• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai siklus hidup kutulilin pinus untuk mengetahui secara pasti waktu perkembangan dari setiap stadia kutulilin pinus.

2. Perlu dilakukan penelitian untuk mencari cara yang tepat dalam penanggulangan hama kutulilin pinus ini.

Annand PN. 1928. A Contribution Toward a Monograph of the Adelginae (Phylloxeridae) of North America. California: Stanford University Press. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga

Edisi Keenam. Partosoedjono S, penerjemah; Brotowidjoyo MD, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect Sixth Edition

CAB International. 2012. Pineus boerneri (pine woolly aphid). [terhubung berkala].http://www.cabi.org/isc/?compid=5&dsid=41319&loadmodule=d atasheet&page=481&site=144 [06 September 2012]

Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Manalu W, penerjemah; Safitri A, Simarmata L, Hardani HW, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : Biology, Fifth Edition.

Ciesla WM. 2011. Forest Entomology: A Global Perspective. UK: Blackwell Publishing.

[Dephut] Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1990. Teknik pembuatan tanaman Pinus merkusii. [terhubung berkala]. http://www.gogreen.web.id/2008/06/jual-biji-benih-pinus-cara-budidaya.html [04 September 2012].

Dukas R. 2008. Evolutionary biology of insect learning. Annual Review of Entomology 53:145-160.

Hidayat J, Hansen CP. 2001. Informasi Singkat Benih: Pinus merkusii Jungh. et de Vries. Bandung: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Hidayat P. 2008. Diktat Kuliah Entomologi Umum. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Iriando SJS. 2011. Penyebaran serangan kutulilin pinus (pineus boerneri) pada tegakan pinus (pinus merkusii) (studi kasus di KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Istomo, Kusmana C, Roswandi S. 2000. Kajian faktor lingkungan fisik pinus merkusii jungh et de vries ras Kerinci di resort KSDA Bukit Tapan, Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Media Konservasi 7(1):9-15.

Laela. 2008. Pengendalian hama dan penyakit tanaman kehutanan. [terhubung berkala].http://elqodar.multiply.com/journal/item/17/PENGENDALIAN_ HAMA_DAN_PENYAKIT_TANAMAN_KEHUTANAN?&show_interst itial=1&u=%2Fjournal%2Fitem [02 Januari 2012].

Laksmi DD. 2006. Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman pinus (Pinus merkusi) pada profil-profil yang berkembang dari bahan piroklastik dan lahar letusan Gunung Galunggung, Tasimalaya [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Nurhasybi, Kartiko HDP, Zanzibar M, Sudrajat DJ, Pramono AA, Buharman, Sudrajat, Suhariyanto. 2003. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia Jilid 1. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Simons A. 2009. Pinus merkusi.

Agroforestree database : a tree reference and selection guide version 4.0. [terhubung berkala]. http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/ [23 Desember 2011].

Pandit IK, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu sebagai Bahan Baku. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Perhutani, 2012. Perhutani sadap getah pinus di hutan Bali. [terhubung berkala]. http://perumperhutani.com/2012/04/perhutani-sadap-getah-pinus-di-hutan-bali/ [06 September 2012]

Pracaya. 2008. Hama dan Penyakit Tanaman. Depok: Penebar Swadaya.

Putra NS. 2011. Hubungan mesra antara serangga dan tumbuhan. [terhubung berkala]. http://majalahserangga.wordpress.com/2011/07/29/hubungan-mesra-antara-serangga-dan-tumbuhan/ [25 Maret 2012].

Rahmi H. 2009. Hubungan serangga dan tanaman inang. [terhubung berkala]. http://hadianiarrahmi.wordpress.com/2009/10/27/hubungan-serangga-dan-tanaman-inang/ [25 Maret 2012].

Rustini. 2004. Pembuatan briket arang dari serbuk gergajian kayu pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) dengan penambahan tempurung kelapa [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Senjaya YA, Surakusumah W. 2010. Potensi ekstrak daun pinus sebagai bioherbisida penghambat perkecambahan Echinochloa colonum L. dan Amaranthus viridis [laporan penelitian]. Bandung: Fakultas Matematika dan IPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Siregar EBM. 2005. Pemuliaan Pinus merkusii. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Suhaendi H. 2006. Kajian teknik konservasi Pinus merkusii strain Kerinci. Di dalam: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Padang, 20 Sep 2006. hlm 99-110.

Suhendang E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus merkusii Jungh. et de vriese di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suryatmojo. 2006. Peran hutan sebagai penyedia jasa lingkungan. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Suseno OH, Hardiyanto EB, Na’iem M. 1994. Sejarah pembangunan kebun benih Pinus merkusii di Jawa. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Wylie FR, Speight MR. 2012. Insect Pest in Tropical Forestry 2nd Edition. UK: CPI Group.

Lampiran 1 Jumlah penghitungan lapisan lilin pada bibit selama 60 hari Metode Penularan Tempel

Asal Bibit Jombang Ringan Jombang Sedang Jombang Berat Lawu DS Ringan Lawu DS Sedang Lawu DS Berat Pasuruan Ringan Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 A 0 0 0 0 0 4 1 0 10 0 0 0 0 0 0 0 11 3 0 0 0 T 1 2 1 3 1 1 1 0 2 6 1 0 0 2 0 0 11 0 8 2 15 B 1 2 0 3 0 24 0 0 0 11 23 4 0 0 0 0 10 1 0 0 4 Asal Bibit Pasuruan

Sedang Pasuruan Berat Kediri Ringan Kediri Sedang

Kediri Berat Probolinggo Sedang Probolinggo Berat Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 A 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 2 3 4 T 9 12 6 16 0 0 0 23 0 0 5 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 B 2 16 85 9 12 2 0 18 2 2 1 1 4 16 0 3 0 0 0 0 5

Metode Penularan Langsung Asal Bibit Jombang

Ringan Jombang Sedang Jombang Berat Lawu DS Ringan Lawu DS Sedang Lawu DS Berat Pasuruan Ringan Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 A 0 0 0 0 0 4 1 0 10 0 0 0 0 0 0 0 11 3 0 0 0 T 1 2 1 3 1 1 1 0 2 6 1 0 0 2 0 0 11 0 8 2 15 B 1 2 0 3 0 24 0 0 0 11 23 4 0 0 0 0 10 1 0 0 4 Asal Bibit Jombang

Ringan Jombang Sedang Jombang Berat Lawu DS Ringan Lawu DS Sedang Lawu DS Berat Pasuruan Ringan Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 A 0 0 0 0 0 4 1 0 10 0 0 0 0 0 0 0 11 3 0 0 0 T 1 2 1 3 1 1 1 0 2 6 1 0 0 2 0 0 11 0 8 2 15 B 1 2 0 3 0 24 0 0 0 11 23 4 0 0 0 0 10 1 0 0 4 Huruf kapital A, T, dan B menunjukkan bagian bibit; A=Atas; T=Tengah; B=Bawah

Lampiran 2 Hasil sidik ragam

Tabel 7 Sidik ragam rata-rata jumlah lapisan lilin pada bibit berdasarkan asal tularan dan bagiannya, dengan metode penularan tempel

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig. Asal Bibit 1353.738 13 104.134 5.072 .000 Bagian 100.905 2 50.452 2.458 .105 Error 533.762 26 20.529 Corrected Total 1988.405 41

Tabel 8 Sidik ragam rata-rata jumlah lapisan lilin pada bibit berdasarkan asal tularan dan bagiannya, dengan metode penularan langsung

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig. Asal Bibit 3715.810 13 285.832 2.706 .015 Bagian 352.333 2 176.167 1.668 .208 Error 2746.333 26 105.628 Corrected Total 6814.476 41

Tabel 9 Sidik ragam rata-rata jumlah individu kutulilin pinus per cm² pada tiap-tiap stadia dan tingkat serangan

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig. Stadia 308.904 5 61.781 4.523 .002 Tingkat Serangan 646.252 2 323.126 23.656 .000 Error 628.324 46 13.659 Corrected Total 1583.479 53

ABSTRACT

SAID FIRMAN FURQAN. Attacks and Population of Pine Woolly Aphid (Pineus boerneri Annand.) on Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Supervised by OEMIJATI RACHMATSJAH.

Pinus Jungh. et de Vriese is the only native species of pine that grows in Indonesia, having various advantages (fast-growing, pioneering, and producing wood and sap) so that it is used as a plant for in various regions in Indonesia. The attacks of plant disturbing organisms (PDO) can reduce the function of forest. Today the problem of pine stands is the presence of pine woolly aphid attacks that can cause the tree death. The objectives of this study were (1) to examine the behavior of pine woolly aphid attack, and (2) to determine the number of individuals in the population of pine woolly aphid based on three types of attack (mild, moderate, and severe). The experiment used in this study was a randomized group. The difference in the number of lice on the observations by the method of sticking transmission and direct transmission was then tested with the variance analysis using SPSS 16.0 software. The result was that the pine woolly aphid attack on the seedlings of P. merkusii did not significantly affect the upper, middle, or bottom parts of seedlings. The attacks tended to occur evenly on the three parts. Furthermore, in counting the number of individuals in the pine woolly aphid population, it was found that the type of attacks had significantly different effects on the number of individuals on infected plants. The more severe the attack, the higher the number of individuals would be in the population of pine woolly aphid.

RINGKASAN

SAID FIRMAN FURQAN. Perilaku Serangan dan Jumlah Populasi Kutulilin Pinus (Pineus boerneri Annand.) pada Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Dibimbing oleh OEMIJATI RACHMATSJAH.

Pinus merkusii Jungh. et de Vriese adalah satu-satunya spesies pinus yang tumbuh asli di Indonesia, dengan berbagai keunggulan (cepat tumbuh, pionir, dan menghasilkan kayu dan getah), sehingga digunakan sebagai tanaman reboisasi dan penghijauan di berbagai wilayah di Indonesia. Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat menurunkan fungsi hutan. Saat ini yang menjadi masalah pada tegakan pinus adalah adanya serangan kutulilin pinus yang dapat menyebabkan kematian pohon.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mempelajari perilaku serangan kutulilin pinus, (2) Untuk mengetahui jumlah individu kutulilin pinus dalam populasi dari 3 kriteria serangan (ringan, sedang, dan berat). Penelitian dilakukan dengan menularkan kutulilin pinus yang berasal dari 5 KPH di Jawa Timur. Kutulilin pinus tersebut ditularkan dari cabang pohon pinus yang terserang dari semua tingkat serangan yang berasal dari masing-masing KPH. Penularan dilakukan pada bibit sehat yang berumur 6 bulan dengan dua metode, yaitu metode penularan dari bagian pohon terserang dan penularan langsung dengan kutu hidup. Penularan dilakukan dengan menempelkan cabang pinus yang terserang kutulilin pinus dari tiap tingkat serangan dan masing-masing KPH sepanjang 5cm, penularan dilakukan pada 3 bibit sehat. Penularan langsung dilakukan dengan mengambil lilin pada cabang pinus yang terserang kutulilin pinus dari tiap tingkat serangan dan masing-masing KPH sebesar 1mm dan diletakkan pada ketiak daun bibit pinus, penularan ini juga dilakukan pada 3 bibit sehat. Selanjutnya, metode penghitungan jumlah individu dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada cabang yang berasal dari Sumedang, yaitu cabang yang tertular kutulilin pinus dari 3 kriteria serangan, kemudian setiap cabang dihitung jumlah seluruh telur dan kutu yang hidup tiap stadianya.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perbedaan jumlah kutu pada pengamatan dengan metode penularan tempel dan penularan langsung kemudian diuji dengan sidik ragam menggunakan software SPSS 16.0. Hasil yang diperoleh ialah serangan kutulilin pinus pada bibit P. merkusii tidak berpengaruh nyata terhadap bagian bibit atas, tengah, atau bawah. Serangan yang terjadi cenderung merata pada ketiga bagian tersebut. Selanjutnya, pada penghitungan jumlah individu kutulilin pinus dalam populasi, kriteria serangan memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah individu pada tanaman terserang. Semakin berat serangan, maka semakin banyak jumlah individu kutulilin pinus dalam populasi tersebut.

1.1 Latar Belakang

Pinus dan sering disebut tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) adalah satu-satunya spesies pinus yang tumbuh asli di Indonesia. Pinus dibedakan menjadi tiga ras geografi (strain), yaitu (1) Strain Aceh, (2) Strain Tapanuli, dan (3) Strain Kerinci. Strain Aceh tumbuh alami di daerah terbuka (padang alang-alang yang sering disebut “blang”), menyebar dari Pegunungan Seulawah Agam ke Timur sampai Simalungun. Penyebaran di Tapanuli terdapat di Pegunungan Bukit Barisan ke selatan Danau Toba, terutama di Dolok Tusam dan Dolok Pardumahan, sedangkan strain Kerinci terdapat di Pegunungan Kerinci (Istomo et al. 2000). Tanaman pinus pada tahun 1970 dijadikan tanaman unggulan untuk reboisasi dan penghijauan sehingga tanaman ini sudah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Hal ini dikarenakan pinus mempunyai keistimewaan ialah sebagai pelindung tanah dan air, penghasil kayu dan getah, dan memiliki daya kompetitif yang besar terhadap tumbuhan lain di sekitarnya (Senjaya dan Surakusumah 2010). Selain itu, pohon pinus juga berguna dalam menyerap karbon, penghasil oksigen, jasa wisata alam, dan biodiversitas (Suryatmojo 2006),

Keistimewaan lain dari pohon pinus adalah hampir semua bagian pohon pinus dapat dimanfaatkan, sedangkan bagian kulit dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan untuk bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium, ekstrak daun pinus mempunyai potensi sebagai bioherbisida untuk mengontrol pertumbuhan gulma pada tanaman. Getah pinus yang diolah menghasilkan gondorukem, gondorukem dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat sabun, resin dan cat, sedangkan terpentin digunakan untuk bahan industri parfum, obat-obatan, dan desinfektan. Produk kayunya menarik untuk digunakan sebagai bahan membuat furniture karena kayu yang dihasilkan mempunyai warna yang bersih dan putih kekuningan, selain itu juga digunakan untuk membuat bangunan rumah, lantai, kotak dan tangkai korek api, pulp, papan

wol kayu, kayu lapis, serta dapat digunakan untuk konstruksi ringan (Senjaya dan Surakusumah 2010).

Pinus tidak terlepas dari serangan hama. Hama yang menyerang tanaman pinus saat ini adalah kutulilin pinus (Pineus boerneri). Hama kutulilin pinus menyerang tanaman pinus pada semua tingkat umur. Kutu ini mengisap cairan pohon, terutama di pucuk-pucuk tajuk pinus. Tanda-tanda adanya serangan kutulilin pinus dapat dilihat berupa adanya lapisan putih menempel pada pangkal daun di pucuk-pucuk ranting pinus, lapisan putih ini dihasikan dari kelenjar-kelanjar lilin yang terdapat pada tubuh kutulilin pinus. Pucuk yang terserang daunnya menguning, kemudian daun dan pucuk menjadi kering. Kondisi tersebut dalam skala yang luas akan menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas produk dari kayu pinus sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mempelajari perilaku serangan kutulilin pinus pada tanaman pinus (seedling), (2) Untuk mengetahui jumlah individu kutulilin pinus pada 3 kriteria serangan (ringan, sedang, dan berat).

1.3 Manfaat

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai perilaku dan jumlah populasi dari 3 kriteria serangan kutulilin pinus.

2.1 Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) 2.1.1 Klasifikasi dan Botani

Klasifikasi dari tumbuhan pinus adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Gymnospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Coniferales Famili : Pinaceae Genus : Pinus

Spesies : merkusii Jungh. at de Vriese

Pinus pertama kali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani dari Jerman Dr. FR Junghuhn pada tahun 1841. Spesies ini tergolong spesies cepat tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan tempat tumbuh secara khusus, merupakan satu satunya spesies pinus yang menyebar alami ke Selatan khatulistiwa sampai melewati 2°LS. Tanda-tanda khusus dari pohon pinus adalah tidak berbanir, kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam (Siregar 2005). Ciri lain dari pohon pinus ialah pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan pinus dewasa dapat mencapai tinggi 30 m dan diameter 60–80 cm, sedangkan tegakan tua dapat mencapai tinggi 45 m dan diameter 140 cm (Hidayat dan Hansen 2001).

Pohon pinus berbunga dan berbuah sepanjang tahun, terutama pada bulan Juli-November (Siregar 2005). Pohon pinus berumah satu dengan bunga berkelamin tunggal, bunga jantan dan betina berada dalam satu tunas, buah pinus berbentuk kerucut, silindris dengan panjang 5–10 cm dan lebar 2–4 cm, lebar setelah terbuka lebih dari 10 cm, dan benih pinus memiliki sayap yang dihasilkan dari dasar setiap sisik buah. Setiap sisik menghasilkan 2 benih dengan panjang sayap 22–30 mm dan lebar 5–8 mm, dalam satu strobilus buah umumnya terdapat

35–40 benih per kerucut dengan jumlah benih 50.000–60.000 benih per kg (Hidayat dan Hansen 2001).

Kayu pinus memiliki berat jenis rata-rata 0,55 dan termasuk kelas kuat III serta kelas awet IV (Siregar 2005). Kayu pinus memiliki ciri warna teras yang sukar dibedakan dengan gubalnya, kecuali pada pohon berumur tua, terasnya berwarna kuning kemerahan, sedangkan gubalnya berwarna putih krem. Pinus merupakan pohon yang tidak berpori namun mempunyai saluran dammar aksial yang menyerupai pori dan tidak mempunyai dinding sel yang jelas. Permukaan radial dan tangensial pinus mempunyai corak yang disebabkan karena perbedaan struktur kayu awal dan kayu akhirnya, sehingga terkesan ada pola dekoratif. Riap tumbuh pada pinus agak jelas terutama pada pohon-pohon yang berumur tua, pada penampang lintang kelihatan seperti lingkaran-lingkaran (Pandit dan Ramdan 2002).

Daun pinus terdapat 2 jarum dalam satu ikatan dengan panjang 16–25 cm (Hidayat dan Hansen 2001), akan gugur dan menjadi serasah. Serasah pinus merupakan serasah daun jarum yang mempunyai kandungan lignin dan ekstraktif tinggi serta bersifat asam, sehingga sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme. Serasah pinus akan terdekomposisi secara alami dalam waktu 8–9 tahun (Siregar 2005).

2.1.2 Penyebaran

P. merkusii menyebar di kawasan Asia Tenggara yaitu di Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia (Sumatera), dan Filipina (P. Luzon dan Mindoro). Pinus yang tumbuh di Pulau Hainan (China) diperkirakan hasil penanaman. Pinus tumbuh pada ketinggian 30–1.800 mdpl pada berbagai tipe tanah dan iklim, serta menyebar pada 23ºLU–2ºLS dengan suhu tahunan rata-rata 19–28ºC. Tegakan alami pinus di Indonesia terdapat di Sumatera bagian Utara (Aceh, Tapanuli, dan Kerinci) (Hidayat dan Hansen 2001), sehingga secara alami, tegakan pinus dapat dibagi ke dalam tiga strain, yaitu :

1. Strain Aceh, penyebarannya dari pegunungan Seulawah Agam sampai sekitar Taman Nasional Gunung Leuser. Dari sini menyebar ke selatan mengikuti Pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar,

Uwak, Blangkejeren sampai ke Kutacane. Di daerah ini, tegakan pinus pada umumnya terdapat pada ketinggian 800–2000 mdpl.

2. Strain Tapanuli, menyebar di daerah Tapanuli ke selatan Danau Toba. Tegakan pinus alami yang umum terdapat di pegunungan Dolok Tusam dan Dolok Pardomuan. Di pegunungan Dolok Saut, pinus bercampur dengan jenis daun lebar. Di daerah ini tegakan pinus terdapat pada ketinggian 1000–1500 mdpl.

3. Strain Kerinci, menyebar di sekitar pegunungan Kerinci. Tegakan pinus alami yang luas terdapat antar Bukit Tapan dan Sungai Penuh. Di daerah ini tegakan pinus tumbuh secara alami umumnya pada ketinggian 1500–2000 mdpl (Siregar 2005).

Sifat yang menonjol dari pinus ini adalah sifat kepionirannya dimana pinus tidak memerlukan persyaratan istimewa untuk tumbuh dan dapat tumbuh pada semua jenis tanah, pada tanah yang kurang subur, dan pada tanah berpasir dan berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang becek. Selain itu pinus memiliki daya toleransi luas dalam pertumbuhannya dan dapat tumbuh cukup baik pada padang alang-alang (Martawijaya et al, 1989 dalam Laksmi 2006).

Benih pinus yang ditanam di berbagai wilayah di Indonesia berasal dari Aceh, yaitu dari Blangkejeren, sedangkan strain Tapanuli dan strain Kerinci belum banyak dikembangkan. P. merkusii asal Tapanuli pernah dicoba ditanam di Aek Nauli, tetapi karena serangan Miliona basalis akhirnya tidak dilanjutkan pengembangannya. Menurut Siregar (2005), ketiga strain ini mempunyai banyak kelebihan atau perbedaan baik sifat maupun pertumbuhan pohon. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pernah membuat tanaman strain Kerinci dalam rangka program Gerakan Reboisasi Lahan (Gerhan) dengan menggunakan 2.000 anakan alam yang diambil secara cabutan di Bukit Tapan, Kecamatan Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, tapi hampir semua tanaman tersebut mati (Suhaendi 2007).

2.1.3 Teknik Silvikultur

Pembibitan pinus diawali dengan pengadaan biji, biji pinus akan mempunyai viabilitas dan daya kecambah tinggi apabila diambil dari kerucut yang sudah masak dengan ciri-ciri berwarna hijau kecoklatan dan sisik kerucut yang

telah mulai melebar. Pengumpulan buah dapat dilakukan setiap tahun, karena pohon pinus berbuah setiap tahun. Biji kering berisi antara 45.000–60.000 butir setiap kilogramnya. Sebelum ditabur terlebih dahulu dilakukan seleksi biji, biji yang baik mempunyai ciri-ciri warna kulit biji kuning kecoklatan dengan bintik-bintik hitam, bentuk biji bulat, padat, dan tidak mengkerut. Penyeleksian biji dilakukan dengan cara direndam dalam, biji yang baik ialah biji yang tenggelam. Lama perendaman biji yaitu 3–4 jam di dalam air dingin sebelum ditabur (Dephut 1990).

Penaburan biji dilakukan dengan memperhatikan media yang bebas dari hama-penyakit (steril). Bahan campuran media berupa pasir dan tanah (humus) dengan perbandingan 1:2. Media yang telah siap dimasukkan ke dalam bak plastik setinggi ±5cm. Benih-benih yang terpilih kemudian ditaburkan ke dalam bak tabur dan ditutup kembali dengan media tabur. Setelah 10–15 hari, benih akan berkecambah. Proses perkecambahan berlangsung sampai satu bulan. Setelah bibit berumur 5–8 minggu di bak tabur kemudian dilakukan penyapihan. Sebelumnya terlebih dahulu disiapkan kantong plastik (polibag) yang berisi media tumbuh. Media tumbuh untuk tingkat semai pinus yang paling baik baik adalah campuran dari tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan 7:2:1 dengan penambahan pupuk NPK sebanyak 0,25 gram per 300 gram media. (Dephut 1990).

Kegiatan pemeliharaan semai perlu dilakukan, yaitu penyiraman secara hati-hati, dan untuk menghindari damping off perlu dilakukan penyemprotan dengan fungisida. Gangguan semai oleh rumput-rumput liar, serangga maupun penyakit perlu dihindari, oleh karena itu kebersihan persemaian sangat menunjang keberhasilan bibit yang disapih (Dephut 1990).

Sebelum melaksanakan penanaman, perlu dilakukan persiapan, antara lain (1) pembersihan lapangan dari tumbuhan pengganggu, (2) pengolahan tanah, (3) pemasangan ajir, dan (4) pembuatan lubang tanaman. Pada saat bibit akan ditanam, kantong plastik dilepas secara hati-hati supaya media tumbuh tetap utuh, kemudian bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam dan ditutup kembali dengan tanah dan dipadatkan. Penanaman dilakukan pada permulaan musim penghujan, setelah curah hujan cukup merata (Dephut 1990).

Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan maksud agar tanaman muda mampu tumbuh menjadi tegakan akhir dengan kerapatan dan tingkat pertumbuhan yang diharapkan. Kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan gulma, pendangiran, pemberantasan hama dan penyakit, penjarangan, dan pengendalian api dan kebakaran (Dephut 1990).

Pohon pinus termasuk ke dalam kelompok pohon cepat tumbuh dengan daur berkisar antara 20–35 tahun. Pada umur ini, kadar selulosanya mencapai titik tertinggi yaitu 51,57%–54,67% dari berat kering. Pinus yang diperuntukkan sebagai kayu pertukangan, digunakan pinus yang memiliki riap 16 m3/ha per tahun dengan daur 30 tahun. Sedangkan pinus yang ditujukan untuk bahan pulp, digunakan pinus yang memiliki riap 18 m3/ha per tahun dengan daur 10–15 tahun (Suhendang 1990). Getah pinus dapat diproduksi setelah pinus berumur 10 tahun, dengan produksi per tahun mencapai 0,4 ton per hektar (Perhutani 2012).

Dokumen terkait