• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan diatas dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut :

1. Untuk mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara pemerintah daerah sebaiknya memperhatikan pelaksanaan pembangunan ekonomi di tiap kabupateb/kota agar pembangunan dapat terlaksana secarah menyeluruh dan mengamati secara cermat tiap pembangunan ekonomi sehingga pemerataan pembangunan dapat tercapai dan mengambil tindakan segera mungkin untuk menyelesaikan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota dan ketimpangan pembangunan ekonomi dapat diminimalisirkan sehingga tiap kabupaten/kota dapat merasakan peningkatan di masing-masing daerah.

2. Untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan PDRB per kapita, Provinsi Sumatera Utara, pemerintah harus memperhatikan secara terkontrol terhadap kabupaten/kota yang memiliki kenaikan PDRB per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara dan tanpa mengabaikan kabupaten/kota yang mengalami penurunan PDRB per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi dengan

memberdayakan kegiatan ekonomi masyarakat karena, kabupaten/kota tersebut masih memiliki peluang dan potensi terhadap kemajuan perekonomian Provinsi Sumatera Utara.

3. Penelitian ini masih memiliki keterbatasan dalam menganalisis pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2010-2015. Maka peneliti menyarankan agar peneliti-peneliti selanjutnya dapat meneliti topik yang sama dan tahun terbaru untuk melihat dan membandingkan apakah pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara ditahun berikutnya akan meningkat atau menurun.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan di masa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai dilapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah (Sirojuzilam, 2015).

Pertumbuhan ekonomi diyakini oleh sebagian besar ekonom sebagai indikator yang paling tepat dalam menggambarkan proses kemajuan pembangunan suatu negara. Hal ini terkait dengan kemampuannya dalam menggambarkan tercapainya suatu proses peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kapasitas produksi nasional, peningkatan jumlah konsumsi, dan yang terpenting adalah peningkatan pendapatan. Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi hanya menggambarkan nilai secara agregat, bukan secara parsial. Faktanya, proses pertumbuhan ekonomi yang terjadi di dunia pada saat ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu dibarengi dengan

pembagian porsi pendapatan yang merata diantara para pelaku ekonomi (Lincolin Arsyad, 2010).

Menurut Sjafrizal (2012), menyatakan bahwa teori pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan bagian penting dalam analisis ekonomi wilayah dan perkotaan. Alasannya jelas, karena pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur utama dalam pembangunan ekonomi wilayah dan mempunyai implikasi kebijakan yang cukup luas. Sasaran utama analisis pertumbuhan ekonomi wilayah ini adalah untuk menjelaskan mengapa suatu daerah dapat pertumbuh cepat dan ada pula yang tumbuh lambat. Disamping itu, analisis pertumbuhan ekonomi wilayah ini juga dapat menjelaskan hubungan antar pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar daerah dan mengapa hal tersebut terjadi.

Pertumbuhan ekonomi sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkembangan tersebut selalu dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan pendapatan nasional pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sadono Sukirno, 2006).

Pemerintah dapat jatuh atau bangun jika tingkat pertumbuhan ekonomi rendah atau tinggi, seperti terlihat dalam keseluruhan papan statistik. Sebagaimana dimaklumi, berhasilnya program pembangunan di suatu provinsi sering kali dinilai berdasarkan tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional.

Menurut Profesor Simon Kuznets (1971), definisi tentang pertumbuhan ekonomi suatu negara sebagai kenaikan kapasitas dalam angka panjang untuk

menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas tersebut dimungkinkan oleh adanya kemajuan teknologi, kelembagaan, dan perubahan ideologi. Ketiga komponen pokok dari definisi tersebut adalah sebagai berikut (Michael P. Todaro, 1995) :

1) Meningkatnya output secara terus-menerus merupakan manifestasi pertumbuhan ekonomi, sedangkan kemampuan untuk menyediakan berbagai jenis barang merupakan tanda adanya kematangan ekonomi.

2) Perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi kesinambungan pertumbuhan ekonomi suatu kondisi yang perlu tetapi tidak cukup itu saja. 3) Dalam rangka merealisasi potensi pertumbuhan yang menyertai teknologi

baru, maka perlu diadakan penyesuaian kelembagaan, sikap, dan teknologi. Inovasi dibidang teknologi tanpa dibarengi dengan inovasi sosial sama halnya dengan lampu pijar tanpa listrik (potensi ada tetapi tanpa input tidak akan dihasilkan barang apapun).

2.2 Ketimpangan Pembangunan Ekonomi

Ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah merupakan fenomena umum yang terjadi dalam proses pembangunan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada awalnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing –

masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daearah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap

daearah biasanya terdapat daerah wilayah yang relatif maju (developed region) dann wilayah relatif terbelakang (underdeveloped region) (Sjafrizal, 2012).

Menurut Williamson (1965) Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan pusat dan antar daerah dengan daerah lain adalah merupakan suatu yang wajar, karena adanya perbedaan dalam sumber daya dan awal pelaksanaan pembangunan antar daerah (Kuncoro, 2004).

Ketimpangan yang paling sering dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja, dan atau antar wilayah.

Ketimpangan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemiskinan merupakan permasalahan dalam pembangunan. Lewat pemahaman yang mendalam akan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan dapat memberikan dasar yang baik untuk menganalisis masalah pembangunan yang lebih khusus agar permasalahan pembangunan ini bisa dipecahkan dengan perencanaan pembangunan yang lebih baik (Lincolin Arsyad, 2004).

Ketimpangan pembangunan ekonomi dapat mengakibatkan konsekuensi sosial dalam pembangunan itu sendiri. Konsekuensi dari ketimpangan pembangunan ekonomi adalah rendahnya mobilitas sosial dan dapat menyebabkan kemiskinan (Colclough, 1990) dalam (Hasan Basri Tarmizi, 2011).

Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses tersebut akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak.

Kemudian pada saat proses pembangunan tersebut terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun (Sjafrizal, 2008) dalam (Devi Sitorus, 2012).

Ketimpangan daerah yang dibiarkan secara terus menerus tersebut akan membawa pengaruh yang merugikan (backwash effect) yang mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) seperti dapat mengakibatkan adanya kecemburuan sosial antar daerah dan menganggu kestabilan perekonomian.

Menurut Neo-Klasik, ketimpangan pembangunan wilayah terjadi karena adanya perbedaan sumber daya, tenaga kerja, dan modal yang dimiliki oleh tiap daerah adalah berbeda-beda. Hipotesis Neo-Klasik merupakan dasar teoritis terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Termasuk dalam hal ini adalah hasil studi dari Jeffrey G. Williamson yang melakukan pengujian terhadap kebenaran Neo-Klasik tersebut. Menurut Neo-Klasik bahwa ketimpangan wilayah akan berkurang dengan sendirinya. Neo-Klasik berpendapat bahwa dalam awal pembangunan yang dilaksanakan di negara yang sedang berkembang justru ketimpangan meningkat, hal ini dikarenakan pada saat proses pembangunan baru dimulai di negara sedang berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya di manfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang karena keterbatasan saran dan prasarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Selain faktor ekonomi, faktor

sosial-budaya juga turut mempangaruhi ketimpangan pembangunan wilayah (Myrdal, 1976) dalam (Harun, 2012).

Ketimpangan wilayah merupakan suatu aspek yang umum terjadi di setiap negara baik negara miskin, negara berkembang, bahkan negara maju sekalipun memiliki masalah ketimpangan pembangunan antar wilayah walaupun dengan ukuran yang berbeda-beda. Menurut Neo-Klasik, ketimpangan wilayah ini terjadi karena setiap daerah memiliki perbedaan sumber daya, tenaga kerja, dan teknologi. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu tidak mengherankan apabila ada yang disebut daerah maju dan daerah yang terbelakang.

2.3 Penyebab Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah

Ketimpangan pembangunan antarwilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah tersebut, yaitu sebagai berikut (Sjafrizal, 2012) :

1. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam

Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan ekonomi antarwilayah adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumber daya alam pada masing-masing daerah. Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan memengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan.

Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup banyak akan dapat memproduksi barang dan jasa tertentu dengan biaya relatif murah

dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih sedikit. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang dan jasa dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut selanjutnya menyebabkan pula daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.

Dengan demikian, terlihat bahwa perbedaan kandungan sumber daya alam ini dapat mendorong terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah yang lebih tinggi pada suatu negara.

2. Perbedaan Kondisi Demografis

Faktor utama lainnya yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah adalah bilamana terdapat perbedaan kondisi demografis yang cukup besar antardaerah. Kondisi demografis yang dimaksudkan disini meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.

Kondisi demografis ini kemudian akan dapat pula memengaruhi ketimpangan ekonomi antarwilayah, karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai tingkat

produktivitas kerja yang lebih tinggi. Kondisi ini selanjutnya akan mendorong pula peningkatan investasi yang ke daerah bersangkutan sehingga akan cenderung pula meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografisnya kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif rendahnya tingkat produktivitas kerja masyarakat setempat yang cenderung menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi para penanam modal (investor) sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan cenderung menjadi lebih rendah.

3. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa antarwilayah dapat pula mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan ekonomi antarwilayah. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah karena bila mobilitas tersebut kurang lancar, maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak akan dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya.

Akibatnya, ketimpangan ekonomi antarwilayah akan cenderung lebih tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang membutuhkan, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong kegiatan ekonominya. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana, ketimpangan

ekonomi antarwilayah akan cenderung relatif tinggi pada negara sedang berkembang di mana mobilitas barang dan jasa kurang lancar karena terbatasnya fasilitas transportasi dan komunikasi dan masih terdapatnya beberapa daerah yang terisolir.

4. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas akan memengaruhi ketimpangan ekonomi antarwilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah di mana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula sebaliknya bilamana, konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadi pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat.

5. Alokasi Dana Pembangunan Antarwilayah

Tidak dapat disangkal bahwa investasi merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang mendapatkan alokasi investasi swasta ke daerahnya akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Kondisi ini tentunya akan dapat pula mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi bilamana investasi pemerintah dan swasta yang masuk ke suatu daerah tertentu ternyata lebih

rendah, sehingga kegiatan ekonomi dan pembangunan daerahnya kurang berkembang baik.

Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintah daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan pembangunan antarwilayah akan cenderung tinggi. Akan tetapi, sebaliknya bilamana sistem pemerintah yang dianut adalah otonomi atau desentralisasi, maka dana investasi pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan ekonomi antarwilayah akan cenderung lebih rendah. 2.4 Klassen Typology

Model yang paling populer untuk mengindetifikasi daerah tertinggal atau perkembangan daerah-daerah berdasarkan pertumbuhan ekonominya adalah model Typology Klassen.

Typology Klassen dikenalkan oleh Leo Klassen (1965), Klassen menganggap daerah (regions) sebagai mikrokosmos yang diskrit (discrete microcosms), yaitu daerah ekonomi yang dapat dipahami dengan melalui studi tentang besaran-besaran ekonominya. Dengan menggunakan pendapatan, Klassen mengajukan suatu teknik sederhana yaitu dengan memperbandingkan tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan suatu daerah tertentu dengan tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan nasional, seperti yang ditunjukan pada table 2.1. Ada tiga macam daerah yang permasalahannya berbeda yakni kategori II, III, dan IV seperti tampak pada table tersebut. Daerah tipe II adalah daerah dengan tingkat

pendapatan yang realtif rendah tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, daerah tipe III adalah daerah dengan tingkat pendapatan tinggi tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang rendah, dan daerah tipe IV adalah daerah dengan tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan yang rendah. Daerah yang terakhir merupakan daerah yang menjadi perhatian utama bagi para perencana pembangunan daerah (Lincolin Arsyad, 2010).

Tabel 2.1

Tipologi Klassen untuk Pengidentifikasian Daerah Tertinggal

Tingkat pertumbuhan pendapatan daerah dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pendapatan nasional

Tingkat pendapatan daerah dibandingkan dengan tingkat pendapatan nasional

Tinggi (>1) Rendah (<1)

Tinggi (>1)

Tipe I Daerah makmur

Tipe II

Daerah tertinggal dalam proses membangun

Rendah (<1)

Tipe III Daerah makmur yang sedang menurun (potensial

untuk tertinggal)

Tipe IV Daerah tertinggal

Menurut Klassen, daerah tertinggal seperti itu karena kondisinya yang tidak menguntungkan, kurang dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional. Daerah-daerah tersebut tidak dapat bersaing dengan daerah-daerah lainnya paling tidak dalam satu cabang industri. Daerah-daerah tersebut tidak memiliki potensi sumber daya yang menarik termasuk yang sudah dieksploitasi.

Tenaga kerja lokal tidak memiliki ketrampilan yang memenuhi kualifikasi industri modern dan pembentukan modal lokal tidak terjadi. Oleh karena itu tingkat produktivitas sangat rendah. Efisiensi ekonomi nasional akan turun jika sumber daya kapital –yang notabene langka- dengan jumlah yang banyak ditanamkan di daerah tersebut. Oleh karena itu, yang dapat dikerjakan untuk daerah-daerah seperti itu –jika secara politis diperlukan- adalah pemberian sejumlah dana yang tertentu dan terbatas dari pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur lokal dan menyediakan pelayanan sosial minimum. Mungkin juga ada sedikit investasi

“produktif”, tetapi kata kuncinya adalah tunjangan kesejahteraan dan pelatihan

kembali tenaga kerja (retraining) (Lincolin Arsyad, 2010).

Pada tulisannya yang lain, Klassen dan Drewe (1973) menjelaskan logika dari program-program seperti itu. Menurut mereka, pada daerah-daerah yang tidak dapat bersaing, jika semuanya harus dilakukan oleh pemerintah, penduduk dalam usia kerja harus dilatih kembali dan pindah ke daerah-daerah lainnya di mana mereka dapat memberikan kontribusi produktifnya terhadap perekonomian. Akan lebih murah mensubsidi biaya tenaga kerja perusahaan daerah-daerah inti (cores) melalui program-program relokasi yang didukung pemerintah ketimbang mencoba untuk memberikan subsidi modal secara langsung terhadap lokasi-lokasi yang tidak menguntungkan tersebut. Kesejahteraan masyarakat (manusia) adalah tujuannya, bukan kesejahteraan daerah (lokasi) (Lincolin Arsyad, 2010).

2.5 Penelitian Terdahulu

Untuk melakukan penelitian ini tentu saja membutuhkan beberapa bahan pertimbangan sebagai dasar dalam mengkaji penelitian ini. Untuk itu ada beberapa peneliti-peneliti sebelumnya yang telah melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan ketimpangan pembangunan ekonomi maupun penilitan yang terkait dengan ketimpangan ataupun hal yang serupa. Berikut penelitian tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Tryanto Hery Prasetyo Utomo (2012), dengan judul Analisis Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitiannya adalah secara keseluruhan tingkat pertumbuhan ekonomi di semua Kabupaten/Kota mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun selama periode pengamatan, secara rata-rata pertumbuhan ekonominya relatif merata artinya tidak terpaut jauh antar Kabupaten/Kota Lainnya. Pola Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi menjadi 3 kategori yaitu Daerah Cepat Tumbuh Dan Berkembang, Daerah Berkembang Cepat dan Daerah Relatif Tertinggal. Setiap Kabupaten/Kota Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memilki Sektor Unggulan sendiri yang dijadikan konsentrasi untuk terus dikembangkan sebagai penunjang nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terjadi ketimpangan pembangunan antar daerah yang artinya pembangunan ekonomi antar Kabupaten/Kota merata.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Astari Khairunnisa (2014), dengan judul Analisis Disparitas Pembangunan Ekonomi antar Kecamatan di Kota

Medan. Hasi penelitiannya sebagai berikut, Hasil penelitian Klassen Typologi menunjukkan selama periode 2001-2005 dan periode 2006-2010 terdapat 3 kecamatan yang masuk dalam kuadran I (cepat maju, cepat tumbuh), 5 kecamatan yang masuk dalam kuadran II (maju tapi tertekan), 2 kecamatan yang masuk dalam kuadran III (berkembang cepat), 4 kecamatan yang masuk dalam kuadran IV (relative tertinggal) dan 7 kecamatan yang mengalami perubahan pola pembangunan ekonomi. Analisis Williamson Index menunjukkan nilai IW antar kecamatan tergolong rendah dengna rata-rata indeks sebesar 0.16994. sehingga diperlukan strategi dna kebijakan dalam penyelesaian disparities atau ketimpangan yang terjadi di Kota Medan.

Penelitian selanjutnya yang terkait dengan ketimpangan dilakukan oleh Ketut Wahyu Dyhatmika (2013), dengan judul Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Banten Pasca Pemekaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pembangunan di Provinsi Banten cenderung meningkat. Berdasarkan tipologi klassen, Kota Tangerang dan Cilegon berada pada kelompok daerah maju dan cepat berkembang, Kabupaten Tangerang pada kelompok daerah berkembang cepat dan daerah lainnya berada pada kategori daerah tertinggal. Hasil analisis data panel dengan metode FEM, penanaman modal asing (PMA) berpengaruh positif dan pengeluaran pemerintah (GE) berpengaruh negatif terhadap ketimpangan, sedangkan variabel tingkat pengangguran (UE) tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan di Provinsi Banten pasca pemekaran wilayah.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Ida Ayu Indah Utama dkk (2014), dengan judul penelitian Analisis Ketimpangan Pembangunan Antara Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa Struktur pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Bali terbagi dalam tiga pola yaitu : perekonomian Daerah yang maju dan tumbuh cepat, terdiri dari Kabupaten Badung; daerah berkembang cepat tetapi tidak maju, yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Buleleng; daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Klungkung; dan daerah tertinggal yaitu Kabupaten Tabanan, Jembrana, Bangli dan Karangasem. Indeks Williamson di Provinsi Bali berkisar pada nilai 0,68 yang menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pembangunan di Provinsi Bali tinggi. Hipotesis Kuznets tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan berbentuk kurva U terbalik tidak berlaku di Provinsi Bali. Oleh karena pertumbuhan pendapatan per kapita selalu diharapkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perubahan struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa sulit dihindari, maka untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan maka dianjurkan kepada pemerintah memberikan subsidi lebih banyak kepada

masyarakat secara langsung berupa “pembayaran transfer”, dan secara tidak

langsung melalui subsidi pendidikan, penciptaan lapangan kerja, subsidi kesehatan, dan sebagainya.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Caska dan R.M Riadi (2008) dengan judul penelitian Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antara Daerah di Provinsi Riau. Hasil penelitiannya adalah di dalam pertumbuhan

ekonomi daerah Provinsi Riau, daerah yang termasuk daerah yang mengalami cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) hanya 1 (satu) daerah saja yakni Kota Pekanbaru. Daerah atau kabupaten yang dikategorikan berkembang cepat dalam arti pertumbuhan (high growth but low income) adalah Kabupaten Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Kabupaten Siak. Untuk daerah atau kabupaten yang maju tapi tertekan (high income but low growth) adalah pada Kabupaten Indragiri Hilir, Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar, sedangkan daerah yang pembangunan atau pertumbuhan ekonominya

Dokumen terkait