• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Saran untuk peneliti selanjutya :

1. Perlu adanya monitoring secara berkala untuk memastikan peran gulma siam dalam mengubah struktur tanah disekitar rhizosfernya. Sehingga didaptakan data pasti baik berupa fluktuasi struktur komunitas nematoda maupun jeda waktu yang diperlukan oleh gulma siam untuk membentuk ekosistem rhizosfer yang stabil.

2. Untuk mengetahui secara pasti jenis-jenis nematoda apa saja yang terdapat dalam rhizosfer gulma siam maka sebelum pengambilan data bisa didauhului dengan sampling data awal atau pengawetan nematoda dengan menggunakan slide.

3. Perlu adanya pembanding uji kimia tanah antara lokasi pada rizosfer gulma siam dengan lokasi lahan kosong, guna memastikan seberapa besar peran gulma siam dalam menyuburkan tanah.

61

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2003). Weed Management Guide “Siam Weed or Chromolaena

Chromolaena odorata”. Jurnal ISBN 1-920932-36-4. Australian Weed

Management and the Commonwealth Departement of the Environment and Heritage

Baskoro, D.P.T dan Suria Darma Taringan. (2007). Karakteristik Kelembaban Tanah Pada Beberapa Jenis Tanah. Jurnal Tanah dan Lingkungan, Vol. 9 No.2, Oktober 2007:77-81

Bongers, T. & M. Bongers. (1998). Functional Diversity Of Nematodes. Journal of Applied Soil Ecology 10: 239-251.

Bongers, T. (1990). The maturity index: An ecological measure of environmental disturbance based on nematode species composition. Oecologia 83,

14±19.Volume 83, Issue 1, pp 14–1

Damayanti, Nessya. (2012). Perkecambahan dan Pertumbuhan Sawi Hijau (Brassica rapa L. Var.parachinensis L.H. Bailey) Setelah Pembetrian Ekstrak Kirinyuh (Chromolaena odorata (L.) R.M King & H.Rob). Skripsi. Universitas Negeri Sebelas Maret.

Dropkin, H Viktor. (1992). Pengantar Nematologi Tumbuhan. (Ahli bahasa : Supratoyo dan Mulyadi). Yogyakarta: UGM Press.

Ekeleme, Friday David Chikoye dan I. Okezie Akobundu. (2004). Changes In Size And Composition Of Weed Communities During Planted And Natural Fallows. Journal of Basic Appl. Ecol. 5, 25–33 (2004).

Fachrul, M. F. (2007). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Foth, Henry D. (1995). Dasar-Dasar Ilmu Tanah. (Ahli bahasa : Purbayanti, Endang Dwi, Dwi Retno Lukiwati, dan Rahayuning Trimulatsih). Yogyakarta: UGM Press

Foth, N. D., and L. M. Turk. (1972). Fundamentals of Soil Science 5th edition. Jhon Willeyand Sons, Inc: New York

Freckman, D.W., Ettema, C.H. (1993). Assessing nematode communities in agroecosystems of varying human intervention. Agric. Ecosyst. Environ. 45, 239±261.

62

Hakim, N. Nyakpa, dkk. (1986). Dasar – Dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung.

Hoorman, James J. (2011). The Role of Soil Protozoa and Nematodes. Jurnal SAG -15-11. Agriculture and Natural Resources The Ohio State University.

Islami, Titiek dan Wani H. U. (1995). Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. Semarang: IKIP Semarang Press.

Koutika, L.S., dkk. (2004). Comparative study of soil properties under

Chromolaena odorata, Pueraria phaseoloides and Calliandra

calothyrsus. Journal Plant and Soil 266: 315–323, 2004.© 2004 Kluwer

Academic Publishers. Printed in the Netherlands.

Luc, Michel, Richard A Sikora, dan Jogn Bridge. (1995). Nematoda Parasitik

Tumbuhan Di Pertanian Subtropik Dan Tropik. (Ahli bahasa : Supratoyo

dan Mulyadi). Yogyakarta: UGM Press.

McSorley, R. & J.J. Frederick. (1999). Nematode Population Fluctuation During Decomposition Of Specific Organic Amendment. Journal of Nematology 31(1): 37-47.

Neher, A Deborah. (2001). Role of Nematodes in Soil Health and Their Use as Indicators. Journal of Nematology 33(4):161–168. 2001.

Neher, D.A. dan Powers, T.O. (2005). Nematodes. A Review. University of Toledo, USA and University of Nebraska, USA

Prawiradiputra, Bambang R. (2007). Ki Rinyuh (Chromolaena odorata (L) R.M. King Dan H. Robinson) Gulma Padang Rumput yang Merugikan. Jurnal

WARTAZOA. 17(1). Hlm. 46-52

Santosa, Y, E P.Ramadhan dan D.A.Rahman. (2008). Studi Keanekaragaman Mamalia Pada Beberapa Tipe Habitat Di Stasiun Penelitian Pondok Ambung Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah .

Media Konservasi Vol. 13, No. 3 Desember 2008: 1– 7

Saputro, Tendi Eko. (2015). Agriculture research center di lahan pasir pantai baru yogyakarta (dengan pendekatan Green Architecture). Artikel Publikasi.

Soemarno. (2010). Ekologi Tanah Manajemen Agroekosistem. Malang: FPUB. Sudihardjo, A.M., & Tejoyuwono Notohadiprawiro. (2006). Sekuen Produktivitas

Lahan di Wilayah Karst Karangasem, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Repro : Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Hlm.1-6.

63

Suin, N. M. (2012). Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara.

Suprihatin, Agung. (2013). Pemanfaatan Gulma Di Halaman Kampus PPPPTK Boe Malang Sebagai Media Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup

(Mata Diklat Pestisida Nabati). Diakses dari

http://www.vedcmalang.com/pppptkboemlg/index.php/

menuutama/plh/559-pemanfaatan-gulma-di-halaman-kampus-pppptk- boe-malang-sebagai-media-pembelajaran-pendidikan-lingkungan-hidup-mata-diklat-pestisida-nabati. Pada tanggal 25 Desember 2016, Jam 23.00 WIB.

Supriyadi, S. (2008). Kandungan Bahan Organik Sebagai Dasar Pengelolaan Tanah di Lahan Kering Madura. Embryo Vol 5. Unijoyo Budidaya Pertanian.

Susanto, Rachman. (2005). Dasar-dasar Ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan. Kanisius: Yogyakarta.

Swibawa, I Gede dan Titik Nur Aeny. (2007). Karakteristik Komunitas Nematoda di Padang Golf Sukarame (Pgs) Bandar Lampung. Jurnal. HPT Tropika.

ISSN 1411-7525 Vol. 7, No. 2: 80 – 90, September 2007.

Treman, I Wayan. (2014). Geomorfologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ugarte, Carmen dan Ed Zaborski. (2014). Soil Nematodes in Organic Farming Systems. Article eOrganic National Organic Program University of Illinois.

Wang, K.-H. and C. R.R. Hooks. (2011). Chapter 4: Managing soil health and soil health bioindicators through the use of cover crops and other sustainable practices. G.E. Brust (ed.) MD Organic Vegetable Growers.

Widyati, Enny. (2013). Pentingnya Keragaman Fungsional Organisme Tanah Terhadap Produktivitas Lahan. Jurnal Tekno Hutan Tanaman Vol 6 No. 1 Maret 2013, 29 – 37.

Wijanarko, Andi, dkk. (2012). Pengaruh Kualitas Bahan Organik Dan Kesuburan Tanah Terhadap Mineralisasi Nitrogen Dan Serapan N Oleh Tanaman Ubi Kayu Di Ultisol. Jurnal Perkebunan dan Lahan Tropika, 2 : 1-14.

Wilson, J. Michael dan Thomais Kakouli-Duarte. (2009). Nematodes as

Environmental Indicators. CAB International: UK.

Yuwono, Nasih Widya. (2009). Membangun Kesuburan Tanah di Lahan Marginal.

64

Zachariades, dkk. (2009). Chromolaena odor ata (L.) King and Robinson (Asteraceae). Pp:130 – 162. Muniappan, R,Reddy GVP & Raman. A Biological Control of Tropical Weeds using Arthropods. UK: Cambridge University Press

65

66 Lampiran 1. Dokumentas Penelitian

Landscape pengambilan sampel pada lahan

karst

Landscape pengambilan sampel pada

lahan vulkanik

Landscape pengambilan sampel pada lahan pantai berpasir

Pengukuran luasan tanah dan pengambilan sampel tanah (pada lahan karst)

67 Salah satu Chromolaena odorata yang dijadikan sampel

Bunga (salah satu pertimbangan dalam pemilihan tanaman sampel)

Pengukuran parameter edafik tanah menggunakan soil tester dan thermometer

Pengambilan sampel tanah (pada lahan karst) untuk dijadikan sampel

68 Proses ekstraksi nematoda dengan metode

Winhead Tray

Set alat ekstraksi sampel tanah

69

70

Lampiran 3. Metode Analisis Sifat Fisik Kimia Tanah (BPTP Maguwoharjo)

A. Analisis C-Organik (Metode Walkley & Black)

Contoh tanah (<0,5mm) ditimbang 1 g dan dimasukkan ke labu ukur 50 ml. Ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 1N dan 10 ml H2SO4 pekat secara lahan melalui dinding labu. Kemudian digojok mendatar secara perlahan- perlahan-lahan. Didiamkan 30 menit. Setelah dingin, ditambahkan 3-4 tetes indikator DPA. Selanjutnya dijadikan 50 ml (sampai tanda tera) dengan air bebas ion. Labu ditutup digojok sampai homogen, didiamkan sampai tanah mengendap. Larutan tersebut dituang ke dalam gelas beker sebanyak 5 ml dan ditambahkan 15 ml air bebas ion (larutan berwarna kuning). Selanjutnya dititrasi dengan FeSO4 0,2 N sampai diperoleh warna hijau cerah. Dilakukan hal yang sama untuk blanko (tanpa tanah).

B. Analisis N-total (Metode Kjheldal) 1. Tahap Destruksi

Contoh tanah ditimbang 1000 g kemudian dimasukkan dalam tabung destruksi. Ditambahkan 7 ml campuran asam salisilat dibiarkan 30 menit, setelah itu ditambahkan 0,5 g Na2S2O3.5H2O dan digojok sekitar 15 menit, ditambahkan 3 ml H2SO4 pekat dan 200 mg katalisator. Selanjutnya dipanaskan dalam block digester (270oC) sampai cairan menjadi jernih atau putih kehijauan, angkat dan dinginkan. Cairan jernih tersebut dipindahkan ke dalam labu destilasi dengan bantuan aquades sekitar 50 ml dan ekstrak siap untuk didestilasi.

71 2. Tahap Destilasi

Erlenmeyer 250 ml disiapkan dan diisi dengan 20 ml asamborat 2%+BCGMR dan di tempatkan di bawah pendingin destilasi, ujung alat pendingin harus tercelup di bawah permukaan asam dalam erlenmyer tersebut. Menjelang destilasi dimulai, larutan ekstrak hasil destruksi dimasukkan dan ditambah 200 ml aquades, 3 tetes PP dan NaOH 40% ke dalam labu sampai warna larutan menjadi merah (bertanda suasana alkalis). Setelah itu, alat destilasi dihidupkan sampai diperoleh volume destilat (penampung) sekitar 150 ml (sekitar 30 menit setelah mendidih) dengan warna penampung menjadi hijau. Kemudia titrasi dengan HCl 0,01 N sampai membentuk warna merah jambu (pink).

Perhitungan :

N = �� � 4, %

Keterangan:

A : volume HCl untuk titrasi contoh (ml) B : volume HCL untuk titrasi blanki (ml) fk : faktor koreksi lengas ((100+KL)/100) n : normalitas contoh tanah (mg)

w : berat contoh tanah (mg) 14,2 : g/mol N

C. Analisis P2O5 potensial dan K2O potensial ( Metode Ekstraksi HCl 25%) Contoh tanah (<0,5 mm) ditimbang 1 g dan dikering anginkan. Kemudian dimasukkan ke dalam botol dan di tambah HCl 25% sebanyak 10 ml, lalu digojok selama 6 jam dengan kecepatan 150 rpm. Disaring dengan kertas saring. Contoh ekstrak jernih dimasukkan kedalam tabung reaksi sebanyak 1

72

ml, ditambahkan 9 ml air bebas ion. Contoh ekstrak encer dimasukkan kedalam tabung reaksi sebanyak 2 ml dan deret standar masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi selanjutnya ditambahkan 10 ml pereaksi perwarna fosfat, dikocok hingga homogen dan biaarkan 30 menit. Absorbansi larutan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm. Untuk kalium, contoh ekstrak encer dan deret standar kalium langsung dengan flamefotometer.

73 Lampiran 4. Dokumentasi Temuan Nematoda

Alaimidae Nama Gambar Alaimus Anguinidae Nama Gambar Ditylenchus Nothotylenchu s sp1 Nothotylenchu s sp2

74 Aphelenchoididae Nama Gambar Aphelen1 Cephalobidae Nama Gambar Acrobeles Cephalobus Chiloplacus Eucephalobus

75 Cepha 1 Cepha 2 Criconematidae Nama Gambar Mesocriconema Diplogasteridae Nama Gambar Pristionchus

76 Dorylaimidae Nama Gambar Eudorylaimus Labronema Mesodorylaimus Prodorylaimus Hoplolaimidae Nama Gambar Helicotylenchus sp1

77 Helicotylenchus sp2 Hoplolaimus Longidoridae Nama Gambar Longi 1 Mononchidae Nama Gambar Mylonchulus

78 Nygolaimus Nama Gambar Nygolaimus sp1 Nygolaimus sp2 Nygolaimus sp3 Nygolaimus sp4 Nygolaimus sp5

79 Plectidae Nama Gambar Wilsonema Panagrolaimidae Nama Gambar Panagrolaimus sp1 Panagrolaimus sp2 Pratylenchidae Nama Gambar Pratylenchus sp Pratylenchus sp

80 Prismatolaimidae Nama Gambar Prisma 1 Rhabditidae Nama Gambar Rhabditis sp1 Rhabditis sp2 Rhabdolaimidae Nama Gambar Monochromadora sp1 Monochromadora sp2

81 Rhabdolaimus Seinuridae Nama Gambar Seinura Tylenchidae Nama Gambar Tylencholaimus Tylen 1

82 Tylenchorhynchidae

Nama Gambar Tylenchorhynchus

sp

Nematoda yang tidak dapat diindentifikasi dengan kunci determinasi morfologi Nama Gambar

N11

N15

N17

83 N22 N26 N40 N42 N47 N56

84 N59

N60

85

Lampiran 5. Petunjuk identifikasi nematoda hingga tingkat famili 1. Alaimidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Tidak terdapat stylet.

c. Gigi tidak ada, kecil, atau tidak jelas. d. Seluruh esofagus berbentuk silinder. e. Stoma tidak ada atau tidak jelas. f. Daerah mulut sempit, gigi tidak ada.

g. Amphid aperture muncul seperti celah yang besar 2. Anguinidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Terdapat stylet.

c. Bagian dasar stylet menonjol atau flens. d. Terdapat valvate median esophageal bulb. e. Bentuk morfologi betina seperti belut.

f. Vulva terdapat pada sepertiga bagian bawah tubuh.

g. Tidak terdapat motif menyerupai cincin yang nampak jelas, stylet pendek. h. Posisi mati lurus.

i. Median esophageal bulb ada tapi tidak terlalu jelas. j. Esofagus tumpang tindih dengan usus.

k. Median bulb dan katup berukuran kecil, stylet biasanya tipis. 3. Aphelenchoididae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Terdapat stylet.

c. Bagian dasar stylet tidak menonjol atau flens. d. Terdapat valvate median esophageal bulb. e. Ujung ekor membulat.

4. Cephalobidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Tidak terdapat stylet.

c. Gigi tidak ada, kecil, atau tidak jelas. d. Bagian dasar esofagus membesar.

e. Esofagus membesar di pertengahan wilayah. f. Gonad tunggal

86 5. Criconematidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Terdapat stylet.

c. Bagian dasar stylet menonjol atau flens. d. Terdapat valvate median esophageal bulb. e. Bentuk morfologi betina seperti belut.

f. Vulva terdapat pada sepertiga bagian bawah tubuh.

g.

Kutikula tampak jelas dan bercincin, stylet memanjang.

h.

Tidak terdapat selubung kutikula.

i.

Annules polos tanpa duri atau sisik.

6. Diplogasteridae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada b. Tidak terdapat stylet

c. Terdapat gigi yang menonjol

d. Esofagus berkembang pada bagian tengah tubuh e. Bagian tepi mulut tidak terdapat rib-like armature 7. Dorylaimidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Terdapat stylet.

c. Bagian dasar stylet tidak menonjol atau flens. d. Tidak terdapat valvate median esophageal bulb. e. Dinding Stomal tidak memiliki kutikula.

f. Bagian dasar esofagus membesar.

g. Posterior ketiga dari esofagus, menggerombol. h. Stylet aksial, posisi terpusat.

8. Hoplolaimidae

a.

Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada.

b.

Terdapat stylet.

c.

Bagian dasar stylet menonjol atau flens.

d.

Terdapat Valvate median esophageal bulb.

e.

Betina berbentuk seperti belut

f.

Vulva pada sepertiga bagian bawah tubuh.

g.

Cincin kutikula tidak jelas, stylet pendek.

87 9. Longidoridae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Terdapat stylet.

c. Bagian dasar stylet menonjol atau flens.

d. Tidak terdapat valvate median esophageal bulb. e. Stylet panjang, lebuh dari 100 microns

10.Mononchidae

a.

Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada

b.

Tidak terdapat stylet.

c.

Terdapat gigi yang menonjol.

d.

Esofagus tidak berkembang pada bagian tengah tubuh.

e.

Ekor menunjuk atau lonjong.

f.

Ekor jantan yang tanpa setae.

g.

Stoma tanpa denticles.

h.

Gigi anterior searah.

i.

Gigi terdapat di anterior, bagian dari stoma.

11.Nygolaimidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Terdapat stylet.

c. Bagian dasar stylet tidak menonjol atau flens.

d. Tidak terdapat erdapat valvate median esophageal bulb. e. Dinding Stomal tidak berkutikula.

f. Bagian dasar esofagus membesar.

g. Posterior ketiga dari esofagus membesar.

h. Posisi stylet tidak aksial, didasarkan pada letak gigi pada dinding stoma. 12.Plectidae

a. Cephalic setae tidak ada, tapi terdapat head appendages mirip setae. b. Bentuk tubuh simetri.

c. Lip appendages elaborate.

d. Lip appendages bermembran menyerupai sayap. 13.Panagrolaimidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada b. Tidak terdapat stylet.

c. Gigi absen, kecil, atau tidak jelas. d. Esophagus melebar pada bagian dasar.

e. Esofagus berkembang pada bagian tengah tubuh. f. Gonad tunggal.

g. Ekor dengan ujung tajam.

88 14.Pratylenchidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Terdapat stylet.

c. Bagian dasar stylet menonjol atau flens. d. Terdapat valvate median esophageal bulb. e. Bentuk morfologi betina seperti belut.

f. Vulva terdapat pada sepertiga bagian bawah tubuh.. g. Kutikula tidak jelas bercincin, stylet pendek.

h. Posisi tubuh saat mati lurus.

i. Terdapat median esofagus bulb tetapi tidak terlalu jelas. j. Esofagus tumpang tindih usus.

k. Valver berbentuk bola dan stylet berkembang dengan baik, labium rata. 15.Prismatolaimidae

a. Terdapat cephalic setae. b. Terdapat post-cephalic setae.

c. Esophagus melebar pada bagian dasar.

d. Tidak terdapat cuticular punctation, amphids circular. e. Esophageal bulb tanpa valves.

16.Rhabditidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada b. Tidak terdapat stylet.

c. Gigi absen, kecil, atau tidak jelas. d. Esophagus melebar pada bagian dasar.

e. Esofagus berkembang pada bagian tengah tubuh. f. Gonad berpasangan.

g. Dinding stomal straight amalgamated.

h. Metacorpus cukup melebar, stoma tidak bermotif jelas. excessively elongat. 17.Rhabdolaimidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada b. Tidak terdapat stylet.

c. Gigi absen, kecil, atau tidak jelas. d. Esophagus melebar pada bagian dasar.

e. Esofagus tidak berkembang pada bagian tengah tubuh. f. Tidak memiliki amphids

g. Stoma tanpa rod-like thickenings. 18.Seinuridae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Terdapat stylet.

c. Bagian dasar stylet tidak menonjol atau flens. d. Terdapat valvate median esophageal bulb. e. Ujung ekor lancip.

89 19.Tylenchidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Terdapat stylet.

c. Bagian dasar stylet menonjol atau flens. d. Terdapat valvate median esophageal bulb. e. Stylet pendek, kurang dari 100 mikron f. Bentuk stylet sederhana.

g. Bagian dasar stylet bulat. h. Ekor bulat.

i. Bagian basal esophagus memanjang. 20.Tylenchorhynchidae

a. Cephalic setae tidak jelas atau tidak ada. b. Terdapat stylet.

c. Bagian dasar stylet menonjol atau flens. d. Terdapat valvate median esophageal bulb. e. Bentuk morfologi betina seperti belut. f. Vulva terdapat pada bagian tengah tubuh. g. Esofagus tidak tumpang tindih dengan usus. h. Panjang stylet kurang dari 50 mikron. i. Bentuk ekor terminus tidak lancip.

Dokumen terkait