• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Berdasarkan analisis penulis terhadap karya-karya foto Erik Prasetya yang ia bukukan dalam Jakarta Estetika Banal maka karya ini dapat dijadikan sebagai sebuah pendekatan bagi para jurufoto dalam membuat karya fotonya disamping bagi para fotografer amatir yang perlu membuka wawasannya tentang konsep estetika fotografi. Hemat penulis, buku yang dibuat oleh Erik Prasetya ini dapat menambah khazanah keilmuan fotografi dalam Bahasa Indonesia yang masih minim dewasa ini.

3

Erik Prasetya Jakarta Estetika Banal. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta: 2011. Tanpa halaman.

Tentunya, penulisan skripsi ini adalah bagian dari memperkaya wacana fotografi bagi publik pembaca dan akademisi di Indonesia. Perkembangan dunia fotografi di Indonesia sudah maju pesat sedemikian rupa, begitu banyak munculnya fotografer profesional dan amatir, klub-klub fotografi, lokakarya-lokakarya fotografi, pameran fotografi, perlombaan fotografi dan kemampuan teknis fotografi masyarakat Indonesia (baca: warga perkotaan) yang sebagian besar sudah “melek”. Dan tak lupa perangkat kamera di era digital makin memudahkan orang untuk memotret. Namun ditengah perkembangan pesat dunia fotografi di Indonesia tidak diimbangi dengan penguatan dan pergulatan wacana fotografi di Indonesia.

Wacana fotografi Indonesia masih dibilang minim termasuk soal ketersediaan literatur fotografi—terutama soal wacana keilmuan fotografi, dan hadirnya buku Jakarta Estetika Banal dapat memberikan sebuah perbendaharaan khazanah keilmuan fotografi di Indonesia yang dapat di kaji dan diwacanakan sebagai sebuah kajian dalam fotografi.

Aart Van Zoest, Interprestasi dan semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida Sundari Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, (Ed) Serba-Serbi Semiotika. Jakarta : Gramedia, 1991.

Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, fotografi. Yogyakarta: Galang Press, 2002. Amir Piliang, Yasraf. Hipersemiotik; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.

Yogyakarta: Jalasutra, 2003.

Art Van Zoest. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita lakukan dengannya, Jakarta: Sumber Agung, 1993.

Asa Berger, Arthur. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Edisi baru.Yogyakarta : Tiara Wacana, 2010. cet 1.

Barthes, Roland. Camera Lucida Reflections of Photography. Trans: Richard Howard,New York: Hill & Wang, n.d.

Barthes, Roland. Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977. Hlm. 17

Benjamin, Walter. ”The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility,

and Other Writing on Media”, Edited by Michael W. Jennings, et. all.

Cambridge, MA & London: The Belknap Press of Harvard University Press. 2008.

Birowo, M. Antonius. Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi. Yogyakarta :Gitanyali, 2004.

Blackburn, Susan. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Penerbit Masup Jakarta, 2011.

, Kris, Kosa Semiotika. Yogyakarta : LKIS. 1999.

Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok: Lembaga Penelitian UI, 1999.

Chandler, Daniel. Semiotics The Basics. Second Edition. London & New York: Routledge. 2002, 2007.

Cristomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia, 2004. cet. 1. David E. W. Fenner. Introducing Aesthetic. Westport, CT: Praeger. 2003.

Drs. Maryaeni, M.P. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Durham & London: Duke University Press. 2010.

Ed Zoelverdi. Mat Kodak. Jakarta: PT. Temprint, 1985.

Frosh, Paul. The Image Factory Consumer Culture, Photography and the Visual Contents Industry, Oxford & New York: Berg. 2003.

Jatman, Darmanto. “Tingkah Kelas Menengah Puak Melayu” dalam Hadijaya (Ed.),

Kelas Menengah Bukan Ratu Adil, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta: 1999.

Kamala Chandrakirana & Isono Sadoko. Dinamika Ekonomi Informal Di Jakarta. Jakarta: Penerbit UI Press, 1995.

Kayam, Umar. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981. Kriyant ono, Rahmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2006. Ed 1.

Lury, Celia. Prosthetic Culture Photography, Memory and Identity, London & New York: Routledge. 1998.

M. Mudaris. Jurnalistik foto. Semarang: Badan Penerbitan Universitas Diponegoro. 1996.

Martinet, Jeane. Semiologi : Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2010. cet. 1. Mirza Alwi, Audy. Foto jurnalistik. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Muridan S. Widjojo, “Wacana Politik Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998”, dalam

Muridan S. Widjojo et al., Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa ’98, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Prasetya, Erik. Jakarta Estetika Banal. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta & Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.

R. Hasan, Iding, Pencalonan Artis dan Banalitas Politik, 2010.

S. Lev, Daniel. “Kelas Yang Menyehatkan Negara” dalam Hadijaya (Ed.), Kelas

Santosa, Puji. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa, 1931.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006. cet 6. Sontag, Susan. On Photography, New York: Rosetta Books, LLC. 2205.

St Sunardi. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku baik, 2004

Strassler, Karen. Refracted Visions Popular Photography and National Modernity In Java,

Sumandiria, AS. Haris. Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan Jurnalistik, Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006. cet. 1

Tabrani, Primadi. “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat

(ed.)

Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna pada Karya Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra, 2008. cet.2.

Sumber Internet

AA Wattimena, Reza. Hannah Arendt dan Banalitas Kejahatan, UNIKA Widya Mandala Surabaya: 2011 http://rumahfilsafat.com/2011/12/23/hannah-arendt-dan-banalitas-kejahatan/

Banjir Jakarta 2013, Tumpukan Masalah Ibukota,

http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&view:replies=threaded. http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013 http://en.wikipedia.org/wiki/Photojournalism, diakses 10 Maret 2013

http://en.wikipedia.org/wiki/Sebasti%C3%A3o_Salgado, diakses 10 Maret 2013 http://en.wikipedia.org/wiki/Street_photography, diakses 10 Maret 2013

http://jakarta.okezone.com/read/2012/07/24/500/667639/kebakaran-di-jakartaseperti-arisan, diakses 6 Mei 2013

KA Commuter Jabodetabek,

http://id.wikipedia.org/wiki/KA_Commuter_Jabodetabek, diakses 6 Mei 2013

Memahami Tradisi Mudik, Overview- About MRT Jakarta,

http://jakartamrt.com/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid= 93&lang=en, diakses 6 Mei 2013

Pencemaran Udara Perkotaan Jadi Masalah Serius, Selasa, 18 Desember 2012, http://www.suarapembaruan.com/home/pencemaran-udara-perkotaan-jadi-masalah-serius/28328, diakses Senin, 6 Mei 2013

Propeda Propinsi DKI Jakarta 2002-2007,

http://bappedajakarta.go.id/download/propeda/Propeda_BAB11.pdf, diakses 6 Mei 2013

www.indosiar.com/ragam/motor-penyebab-polusi-udara-_58530.html, diakses 6 Mei 2013

Media Indonesia, Bedah Buku : Belajar Membedah Miots ( Mitologi Karya Roland Barthes), minggu, 25 Maret 2007.

Sumber Lain

Amir Piliang, Yasraf. Makalah Sastra dan Estetika Massa. pada diskusi gerakan cakrawala, Bandung , 2008.

Bachtiar, Ray. Ritual Fotografi, Chip foto video edisi special.

Irsyad, Robi. Representasi tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar Nasional.

Media Indonesia, Bedah Buku : Belajar Membedah Mitos ( Mitologi Karya Roland Barthes), minggu, 25 Maret 2007.

Erik Prasetya: Definisi dari dari oxford! Banal itu apa? Very ordinary and containing nothing that is interesting or important! Apa? Eh.. sotken biasa-biasa aja, tidak mengandung sesuatu yang menarik atau penting.

Sementara estetika, wah.. concerned with beauty, apa, berhubungan dengan kecantikan, seni, pemahaman, dan beautiful thing, ya.

Made in an artistics way and beautiful to look at.

Dalam bahasa Indonesia kira-kira gini! Tidak elok, biasa sekali, nah estetika itu cabang ilmu filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya, kepekaan terhadap seni dan keindahan.

Sekarang kita massuk ke Henri Cartier-Bresson. Photography is not like painting, nah dia bilang dalam bahasa Inggris. Neuneuenue... nah gitu lah nanti kamu cari sendiri statement tentang tok thingking tangga, tapi dia merumuskan sebuah rumusan yang disebut “Decesive Moment” ini Penting! Dalam, dalam sejarah fotografi itu ya!

Nah apa itu decisive moment? Ini nih, fotografi adalah pengenalan atas fakta secara langsung dan segera, serta merupaan pengorganisasian ketat atas bentuk-bentuk visual yang menyatakan dan memaknai fakta tersebut. Apa ini? Kalimat ini artinya apa? Coba nanti kamu pahami sendiri, nanti akan saya terangin sedikit-sedikit, Decesive moment itu berasal dari Cardinal de Retz, nah ini lah pertama-pertama orang yang me, yang ini lah, yang me, yang mengungkapkan kata decisive moment, Nah sekarang kita lihat praktek dalam photografi, nah ini Paris, Cartier-Bresson, nah ini difoto oleh Cartier-Bresson. Apa yang kamu lihat di sini? Ini kan gambar yang indah sekali, cantik sekali lah ya, ada keindahan ada kecantikan dan segala macem lah ya? Dan yang membangun nya apa? Elemen-elemen, elmen elemen yang pada suatu waktu dia berpadu menjadi satu apa? Satu bentuk itu yang bisa menerangkan moment itu dengan baik, jadi yang disebut oleh Bresson sebagai decesive moment tuh itu? Ada elemen-elemen yang membentuk dan bercerita tentang keadaan itu, ada satu waktu yang cuman sdetik, lewat ini sudah lain! Ya.

Bagaimana bayang-bayang secara in, secara elemen-elemen ini kan bagus, membentuk keindahan, tapi juga disini ada poster kebetulan poster orang penari balet yang sedang meloncat, ini si, apa sih? Ini loncat kearah sini, itu loncat kearah sana. Ini kan sebuah moment yang aduuuh.. lewat sedetik tidak begini kejadiannya. Nah ini menurut Bresson disebut decesive moment.

Estika banal tidak memotret drama/peristiwa besar, melainkan memotret hal sehari-hari yang menjadi bagian hidup fotografer.

sama kota-kota lain, umpamanya ambilah contoh Paris atau apa? Atau London atau kota di Amerika, itu kan memang dirancang dengan keindahan dan semua tertib, sehingga kota itu indah. Jadi kalau kamu motret mencari suatu yang indah-indah di situ dapet, banyak memang, nah Jakarta ini tidak pernah dirancang begitu, Jakarta ini kepentingan demi kepentingan yan menang, lagi kuat birokrat, pada bangun ini, lagi kuat modal, dia bangun mall, seenak-enaknya aja, gak karu-karuan. Ancur-ancuran sesungguhnya, kota Jakarta ini, Nah kalau kita mau mendekati dengan estetika yang mencari keindahan, ya gak dapet, kamu kalah dibanding sama kota Singapura, lah ngapain? Emang gak banyak yang indah di kota Jakarta ini, ngapain kita me, mendekati kota Jakarta ini dengan estetika itu, ntar ada di tulisanku itu, kamu baca lagi, itulah makanya aku merasa oh estetika keindahan, semata-mata keindahan ini gak cukup. Kalo kita mau me.., me.. apa? Untuk mendekati Jakarta, mau bikin rekaman tentang Jakarta, gak cukup kita dengan mengandalkan itu, karena nanti dapetnya gak, gak bagus. Kita cari taman-taman yang indah, loh dimana yang indah? Paling-paling Monas, indah-indah amat juga nggak dibandingkan sama singapur dia punya taman apa, taman apa yang bagus-bagus, ya gak bagus, loh jadinya kan buat kapa kita menampilkan ini loh Jakarta yang Indah, terus orang bilang, ya gak indah gitu mah, makanya pendekatan estetika bukan keindahan, saya mau menggambarkan ini loh Jakarta yang hidup, ada orang sikut-sikutan, ada orang tarik-menarik , atau ini, rebutan lapak, rebutan ruang publik, segala macem, hal-hal semacam itu lah, nah ini yang saya harus dekati dengan suatu etetika yang lain, bukan estetika yang mengutamakan keindahan, nanti kalo itu gak dapet, makanya saya coba cari apa ya? Kira-kira estetika apa lagi yang bisa dipakai untuk menggambarkan Jakarta yang dinamis ini, yang amburadul ini, yang ancur-ancuran ini, itu kira-kira,

Penulis: Menurut mas Erik apa kehebatan fotografi estetika banal?

Erik Prasetya: Menyatukan yang suatu yang nggak berhubungan, nah ini kan, ini kan fitrah, fitrah dalam fotografi itu, memang kemampuan dia itu, juktab posisi, lalu apa eu..tidak hirarki, kemudian apa? Bisa merekam dalam waktu sedetik, kalo dia detik kan cewe udah ke sana, udah gak berhubungan lagi, tapi detik ini kan dia berhubungan, nah ini ta’ berhentiin, sehingga terjadilah si cewe naksir kamu seakan-akan…

padahal tidak, mungkin? Ya senyum ke.. kegua yang motret, bisa aja kan? Dia melirik ke gua, tapi karena gambarnya sebelah situ jadi seperti dia melirik kamu yang sedang difoto, bisa begitu, nah itu salah satu fitrah dari fotografi yang lain, kaya gitu, nah ini yang saya manfaatkan dalam banal estetik, kita bermain di situ kita pake fitrah fotografi yang memang fitrahnya, iya kan? Nah kalau kita mencoba menghadirkan estetika yang bukan fitrahnya, ya susah sekali memang, bisa! Umpamanya lukisan, lukisan punya fitrahnya sendiri, ada yang lighting yang diatur oleh rembran segala macem, nah kan kita juga bisa niru itu, tapi kalau kita meniru itu, itulah yang disebut estetika yang mengekor pada seni rupa itu, mungkin

nah ini yang saya angkat dalam estetika banal maksimal,.

Penulis: Seberapa pentingnya pendekatan fotografi estetika banal dalam memotret jakarta? Erik Prasetya: Inikan sebuah tawaran dari saya seorang fotografer, menawarkan,eh yo kita foto nih Jakarta tapi jangan dengan pendekatan yang seperti yang sudah-sudah, susah itu. Ini itu bisa memotret, ini kita foto dengan pendekatan estetika banal aja, kira-kira gitu. Terus orang tanya estetika banal itu apa? Ini yang dipertanayakan, ini sebuah tawaran, bukan suatu keharusan, maksudnya saya gak bisa bahwa, eeh.. ini apa? Euh lu kalo moto di Jakarta jangan.. jangan begitu!, nggak! Yang, yang mau melakukan ya silahkan tapi saya menawarkan suatu alternatif, eh ada loh cara lain, mau gak? Kan di dalam estetika banal saya masih ada juga campuran, yang keindahan ada, saya hanya mau nunjukin bahwa keindahan, ya begini hasilnya, tapi kalau kita mau pake banalitas nah lebih luas nih, kafe bisa difoto, tiba-tiba, apa? Eu.. kafe, eu.. mall, orang-orang di jalan, bisa difoto, selama ini kan orang gak memotret itu, coba kamu cari periksa buku di Jakarta, moto kafe gak ada, temen-temen sendiri ya, kecuali umpamanya ni si joki lagi kerja, tapi itu kan bukan foto itu hanya informasi aja, dis joki, orang di suasana di sebuah kafe gitu kan, seorang fotografi menggambarkan ini loh sebuah kafe, ini loh kejadian di kafe, ini loh kejadian di mall, nggak ada, karena apa? Kalau kita memotret dengan mementingkan estetika yang lama, estetika keindahan itu, seperti saya bilang, kita butuh drama, drama itu apa? Drama itu secara gampangnya, kalau kita datang dari kelas menengah, maka kita melihat kelas bawah itu drama, ada drama kehidupan di situ, di Cilincing itu ada drama. Umpamanya, anak kecil itu ngangkat besi, hanya dapet duit total sepuluh ribu sehari, padahal dia usia sekolah, nah buat saya itu yang datang dari kelas menengah yang punya kamera Leica, yang sekolah yang dari universitas, lihat, gila ya gak adil sekali, terasa drama itu buat kita, maka kita tahu, oh ada dramanya maka kita foto dia, fotonya harus menghasilkan, menampilkan drama itu, betapa dia cakep, betapa dia bekerja keras, betapa dia gak dibayar baik, inikan sebuah drama, nah tapi, kalau kita balik ke kelas menengah kita sendiri, ke mall kamu ketemu temen kamu makan di kentucky, kamu ketemu temen kamu lagi ngobrol-ngobrol di kafe atau di Mc Donald, ada dramanya gak?

Gak ada drama, karena itu keseharian kita, kan kita gak bisa bilang, ih asik lo, gila gua tu ketemu temen gua lagi makan di Mc Donald, kan gak ada, gak ada, gak masuk akal, ya kan kita semua makan di Mc Donald, kita makan di kafe-kafe, jadi di situ gak ada drama, nah lantas bagaimana kita memotret ini, itu jadi problemnya. Kalau gak ada drama bagaimana kita motretnya? Kalau ada drama kita tahu motretnya gampang, itu saya tunjukin di foto-foto Cilincing, ada kemiskinan, ada segala macem, udah, tapi kalau gak ada drama bagaimana motretnya? Itulah yang saya tawarkan tadi. Kita pake estetika banal,

dan ini, ini, ini,ni,ni, sama sesuatu mungkin yang mirip-mirip sebelumnya apa itu? Kita Gak tau itu apa? Ya

Nah, Hubungan foto denga gambar yang lain memiliki kemiripan saling merujuk disebut hubungan sintagmatik. Jadi, ini sangat mirip dengan ini, ini sangat mirip dengan ini, dimana kemiripannya? Nanti kita bahas!

Ya jadi hubungan sintagmatik jugaberarti hubugan antar unsur dalam gambar, dan jadi ini, ini, ini, ini, langit dan segala macem itu kan sintagmatik semua lah ya?

Estetika lebih merupakan perkara sintagmatik, ini ya bukan paradigmatik. Jadi elemen-elemen tadi itu estetika kita ngomong, ini, ini harus dibedain ini , kalo ini aja gak jelas, kamu kacau.

Penulis : Apa unsur estetikadalam fotografi ?

Erik Prasetya : Dari seni rupa itu ya kamu akan berurusan dengan bentuk, titik, garis, cahaya, warna.

Dalam fotografi, nah ini kita akan berurusan dengan: black and white tonal range, jadi ada tonal range, ada kontras subjek, kontras film, kontras negatif, kertas film, bla-bla-bla... point of view, lensa, sudut, butirnya, depth of field, nah ini pelajaran fotografi kamu tahu ya? Nah ini kamu akan masuk ke Cilincing, ini contoh foto-foto saya yang apa? Sangat meniru pada Salgado, jadi , nah ini kamu tahu, ada di buku ini di cilincing, saya semua,

Nah sekarang apa estetika banal?

Ini dasar berpijaknya dulu ya. Sementara

Fotografer umumnya berasal dari kelas menengah, klo ada dari kelas bawah nanti kita bahas, tap ini dsarnya dulu ya.

Fotografer=subyek yang dipotret=obyek

Bagaimana menurut kelas menengah dalam kehidupan sehari-hari yang banal/biasa

Nah ini ada wajah jakarta, nti deh kamu, kamu? ini,ini hanya gambaran saja supaya mudah. Nah sekarang pertanyaan.

Dari mana fotografi mendapatkan estetikanya? Selama ini? Kan orang jarang mempertanyakan itu

Coba kita lihat. Nah ini tadi contoh ya, ini adalah lukisan Sodom dan Gamora. Apa ciri khasnya? Satu, tiga orang di depan, satu orang ketinggalan dibelakang dan ini kota Sodom itu..

fotografer.

Kenapa? Kenapa dia tidak cukup proporsional, karena gak ada drama, saya datang dari kelas menengah, apa hebatnya kehidupan kelas menengah. Gak ada drama maka estetika seni rupa tadi tuh mengandalkan drama semuanya, kamu lihat tadi kan? Ada drama kan? Yesus mmati di salib, sodom dan gamora, semua drama, andalannya drama kalo gak ada drama, gak ada lukisannya, ngapain dilukis? Begitulah kejadiannya seni rupa. Sementara fotografi kan nggak apa saja bisa difoto kok, nah

Hubungan fotografer dengan yang dipotret lebih dialogis ketimbang Subyek-Obyek. Jadi yang kamu foto itu dialogis, Mencari pola-pola yang sintagmatik yang tepat/proporsional untuk menggambarkan yang paradigmatik,

Hubungan antara foto ini yang kamu cari, kamu mainin agar dia punya suatu yang paradigmatik. Paham ya Oke. Sintagmatik dan Paradigmatik dalam estetika Banal

Peristiwa banal yang paradigmatik, yang sintagmatik , ini yang sintagmatik ini yang kita cari estetikanya agar bisa menggambarkan peristiwa yang banal ini, nih ya,

Sekarang kita lihat unsur-unsur estetika itu apa aja? Dalam seni rupakan itu ada bentuk, titik, ya ini segala macem ini ya Dalam fotografi estetika banal apa yang bisa kita ulik yang bisa kita mainkan agar elemen-elemen bisa menciptakan sebuah yang paradigmatik tadi, lihat kita punya gerak, kita bisa memberhentikan gerak iya kan?

Komposisi yang mengejutkan yang diperoleh dari fitrah fotografi merekam dal kecepatan , nah sedetik, sepersekian detik orang gak pernah tahu, dulu orang melukis kuda itu, kalo lari kakinya masih ditanah gak ada empat-empatnya di atas, baru ketika Muybridge itu seorang fotografer yang, awal-awal abad 18 memotret bagaimana kuda berlari semua lukisan berubah ya, fotografi yang bisa mengajarkan itu, yang memberi tahu itu

Ketika kamu meneteskan satu tetes susu ke semangko susu waktu dia jatuh, pyaaar.. gitu ini membentuk mahkota, itu fotografi yang ngasih tahu orang gak pernah tahu, sampe sekarang orang menggunakan itu, ada banyak iklan-iklan yang pake itu.

Erik Prasetya : Street photography memang masih puber di seluruh dunia. Apakah bisa dibilang belum mature? Tidak tahu juga. Yang jelas street photography sekarang ini memang lagi hype. Semua orang bicara tentang street dan semua orang ingin menjadi bagian dari street photography.” “Saya agak mengambil jarak dalam memandang ini, saya coba melihatnya dari sisi di luar street photography. Kita tidak bisa melepaskan street photography ini dari industri kamera secara luas. Para produsen kamera sekarang ini tiap tahun

Dokumen terkait