• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.3. Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka saran yang dberikan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Bagi Pemerintah Daerah diharapkan agar lebih meningkatkan kualitas dalam penyusunan anggaran dengan mengutamakan alokasi belanja pada program-program yang mendukung kebutuhan masyarakat, adanya transparansi dalam

anggaran serta melakukan pengawasan mulai dari proses perencanaan anggaran.

2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambahkan variabel-variabel lain yang erat kaitannya dengan penelitian ini sehingga dapat memberikan hasil penelitian yang lebih kompleks.

3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas sampel penelitian seperti Kabupaten/Kota diluar Provinsi Sumatera Utara dan menambah tahun pengamatan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka, akan dibahas lebih lanjut mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), dan perilaku oportunistik penyusun anggaran. Bagian ini menjabarkan teori yang melandasi penelitian ini dan beberapa penelitian terdahulu yang telah diperluas dengan referensi atau keterangan tambahan yang diperoleh selama penelitian.

2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori keagenan (agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktek bisnis perusahaan yang telah dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Pada sektor publik khususnya pemerintah pusat maupun daerah, teori keagenan digunakan untuk menganalisis hubungan yang terjadi di antara prinsipal-agen dalam kaitannya dengan penganggaran daerah. Di pemerintahan daerah, prinsipal merupakan pihak legeslatif (DPRD) dan agen merupakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah). Hubungan prinsipal-agen terjadi ketika tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak terhadap orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa, “Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual diantara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (prinsipal) membuat suatu kontrak baik secara implisit maupun secara eksplisit, dengan pihak lain (agen) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal”.

Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi, agen memiliki informasi lebih banyak dari prinsipal tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuannya yang sesungguhnya, yang berpotensi menciptakan

moral hazard (penyalahgunaan wewenang) dan adverse selection

(menyembunyikan informasi). Sedangkan prinsipal harus mengeluarkan biaya (costs) untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam memonitor kinerja agen, menentukan struktur insentif, dan monitoring yang efisien. Abdullah dan Asmara (2006:7) menyatakan bahwa, “Adanya asimetri informasi diantara eksekutif-legeslatif dan legeslatif-rakyat menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang memiliki automatic checks berupa persaingan”.

2.1.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran merupakan alat utama pemerintah untuk melaksanakan semua kewajiban, janji, dan kebijakannya ke dalam rencana-rencana konkrit dan terintegrasi dalam hal tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan dicapai, pada biaya berapa dan siapa yang akan membayar

biaya-biaya tersebut. Anggaran sektor publik yang dipresentasikan dalam APBN dan APBD menggambarkan tentang rencana keuangan di masa mendatang mengenai jumlah pendapatan, belanja, surplus/defisit, pembiayaan, serta program kerja dan aktivitas yang akan dilakukan.

Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat dengan APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah yang merupakan pedoman bagi pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu tahun anggaran.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 terdiri atas:

1. Anggaran pendapatan, terdiri atas:

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan penerimaan lain-lain.

b. Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ;

c. Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. 2. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan

3. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2014, proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diawali dengan Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legelatif) membuat suatu kesepakatan tentang arah dan kebijakan umum dan prioritas anggaran, yang akan menjadi pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kemudian, Pemerintah Daerah (eksekutif) membuat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) sesuai dengan arah dan kebijakan umum dan prioritas anggaran, yang kemudian akan diserahkan kepada DPRD (legeslatif) untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama oleh panitia anggaran legeslatif dan direspon oleh semua komisi dan fraksi sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah. Anggaran yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah (eksekutif) untuk melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan acuan bagi DPRD (legeslatif) untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja terhadap Pemerintah Derah (eksekutif) dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah.

2.1.3. Pendapatan Asli Daerah

Untuk membiayai belanja daerah, pemerintah daerah memiliki sumber pendapatan sendiri yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan Undang- Undang nomor 33 tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah selanjutnya disebutkan PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

PAD merupakan usaha daerah guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana (subsidi) dari pemerintah pusat. Selain itu, PAD juga memiliki peranan penting dalam pembiayaan daerah, semakin besar PAD yang dimiliki oleh suatu daerah semakin besar pula kemampuan daerah untuk mencapai tujuan otonomi daerah yakni dalam hal peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 2014, sumber-sumber penerimaan daerah yang dimasukkan dalam pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas:

1. Pajak Daerah; 2. Retribusi Daerah;

3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

2.1.4. Dana Alokasi Umum

Menurut Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan block grant yang

diberikan kepada semua kabupaten dan kota dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-Daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 Pasal 27 menggariskan bahwa Pemerintah Pusat berkewajiban menyalurkan paling sedikit dua puluh enam persen (26%) dari Pendapatan Dalam Negerinya dalam bentuk DAU. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu Daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah

(fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang

33 tahun 2004 ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara

implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

2.1.5. Dana Bagi Hasil

Berdasarkan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004, Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari dua jenis, yaitu:

1. Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak

Dana Bagi Hasil (DBH) yang berasal dari pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21.

2. Dana Bagi Hasil (DBH) bukan Pajak (Sumber Daya Alam)

Dana Bagi Hasil (DBH) yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

2.1.6. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sisa lebih realisasi penerimaan dan

pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), pelampauan penerimaan dan perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.

SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi surplus pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sekaligus terjadi Pembiayaan Netto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan. SiLPA yang merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas anggaran sebelumnya digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja.

2.1.7. Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran

Istilah oportunistik berasal dari kata opportunity yang artinya kesempatan. Perilaku oportunistik (opportunity behavior) adalah sifat manusia yang memanfaatkan kesempatan atau peluang yang ada untuk memperoleh keuntungan demi diri sendiri maupun kelompok tanpa mempertimbangkan apakah hal tersebut adil atau benar. Menurut Maryono (2013), “Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun”.

Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik adalah kekuatan (power) dan kemampuan (ability).

Perilaku oportunistik anggaran (fiscal opportunism), yaitu tentang perilaku oportunistik dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan preferensi yang mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan keuntungan juga keinginan untuk aman secara fiskal, yakni anggaran bisa terealisasi tepat waktu dan tepat jumlah, memiliki peluang untuk menambah alokasi saat perubahan APBD, dan kemungkinan variansi (selisih anggaran dan realisasi sampai akhir tahun) yang rendah (Romarina dan Makhfatih, 2010:37).

Teori keagenan menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan utilitasnya melalui pengalokasian sumberdaya dalam anggaran yang telah ditetapkan. Eksekutif atau agent yang menjadi pengusul anggaran dan juga pelaksana atau pengguna dari anggaran tersebut berupaya untuk memaksimalkan jumlah anggaran. Sedangkan legeslatif atau principal memiliki kesempatan untuk memasukkan kepentingannya dalam usulan anggaran yang diajukan eksekutif. Keefer dan Khemani (2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam penganggaran, legeslatif akan merekomendasikan eksekutif untuk menaikkan alokasi pada sektor-sektor yang mendukung kepentingannya dan mengusulkan pengurangan alokasi anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan belanja publik lainnya yang tidak bersifat job programs dan

targetable. Menurut Colombatto (2001), “Adanya discretionary power

akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan, dan karenanya semakin besar discretionary power yang dimiliki legeslatif semakin besar pula kecenderungan mereka mengutamakan kepentingan pribadinya”.

Martinez et al. (2004) menyatakan bahwa, “Political corruption

terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan mereka demi keuntungan pribadi ataupun kalangan dekat mereka”. Salah satu contohnya yaitu dengan mengalokasikan belanja untuk barang-barang khusus dan berteknologi tinggi karena merupakan belanja yang mudah dikorupsi sebab tidak banyak orang atau tidak ada orang yang memahami barang tersebut.

Sektor pendidikan dan kesehatan merupakan dua sektor pelayanan publik paling penting dipenuhi oleh pemerintah sehingga alokasi untuk kedua sektor ini relatif besar dibanding yang lain. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa, “Pendidikan dan kesehatan merupakan bentuk pelayanan publik yang paling mendasar dan karenanya menjadi fokus utama pembelaan legeslatif di pemerintahan”. Namun, belanja untuk pendidikan dan kesehatan bukanlah area yang dapat memberikan peluang untuk korupsi sehingga anggaran pendidikan, kesehatan, dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998).

Penelitian yang dilakukan Mauro (1998) menunjukkan bahwa jenis-jenis belanja pemerintah membuka peluang terjadinya perilaku oportunistik penyusun anggaran, karena itu akan dipilih belanja barang

atau pelayanan untuk program-program dan kegiatan yang sulit dimonitor orang lain. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Tanzi dan Davoodi (2002) yang menemukan bahwa anggaran untuk investasi publik lebih disukai karena dapat memberikan komisi lebih besar daripada belanja untuk pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan. Artinya, preferensi legeslatif lebih mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan keuntungan pribadi yang lebih besar serta memiliki dampak politik jangka panjang.

2.2. Penelitian Terdahulu

a. Sularso, dkk., (2014)

Judul penelitian ini adalah Determinan Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran: Studi pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 135 APBD kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2012. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel

(time series dan cross sectional), berupa data PAD, SiLPA, DAU, dan spread

(penyebaran) anggaran belanja dalam APBD kabupaten/kota di Privinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2010-2012. Hasil kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) maka semakin meningkatkan perilaku oportunistik penyusunan anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

b. Abdullah dan Asmara (2006)

Judul penelitian ini adalah Perilaku Oportunistik Legeslatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency theory Sektor Publik. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah legeslatif kabupaten/kota di Indonesia, yang dalam proses penyusunan anggaran sudah menggunakan format RAPBD dan APBD tahun 2003 dan 2004 sesuai dengan Kepmendagri 29/2002. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari dokumen RAPBD dan APBD. Hasil kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa legeslatif sebagai agen dari voters berperilaku oportunistik dalam penyusunan APBD, besaran PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legeslatif, dan APBD digunakan sebagai sarana untuk melakukan

political corruption. c. Maryono (2013)

Judul penelitian ini adalah Pengaruh Perubahan Dana Alokasi Umum Terhadap Perilaku Oportunistik Legeslatif Dalam Penganggaran Daerah: Studi Kasus pada Kabupaten/Kota di Sumatera Barat. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemerintah (eksekutif) kabupaten/kota di Sumatera Barat yang diambil melalui dokumen laporan APBD pada tahun 2007 sampai 2011. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Hasil pengujian hipotesis dari penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan dana alokasi umum berpengaruh signifikan positif terhadap perilaku oportunistik legeslatif dalam penganggaran daerah. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai signifikansi sebesar 0,049 < α 0,05.

d. Paolo Mauro (1998)

Judul penelitian ini adalah Corruption and The Composition of Goverment

Expenditure. Hasil kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat

hubungan korelasi antara korupsi dan berbagai komponen belanja pemerintah yang menyebabkan pemerintah dengan mudah menerima maupun mengirimkan uang suap terutama yang berasal dari komponen belanja pemerintah tersebut. Dalam penelitiannya ia juga menemukan bahwa korupsi menurunkan pengeluaran pada belanja untuk bidang pendidikan dan kemungkinan juga pada bidang kesehatan.

e. Keefer dan Khemani (2003)

Judul penelitian ini adalah The Political Economy of Public Expenditure. Hasil kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif anatara kebijakan legeslatif terhadap proyek infrastruktur, anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan belanja publik. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa legeslatif lebih menyukai proyek infrastruktur karena lebih mudah digunakan sebagai bentuk pemenuhan atas janji-janji kepada pemilihnya

(voters). Disamping itu, legeslatif lebih sulit untuk memberikan janji yang dapat

Tabel 2.1

Tinjauan Penelitian Terdahulu No Peneliti Judul Variabel

Penelitian Hasil Penelitian 1. Sularso, dkk., (2014) Determinan Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran: Studi pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Var. Independen: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Dana Alokasi Umum (DAU) Var. Dependen: Perilaku oportunistik penyusunan anggaran

Semakin tinggi jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) maka semakin

meningkat pula perilaku oportunistik penyusunan anggaran

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

2. Abdullah dan Asmara (2006) Perilaku Oportunistik Legeslatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency theory Sektor Publik Var. Independen: Pendapatan Asli Daerah (PAD) Var. Dependen: Perilaku oportunistik legeslatif dalam penganggaran Var. Kontrol: Jenis dan letak pemerintah daerah

Legeslatif sebagai agen dari voters berperilaku oportunistik dalam penyusunan APBD, besaran PAD

berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legeslatif, dan APBD digunakan sebagai sarana untuk melakukan political corruption. 3. Maryono (2013) Pengaruh Perubahan Dana Alokasi Umum Terhadap Perilaku Oportunistik Legeslatif Dalam Penganggaran Daerah: Studi Kasus pada Kabupaten/Kota di Sumatera Barat Var. Independen: Dana Alokasi Umum (DAU) Var. Dependen: Perilaku oportunistik legeslatif dalam penyusunan anggaran

Perubahan Dana Alokasi Umum (DAU)

berpengaruh signifikan positif terhadap perilaku oportunistik legeslatif dalam penganggaran daerah. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai signifikansi sebesar

4. Paolo Mauro (1998) “Corruption and The Composition of Goverment Expenditure” Var. Independen: Korupsi pemerintah Var. Dependen: Komposisi belanja pemerintah Terdapat hubungan korelasi antara korupsi dan berbagai komponen belanja pemerintah. Adanya korupsi menurunkan pengeluaran pada belanja untuk bidang pendidikan dan

kemungkinan juga pada bidang kesehatan. 5. Keefer dan Khemani (2003) “The Political Economy of Public Expenditure” Var. Independen: Proyek infrastruktur, anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan belanja publik Var. Dependen: Kebijakan legeslatif Terdapat hubungan yang positif anatara kebijakan legeslatif terhadap proyek infrastruktur, anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan belanja publik. Legeslatif lebih menyukai proyek infrastruktur karena lebih mudah digunakan sebagai bentuk

pemenuhan atas janji-janji kepada pemilihnya (voters). Sedangkan, berkaitan dengan penyediaan pelayanan publik legeslatif lebih sulit untuk memberikan janji yang dapat

dipercaya.

2.3. Kerangka Konseptual

Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan teoritis yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti membuat kerangka konseptual sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Berdasarkan kerangka konseptual diatas menunjukkan pengujian variabel PAD, DAU, DBH, dan SiLPA terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran. Hubungan antara PAD, DAU, DBH, dan SiLPA terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran adalah sebagai berikut:

1. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (X1) terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (Y)

Secara konseptual, perubahan pendapatan dalam APBD akan berpengaruh terhadap belanja atau pengeluaran, namun tidak selalu seluruh tambahan

Pendapatan Asli Daerah (X1)

Dana Alokasi Umum (X2)

Dana Bagi Hasil (X3)

Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (Y)

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (X4)

APBD menjadi sarana bagi legeslatif dan eksekutif untuk merubah alokasi anggaran secara legal. Studi Abdullah (2004, dalam Abdullah dan Asmara, 2006:16) menemukan adanya perbedaan prefensi antara eksekutif dan legeslatif dalam pengalokasian perubahan PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk pendidikan dan kesehatan justru mengalami penurunan. Ia menduga power legeslatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas penggunaan spread PAD tidak sesuai dengan preferensi publik.

Perilaku oportunistik legeslatif dan eksekutif saat perubahan APBD dapat mengakibatkan terjadinya missalocation anggaran belanja pemerintah. Dalam penelitian Fathony (2011) menemukan bahwa proporsi PAD yang rata-rata 10% dari total penerimaan daerah memiliki kecenderungan bertambah saat perubahan anggaran. Hal ini membuka peluang bagi legeslatif dan eksekutif untuk merekomendasikan penambahan anggaran bagi program dan kegiatan yang mendukung kepentingannya.

2. Pengaruh Dana Alokasi Umum (X2) terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (Y)

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU memiliki proporsi yang paling besar pada penerimaan daerah dan dialokasikan dalam bentuk block grant, artinya pemerintah daerah dapat dengan leluasa menggunakannya karena tidak terikat

dengan program pengeluaran tertentu. Adanya keleluasaan tersebut membuka peluang bagi penyusun anggaran baik legeslatif maupun eksekutif untuk berperilaku oportunistik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryono 2013 menemukan bahwa dana perimbangan (Dana Alokasi Umum) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik legeslatif.

3. Pengaruh Dana Bagi Hasil (X3) terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (Y)

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah tentunya akan mendapat persentase yang lebih besar daripada daerah yang memiliki sedikit sumber daya alamnya. Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari dua jenis, yaitu DBH pajak dan DBH bukan pajak (Sumber Daya Alam). DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) selain Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sama seperti DAU, DBH dialokasikan dalam bentuk block grant, yang dapat digunakan secara mandiri oleh daerah tanpa ada aturan penggunaannya. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh legeslatif maupun eksekutif untuk berperilaku oportunistik.

4. Pengaruh Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (X4) terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (Y)

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) adalah sisa lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA yang merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun anggaran sebelumnya digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi

Baca selengkapnya

Dokumen terkait