• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Berdasarkan pengamatan hasil penelitian disarankan agar

a. Dinas kesehatan kota Medan menindaklanjuti hasil monitoring dengan cara memperlengkapi kebutuhan Puskesmas.

b. Dilakukan akreditasi terhadap puskesmas tiap satuan waktu oleh Dinas Kesehatan kota Medan.

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Puskesmas

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes , 2014). Puskesmas memiliki fungsi sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan kesehatan di suatu wilayah (Syafrudin dkk., 2009).

Mutu dalam layanan kesehatan di puskesmas adalah sebuah konsep manajemen berfokus konsumen yang inovatif dan patisipatif yang memengaruhi setiap individu dalam organisasi. Tujuannya adalah terwujudnya pelaksanaan proses perbaikan yang akan berdampak positif outcome layanan kesehatan (Al.assaf, 2009).

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yang meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia sehat 2010 (Kemenkes, 2004).

8 2.2 Kedudukan Puskesmas

Kedudukan puskesmas dibedakan menurut keterkaitannya dengan Sistem Kesehatan Nasional, Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota, Sistem Pemerintah Daerah, dan antar sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama. a. Sistem Kesehatan Nasional. Kedudukan puskesmas dalam sistem Kesehatan

Nasional adalah sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama yang bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya.

b. Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota. Kedudukan puskesmas dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota adalah sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan sebagian tugas pembangunan kesehatan Kabupaten bidang kesehatan di tingkat kecamatan.

c. Sistem Pemerintah Daerah. Kedudukan puskesmas dalam Sistem Pemerintah Daerah adalah sebagai unit pelaksanaan teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang merupakan unit struktural pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota bidang kesehatan di tingkat kecamatan.

d. Antar sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama. Diwilayah kerja puskesmas terdapat berbagai organisasi pelayanan kesehatan tingkat pertama yang dikelola oleh lembaga masyarakat dan swasta seperti praktek dokter, praktek dokter gigi, praktek bidan, poliklinik dan balai kesehatan masyarakat. Kedudukan puskesmas diantara berbagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama ini adalah sebagai mitra (Syafrudin dkk., 2009).

9 2.3 Fungsi Puskesmas

Tiga fungsi pokok utama yang diemban puskesmas dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dasar (PKD) kepada seluruh target dan sasaran masyarakat di wilayah kerjanya, yakni sebagai berikut :

a. pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

i. berupaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya agar menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan. ii. aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan untuk masyarakat

dari penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya.

b. pusat pemberdaya masyarakat

berupaya agar perorangan, terutama pemuka masyarakat, keluarga, dan masyarakat memiliki perilaku berikut :

i. sadar, mau dan mampu melayani diri sendiri serta masyarakat untuk hidup sehat.

ii. berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaan.

iii. ikut menetapkan menyelenggarakan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan program kesehatan.

iv. membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.

v. merangsang masyarakat, termasuk swasta, untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri.

10

vi. memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana menggali dan menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.

c. pusat pelayanan kesehatan strata pertama, yaitu menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer) secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (kontiniu) mencakup pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat (Mubarak, 2011).

2.4 Fasilitas Penunjang Puskesmas

Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan, puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang disebut puskesmas pembantu dan puskesmas keliling.

a. Puskesmas pembantu. Puskesmas pembantu yang sering dikenal sebagai pustu atau pusban adalah unit pelayanan kesehatan yang sederhana dan berfungsi menunjang dan membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan puskesmas dalam ruang lingkup wilayah yang lebih kecil.

b. Puskesmas keliling. Puskesmas keliling merupakan unit pelayanan kesehatan keliling yang dilengkapi kendaraan bermotor roda empat atau perahu motor, peralatan kesehatan, peralatan komunikasi, serta sejumlah tenaga yang berasal dari puskesmas. Puskesmas keliling berfungsi menunjang dan membantu kegiatan puskesmas dalam wilayah yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan (Mubarak, 2011).

11 2.5 Pelayanan Kefarmasian

Menurut Permenkes RI nomor 30 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di puskesmas, yang dimaksud dengan pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian, telah terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya keselahan pengobatan (medication error)

Pharmaceutical care (asuhan kefarmasian) adalah konsep dasar dalam pekerjaan kefarmasian yang memberikan tanggung jawab atas dampak pemberian obat kepada pasien (Anonim, 2010). Dalam memberikan perlindungan kepada pasien, maka dapat diidentifikasikan bahwa fungsi dari pharmaceutical care adalah menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya serta mendapatkan rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat. Tujuan yang ingin dicapai mencakup mengindentifikasikan hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapis, agar diterapkan penggunaan secara

12

rasional, memantau efek samping obat, menentukan metode penggunaan obat (Bahfen, 2008).

Ruang lingkup pelayanan kefarmasian di puskesmas meliputi 2 kegiatan pokok yaitu :

a. Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai, yang terdiri dari :

i. perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai. Merupakan proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan pasien.

ii. permintaan obat dan bahan medis habis pakai. Tujuannya adalah memenuhi kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di puskesmas, sesuai dengan perencanaan.

iii. peneriamaan obat dan bahan medis habis pakai. Tujuannya supaya obat dan bahan medis habis pakai yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan.

iv. penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai. Tujuannya supaya mutu obat yang tersedia di puskesmas dapat dipertahankan dengan persyaratan yang ditetapkan.

v. pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat.

13

vi. pengendalian obat dan bahan medis habis pakai. Tujuannya supaya tidak terjadi kelebihan dan kekosongan obat dan bahan medis habis pakai di unit pelayanan kesehatan dasar.

vii. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan. Tujuannnya adalah bukti pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai telah dilakukan, sebagai sumber data untuk melakukan pengendalian dan sumber data untuk pembuatan laporan.

viii. pemantuan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai. Tujuannya untuk mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan (Anonim, 2014).

b. Pelayanan farmasi klinik. Merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien, yang terdiri dari :

i. pengkajian resep, penyerahan obat, dan pemberian informasi obat (PIO) ii. pelayanan infoemasi obat (PIO)

iii. konseling

iv. ronde/visite pasien (khusus puskesmas rawat inap) v. pemantauan dan pelaporan efek samping obat (ESO) vi. pemantauan terapi obat (PTO)

14 2.6 Kegiatan Pokok Puskesmas

Ada 18 usaha pokok kesehatan yang dapat dilakukan oleh puskesmas. Usaha-usaha pokok itu bergantung pada faktor tenaga, sarana, prasarana, biaya yang tersedia, serta kemampuan manajemen dari setiap puskesmas. Kegiatan pokok puskesmas itu diantanya :

a. upaya kesehatan ibu dan anak

i. pemeliharaan kesehatan ibu hamil, melahirkan, dan menyusui, serta bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.

ii. pemberian nasehat tentang makanan guna mencegah gizi buruk. iii. imunisasi.

iv. pemberian nasehat tentang perkembangan anak dan cara stimulasinya. v. pengobatan bagi ibu, bayi, anak balita, dan pra sekolah untuk berbagai

penyakit ringan. b. upaya keluarga berencana

i. kursus KB untuk para ibu dan calon ibu yang mengunjungi KIA.

ii. konseling pemasangan IUD serta cara-cara penggunaan pil dan kondom dengan member sarananya.

c. upaya perbaikan gizi

i. identifikasi penderita kekurangan gizi. ii. pengembangan program perbaikan gizi. iii. pendidikan gizi kepada masyarakat. d. upaya kesehatan lingkungan

i. penyehatan air bersih.

15 iii. penyehatan air buangan/limbah. iv. penyehatan lingkungan perumahan. v. pengawasan sanitasi tempat umum.

e. upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular i. pengumpulan dan menganalisis data penyakit.

ii. pelaporan kasus penyakit menular.

iii. investigasi kebenaran laporan yang masuk.

iv. tindakan permulaan untuk pencegahan penyakit menular.

v. penyembuhan penyakit penderita, hingga tidak lagi menjadi sumber infeksi.

vi. pemberian imunisasi.

f. upaya pengobatan, termasuk pelayanan darurat karena kecelakaan lalulintas i. diagnosa sedini mungkin melalui pengumpulan informasi riwayat

penyakit, pemeriksaan fiksik, pemeriksaan laboratorium, kemudian membuat diagnosis.

ii. pelaksanaan tindakan pengobatan. iii. upaya rujukan.

g. upaya penyuluhan kesehatan masyarakat

i. kegiatan penyuluhan kesehatan dilakukan oleh petugas di klinik, rumah, dan kelompok-kelompok masyarakat.

ii. di tingkat puskesmas tidak ada petugas penyuluhan tersendiri, tetapi di tingkat kabupaten diadakan tenaga-tenaga koordinator penyuluhan kesehatan.

16 i. perawatan kesehatan masyarakat. j. kesehatan kerja.

k. kesehatan gigi dan mulut. l. kesehatan jiwa.

m. kesehatan mata.

n. laboratorium sederhana.

o. pencatatan dan pelaporan dalam rangka sistem informasi kesehatan. p. kesehatan usis lanjut.

q. pembinaan pengobatan tradisional. r. kesehatan remaja. (Mubarak, 2011).

2.7 Organisasi Puskesmas

a. Struktur Organisasi. Struktur organisasi puskesmas tergantung dari kegiatan dan beban tugas masing-masing puskesmas. Penyusunan struktur organisasi di suatu puskesmas di satu kabupaten/kota dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, sedangkan penetapannya dilakukan dengan peraturan daerah. Sebagai acuan dapat digunakan pola struktur organisasi puskesmas sebagai berikut :

i. kepala puskesmas

ii. unit usaha yang bertanggung jawab membantu kepala puskesmas dalam pengelolaan seperti :

a) data dan informasi

b) perencanaan dan penilaian c) keuangan

17 d) umum dan pengawasan

iii. unit pelaksana teknis fungsional puskesmas a) upaya kesehatan masyarakat

b) upaya kesehatan perorangan iv. jaringan pelayanan puskesmas

a) unit puskesmas pembantu b) unit puskesmas keliling c) unit bidan di desa/komunitas

b. Kriteria Personalia. Kriteria personalia yang mengisi struktur organisasi puskesmas disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing unit puskesmas. Khusus untuk kepala puskesmas kriteria tersebut dipersyaratkan harus seorang sarjana di bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat.

c. Eselon kepala puskesmas. Kepala puskesmas adalah penanggung jawab pembangunan kesehatan di tingkat kecamatan. Sesuai dengan tanggung jawab tersebut dan besarnya peran kepala puskesmas dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan di tingkat kecamatan, maka jabatan kepala puskesmas setingkat dengan eselon III-B. Dalam keadaan tidak tersedia tenaga yang memenuhi syarat untuk menjabat jabatan eselon III-B, ditunjuk pejabat sementara yang sesuai dengan kriteria kepala puskesmas yakni seorang sarjana di bidang kesehatan masyarakat, dengan kewenangan yang setara dengan pejabat tetap (Kemenkes, 2004).

18 2.8 Mutu Layanan Kesehatan

Setiap orang akan menilai mutu layanan kesehatan berdasarkan standar dan atau karakteristik/kriteria yang berbeda-beda. Salah satu kesulitan dalam merumuskan pengertian mutu layanan kesehatan itu sangat melekat dengan faktor-faktor subjektivitas orang yang berkepentingan baik pasien/konseumen, pemberi layanan kesehatan (provider), penyandang dana, masyarakat ataupun pemilik sarana layanan kesehatan (Imbaho, 2007). Mutu layanan kesehatan terdiri dari beberapa perspektif diantaranya :

a. Perspektif pasien/masyarakat. Pasien/masyarakat melihat layanan kesehatan yang bermutu sebagai suatu layanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakannya dan diselenggarakan dengan cara yang sopan dan santun, tepat waktu, tanggap dan mampu menyembuhkan keluhannya serta mencegah, berkembangnya atau meluasnya penyakit. Pandangan pasien / masyarakat ini sangat penting karena pasien yang merasa puas akan mematuhi pengobatan dan mau datang berobat kembali (Imbaho, 2007). b. Perspektif pemberi layanan kesehatan. Pemberi layanan kesehatan (provider)

mengaitkan layanan kesehatan yang bermutu dengan ketersediaan peralatan, prosedur kerja atau potokol, kebebasan, profesi dalam setiap melakukan layanan kesehatan sesuai dengan teknologi kesehatan mutakhir, dan bagaiman keluaran (outcome) atau hasil layanan kesehatan itu. Komitmen dan motivasi pemberi layanan kesehatan bergantung pada kemampuannya dalam melaksanakan tugas dengan cara optimal. Sebagai profesi layanan kesehatan, perhatiannya terfokus pada dimensi kompetensi teknis, efektivitas, dan keamanan (Imbaho, 2007).

19

c. Perspektif penyandang dana. Penyandang dana atau asuransi kesehatan menganggap bahwa layanan kesehatan yang bermutu sebagai suatu layanan kesehatan yang efesien dan efektif. Pasien diharapkan dapat disembuhkan dalam waktu sesingkat mungkin sehingga biaya layanan kesehatan dapat menjadi efisien (Imbaho, 2007).

d. Perspektif pemilik sarana layanan kesehatan. Pemilik sarana kesehatan berpandangan bahwa layanan kesehatan yang bermutu merupakan layanan kesehatan yang menghasilkan pendapatan yang mampu menutupi biaya operasional dan pemeliharaan, tetapi dengan tarif layanan kesehatan yang masih terjangkau oleh pasien / masyarakat, yaitu pada tingkat biaya ketika belum terdapat keluhan pasien dan masyarakat (Imbaho, 2007).

2.9 Pengobatan Rasional di Puskesmas

Upaya pengobatan rasional di puskesmas bertujuan untuk meningkatkan mutu dan efisiensi upaya pelayanan pengobatan yang rasional di puskesmas melalui pembinaan secara fungsional dengan melibatkan unit-unit yang terkait di berbagai tingkat administrasi. Menurut badan kesehatan sedunia (WHO), kriteria pemakaian obat (pengobatan) rasioanl, antara lain :

a. Sesuai dengan indikasi penyakit. Pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik yang akurat.

b. Diberikan dengan dosis yang tepat. Pemberian obat memperhitungkan umur, berat badan dan kronologis penyakit.

c. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat. Jarak minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan.

20

d. Lama pemberian yang tepat. Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka waktu tertentu.

e. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin. Hindari pemberian obat yang kadaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis keluhan penyakit.

f. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Jenis obat mudah didapatkan dengan harganya relatif murah.

g. Meminimalkan efek samping dan alergi Obat. Beri informasi standar tentang kemungkinan efek samping obat dan cara mengatasinya. Kriteria pengobatan rasional dalam pelayanan puskesmas harus terus diupayakan secara terpadu, agar tercapai tujuan kesehatan yang bermutu (Anonim, 2012).

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut diselenggarakan program pembangunan nasional secara berkelanjutan, terencana dan terarah. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari pembangunan nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar tewujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Kemenkes, 2004).

Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu dan daya saing manusia Indonesia. Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut diselenggarakan berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang, dan terpadu. Puskesmas adalah penanggungjawab penyelenggara upaya kesehatan untuk jenjang tingkat pertama (Kemenkes, 2004).

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes , 2014a).

2

Puskesmas sebagai tempat dilakukannya pelayanan kesehatan yang terdepan sesuai dengan prinsip puskesmas adalah menciptakan paradigma sehat, pertanggungjawaban wilayah, kemandirian masyarakat, pemerataan, teknologi tepat guna dan keterpaduan dan kesinambungan (Permenkes, 2014b).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 30 tahun 2014 tentang Standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas di buat dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (Permenkes, 2014a). Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Permenkes, 2014a).

Selama ini penerapan dan pelaksanaan upaya kesehatan dalam kebijakan dasar puskesmas yang sudah ada sangat beragam antara daerah satu dengan daerah lainnya, namun secara keseluruhan belum menunjukkan hasil yang optimal (Permenkes, 2014b).

Sejak diundangkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas pada tangga 3 juli 2014, masih ada puskesmas yang belum sepenuhnya melakukan pelayanan kefarmasian dengan optimal, hal ini dibuktikan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) telah melakukan survei kondisi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia. Hasilnya

3

pelayanan puskesmas di Indonesia khususnya puskesmas di daerah masih jauh dari harapan para pasien. Minimnya pelayanan kesehatan di puskesmas seperti waktu tunggu yang lama, antrean yang terlalu panjang, kapasitas dokter dan sarana prasarana kesehatan dinilai masih cukup minim. BPKN melakukan riset di 15 Puskesmas di 15 Kabupaten/Kota di Indonesia (detikNews, 2013).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana penerapan standar pelayanan kefarmasian di tiga puskesmas rawat inap di kota Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sejauh mana penerapan standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas Helvetia, Puskesmas Medan-Deli dan Puskesmas Belawan.

1.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah penerapan standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas Helvetia, Puskesmas Medan-Deli dan Puskesmas Belwan adalah kurang.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan mengetahui sejauh mana penerapan standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas Helvetia, Puskesmas Medan-deli dan Puskesmas Belawan.

4 1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian dasar untuk langkah-langkah pembinaan ke depan dalam peningkatan mutu serta efisiensi pelayanan kefarmasian di puskesmas.

1.6 Kerangka Penelitian

Penelitian ini mengevaluasi faktor-faktor yang berkaitan dengan pelayanan kefarmasian terhadap penerapan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 30 tahun 2014 sebagai dasar dalam pengembangan puskesmas di masa mendatang. Penerapan pelayanan kefarmasian di puskesmas merupakan variabel bebas yang terdiri dari empat garis besar yaitu bagian I adalah data dasar puskesmas yang terdiri dari nama puskesmas, jenis puskesmas, alamat puskesmas, kabupaten/kota, provinsi, nama kepala puskesmas, nama apoteker, nomor STRA/STRTTK, nomor SIPA/SIKTTK, jumlah apoteker, jumlah tenaga teknik kefarmasian, jumlah tenaga non kefarmasian.

Bagian II yang terdiri dari 2 garis besar, pertama, kebijakan pelayanan kefarmasian dan parameter yang diukur penanggung jawab apotek, instalasi farmasi tercantum pada struktur organisasi puskesmas, dan tersedianya kartu stok di gudang. Kedua, pelayanan farmasi dan parameter yang diukur penggunaan lembar resep, pengkajian resep, peracikan obat, penyerahan obat dan ronde/visite pasien.

Bagian III terdiri dari 5 garis besar, pertama, kelengkapan fasilitas (alat dan ruang) yang terdiri dari fasilitas penyimpanan yang menjamin stabilitas

5

obat, fasilitas penyimpanan narkotika/psikotropika, fasilitas penyimpanan bahan berbahaya/mudah terbakar, fasilitas penyimpanan gas medik, ruang peracikan obat, peralatan peracikan obat, fasilitas ruang tunggu, fasilitas ruang PIO/konseling, fasilitas pengarsipan, sistem penyimpanan obat di gudang, data penilaian capaian kinerja pengelolaan, keamanan penyimpanan obat di gudang, dan jenis obat generik sesuai dengan kebutuhan. Kedua, Standar Operasional Prosedur (SOP) yang terdiri dari pengelolaan sediaan farmasi, parameter yang diuji perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan pelaoran pengarsipan, pemantaun beserta evaluasi. Ketiga, administrasi umum dan parameter yang diuji pencatatan dan pengarsipan pelaporan narkotika dan psikotropika, pencatatan dan pengarsipan pelaporan keluar masuk obat dan perbekalan kesehatan, pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil pemantauan terapi obat. Keempat, pelayanan farmasi yang terdiri dari penulisan resep, pengkajian resep, tanpa persediaan obat racikan lebih dari satu hari, tanpa penggunaan blender sebagai alat racikan, penyerahan obat disertai etiket, apoteker memberikan informasi kepada pasien, pemberian informasi yang terdokumentasi, apoteker melaksanakan konseling yang terdokumentasi, pelaksanaan home pharmacy

care, melakukan MESO, pendokumentasian medication error. Ke-empat,

pelayanan farmasi klinik, parameter yang diuji pengkajian resep, dispensing, penelusuran riwayat penggunaan obat, Pemberian Informasi Obat, konseling, ronde/visite, Pemantauan Terapi Obat, Evaluasi Penggunaan Obat, Monitoring Efek Samping Obat, penyuluhan, dan home pharmacy care.

6

Kelima, evaluasi yang terdiri dari, sumber daya manusia, pengelolaan sediaan farmasi, pelayanan farmasi klinik, pengukuran capaian pelayanan dan menindaklanjuti hasil evaluasi.

Bagian IV yang terdiri dari jumlah apoteker yang mengikuti kursus/pelatihan farmasi klinik dalam 3 (tiga) tahun terakhir dan jenis pelatihan yang diikuti. Sedangkan variabel terikatnya adalah capaian penerapan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas yang dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Variabel Bebas

Standar pelayanan kefarmasian di puskesmas

a. Data dasar

b. Kebijakan pelayanan kefarmasian c. Pelayanan farmasi

d. Kelengkapan fasilitas(alat dan

Dokumen terkait