• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saran

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 66-125)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

1. Perbaikan dan penambahan perlengkapan fasilitas-fasilitas apotek seperti renovasi bangunan, kaca depan apotek diganti dengan kaca yang transparan, penataan ulang ruang peracikan agar terlihat lebih rapi, penataan kembali etalase OTC agar lebih menarik bagi pelanggan serta penyediaan alat-alat tambahan untuk peracikan agar lebih mudah pengerjaannya.

2. Peningkatan penerapan fungsi apoteker di Apotek Safa sesuai Undang-Undang dan peraturan yang telah ditetapkan

3. Penerapan sistem komputerisasi dalam pendokumentasian di apotek agar lebih praktis, mudah dan rapi serta mengoptimalkan pengontrolan persediaan barang melalui kartu stok agar persediaan barang dapat di awasi dan terkontrol..

4. Perlu dilakukan pengecekan expired date secara berkala.

5. Penempatan obat-obat dapat diatur berdasarkan efek farmakologi agar pelanggan mudah mencari pilihan obat.

6. Peningkatan mutu pelayanan dan membuat kotak daftar keluhan pelanggan, sebagai indikator kepuasan pelayanan dan menjadikannya panduan untuk meningkatkan pelayanan di apotek.

7. Perlu adanya peningkatan promosi konsultasi apoteker untuk meningkatkan jumlah konsumen dan nilai jual apotek misalnya tercantum pada papan nama.

DAFTAR REFERENSI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1978). Peraturan Menteri Kesehatan No.28/MenKes/PER/I/1978 tentang Penyimpanan Narkotika. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 Tentang Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1981). Keputusan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 1981 Tentang Penyimpanan dan Pemusnahan Resep. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 347/Menkes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 918/Menkes/Per/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi (PBF). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/Menkes/Per/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 924/Menkes/PER/IX/1993 Tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1999). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 992/Menkes/PER/X/1993 Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027 Tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Umar, Muhammad. (2009). Manajemen Apotek Praktis cetakan ketiga. Jakarta: Wira Putra Kencana.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta.

Lampiran 2. Peta Lokasi Apotek Safa

Lampiran 3. Papan Nama Apotek Safa

Lampiran 5. Desain Interior Apotek Safa Bagian Depan

Lampiran 7. Layout Apotek Safa Keterangan: A. Pintu masuk B. Ruang tunggu C. Ruang peracikan D. Gudang penyimpanan resep E. Musholla F. Toilet G. Ruang praktek dr. Sofyan, dr. Dilla H. Ruang konsultasi psikolog dr. Nurul I. Ruang praktek dr. Ludin J. Ruang penyimpanan

laundry K. Lahan parkir

Layout Apotek Safa (Lanjutan)

Keterangan :

1. Lemari alat kesehatan 2. Lemari es

3. Box es krim 4. Etalase obat bebas 5. Kasir

6. Tempat penerimaan resep 7. Tempat penyerahan obat 8. Kursi tunggu

9. Display brosur dan majalah kesehatan 10. Televisi

11. Lemari etalase obat bebas 12. Rak sediaan padat generik 13. Rak sediaan padat paten

(abjad D-F)

14. a.Rak sediaan cair generik b.Rak sediaan cair paten c.Rak sediaan padat paten (abjad A-C)

15. Meja racik

16. Rak sediaan padat paten (abjad G-O)

17. Rak sediaan padat paten (abjad P-Z)

18. Alat timbang dan perlengkapan apotek 19. a. Rak sediaan semi padat

b. Rak sediaan tetes mata dan telinga

20. Rak penyimpanan resep 21. Rak bahan baku farmasi 22. Lemari pendingin 23. Wastafel 24. Lemari narkotika

Lampiran 10. Surat Pesanan Psikotropika

Lampiran 12. Rak Penyimpanan Obat Psikotropika

\

Lampiran 16. Kuitansi Apotek Safa

Halaman HALAMAN JUDUL ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iii DAFTAR LAMPIRAN ... iv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Pelayanan ... 3 2.2 Kepuasan Pelanggan ... 6 2.3 Pelayanan Apotek ... 6

BAB 3 METODOLOGI ... 12

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

4.1 Hasil ... 13 4.2 Pembahasan ... 16

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 20

5.1 Kesimpulan ... 20 5.2 Saran ... 20

iii

Tabel 1. Data Jumlah Resep dan Pendapatan yang Diterima di

Apotek Safa Periode 1 Januari – 30 Juni 2011... 13 Tabel 2. Data Jumlah Resep dan Pendapatan yang Seharusnya

Diterima dari Penolakan Resep di Apotek Safa

Periode Januari – 30 Juni 2011 ... 13 Tabel 3. Data Persentase Resep dari Resep yang Diterima dan Ditolak

di Apotek Safa Periode 1 Januari – 30 Juni 2011 ... 14 Tabel 4. Data Persentase Pendapatan dari Resep yang Diterima dan

Ditolak di Apotek Safa Periode 1 Januari – 30 Juni 2011 ... 14 Tabel 5. Alasan Penolakan Pelayanan Resep di Apotek Safa

Periode 1 Januari – 30 Juni 2011 ... 14 Tabel 6. Data Persentase Alasan Penolakan Pelayanan Resep di

Halaman Lampiran 1. Data Penerimaan Resep Bulan Januari 2011 ... 22 Lampiran 2. Data Penolakan Resep Bulan Januari 2011 ... 23 Lampiran 3. Data Penerimaan Resep Bulan Februari 2011 ... 24 Lampiran 4. Data Penolakan Resep Bulan Februari 2011 ... 25 Lampiran 5. Data Penerimaan Resep Bulan Maret 2011 ... 26 Lampiran 6. Data Penolakan Resep Bulan Maret 2011 ... 27 Lampiran 7. Data Penerimaan Resep Bulan April 2011 ... 28 Lampiran 8. Data Penolakan Resep Bulan April 2011 ... 29 Lampiran 9. Data Penerimaan Resep Bulan Mei 2011 ... 31 Lampiran 10. Data Penolakan Resep Bulan Mei 2011 ... 32 Lampiran 11. Data Penerimaan Resep Bulan Juni 2011 ... 34 Lampiran 12. Data Penolakan Resep Bulan Juni 2011 ... 35

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apotek adalah suatu tempat tertentu dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian yaitu penyaluran obat, alat kesehatan dan perbekalan farmasi yang sangat dibutuhkan masyarakat sekaligus membantu pemerintah dalam pengawasan dan pengendalian obat yang beredar di masyarakat. Keberadaan apotek ini turut membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Tenaga kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya pelayanan kefarmasian. Ruang lingkup kegiatan kefarmasian di suatu apotek memungkinkan masyarakat memperoleh pelayanan total di bidang obat. Masyarakat sebagai konsumen bisa mendapatkan jenis obat yang diinginkannya, baik itu obat dengan resep maupun obat bebas.

Usaha peningkatan pelayanan terhadap pelanggan menuntut apotek bekerja keras dalam pengelolaannya. Kepuasan pasien dapat mempengaruhi minat untuk kembali ke apotek yang sama. Usaha peningkatan pelayanan apotek dapat dilakukan dengan berbagai aspek seperti aspek kenyamanan, keramahan, kecepatan, harga, maupun kelengkapan produk. Kelengkapan produk merupakan salah satu aspek penting dalam memberikan kepuasan pelanggan, karena dengan tidak tersedianya obat yang diperlukan pelanggan maka akan menambah biaya, waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan oleh pelanggan untuk mencari obat yang dibutuhkan dengan mencari ke apotek lainnya. Kelengkapan produk tidak hanya meliputi tersedianya obat-obat bebas saja tetapi obat-obat yang juga diresepkan oleh dokter.

Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan pengamatan penolakan resep di Apotek Safa periode 1 Januari – 30 Juni 2011. Dengan pengamatan tersebut dapat diketahui seberapa banyak resep yang ditolak oleh Apotek Safa selama periode tersebut dan diharapkan dapat digunakan sebagai evaluasi untuk peningkatan pelayanan Apotek Safa untuk masa yang akan datang.

1.2 Tujuan

Tujuan pengamatan penolakan resep di Apotek Safa periode 1 Januari – 30 Juni 2011 adalah:

1. Mengetahui jumlah dan persentase resep yang ditolak oleh Apotek Safa selama periode 1 Januari – 30 Juni 2011.

2. Mengetahui jumlah dan persentase pemasukan yang seharusnya dapat diterima oleh Apotek Safa dari resep yang ditolak selama periode periode 1 Januari – 30 Juni 2011.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan

Pelayanan adalah suatu tindakan melayani, menyediakan, memberikan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan seseorang. Pelayanan merupakan suatu upaya penjual barang atau jasa untuk memberi dan memenuhi unsur-unsur yang menjadi harapan kepuasan konsumen. Dasar pertimbangan kepuasan konsumen adalah kesesuaian antara biaya yang dikeluarkan konsumen (cost customer) terhadap nilai barang atau jasa yang diperolehnya (customer delivered value) (Umar, 2009).

2.1.1 Jenis Pelayanan

Dalam mengelola pelayanan perbekalan farmasi, terutama obat, di apotek terdapat dua jenis pelayanan, yaitu (Umar, 2009):

a. Pelayanan saat penjualan (sales service)

Sales service adalah pelayanan yang diberikan apotek kepada konsumen pada saat konsumen sedang membeli obat di apotek. Jenis pelayanan ini dapat berupa: 1. Keramahan

Keramahan petugas apotek di saat menyambut kedatangan konsumen sangat diperlukan. Keramahan petugas apotek berupa senyuman dan sapaan yang santun dalam menyambut konsumen dapat mengurangi beban penyakit yang diderita dan memberi semangat hidup konsumen.

2. Keamanan dan kenyamanan

Petugas apotek selalu menjaga keamanan dan kenyamanan fasilitas konsumen yang berupa ruang tunggu, toilet, mushola, halaman parkir yang aman dan nyaman, sehingga dapat memberikan perasaan tenang dan dapat mengurangi tingkat emosional konsumen yang sedang labil.

3. Kelengkapan perbekalan farmasi

Petugas apotek harus menjaga kelengkapan barang sehingga dapat meringankan beban biaya konsumen dan tenaga konsumen, karena tidak harus berpindah dari satu apotek ke apotek lain.

4. Kecepatan pelayanan

Petugas apotek selalu bekerja teliti dan cepat agar waktu tunggu memperoleh obat tidak terlalu lama, sehingga dapat mengurangi kegelisahan atau kecemasan dan tingkat emosional yang sedang labil.

5. Harga

Harga sebaiknya sesuai dengan kualitas barang dan pelayanan. Petugas apotek dapat menjadi penasehat setiap kelas konsumen, agar tidak memperoleh obat yang mahal sehingga meringankan biaya yang harus dikeluarkan konsumen untuk membeli obat.

6. Kecekatan dan keterampilan

Petugas apotek siap membantu dan memberikan solusi bila terdapat masalah. 7. Informatif

Petugas apotek memberikan informasi tentang waktu dan cara penggunaan obat, cara menyimpan obat, efek samping, sehingga konsumen merasa aman dengan obat yang dibeli.

8. Bertanggung jawab

Petugas apotek memberi nomor yang dapat dihubungi jika terjadi masalah dengan obat yang dibeli, sehingga konsumen memiliki tempat konsultasi yang dapat diandalkan.

b. Pelayanan sesudah penjualan (after sales service)

After sales service adalah pelayanan yang diberikan apotek kepada konsumen setelah konsumen membeli dan menggunakan obat. Jenis pelayanan ini dapat berupa:

1. Penyediaan informasi data penggunaan obat konsumen (consumer medication profile)

Petugas apotek mencatat data demografi pasien, riwayat pengobatan, nama dan alamat dokter penulis resep, sehingga konsumen merasa nyaman terhadap keamanan dokumen obat yang pernah digunakan.

2. Peduli terhadap penggunaan obat oleh konsumen

Petugas apotek menanyakan efek obat dan penyakitnya, cara dan waktu penggunaan obat, jumlah obat yang dipakai, cara penyimpanan obat dan efek samping yang dialami pasien di rumah.

3. Jaminan

Petugas apotek siap mengganti obat yang kurang, atau tidak sesuai dengan permintaan resep dan mengantar ke rumah tanpa biaya tambahan.

4. Dapat diandalkan

Petugas apotek cepat memberikan bantuan dan solusi terhadap keluhan pasien mengenai obat.

2.1.2 Kualitas Pelayanan

Pada umumnya dalam mengkonsumsi barang atau jasa, para konsumen sangat memperhatikan kualitas pelayanan. Konsumen cenderung lebih suka dengan pelayanan yang memiliki kualitas yang baik. Agar apotek dapat mempertahankan para konsumennya, maka apotek hendaknya meningkatkan kualitas pelayanannya. Kualitas pelayanan adalah suatu strategi dasar dalam bisnis atau usaha yang menghasilkan produk (barang atau jasa). Strategi yang dilakukan berupa memberikan pelayanan yang lebih, pelayanan yang membuat para konsumen merasa kepentingannya terpenuhi dan keinginannya terpuaskan. Pelayanan konsumen dapat berupa produk, jasa, atau campuran produk dan jasa. Apotek merupakan pelayanan produk dan jasa yang dikaitkan dengan kepuasan pasien. Model yang komprehensif dengan fokus utama pada pelayanan produk dan jasa meliputi lima dimensi penilaian yaitu (Kotler, 1996):

a. Responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan cepat dan tepat. Dalam pelayanan apotek adalah kecepatan pelayanan obat dan kecepatan pelayanan kasir.

b. Assurance (jaminan), yaitu kemampuan memberikan kepercayaan dan kebenaran atas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Dalam pelayanan apotek adalah kelengkapan obat dan kemurahan harga obat.

c. Tangibles (bukti langsung), yaitu sarana dan fasilitas fisik yang dapat langsung dirasakan oleh pelanggan. Dalam pelayanan apotek adalah kecukupan tempat duduk di ruang tunggu apotek, kebersihan ruang tunggu, kenyamanan ruang tunggu dengan kipas angin dan AC, serta ketersediaan televisi (TV).

d. Emphaty (empati), yaitu kemampuan membina hubungan, perhatian, dan memahami kebutuhan pelanggan. Dalam pelayanan apotek adalah keramahan petugas apotek.

e. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang memuaskan pelanggan. Dalam pelayanan apotek adalah pemberian informasi obat oleh petugas apotek.

2.2 Kepuasan Pelanggan

Kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan bahwa harapannya telah terpenuhi atau terlampaui. Kepuasan pelanggan dapat mempengaruhi minat untuk kembali ke apotek yang sama. Hal ini akan merupakan promosi dari mulut ke ke mulut bagi calon pasien lainnya yang diharapkan sangat positif bagi usaha apotek. Kepuasan merupakan pengalaman yang akan mengendap di dalam ingatan pasien sehingga mempengaruhi proses pengambilan keputusan pembelian ulang produk yang sama.

Agar dapat bertahan di dunia persaingan bisnis apotek, maka apotek harus berusaha sekeras mungkin agar pelanggan tidak pergi. Agar pelanggan tidak pergi hendaknya apotek harus memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Untuk mewujudkannya, apotek dapat melakukan empat hal yaitu sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi mengenai siapa yang akan menjadi pelanggan. b. Memahami tingkat harapan pelanggan atas harga produk atau kualitas

produk.

c. Memahami strategi kualitas produk yang dihasilkan untuk pelanggan. d. Memahami siklus pengukuran dan umpan balik dari kepuasan pelanggan.

2.3 Pelayanan Apotek

2.3.1 Pelayanan Obat Resep a. Definisi resep

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotek.

Peraturan yang mengatur tentang pelayanan apotek mengenai resep adalah Peraturan Menteri Kesehatan No. 922 Tahun 1993 Pasal 14 sampai 22 dan Keputusan Menteri Kesehatan No.1332 Tahun 2002 Pasal 12, yang meliputi : 1. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.

Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (APA), sesuai dengan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

2. Apotek tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat bermerek dagang.

3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang diresepkan, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

4. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat.

5. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib melaksanakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.

6. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.

7. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu tiga tahun.

8. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan, atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku

b. Prosedur pelayanan resep 1. Skrining resep

Skrining resep merupakan pengujian atas keabsahan dan kelengkapan resep. Apoteker melakukan kegiatan skrining resep yang meliputi:

1. Nama, SIP, dan alamat dokter 2. Tanggal penulisan resep

3. Tandatangan/paraf dokter penulis resep

4. Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien 5. Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta

6. Cara pemakaian yang jelas 7. Informasi lainnya

b. Memeriksa kesesuaian farmasetik seperti bentuk sediaan, dosis, inkompatibilitas, stabilitas, cara, dan lama pemberian

c. Melakukan pertimbangan klinis seperti adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

2. Penyiapan obat a. Peracikan

Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. Etiket harus jelas dan dapat dibaca. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

b. Penyerahan obat

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh Apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.

c. Monitoring penggunaan obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat terutama untuk pasien tertentu seperti

kardiovaskular, diabetes, Tuberculocis (TBC), asma dan penyakit kronis lainnya.

d. Promosi dan Edukasi.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet /brosur, poster, penyuluhan, dan lain lainnya.

2.3.2 Pelayanan Obat Non Resep

Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Pengobatan sendiri adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan obat tanpa resep (golongan obat bebas dan bebas terbatas) yang dilakukan secara tepat guna dan bertanggungjawab. Hal ini mengandung makna bahwa walaupun oleh dan untuk diri sendiri, pengobatan sendiri harus dilakukan secara rasional. Ini berarti bahwa tindakan pemilihan dan penggunaan produk bersangkutan sepenuhnya merupakan tanggung jawab bagi para penggunanya.

Obat untuk swamedikasi merupakan obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi Obat Bebas Terbatas (OBT) dan Obat Bebas (OB). Pemerintah juga turut berperan serta dalam meningkatkan upaya pengobatan sendiri dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 347 tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotek. Obat Wajib Apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker di apotek. Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topical. Apoteker dalam melayani OWA diwajibkan memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang tercantum dalam daftar OWA 1, 2 dan 3 dan wajib pula membuat catatan pasien serta obat yang diserahkan. Apoteker hendaknya memberikan informasi penting tentang dosis, cara pakai, kontra indikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan

oleh pasien (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 347Menkes/SK/X/1990 Tentang Obat Wajib Apotek, 1990).

Obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria yang tercantum dalam Permenkes No. 919 tahun 1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep yakni (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 919/Menkes/PER/X/1993 Tentang Kriteria Obat Yang Diserahkan Tanpa Resep Dokter, 1993):

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

2.3.3 Pelayanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini, informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, jangka waktu pengobatan, cara penyimpanan obat, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

Apoteker juga hendaknya mampu menggalang komunikasi dengan tenaga kesehatan lain, termasuk kepada dokter. Termasuk memberi informasi tentang obat baru atau tentang produk obat yang sudah ditarik. Hendaknya aktif mencari masukan tentang keluhan pasien terhadap obat-obat yang dikonsumsi. Apoteker mencatat reaksi atau keluhan pasien untuk dilaporkan ke dokter, dengan cara demikian ikut berpartisipasi dalam pelaporan efek samping obat.

Konseling pasien merupakan bagian dari KIE. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan

kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Kriteria pasien yang memerlukan pelayanan konseling diantaranya penderita penyakit kronis seperti asma, diabetes, kardiovaskular, penderita yang menerima obat dengan indeks terapi sempit, pasien lanjut usia, anak-anak, penderita yang sering mengalami reaksi alergi pada penggunaan obat dan penderita yang tidak patuh dalam meminum obat. Konseling hendaknya dilakukan

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 66-125)

Dokumen terkait