BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.2 Saran
Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk memformulasi ekstrak etanol daun mindi (Melia azedarach L) sebagai obat antidiare dan obat luka dengan terlebih dahulu melakukan pengujian toksisitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi habitat, morfologi, sistematika, sinonim, nama daerah, nama asing, kandungan kimia dan manfaat dari tumbuhan.
2.1.1 Habitat
Tumbuhan ini cepat tumbuh dan berkembang di semua negara tropis dan subtropis, di Jawa mindi tidak tumbuh liar, tapi awalnya ditanam untuk pohon peneduh pada perkebunan kopi pada zaman pendudukan Belanda (Heyne, 1987). Tumbuhan ini pertama kali dikenal dan dinaturalisasi di Filipina dan dikembangkan secara khas di Manila sampai sekarang (Khan, et al., 2008). 2.1.2 Morfologi
Tumbuhan bercabang banyak ini mempunyai kulit batang yang berwarna cokelat tua, dengan ketinggian sampai 4 meter. Daunnya majemuk, menyirip ganda, tumbuh berseling. Anak daun berbentuk bulat telur sampai lanset, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal membulat atau tumpul, permukaan atas daun berwarna hijau tua, bagian bawah hijau muda (Yuniarti, 2008).
Pada tumbuhan masih muda memiliki kulit licin dan berlentisel, kayu gubal putih coklat, kayu teras coklat kemerahan. Bunga majemuk malai, pada ketiak daun panjang malai 10-22 cm, warna keunguan, berkelamin dua (biseksual) atau bunga jantan dan bunga betina pada tumbuhan yang sama. Buah bulat atau jorong, yang tidak membuka, ukuran 2-4 cm x 1-2 cm, kulit luar tipis, licin, berkulit kering keriput, buah muda hijau, buah masak kuning, dalam satu buah umumnya terdapat 4-5 biji. Biji kecil 3,5x1,6 mm, lonjong, licin, warna
coklat, biji kering warna hitam (Sharma dan Paul, 2013). 2.1.3 Sistematika
Sistematika tumbuhan mindi (Sukrasmo, 2003)
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Rutales Suku : Meliaceae Marga : Melia
Jenis : Melia azedarach L. 2.1.4 Sinonim
Sinonim Tumbuhan mindi adalah Melia dubia auct. (non. Cav.) How et T. Chen, Melia dubia Cav., Melia japonica G. Don. dan Melia toosendan Sieb.et Zucc (Yuniarti, 2008).
2.1.5. Nama daerah
Renceh, mindi (Sumatera); gringging, cakra-cikri (Jawa) (Yuniarti, 2008). 2.1.6 Nama asing
Chinna berry, China tree (Inggris) (Permadani, 2008) ; Alelaila (Puerto Rico); Jacinto (Panama); Aleli (Venezuela); lilac (India barat); Cinnamomum (Brazil) (Khan, et al., 2008) ; Lelaila, Aleli, Pasilla, Violeta (Singapura); giant paradise (Argentina); Ku/ia (China); Chiwesischer holunder, Poteronosterbaurn, Paradiesbaurn, Persicher fleider (Jerman); Lilas des indes, Lilas de chine, Lilas de perse, Paraiso, Margoiser, Margoiser (Perancis); Bakain, Ramyaka, Drek, Dharek, Karmuka, Keshamushti, Khammaga, Ghoranim, Kalo neem, Bakan Limado, Bakai Nimbu, Neem dan Malaivernba (India) (Sharma dan Paul, 2013).
2.1.7 Kandungan kimia
Kulit kayu dan kulit akar mengandung toosendamin (C30H38O11) dan komponen yang larut (C30H40O12). Selain itu juga terdapat alkaloid azaridine (margosina), kaempferol, resin, tanin, n-triacon-tane, -sitosterol dan triterpen kulinone. Biji mengandung resin yang sangat beracun dan 60% minyak lemak. Daun mengandung alkaloid paraisina, flavonioid rutin, zat pahit, saponin, tanin, steroida dan kaemferol (Yuniarti, 2008).
2.1.8 Manfaat tumbuhan mindi
Tumbuhan mindi (Melia azedarach L.) mempunyai manfaat yang serbaguna atau multipurpose spesies. Kulit batang dan daun dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, demam, antiseptik, peptisida dan obat kanker. Kulit mindi dipakai sebagai penghasil obat untuk mengeluarkan cacing usus. Kulit, daun dan akar mindi telah digunakan sebagai obat rematik, demam, bengkak dan radang (Khan, et al., 2008). Pernyataan diatas dipertegas oleh Sudharmono, (2014) bahwa tumbuhan mindi banyak dimanfaatkan untuk mengobati darah tinggi, sakit lambung, nyari perut, jamur di kulit kepala, obat pencahar, perangsang muntah, peluruh kencing dan cacingan. Seluruh bagian tumbuhan berkhasiat sebagai pembunuh serangga.
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM RI, 2000).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstrak zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM RI, 1995).
2.2.1 Metode ekstraksi
Menurut (Ditjen POM RI, 2000), metode ekstraksi adalah cara dingin dan cara panas.
a. Cara Dingin
Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari: maserasi dan perkolasi. 1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
b. Cara Panas 1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi
sempurna. 2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti
Digestasi adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50⁰C.
4. Infudasi
Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98 ⁰C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
5. Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM RI, 2000).
2.2.2 Ekstraksi cair-cair
Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik yang mana suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat bersentuhan dengan pelarut kedua (biasanya pelarut organik), yang pada hakikatnya tidak tercampurkan, pada proses ini terjadi pemindahan satu atau lebih zat terlarut (solute) ke dalam pelarut yang kedua (Bassett, dkk., 1994). Fraksinasi adalah suatu metode pemisahan senyawa organik berdasarkan kelarutan senyawa-senyawa tersebut dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur, biasanya antara pelarut air dan pelarut organik seperti metanol, etanol, etilasetat, n-heksana dan petroleum eter (Dey, 2012).
Pemisahan yang dilakukan bersifat sederhana, bersih, cepat dan mudah, yang dapat dilakukan dengan cara mengocok-ngocok dalam sebuah corong pisah selama beberapa menit (Bassett, dkk., 1994). Solut atau senyawa organik akan terdistribusi ke dalam fasenya masing-masing bergantung pada kelarutannya terhadap fase tersebut dan kemudian akan terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah yang dapat dipisahkan dengan membuka kunci pipa corong pisah (Odugbemi, 2008). Kebanyakan ekstraksi cair-cair dilakukan dengan menggunakan corong pisah. Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituent yang mudah mengalami ionisasi dan senyawa polar lainnya akan tertahan dalam fase air (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah pelarut yang mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (<10%), dapat menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.3 Sterilisasi
Proses sterilisasi merupakan proses penghilangan semua jenis mikroorganisme yang hidup. Metode-metode sterilisasi yaitu :
1. Metode Sterilisasi Fisika, meliputi sterilisasi pemanasan basah, pemanasan kering dan radiasi.
a. Sterilisasi pemanasan basah, Teknik sterilisasi ini yang paling pasti adalah penggunaan uap air disertai tekanan, yang dilakukan dalam alat yang disebut otoklaf. Metode ini dilakukan dengan suhu 1210C dengan waktu 15 menit.
b. Sterilisasi pemanasan kering, Alat-alat yang akan disterilkan dengan cara ini, ditempatkan di dalam oven dimana suhunya dapat mencapai 160-1700C selama 1-2 jam.
c. Radiasi : proses dikeluarkannya energi dalam bentuk gelombang (sinar UV), radiasi energi tinggi yang terpancar dari isotop radioaktif seperti Co60 (Sinar ) atau yang dihasilkan oleh percepatan mekanis elektron
(sinar katoda & sinar ).
2. Metode Sterilisasi Kimia, metode ini dilakukan untuk bahan-bahan yang mudah rusak bila disterilkan dalam suhu tinggi. Salah satu sterilisasi kimia yang dapat digunakan cairan desinfektan, berupa senyawa aldehid, hipoklorit, fenolik dan alkohol.
3. Metode Sterilisasi Penyaringan Bakteri, metode ini digunakan untuk sterilisasi larutan yang tidak tahan pemanasan, sangat baik untuk sediaan-sediaan farmasi steril yang harus dibuat segar. Pada proses ini digunakan membran filter yang terbuat dari selulosa asetat. Membran filter tidak dapat digunakan untuk menyaring virus (Lee, 1983).
2.4 Bakteri
Bakteri adalah sel prokariotik yang khas, uniselular dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Reproduksi terutama dengan pembelahan biner sederhana yaitu suatu proses aseksual. Beberapa dapat tumbuh pada 00C, ada yang tumbuh dengan baik pada sumber air panas yang suhunya 900C atau lebih (Irianto, 2013).
2.4.1 Ukuran bakteri
Ukuran bakteri bervariasi baik penampang maupun panjangnya, bakteri yang khas berdiameter sekitar 0,5 sampai 1,0 µm dan panjangnya 1,5 sampai 2,5 µm (Irianto, 2013).
2.4.2 Bentuk bakteri
1. Golongan basil berbentuk batang dengan panjang yang bervariasi. Sebagian besar basil tampak sebagai batang tunggal yang disebut monobasil. Basil dapat bergandengan dua-dua yang disebut diplobasil, yang bergandeng-gandengan panjang membentuk rantai disebut streptobasil (Pratiwi, 2008).
Monobasil Diplobasil Streptobasil Gambar 2.1 Bentuk Bakteri Basil
2. Golongan spiral merupakan bakteri yang memiliki satu atau lebih lekukan dan mempunyai berbagai variasi. Bakteri yang berbentuk batang melengkung menyerupai koma disebut vibrio. Bakteri yang berpilin kaku disebut spiral, sedangkan bakteri yang berpilin fleksibel disebut spirochaeta (Irianto, 2006).
Spiral Vibrio Spirochaeta
3. Golongan Kokus merupakan bakteri yang berbentuk bulat dinamakan kokus (coccus) dan mempunyai beberapa variasi. Kokus yang berbentuk tunggal, ini disebut monokokus. Kokus yang bergandeng dua-dua, ini disebut diplokokus; Kokus yang bergandengan empat dan membentuk bujursangkar, ini disebut tetrakokus; Kokus yang bergerombol membentuk kubus, ini disebut sarcina; kokus yang berbentuk sekelompok sel yang tidak teratur, sehingga terbentuknya mirip dompolan buah anggur disebut stafilokokus; Kokus bergandeng-gandengan memanjang membentuk rantai, ini disebut steptokokus (Tamher, 2002).
Monokokus Diplokokus Tetrakokus
Sarkina Streptokokus Stafilokokus Gambar 2.3 Bentuk Bakteri Kokus 2.4.3 Pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan bakteri
Kondisi lingkungan yang mendukung dapat memacu pertumbuhan dan reproduksi bakteri. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan reproduksi bakteri adalah :
a.Suhu
Seperti halnya makhluk hidup tingkat tinggi, untuk pertumbuhannya bakteri memerlukan suhu tertentu. Berdasarkan suhu yang diperlukan untuk tumbuh, bakteri dapat dibagi menjadi :
a)bakteri psikrofil yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu antara 0 - 20ᴼC dengan suhu optimal 25oC.
b)bakteri mesofil yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu antara 25 - 40ᴼC dengan suhu optimal 37oC
c)bakteri termofil yaitu bakteri yang tumbuh antara suhu 50-60ᴼC (Dzen, dkk., 2003).
b.pH
pH merupakan indikasi konsentrasi ion hidrogen. Peningkatan dan penurunan konsentrasi ion hidrogen dapat menyebabkan ionisasi gugus-gugus dalam protein, amino dan karboksilat. Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein yang mengganggu pertumbuhan sel (Pratiwi, 2008).
Mikroorganisme memerlukan pH tertentu untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme asidofil tumbuh pada pH 1,0-5,5; Mikroorganisme neutrofil tumbuh pada pH 5,5- 8,5 dan mikroorganisme alkalofil tumbuh pada pH 9-11,0 (Jawetz, et al., 2007).
c.Tekanan osmosis
Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media. Medium yang baik untuk pertumbuhan sel adalah medium isotonis terhadap sel tersebut. Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel mikroorganisme, sedangkan dalam larutan hipertonik air akan keluar dari sel sehingga membran plasma mengerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis) (Pratiwi, 2008).
d.Oksigen
Mikroorganisme dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan kebutuhannya akan oksigen, yaitu:
a) Bakteri aerob yaitu bakteri yang untuk pertumbuhannya memerlukan adanya oksigen.
b) Bakteri anaerob yaitu bakteri yang tidak membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya.
c) Bakteri anaerob fakultatif yaitu bakteri yang tumbuh dengan ada atau tanpanya oksigen.
d) Bakteri mikroaerofilik yaitu bakteri yang memerlukan oksigen tetapi dalam konsentrasi terendah (Pratiwi, 2008).
2.4.4 Faktor pertumbuhan bakteri
Fase pertumbuhan bakteri meliputi fase penyesuaian, fase pembelahan, fase statisioner dan fase kematian.
a. Fase penyesuaian (lag phase)
Fase ini merupakan fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan yang baru. Ciri–ciri fase ini yaitu tidak ada pertambahan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mokroorganisme dan media pertumbuhan.
b. Fase pembelahan (log phase)
Pada fase ini kecepatan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri terjadi sangat cepat dan maksimum. Komposisi sel bakteri dan bahan metabolitnya relatif konstan untuk jangka waktu tertentu. Hal ini tergantung dari sifat-sifat alamiah bakteri dan keadaan lingkungannya. Keadaan ini dipertahankan sampai keadaan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. c. Fase stasioner (stationary phase)
Pada fase ini kecepatan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri mencapai titik terendah atau boleh dikatakan nol. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan telah berubah dan tidak menguntungkan bagi pertumbuhan maupun perkembangbiakan bakteri dikarenakan nutrisi telah habis dan terjadi penumpukan hasil metabolik yang bersifat toksis. Jumlah sel bakteri yang hidup tampak konstan, hal ini terjadi karena jumlah sel yang baru terbentuk seimbang
dengan jumlah sel yang mati. d. Fase penurunan (death phase)
Ciri-ciri fase ini, terjadinya peningkatan kematian sel bakteri sehingga terjadi penurunan populasi bakteri (Dzen, dkk., 2003).
2.5 Uraian Bakteri Uji
2.5.1 Bakteri Staphylococcus aureus
Sistematika bakteri Staphylococcus aureus (Dwidjoseputro, 1978) Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Familia : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus
Bakteri ini termasuk bakteri Gram-positif, berbentuk sferis atau kokus dalam susunan tidak teratur, diameter 0,8 - 1,0μm, koloni berwarna kuning
keemasan. Batas-batas suhu untuk pertumbuhannya ialah 15 - 40°C, sedangkan suhu pertumbuhan optimum ialah 35 – 37°C. pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7,4 (Saputra, 2012).
Staphylococcus aureus adalah sebagai kuman flora normal pada kulit dan
selaput lendir pada manusia. Staphylococcus aureus dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun pada hewan. Bakteri Staphylococcus aureus dapat mengakibatkan infeksi kerusakan pada kulit atau luka pada organ tubuh jika bakteri ini mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh (Saputra, 2012).
2.5.2 Bakteri Escherichia coli
Sistematika bakteri Escherichia coli (Dwidjoseputro, 1978) Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Familia : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia
Species : Escherichia coli
Bakteri ini termasuk bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek (kokobasil) dengan ukuran 0,4-0,7µm x 1,4µm (Saputra, 2012). Batas-batas suhu untuk pertumbuhannya ialah 8 - 46°C, sedangkan tumbuh sangat baik pada suhu 37°C. Bakteri Escherichia coli bersifat anaerob dan aerob fakultatif. Bakteri ini merupakan flora normal di saluran cerna manusia. Bakteri ini dapat menyebabkan beragam infeksi seperti infeksi traktus gastrointestinal, traktus urinarius, saluran empedu, septikemia, sindrom hemolitik-uremik, kolitis hemoragik dan meningitis neonatal (Elliott, 2009).
2.6 Uji Aktivitas Antibakteri
Ada beberapa metode umum yang dapat digunakan dalam uji aktivitas antibakteri yaitu :
a. Metode Difusi
Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder, metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Pada metode difusi, cakram kertas
yang berisi agen antibakteri diletakkan di atas permukaan media padat yang telah dicampur dengan mikroba yang akan berdifusi pada media tersebut dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 - 24 jam. Area jernih disekitar cakram kertas yang menunjukkan daya hambat antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri.
b.Metode Dilusi
Metode dilusi digunakan untuk menentukan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) dan KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum). Pengujian dilakukan menggunakan tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba. Masing-masing tabung kemudian diisi dengan sampel uji pada rentang konsentrasi tertentu. Tabung tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 - 24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah sampel uji pada tabung yang menunjukkan dengan hasil mulai yang jernih adalah KHM. Biakan dari semua tabung jernih diinokulasikan pada media padat, diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 - 24 jam dan diamati ada tidaknya koloni mikroba yang tumbuh. Konsentrasi terendah sampel uji pada biakan padat yang
ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan mikroba adalah KBM (Dzen, dkk., 2003).
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropis memiliki kekayaan alam yang melimpah berupa hewan dan tanaman tropis. Berbagai tanaman tropis dengan segala macam khasiatnya merupakan sumber daya alam yang dapat diberdayakan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa. Penelitian tentang obat tradisional telah banyak dilakukan terutama untuk meningkatkan kesehatan manusia (Astuti, dkk., 2005).
Potensi pengembangan industri obat tradisional terus mengalami peningkatan. Kondisi ini dipengaruhi oleh kesadaran meningkat tentang manfaat tanaman sebagai obat, sadar akan pentingnya kembali ke alam (back to nature) dengan memanfaatkan obat-obat alami yang berguna untuk meningkatkan derajat kesehatan (Djauhariya dan Hernani, 2004).
Tumbuhan mindi (Melia azedarach L.) merupakan salah satu tumbuhan yang dipercaya dapat digunakan untuk pengobatan luka dan diare sebagai obat tradisional. Berdasarkan berbagai literatur juga mencatat pengalaman secara turun-temurun dari berbagai negara dan daerah bahwa tumbuhan ini dapat menyembuhkan penyakit-penyakit seperti cacingan, skabies, kudis, darah tinggi dan untuk pengobatan tumor dan kanker (Agoes, 2010). Berbagai Penelitian diantaranya Mehmood, 2013 membuktikan bahwa dengan pembuatan ekstrak etanol dari daun mindi menjadi nanopartikel perak yang diuji ke dalam aktivitas antibakteri; anthelmintik (Cala, et al., 2011) dan antioksidan (Ahmed, et al., 2013).
Tumbuhan mindi sangat kaya dengan kandungan kimia yaitu margoside, toosendamin, liminoid, meliasin, resin, n-tricontane, betha-sitosterol dan triterpen kulinone (Agoes, 2010) dan azadirachtin (Astuti, dkk., 2010). Berdasarkan skrining fitokimia yang telah dilakukan menunjukkan bahwa daun mindi mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan steroid (Sudharmono, 2014) yang berfungsi sebagai antibakteri (Robinson, 1995).
Bakteri yang sering menyebabkan infeksi pada manusia adalah bakteri
Staphylococcus aureus berupa bakteri Gram positif merupakan flora pada
berbagai tubuh manusia terutama kulit yang menyebabkan infeksi seperti bisul, jerawat dan impertigo. Escherichia coli, bakteri Gram negatif merupakan flora normal pada saluran pencernaan yang dapat menyebabkan diare, infeksi saluran kemih dan sepsis (Jawetz, dkk., 2001).
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat daun mindi terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia dan uji aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan etilasetat terhadap bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli mewakili Gram positif dan Gram negatif dengan
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah penelitian adalah a. Apakah karakteristik simplisia daun mindi sesuai dengan Materia Medika
Indonesia (MMI)?
b. Apa saja golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada serbuk simplisia, ekstrak etanol dan fraksi daun mindi?
c. Apakah ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat daun mindi mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli?
1.3Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis penelitian adalah : a. Karakteristik simplisia daun mindi sesuai dengan MMI.
b. Golongan senyawa metabolit sekunder pada simplisia, ekstrak etanol, fraksi
n-heksan, serta fraksi etilasetat daun mindi yaitu alkaloid, glikosida, tanin,
saponin, flavonoid dan steroid/triterpenoid.
c. Ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat daun mindi mempunyai aktivitas antibakteri terhadap masing-masing bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui karakteristik simplisia daun mindi menurut MMI.
b. Untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada simplisia, ekstrak etanol dan fraksi daun mindi
c. Untuk mengetahui adanya aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat daun mindi terhadap masing-masing bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi ilmiah tentang aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat daun mindi terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia
coli dengan terlebih dahulu melakukan penelitian karakteristik, golongan
senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada serbuk simplisia, ekstrak dan fraksi serta uji aktivitas antibakteri daun mindi.
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL, FRAKSI n-HEKSANA DAN ETILASETAT DAUN MINDI
(Melia azedarach L.)TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli
ABSTRAK
Tumbuhan di Indonesia banyak dimanfaatkan oleh masyarakat secara tradisional untuk penanggulangan penyakit diantaranya daun mindi (Melia
azedarach L.), suku Meliaceae. Secara tradisional daun mindi digunakan
masyarakat untuk pengobatan luka dan obat diare. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan etilasetat daun mindi (Melia azedarach L.) terhadap bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli.
Penelitian yang dilakukan meliputi pembuatan serbuk simplisia, skrining fitokimia, karakterisasi simplisia antara lain: pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam. Pembuatan ekstrak daun mindi dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 80% kemudian ekstrak etanol difraksinasi menggunakan pelarut n-heksana dan etilasetat. Uji aktivitas antibakteri secara in
vitro dengan metode difusi agar menggunakan cakram kertas terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan mengukur diameter zona
hambat pertumbuhan bakteri.
Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun mindi diperoleh kadar air 5,94%, kadar sari yang larut dalam air 17,78%, kadar sari yang larut dalam etanol 11,32%, kadar abu total 7,11%, kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,43%. Hasil pemeriksaan skrining fitokimia terdapat kandungan senyawa kimia golongan alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Hasil uji aktivitas antibakteri