasi teknologi baru yang dipersepsi erat kaitannya terhadap

kondisi lingkungan (agro-ekosistem) dan tingkat kesulitan untuk menerapkan

teknologi tersebut. Penilaian terhadap tingkat kesulitan inovasi teknologi itu

merupakan faktor-faktor internal individu dalam mempersepsikan kemampuan

diri sendiri untuk melakukan tindakan atau penerapan sebagai pola perilakunya.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang menjadi rujukan adalah Ratna Mega Sari (2009) dengan

judul “Resiko Harga Cabai Merah Keriting dan Cabai Merah Besar di Indonesia”

menganalisis resiko harga cabai merah keriting dan cabai merah besar di

Indonesia dan menganalisis alternative strategi terkait dengan adanya resiko harga

komoditi cabai merah keriting dan cabai merah besar di Indonesia.

Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan analisis ARCH-GARCH yang digunakan untuk meramalkan

volalitas pada periode selanjutnya, dengan hasil penelitian sebagai berikut:

1. Cabai merah keriting dan cabai merah besar merupakan komoditi yang

sangat fluktuatif dari sisi harga. Harga yang sangat fluktuatif ini

menyebabkan tingginya resiko harga cabai merah keriting dan cabai merah

besar. Resiko harga cabai merah keriting lebih besar dibandingkan cabai

merah besar.

2. Penanggulangan resiko oleh petani dilakukan melalui tindakan seperti

perhitungan yang cermat dalam penentuan masa tanam cabai, menghindari

penanaman cabai dalam satu hamparan, rotasi tanaman dan pembuatan

pupuk olahan cabai. Penanggulangan resiko harga cabai merah keriting

dan cabai merah besae akan efektif melalui peran dan kontribusi

pemerintah, melalui pembentukan atau pengaktifan koperasi dankelompok

tani, pengaturan pola produksi serta pembinaan dan penyuluhan terkait

dengan pengolahan pasca panen, budidayaa dan pendekatan terhadap

petani terkait pentingnya kebijakan pengaturan pola produksi untuk

mengurangi resiko harga.

Menurut Drs.H.Hendro Sunarjo, APU (Purn.) dalam bukunya yang berjudul

“Bertanam 36 Jenis Sayur” menyatakan bahwa varietas yang termasuk jenis kol

diantaranya ialah hybrid KK cross, KY cross, hybrid 21, R.v.E., yoshin, pujon,

segon, Copenhagen market dan kubis merah. Sementara itu, varietas kol yang

dianjurkan untuk ditanam adalah hybrid 21, hybrid 31, hybrid KK cross, hybrid

KY cross. Semua varietas hybrid tersebut berasal dari Jepang. Var ietas lainnya

yang dianjurkan untuk ditanam adalah hybrid 368 dari Australia. Varietas kol

lokal seperti pujon, segon, dan yoshin kurang popular karena kropnya lunak

(keropos). Kol dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 1.000-3.000 m

dpl dengan pH tanah antara 6-7. Waktu tanam kol yang baik adalah pada awal

musim hujan (awal Oktober) atau awal musim kemarau (Maret). Jarak antar baris

60cm dengan jarak tanamnya 50cm. Pupuk yang digunakan adalah pupuk

21

kandang, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCl. Jenis pestisida yang digunakan

pada komoditi kol adalah Ambush 2 EC, Decis 2,5 EC 0,1-0,2% untuk ulat

Plutella maculipennis, ulat Crocodolomia binoyalis. Bubur bordeaux, Antracol,

atau Dithane M-45 0,2% untuk penyakit busuk akar.

Untuk komoditas sawi putih (petsai) varietas yang dianjurkan ditanam ialah granat

denmark, amiliore dan beberapa hybrid seperti naga oka, waka, wong bok dan

lain-lain. Sawi putih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian lebih dari 1000 m

dpl dengan pH tanah sebaiknya antara 6-7. Waktu tanam sawi putih yang baik

ialah menjelang akhir musim hujan (Maret) atau awal musim hujan (Oktober).

Bibit sawi putih ditanam menurut barisan dengan jarak tanam 40 cm dan jarak

antar baris 40 cm. Pupuk yang digunakan ialah pupuk kandang, pupuk urea dan

pupuk TSP. Sedangkan pestisida yang digunakan ialah Bayrusil 250 EC 0,2%

untuk memberantas ulat perusak daun (Plutella maculipennis) , Dithane M-45

0,2% untuk memberantas cendawan (Alternaria solani).

Untuk komoditas wortel, mudah ditanam ditempat yang tingginya lebih dari 500

m dpl, terutama di ketinggian 1.200 m dpl dengan pH tanah 5,5 – 6,5. Tanah yang

akan ditanami dicangkul sedalam 40cm, lalu diberi pupuk kandang atau kompos

tetapi pemberian pupuk kandang ini dapat ditiadakan jika tanahnya subur,

misalnya tanah bekas tanaman kentang, dan kubis. Dibuat alur dengan jarak antar

alur 20 cm. Pupuk buatan yang digunakan berupa pupuk urea, dan pupuk KCl.

2.3Landasan Teori

Persepsi petani mengenai resiko di dalam beberapa kajian empiris menunjukkan

bahwa petani pada umumnya berperilaku sebagai penghindar / penolak resiko /

memiliki persepsi negatif (Dillon dan Scandizzo, 1978). Perilaku tersebut

mengindikasikan bahwa petani lebih menyukai perencanaan usahatani yang dapat

memberikan rasa aman walaupun harus mengorbankan sebagian pendapatannya.

Sampai sejauh mana proposisi tersebut berlaku untuk petani di Indonesia yang

masih dikategorikan subsisten dalam penggunaan input (Adiyoga dan Soetiarso,

1999). Terlebih lagi jika dikaitkan dengan implikasinya terhadap usaha

pengembangan teknologi baru.

Perancangan teknologi di bidang pertanian diperlukan dalam usaha

pengembangan teknologi baru. Perancangan ini terdapat pada berbagai komponen.

Menurut (Sumarno, 2006) teknologi pertanian terdapat pada berbagai komponen,

yaitu :

1) Sumber daya lahan, air dan iklim

2) Sarana biologis, varietas dan benih

3) Sarana produksi sintesis

4) Alat mesin pertanian

5) Kelestarian lingkungan dan keberlanjutan

Pengembangan kelembagaan juga perlu dilakukan karena apabila petani

jikaberusahatani secara individu terus berada di pihak yang lemah karena petani

secara individu akan mengelola usahatani dengan luas garapan kecil dan

terpencar serta kepemilikan modal yang rendah. Sehingga pemerintah perlu

memperhatikan penguatan kelembagaan lewat kelompok tani karena dengan

berkelompok maka petani tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya

maupun permodalannya. Kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan

23

1) Kelompok tani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis

untuk memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program

pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasi program dan kurang

menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan kelompok.

2) Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok

masih relatif rendah, ini tercerin dari tingkat kehadiran anggota dalam

pertemuan kelompok rendah (hanya mencapai 50%).

3) Pengelolaan kegiatan produkstif anggota kelompok bersifat individu.

Kelompok sebagai forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah

pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan anggota secara

bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Kegiatan

atau usaha produktif anggota kelompok dihadapkan pada masalah

kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang

terbatas.

4) Pembentukan dan pegembangan kelembagaan tidak menggunakan basis

social capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai

melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan.

5) Pembentukan dan pengembangan berdasarkan konsep cetak biru (blue

print approach) yang seragam. Introduksi kelembagaan dari luar kurang

memperhatikan struktur jaringan kelembagaan lokal yang telah ada serta

kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.

6) Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan

7) Kelembagaan - kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk

memperkuat ikatan horizontal bukan ikatan vertikal. Anggota suatu

kelembagaan terdiri atas orang - orang dengan jenis aktivitas yang sama.

Tujuannya agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan

daya tawar mereka meningkat. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada

mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya.

8) Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang

dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan

kepada kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak

mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya,karena

tidak ada social learning approach.

9) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural dan

lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi

dibangun lebih dahulu,namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek

kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan

aggotanya meskipun wadahnya sudah tersedia.

Dalam menghadapi resiko diperlukan strategi. Menurut (Adiyoga dan

Soetiarso,1999) strategi dapat dikelompokkan menjadi strategi pengelolaan

resiko yang bersifat :

1) Ex-ante, yaitu respon yang dirancang untuk mempersiapkan usaha tani

agar tidak berada pada posisi yang terlalu rawan pada saat goncangan

terjadi

2) Interactive, yaitu respon pada saat terjadi goncangan melibatkan realokasi

25

3) Ex-post, yaitu respon setelah goncangan diarahkan untuk meminimalkan

dampak berikutnya

Ketiga jenis respon tersebut saling bergantung satu dengan yang lainnya (respon

yang satu merupakan fungsi dari respon yang lain) dan implementasi strategi ini

secara langsung tercermin pada teknik budidaya yang dilakukan petani.

2.4Kerangka Pemikiran

Dalam melakukan usaha tani, ada beberapa resiko yang akan dihadapi, seperti

resiko hasil produksi, resiko manusia, resiko kelembagaan, resiko harga dan

resiko institusi.

Resiko usaha tani yang dialami oleh para petani kol, wortel dan sawi putih harus

dihadapi dengan strategi penanggulangannya agar resiko tersebut dapat

diminimalisir pengaruhnya terhadap usaha tani. Strategi yang dilakukan oleh

petani tentunya dengan berbagai pertimbangan agar tepat sasaran sesuai dengan

resiko yang dihadapinya. Dengan demikian, petani kol,wortel dan sawi putih di

Kabupaten Karo perlu memiliki strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi

peluang – peluang munculnya resiko didalam usaha tani.

Perancangan teknologi di bidang pertanian sangat diperlukan. Pemanfaatan

teknologi pertanian terdapat pada berbagai komponen seperti sumber daya lahan,

Dokumen terkait