• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saran

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 50-117)

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Sarana dan prasarana yang tersedia di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian sesuai dengan Laporan Barang Milik Negara (BMN) pada Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menggunakan data yang berasal dari Sistem Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN).

Kementrian Kesehatan adalah suatu badan pelaksana pemerintah yang mempunyai tugas untuk mennyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintah negara didasari pada nilai-nilai pro rakyat, inklusif, responsif, efektif, dan bersih. Kementrian kesehatan terdiri bari beberapa direktorat salah satunya adalah Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang memiliki tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan terdiri atas Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, dan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing salah satunya Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian merupakan suatu Direktorat yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan yang terdiri dari 4 subdirektorat yaitu Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional, Subdirektorat Produksi Kosmetika Dan Makanan, Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus Dan Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat.

4.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional

Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi:

a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.

b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.

c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.

d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.

e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.

Berdasarkan pengamatan yang sudah dilakukan, Subdirektorat Produksi dan Distribusi obat dan Obat Tradisional telah melakukan tugas dan fungsinya dengan baik. Subdirektorat ini secara garis besar memberikan pembinaan kepada seluruh industri farmasi di Indonesia dan juga memberikan pembinaan kepada produsen herbal dari jamu gendong hingga industri obat tradisional. Kerja nyata yang telah dilaksanakan oleh Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional antara lain:

a. Pemetaan industri farmasi, industri obat tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. b. Perizinan industri farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan

Alam, Pedagang Besar Farmasi Dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. c. Penyusunan Farmakope Indonesia

d. Penyusunan Kurikulum Modul Pembinaan di bidang Obat dan Obat Tradisional

e. Penyusunan Pedoman Pembinaan IOT dan IEBA.

f. Penyusunan Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan di Bidang Obat dan Obat Tradisional

g. Sosialisasi perizinan dalam mewujudkan pelayanan perizinan terhadap Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat.

Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional telah mengeluarkan izin terhadap Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. Subdirektorat ini telah mengeluarkan izin sebanyak 577 selama tahun 2013 yang terbagi dalam 7 jenis. Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional yang telah diterbitkan pada tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.1

Tabel 4.1. Daftar Perizinan Bidang Obat dan Obat tradisional Tahun 2013

No Jenis Kategori Izin yang

dikeluarkan 1 Izin IF 90 2 Persetujuan Prinsip IF 6 3 Izin OT 15 4 Persetujuan Prinsip IOT 1 5 Izin IEBA 2 6 Izin PBF 420 7 Izin PBF Bahan Obat 43

Gambar 4.1. Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Tahun 2013

Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional melakukan sosialisasi perizinan Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Obat dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat secara berkesinambungan. Sosialisasi yang telah dilakukan dalam bentuk :

1. Aliansi strategis di bidang obat dan obat tradisional,

2. Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Obat Tradisional melalui media cetak 3. Pendampingan tenaga kesehatan Provinsi terhadap perizinan dalam rangka

pelayanan prima

4. Pembekalan terhadap sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional 5. Pendampingan bagi KUMKM bidang obat tradisional

6. Pembekalan tenaga kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dalam rangka pembinaan industri dan usaha obat tradisional

Sosialisasi ini terus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan dan pemahaman industri farmasi, industri obat tradisional, Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat (PBFBO) agar mampu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Pada proses pengaujuan perizinan Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat dilakukan pada loket 1 unit layanan terpadu. Pada prosesnya, masih banyak berkas perizinan yang belum lengkap sehingga pemohon harus datang berulang-kali. Perizinan yang ditangani Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian ini merupakan suatu perizinan yang kompleks dan melibatkan juga instansi lainnya seperti Dinas Kesehatan Propinsi, Badan Pengawas Obat dan Makanan dan BKPM. Rekomendasi dari instansi lain tersebut merupakan salah satu persyaratan dari permohonan perizinan, sehingga tertundanya pengeluaran surat rekomendasi menyebabkan proses perizinan menjadi lebih lama. Selain itu, dari sekian banyak kegiatan pelayanan perizinan sarana produksi dan distribusi yang ditangani oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, baru perizinan ekspor/impor narkotika saja yang menerapkan sistem online registration. Perizinan lainnya masih dilakukan pemeriksaan secara manual saja, namun akan diarahkan menjadi pelayanan online ke depannya. Dengan adanya sistem online registration ini, diharapkan proses akan lebih cepat dan efisien.

Pada Subdirektorat selain memiliki seksi perizinan, terdapat pula Seksi Standarisasi Produksi dan Distribusi. Seksi ini mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Selain itu, pada Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional juga dilakukan pengumpulan data-data untuk mendapatkan database yang akan dibutuhkan sewaktu-waktu. Data-data tersebut dikumpulkan dengan cara survey terhadap masing-masing Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. Sebagai contoh adalah pengumpulan data kapasitas produksi suatu obat skala nasional yang dikumpulkan dengan cara survey terhadap Industri Farmasi yang memproduksi obat tersebut.

4.2 Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan

Subdirektorat produksi kosmetika dan makanan bertanggung jawab dalam pengautran regulasi produksi kosmetik dan makanan yaitu penyiapan bahan

perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan, serta bertanggung jawab dalam pembinaan terhadap industri kosmetik dan makanan untuk dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Pemenkes RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang izin produksi kosmetika, diatur mengenai tata cara perizinan produksi kosmetika. Syarat yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin produksi kosmetika adalah industri kosmetika harus menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB) dalam produksinya. CPKB bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Izin produksi diberikan sesuai bentuk dan jenis kosmetik yang akan dibuat. Izin produksi dibedakan atas dua golongan sebagai berikut, industri kosmetik golongan A yaitu izin produksi yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan kosmetik dan wajib menerapkan seluruh aspek CPKB. Pada industri kosmetik golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetik yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetik tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana, namun harus mampu menerapkan hygiene sanitasi dan dokumentasi sesuai dengan CPKB. Hal ini bertujuan untuk menjamin mutu, keamanan dan kemanfaatan kosmetika yang beredar di masyarakat.

Di Indonesia peraturan kosmetik disesuaikan dengan harmonisasi ASEAN tahun 1998. Penerapkan harmonisasi ASEAN di Indonesia pada tahun 2011 dalam bentuk notifikasi kosmetika. Tujuan perubahan alur registrasi menjadi notifikasi ialah agar masyarakat dilindungi dari peredaran dan penggunaan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, klaim manfaat produk serta mempermudah perolehan izin edar kosmetik. Notifikasi kosmetik, menetapkan aturan mengenai tata cara untuk memperoleh notifikasi dari suatu produk kosmetik sebelum diedarkan kemasyarakat yang diatur dalam Permenkes RI No. 1175Menkes/Per/VIII/2010 dan di bawah kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Notifikasi memiliki kelemahan, yaitu konsumen sulit untuk mengetahui apakah produk yang beredar tersebut telah ternotifikasi atau belum ternotifikasi. Hal ini disebabkan karena dalam notifikasi tidak wajib

mencantumkan nomor notifikasi di dalam kemasan produk kosmetik. Pada subdit ini juga dilakukan standarisasi kosmetik yang beredar dengan menyusun Formularium Kosmetik Indonesia.

Pada pengaturan produksi makanan, kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan regulasi, pembinaan, pengawasan terhadap industri makanan yang ada di Indonesia. Pada subdit ini, dilakukan penetapan standar terhadap bahan tambahan dalam pangan yang diatur dalam Permenkes RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), serta pembinaan terhadap Industri Rumah Tangga (IRT). Diharapkan produk yang sampai ke konsumen memenuhi syarat mutu dan keamanan.

Subdirektorat produksi kosmetik dan makanan melaksanakan perizinan di bidang produksi kosmetik sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Selama tahun 2013, Subdirektorat Produksi dan Distribusi Kosmetika dan Makanan telah memberikan izin di bidang Kosmetika dan melakukan pembinaan pada Industri Rumah Tangga yang memproduksi makanan. Pada tahun 2013, jumlah izin produksi kosmetika yang masuk adalah sebanyak 106 buah, ditam jumlah izin yang masuk di tahun sebelumnya sehingga jumlah yang diterbitkan adalah sebanyak 118 buah izin, dengan rincian 113 izin (95,76%) diselesaikan tepat waktu dan izin (4,24%) tidak tepat waktu. Dinyatakan tepat waktu apabila waktu penyelesaian izin kurang dari 14 hari kerja, yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika. Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan yang telah diterbitkan pada tahun 2013 dapat dilihat pada Grafik dan Diagram di bawah ini.

Gambar 4.2 Rekapitulasi Perizinan Sub Direktorat Produksi Kosmetik

dan Makanan Tahun 2013

Gambar 4.3. Proses Penyelesaian Perizinan Sub Direktorat Produksi

Kosmetik dan Makanan Tahun 2013

4.3 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika dan Sediaan Farmasi Khusus

Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus merupakan subbagian dari Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian yang khusus menangani hal-hal yang terkait perizinan di bidang impor/ekspor narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi seperti Surat Persetujuan Impor (SPI), Surat Persetujuan Ekspor (SPE), Importir Produsen (IP), Importir Terdaftar (IT), Eksportir Produsen (EP) dan Eksportir Terdaftar (ET). Selain menangani perizinan narkotika, Subdirektorat ini juga

0 20 40 60 80 100 83 16 4 3 JUM LA H IZIN JENIS IZIN

REKAPITULASI PERIZINAN SUB DIREKTORAT PRODUKSI KOSMETIK DAN MAKANAN TAHUN 2013

96% 4% ≤ 14 HK (Sesuai Permenkes 1175) ≥ 14 HK (Tidak Sesuai Permenkes 1175)

menangani pengadaan sediaan farmasi khusus melalui jalur SAS (Special Access Scheme) untuk sediaan farmasi yang belum memiliki izin edar di Indonesia.

Pemberian izin sebagai IP narkotika, psikotropika maupun prekursor farmasi serta Surat Persetujuan impor/ekspor narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dapat diberikan atas persetujuan Menteri Kesehatan. Dalam hal impor/ekspor narkotika, PT Kimia Farma ditunjuk sebagai Industri tunggal yang memiliki izin sebagai IP (Importir Produsen) dan PBF tunggal sebagai IT (Importir Terdaftar) narkotika di mana impor/ekspor psikotropika dan prekursor farmasi dapat dilakukan oleh industri farmasi maupun PBF lainnya.Narkotika dan Psikotropika memerlukan penanganan khusus terkait produksi dan distribusinya mulai dari pengadaan bahan baku hingga dalam bentuk produk jadi yang siap diedarkan. Selain narkotika dan psikotropika, dikenal istilah prekursor atau bahan kimia yang dengan reaksi sederhana dapat diubah menjadi narkotika dengan penambahan senyawa lain. Prekursor farmasi juga memiliki tingkat resiko penyalahgunaan yang tinggi sehingga memerlukan pengawasan khusus seperti Narkotika dan Psikotropika. Sediaan Farmasi Khusus merupakan sediaan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia tetapi belum memiliki izin edar di Indonesia yang dapat diperoleh dari sumbangan negara lain.

Obat tersebut digunakan untuk pengobatan penyakit langka atau menyangkut keselamatan jiwa manusia seperti obat untuk penyakit Hemofilia. Kurangnya nilai komersial dari sediaan farmasi khusus menyebabkan tidak ada importir atau produsen yang bersedia menangani registrasi dan izin edarnya. Pengadaansediaan farmasi khusus ini melalui jalur khusus yang dikenal dengan istilah SAS (Special Access Scheme).

Berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tahun 2013, Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus yang telah diterbitkan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.2. Izin Impor/Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi

Tahun 2013 yang diterbitkan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus

No Jumlah

SPI SPE IP EP IT

1. Narkotika 63 1 1 0 0

2. Psikotropika 175 149 22 0 0

3. Prekursor 245 76 41 0 0

4.4 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku

Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat melaksanakan tugasnya yang bertujuan menjadikan negara Indonesia dapat mandiri dalam hal pengadaan obat dan bahan baku obat karena hampir 96% kebutuhan produk obat tersebut tergantung pada bahan baku obat (BBO) impor. Ada beberapa faktor yang menghambat kemandirian obat dan bahan baku obat dalam negeri diantaranya bahan baku hasil penelitian tidak sesuai kebutuhan bahan baku obat di industri dan tingginya pajak yang dikenakan untuk komponen pembuatan bahan baku obat. Hal ini mengakibatkan harga bahan baku hasil produksi dalam negeri menjadi lebih tinggi daripada harga bahan baku impor.

Kemandirian yang dimaksud adalah industri farmasi mudah mendapatkan bahan baku obat hasil produksi dalam negeri sehingga tidak terpengaruh dengan kondisi pasar global. Keadaan ini akan menjaga kestabilan harga obat dalam negeri. Untuk mencapai tujuan kemandirian obat dan dan ketersediaan bahan baku obat, pemerintah melakukan beberapa hal, dimulai dengan pengalokasian dana riset bekerjasama dengan lembaga terkait dan industri farmasi, menstimulasi berdirinya industri bahan baku obat, dan mengupayakan kerjasama distribusi bahan baku obat produksi dalam negeri ke pasar internasional.

Definisi operasional dari bahan baku obat dan obat tradisional yang diproduksi di dalam negeri yaitu : “bahan awal penyusun sediaan farmasi (obat dan obat tradisional) dapat berupa bahan berkhasiat maupun bahan tambahan yang merupakan hasil penerapan teknologi maupun bahan alam yang siap diproduksi”. Untuk memenuhi bahan baku obat dalam negeri, pemerintah menyusun roadmap

pengembangan bahan baku. Dengan roadmap ini diharapkan terjalin kerjasama antara instansi/lembaga terkait dengan industri farmasi. Dalam roadmap tersebut telah ditetapkan strategi yaitu mengembangkan kebijakan yang berpihak pada pengembangan bahan baku obat; meningkatkan sinergitas Academic Business Goverment (ABG); menguatkan riset di bidang bahan baku obat yang berorientasi pada kebutuhan; meningkatkan kemampuan iptek; dan meningkatkan produksi bahan kimia sederhana, pemanfaatan sumber daya alam, dan bioteknologi. Untuk pengembangan bahan baku obat yang lebih efektif, saat ini telah dibentuk POKJANAS pengembangan bahan baku yang terdiri dari beberapa lembaga, yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan POM, Kemenkokesra, BPPT, LIPI, universitas, dan industri farmasi.

Pada tahun 2013, jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri yang tersedia mencapai 39 jenis dari target yang telah ditetapkan, seperti yang tertera pada tabel 4.4

Tabel 4.3. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku

Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Tahun 2013

INDIKATOR KINERJA TARGET 2013 REALISASI 2013 CAPAIAN (%)

Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri

35 39 111,43

Upaya yang dilakukan adalah dengan pendirian kelompok kerja kemandirian bahan baku obat beranggotakan lintas kementrian dan stakeholder terkait lainnya dengan Kementrian Kesehatan sebagai koordinator. Pencapaian kemandirian obat dan bahan baku obat juga terutama dilakukan melalui kerjasama dan fasilitasi penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT, LIPI dan Perguruan Tinggi) di bidang pengembangan bahan baku obat serta pembentuk jejaring dengan berbagai stakeholder diantaranya institusi penelitian, kalangan industri dan asosiasi pengusaha.

Optimalisasi koordinasi dengan pihak terkait dilakukan melalui perluasan jaringan kerja sama dengan universitas negeri yang memiliki basis riset dan bermitra dengan industri farmasi dan atau industri obat tradisional. Pada tahun 2012 kerja sama ini baru dilakukan dengan Kementrian Riset dan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada tahun 2013 dilakukan optimalisasi dengan kementrian terkait yaitu Kementrian Keuangan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementrian Negara Ristek, dan Kementrian Perekonomian. Juga telah dilakukan perbaikan skema kerja pengembahan bahan baku dan bahan baku obat tradisional yang tidak hanya berorientasi pada produk, tetapi juga pada proses produksi lebih lanjut. Hal ini diperkuat dengan adanya Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku dan Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional di Indonesia. Untuk mencapai kemandirian di bidang obat tradisional, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian telah melaksanakan pembangunan berupa:

a. Fasilitasi peralatan untuk Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) diempat tempat yaitu Kabupaten Kaur (Bengkulu), Kabupaten Bangli (Bali), Kabupaten sukoharjo (Jawa Tengah) dan Kabupaten Tegal (Jawa Tengah).

b. Fasilitasi peralatan untuk Pusat Ekstrak Daerah (PED) di Kota Pekalongan (Jawa Tengah).

c. Fasilitasi peralatan Laboratorium Mikrobiologi untuk tiga daerah penerima P4TO tahun 2012, yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sumatera Utara dan Kota Pekalongan.

Tiga puluh sembilan jenis bahan baku obat dan obat tradisional yang telah siap diproduksi di dalam negeri (kumulatif 2011-2013) dapat terlihat pada Lampiran 8. Kinerja pemerintah untuk meningkatkan jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negri guna meningkatkan kemandirian bahan baku terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Persentase peningkatannya dapat dilihat pada tabel 4.5 dan gambar 4.4.

Tabel 4.4. Perbandingan capaian indikator kinerja jumlah bahan baku obat dan

obat tradisional produksi di dalam negeri tahun 2011 – 2013 INDIKATOR

KINERJA

Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013

T R C T R C T R C

Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri 15 4 26,67 % 25 15 60,00 % 35 39 111,43 % Ket : T = Target R = Realisasi C = Capaian

Gambar 4.4. Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat

dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri

Jika bahan baku obat berhasil diproduksi secara mandiri di dalam negeri, maka pemerintah akan turut serta membantu dalam hal pemasaran bahan baku dengan menjalin kerja sama internasional untuk memperluas pasar bahan baku obat di luar negeri. Hal tersebut dilakukan jika hasil produksi dari industri bahan baku obat lokal telah memenuhi standar internasional. Dengan adanya pemasaran bahan baku obat ke luar negeri, diharapkan industri bahan baku obat akan mendapatkan profit yang lebih besar.

0 10 20 30 40 50 2010 2011 2012 2013 2014 Ju m lah B B O d an B B OT Tahun

Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam

Negeri

Target Realisasi

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah dilaksanakan di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Kementerian Kesehatan dapat disimpulkan bahwa :

1. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki tugas melaksanakan penyimpanan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis dan evaluasi dibidang Produksi dan Distribusi Kefarmasian.

2. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian merupakan tempat bagi apoteker untuk menjalankan fungsi profesinya berkaitan dengan pembuatan regulasi, pembinaan, serta mengawasi produsen dan distributor di bidang farmasi, kosmetika, dan makanan yang bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan serta terjamin mutu dan keamanannya.

5.2 Saran

1. Meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) setiap pegawai agar lebih baik lagi dalam pembinaan petugas pusat dan daerah, industri farmas, industri obat tradisional, pedagang besar farmasi, dan pedagang bahan baku obat.

2. Menjalin kerja sama di bidang akademik dengan beberapa perguruan tinggi, pihak negeri maupun swasta berkaitan dengan pendidikan dan peningkatan kemandirian bahan baku obat, obat tradisional, kosmetika, dan makanan. 3. Memperbaiki program Aplikasi sistem Pelaporan Narkotika dan

Psikotropika (SIP-NAP) sehingga dapat memperlancar impor data di program tersebut.

4. Melakukan pengembangan sistem e-registration terhadap semua perizinan yang ditangani oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.

Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian RI. (2013). Laporan Tahunan Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI. (2014). Laporan

Tahunan 2013 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Jakarta

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Menteri

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 50-117)

Dokumen terkait