• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

1. Kepada Petugas Kesehatan Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal diharapkan memberikan informasi tentang TB paru untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian penyakit TB paru, terutama bagi masyarakat yang memiliki pendidikan rendah dengan upaya promosi kesehatan tentang penyakit TB Paru baik penyebab, gejala, pengobatan, dan pencegahannya melalui penyuluhan, pembagian poster, leaflet maupun media informasi lainnya.

2. Kepada masyarakat diharapkan untuk memperbaiki praktik higiene menjadi lebih baik, dengan upaya pencegahan penularan TB Paru dengan pola hidup bersih dan sehat dengan cara mengubah praktik higiene masyarakat agar membuang dahak ditempat khusus atau tidak sembarangan, menggunakan

77

3. masker saat batuk, menutup mulut dengan tisu maupun sapu tangan ketika bersin, tidur terpisah dengan orang sehat ketika sakit pernapasan, menjemur peralatan tidur dibawah sinar matahari minimal 2 hari sekali, dan penggunaan perlengkapan secara terpisah dengan penderita untuk mencegah terjadinya penularan TB paru kepada orang sehat.

4. Menerapkan upaya pencegahan penularan TB Paru oleh keluarga melalui perbaikan sanitasi lingkungan rumah dengan cara menerapkan kepadatan hunian yang memenuhi syarat yaitu kamar tidur berukuran 8m² tidak dihuni lebih dari 2 orang, mengkodisikan kamar tidur bagi penderita yang tidak bersedia tidur terpisah dengan cara memberi jarak tidur dan membedakan peralatan tidur (bantal, selimut, sprei, kasur, dll), memperbaiki ventilasi rumah sehingga memenuhi syarat dan membuka ventilasi rumah yang tertutup untuk memaksimalkan sirkulasi udara didalam ruangan, dan diharapkan kepada masyarakat untuk memaksimalkan masuknya pencahayaan matahari ke dalam seluruh ruangan dengan cara membuka jendela dan gorden pada rumah setiap hari agar sinar matahari dapat masuk kedalam ruangan secara merata sehingga dapat membunuh bakteri mycobacterium tuberclosa penyebab penyakit TB paru.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Tuberkulosis

2.1.1 Definisi Penyakit Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis (Kemenkes RI, 2013).

Tuberkulosis Paru adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi (Tabrani, 2010).

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis Paru

Penyakit TB Paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri berbentuk batang dan bersifat tahan terhadap asam sehingga terkenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA) jenis bakteri ini pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882 (Syafrudin, 2011).

BTA positif artinya setelah diberi warna kemerahan yang sangat asam, bakteri tersebut masih bertahan dan tampak sebagai batang-batang yang berkelompok berwarna kemerahan. Bila dijumpai BTA pada dahak orang yang sering batuk-batuk, maka orang tersebut didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis aktif dan amat berbahaya karena memiliki potensi penularan yang

11

luar biasa (Achmadi, 2011). Bakteri ini tidak tahan terhadap sinar ultraviolet, karena itu penularannya terutama terjadi pada malam hari (Tabrani, 2010).

2.1.3 Cara Penularan

Penularan penyakit TB paru adalah melalui udara yang tercemar oleh mycobacterium tuberculosis yang dikeluarkan/dilepaskan oleh sipenderita saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC (syafrudin, 2011). Penularan dapat terjadi dimana saja, dirumah, dikeramaian, ruang tertutup dan lembab,tempat umum dan sebagainya (Achmadi, 2011).

Penderita TB paru positif dapat menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan dahak, yang dalam istilah kedokteran disebut droplet nuclei. Sekali batuk dapat menghasilkan 3000 percikan dahak. Melalui udara yang tercemar oleh mikobakterium tuberkulosis yang dilepaskan/dikeluarkan oleh penderita TB paru saat batuk. Jadi jika seorang penderita TB paru positif membuang dahak di sembarang tempat, maka kuman TB dalam jumlah besar berada di udara (Achmadi, 2011).

Bakteri akan masuk ke dalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah. Sementara, bagi yang mempunyai daya tahan tubuh baik, maka penyakit TB paru tidak akan terjadi. Tetapi bakteri akan tetap ada di dalam paru

dalam keadaan ”tidur”, namun jika setelah bertahun-tahun daya tahan tubuh

menurun maka bakteri yang ”tidur” akan ”bangun” dan menimbulkan penyakit

12

Bakteri mycobacterium tuberculosis sangat sensitif terhadap cahaya matahari. Kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil karena bahaya penularan terbesar terdapat pada perumahan-perumahan yang padat penghuni dengan ventilasi yang kurang baik serta cahaya matahari tidak dapat masuk kedalam rumah. Jadi penularan TB paru tidak terjadi melalui perlengkapan makan, baju, dan perlengkapan tidur (Achmadi, 2008).

2.1.4 Gejala Tuberkulosis Paru

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal berupa gejala respiratorik (PDPI, 2011).

1. Gejala respiratorik

Gejala respiratorik sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari: (PDPI, 2011)

a. Batuk : merupakan gejala yang paling dini dan paling sering dikeluhkan. Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat. Batuk-batuk yang berlangsung > 2 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru.

b. Batuk darah : Darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis, bercak-bercak atau atau bahkan dalam jumlah banyak.

c. Sesak napas : dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat kerusakan paru yang cukup luas.

d. Nyeri dada : Timbul apabila sistem pernapasan yang terdapat di pleura sudah terlibat.

13

2. Gejala sistemi,

Gejala sistemik yang dapat timbul berupa: a. Demam

b. Keringat malam

c. Anoreksia : yaitu tidak selera makan dan penurunan berat badan.

2.1.5 Penemuan Penderita Tuberkulosis

Kegiatan penemuan penderita terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan penderita merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB paru. Penemuan dan penyembuhan penderita TB paru menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB paru, penularan TB paru di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB paru yang paling efektif di masyarakat (Depkes RI, 2005).

1. Penemuan TB paru pada orang dewasa

Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum atau dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang. Jika hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita di diagnosis sebagai penderita TB paru BTA positif. Dan jika hasil rontgen tidak mendukung TB paru, maka pemeriksaan dahak SPS di ulang (Depkes RI, 2005).

14

2. Penemuan TB paru pada anak

Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor yang dilakukan dokter dengan parameter : kontak Tuberkulosis, uji tuberkulin, berat badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas, batuk, pembesaran kelenjar limpe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks. (Depkes RI, 2008).

2.1.6 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberkulosis 1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam :

1) Tuberkulosis paru BTA positif.

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

15

2) Tuberkulosis paru BTA negatif.

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif.

b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis. c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. 2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru

Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :

a. Baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). c. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat

dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d. Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya. f. Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.

Kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

16

2.1.7 Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis Paru 1. Pencegahan Tuberkulosis Paru

Cara pencegahan penularan TB menurut Depkes RI (2007) sebagai berikut: a. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh.

b. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan dahak.

c. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah tertutup yangsudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah dengan tanah.

d. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain: 1) Menjemur peralatan tidur.

2) Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk.

3) Ventilasi yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.

4) Makan makanan bergizi.

5) Tidak merokok dan minum minuman keras. 6) Lakukan aktifitas fisik/olahraga secara teratur.

7) Mencuci peralatan makan dan minum dengan air bersih mengalir memakai sabun.

17

Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan pencegahan tertier, sebagai berikut:

a. Pencegahan Primer

Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan rekomendasi WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmette-Guérin (BCG) segera setelah bayi lahir (Depkes RI, 2007).

b. Pencegahan Sekunder

Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru. Laboratorium tuberkulosis paru merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran penting dalam penanggulangan tuberkulosis paru berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien tuberkulosis paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan (Depkes RI, 2007). c. Pencegahan Tertier

Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah parah, misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk (Depkes RI, 2007).

18

2. Pengobatan Tuberkulosis Paru

Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes RI, 2007). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:

a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin.

e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.

Menurut Hudoyo (2008), mengobati penderita dengan TB paru cukup mudah, karena penyebab TB paru sudah jelas yaitu, bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat di matikan dengan kombinasi beberapa obat yang sudah jelas manfaatnya. Sesuai dengan sifat bakteri Mycobacterium tuberculosis,

19

untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :

a. Obat harus di berikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua bakteri (termasuk bakteri persisten) dapat di bunuh. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

2.2 Karakteristik Individu 2.2.1 Umur

Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif (15 – 50) tahun. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB paru (Albert, 2006).

Menurut kelompok umur, kasus baru yang ditemukan paling banyak pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 21,40% diikuti kelompok umur 35-44 tahun sebesar 19,41% dan pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,39%.Kasus baru BTA+ pada kelompok umur 0-14 tahun merupakan proporsi yang paling rendah (kemenkes RI, 2013).

20

2.2.2 Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita TB Paru. Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak melakukan mobilisasi dan mengkonsumsi alkohol dan rokok. (Depkes RI, 2005).

Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu hampir 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada masing-masing provinsi di seluruh Indonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Disparitas paling tinggi antara laki-laki dan perempuan terjadi di Sumatera Utara, kasus pada laki-laki dua kali lipat dari kasus pada perempuan (Kemenkes RI, 2013).

2.2.3 Pekerjaan

Penyakit tuberkulosis dapat di hubungkan dengan beberapa penyakit paru akibat kerja, mengingat penyakit ini adalah penyakit yang ditularkan melalui udara, maka juga dapat ditemukan penyebaran penyakit pada lingkungan kerja disekitar penderita. Telah dilaporakan dari sebuah kapal Amerika Serikat yang mempunyai sirkulasi udara yang tertutup, seorang penderita tuberkulosis BTA positif yang amat simtomatik telah menyebabkan konversi tuberkulin dari negatif menjadi positif pada 53 dari 60 orang (>80%) yang berada satu ruangan, dimana enam diantaranya kemudian menderita tuberkulosis. Sedangkan pada ruangan lain disebelah ruangan kasus awal, ditemukan perubahan test tuberkulin pada 43 dari 81 orang (53%) dimana seorang diantaranya memang menderita tuberkulosis (Aditama, 2010). Menurut Achmadi (2011) Penyakit lain yang sering diderita

21

angkatan kerja Indonesia termasuk petani adalah tuberkulosis (TBC).

2.2.4 Penghasilan

Secara ekonomi, penyebab utama berkembangnya bakteri Mycobacterium tuberculosis di Indonesia disebabkan karena masih rendahnya pendapatan per kapita. Sejalan dengan kenyataan bahwa pada umumnya yang terserang penyakit TB paru adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (Tjiptoherijanto, 2008).

Banyaknya penderita tuberkulosis paru terjadi pada masyarakat kelas ekonomi rendah dengan tingkat pendidikan rendah dan pekerjaan yang tidak tetap sehingga pengetahuan tentang penyakit menular juga rendah. WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang pada kelompok dengan sosial ekonomi yang lemah atau miskin (Achmadi , 2008)

Menurut (WHO, 2003 dalam Suarni, 2009) juga menyebutkan 90% penderita TB paru di dunia menyerang kelompok dengan ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TB paru bersifat timbal balik, TB paru merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka mereka menderita TB paru. Kondisi ekonomi itu sendiri mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun.

Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB paru kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun

22

secara total mencapai 20% - 30% dari pendapatan rumah tangga, kinerja dan produktivitas rendah, pilihan kerja terbatas,dan akan membebani keluarga. Dibidang pendidikan dan pekerjaan juga kehilangan peluang (Achmadi, 2011).

2.2.5 Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat (Notoatmodjo, 2011).

Sebagian besar penderita TB paru berasal dari kelompok usia produktif dengan tingkat pendidikan relatif rendah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan tentang penyakit TB paru yang kurang, kesadaran untuk menjalani pengobatan secara teratur dan lengkap juga relatif rendah. Pengaruh lain dari tingkat pendidikan yang rendah tercermin dalam hal menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan yaitu perilaku dalam membuang dahak dan meludah di sembarang tempat (Suarni, 2009).

Pendidikan merupakan salah satu faktor terjadinya penularan penyakit TB paru. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pegetahuan seseorang di antaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan tentang penyakit TB paru. Dengan pengetahuan yang cukup seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat (Suarni, 2009).

23

2.3 Praktik Higiene

Tindakan atau praktik terdiri dari 4 tingkatan yaitu : persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons), mekanisme (mecanism), adaptasi (adaptation). Tindakan kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan kesehatan. Tindakan kesehatan terhadap lingkungan seperti hindari kerumunan orang banyak (yang sekaligus dapat mengurangi penyakit saluran pernapasan yang menular), terhadap ventilasi rumah dengan cara menutup dan membuka jendela di pagi dan siang hari, serta ajakan agar setiap orang tidak meludah disembarang tempat (Notoatmodjo, 2011).

Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Depkes RI, 2007). Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit tuberkulosis adalah buang ludah sembarangan, dan tidak menutup mulut saat batuk (Ditjen Pemas, 2007).

Higiene dan sanitasi mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Higiene dan sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada manusia. Usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi

24

lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan yang sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan lingkungan disebut higiene (Depkes RI, 2009).

Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan dahak. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah tertutup yang sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah dengan tanah (Depkes RI, 2007).

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita mengeluarkan bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). TB Paru dapat ditularkan melalui percikan ludah pada waktu berbicara, batuk, dan bersin. Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam (Achmadi, 2011).

Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa yang tinggal satu rumah. Meningkatnya penularan infeksi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain kondisi sosial ekonomi yang buruk, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal, dan adanya epidemi dari infeksi HIV(Nur, 2007).

25

penularan penyakit sebagai upaya agar penderita tidak menularkan kepada orang lain dan meningkatkan derajat kesehatan pribadi dengan cara:

a. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu. b. Tidak batuk di hadapan anggota keluarga atau orang lain.

c. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan. d. Tidak meludah disembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol,

dan dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.

e. Menjemur alat tidur secara teratur pada siang hari karena bakteri mycobacterium tuberculosis akan mati bila terkena sinar matahari.

f. Membuka jendela pada pagi hari dan mengusahakan sinar matahari masuk keruang tidur dan ruangan lainnya agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga bakteri mycobacterium tuberculosis dapat mati.

g. Tidak merokok dan minum minuman keras.

h. Minum obat secara teratur sampai selesai dan sembuh bagi penderita TB paru.

2.4 Sanitasi Lingkungan Rumah

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya. Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia (Notoatmodjo, 2011).

26

Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan individu, oleh karena itu lingkungan rumah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2011).

Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah.

Dokumen terkait