• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

1.

Kepada PT Perkebunan Nusantara III

Dengan menerapkan sistem RSPO tingkat ekspor CPO meningkat, tetapi perlu diperhatikan bahwa biaya produk yang dikeluarkan juga semakin besar, dengan demikian pendapatan yang dihasilkan tidak berbeda dengan sebelum penerapan RSPO.

2. Kepada Pemerintah

Pemerintah sebaiknya membuat peraturan yang sasarannya melindungi perusahaan industri kelapa sawit dalam negeri. Indonesia merupakan negara pengekspor terbesar di dunia tetapi harus terhambat dengan adanya RSPO yang jelas-jelas dibuat dan di atur oleh negara lain. Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan aturan dan prinsip yang telah di buat oleh pemerintah Indonesia maka diharapkan kedepannya ISPO dapat diterima oleh dunia yang berlaku sejak Maret 2012 lalu, dan diharapkan biaya untuk membuat sertifikat ISPO tidaklah sebesar membuat sertifikat RSPO sehingga petani rakyat dapat terjangkau dalam membuat sertifikat ISPO dan produk CPO dari petani rakyat dapat diakui kualitasnya dan dapat di ekspor.

3. Kepada Peneliti

Perlu diadakan penelitian selanjutnya mengenai penerapan RSPO pada lima tahun sebelum dan sesudah bersertifikat RSPO dan peningkatan kinerja di PT Perkebunan Nusantara III.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Organisasi minyak kelapa sawit di tingkat global atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menyoroti peran Indonesia yang dinilai penting dalam meningkatkan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan, salah satunya terletak di Provinsi Sumatera Utara. Luas areal perkebunan yang ada di Sumatera Utara, apabila dibagi menurut pengusahaannya, maka areal perkebunan tersebut dibagi kepada tiga kelompok. Pertama, perkebunan rakyat seluas 815.071 hektar dengan produksi 2.829.280 ton. Kedua, perkebunan swasta seluas 425.551 hektar dengan produksi 4.934.556 ton. Sedangkan ketiga, lahan perkebunan PTPN seluas 388.534 hektar dengan produksi 4.461.398 ton (Dinas Perkebunan Sumut, 2009).

Sebagai salah satu produsen utama minyak sawit dunia, Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk terus berperan dalam pasar dunia. Pada dekade 1980-an ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia hanya ke Eropa Barat, tetapi beberapa tahun terakhir permintaan dari negara-negara lain seperti China, India, Pakistan, Myanmar, Kenya, Tansania, dan Afrika Selatan terus meningkat (Anonimous, 2010).

Standar-standar produk dan proses untuk kesehatan, kesejahteraan, kualitas, ukuran dan berbagai pengukuran dapat menciptakan hambatan perdagangan dengan menyingkirkan produk yang tidak memenuhi standar. Prosedur pengujian dan sertifikasi biasanya mahal, menyita waktu dan sulit

diterapkan. Standar seperti ini dapat dipergunakan untuk merintangi perdagangan (Simamora, 2000).

RSPO merupakan sebuah inisiatif yang dibuat oleh beragam pemangku kepentingan yang ingin mempromosikan produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan di seluruh dunia. Organisasi tersebut meliputi lebih dari 500 anggota termasuk perusahaan kebun kelapa sawit, perusahaan penyuling minyak, perusahaan manufaktur bahan konsumsi, retailer, investor, serta LSM sosial dan lingkungan. RSPO itu sendiri dimulai pada 2003 sebagai kerja sama informal antara Aarhus United UK Ltd, WWF (World Wildlife Fund), Golden Hope Plantations Berhad, Migros, the Malaysian Palm Oil Association, Sainsbury, dan Unilever. RSPO telah memiliki 525 anggota yang berasal dari produsen, manufaktur, perbankan, retail, NGO dan CPO trader. Dengan rincian, anggota ordinary berjumlah 451, anggota afiliasi sebanyak 84 dan Supply Chain Associates berjumlah 31 anggota (RSPO, 2011).

RSPO menetapkan standar produksi yakni 8 prinsip dan 39 kriteria RSPO dan mengawasi sistem sertifikasi yang menjaga seluruh rantai pasokan produk kelapa sawit berkelanjutan, aturan pemasaran memastikan bahwa perusahaan-perusahaan secara akurat menginformasikan kepada konsumen bahwa produksi mereka atau penggunaan kelapa sawit berkelanjutan. Kedelapan prinsip tersebut adalah:

1. Komitmen terhadap transparansi;

2. Memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku;

3. Komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang; 4. Penggunaan praktik terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik;

5. Tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati;

6. Tanggung jawab kepada pekerja, individu dan komunitas dari kebun dan pabrik;

7. Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab; dan

8. Komitmen terhadap perbaikan terus-menerus pada wilayah utama aktivitas. (Prinsip Dan Kriteria RSPO, 2011).

Anggota RSPO terdiri dari anggota biasa di tujuh sektor yang berbeda, Afiliasi Anggota dan Supply Chain Associates. Ketujuh sektor anggota biasa adalah produsen minyak sawit, pedagang dan pemroses minyak sawit, industri pengguna minyak sawit, pengecer, bank dan investor, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan dan bidang pembangunan dan sosial. Anggota RSPO dari Indonesia ada 88 yang terdiri dari Anggota Biasa, Afiliasi Anggota dan Supply Chains Associates namun perkebunan Indonesia yang telah memiliki sertifikat RSPO, antara lain PT Perkebunan Nusantara III, PT Socfindo, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, PT Tolan Tiga, Musim Mas Grup, PT BW Plantations Tbk, dan PT Hindoli, anak usaha Cargill Indonesia, PT Bakrie Sumatera Plantations dan PT Perkebunan Nusantara IV.

Dapat dilihat bahwa perusahaan perkebunan yang telah mendapatkan sertifikat RSPO adalah Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Perkebunan Rakyat sampai saat ini belum ada yang mendapatkan sertifikat RSPO karena sulit untuk mengurus sertifikasi dan mahalnya biaya sertifikasi. Anggota Biasa adalah setiap organisasi yang memiliki keterlibatan langsung dalam rantai pasokan minyak sawit, atau LSM yang terkait.

Anggota-anggota mempunyai hak suara di Majelis Umum dan dapat terbuka menyatakan bahwa mereka adalah anggota RSPO (Prinsip Dan Kriteria RSPO, 2011).

Anggota Afiliasi adalah individu atau organisasi dengan keterlibatan langsung atau kepentingan dalam rantai pasokan minyak sawit, tidak memiliki hak suara dan tidak memiliki hak untuk mengklaim mereka adalah anggota RSPO. Supply Chain Associates adalah organisasi-organisasi yang aktif dalam rantai pasokan minyak sawit bersertifikat RSPO yang tidak membeli produk kelapa sawit lebih dari 500 juta ton / tahun. Mereka tidak memiliki hak suara di Majelis Umum RSPO. Mereka diperbolehkan untuk publik negara mereka adalah anggota Asosiasi RSPO (Prinsip Dan Kriteria RSPO, 2011).

Biaya keanggotaan setiap tahun adalah Anggota Biasa: US$ 2660, Anggota Biasa (petani kecil <500 ha): US$ 665, Afiliasi Anggota: US$ 332, Supply Chain Associate: US$ 133. Adapun pembuatan sertifikat RSPO menelan biaya antara US$ 20-US$ 40 per ton (RSPO, 2011). Kekuatan harga sangat mempengaruhi intensitas pembelian pasar. Harga premium yang tidak terintegrasi dengan baik dapat berisiko menurunnya volume penjualan. Harga premium merupakan strategi penetapan harga dengan melakukan strategi diferensiasi untuk mencapai keunggulan kompetitif dengan menyediakan produk atau jasa yang memberikan kualitas unik yang diperlukan pelanggan. Harga premium dapat berjalan sepanjang pasar terdiri dari paling tidak dua kelompok pembeli, yaitu kelompok yang mementingkan mutu dan kelompok yang mementingkan harga.

2.2 Landasan Teori

2.2.1. Teori Biaya Produksi

Menurut Mubyarto (1994), biaya produksi dapat didefinisikan sebagai semua pengeluaran yang di lakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan di gunakan untuk menciptakan barang-barang yang di produksi perusahaan tersebut. Biaya produksi yang di keluarkan setiap perusahaan dapat di bedakan dalam dua jenis.

- Biaya Eksplisit

- Biaya Tersembunyi (Inpute Cost)

• Biaya Ekplisit yaitu : Semua pengeluaran untuk memperoleh faktor- faktor produksi dan input lain yang di bayar melalui pasaran (pembayaran berupa uang)

• Biaya Tersembunyi yaitu : pembayaran untuk keahlian keusahawanan produsen tersebut modalnya tersendiri yang di gunakan dalam perusahaan dan banguanan perusahaan yang di miliki Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya adalah: metode kerja, pekerja, lokasi, requirement alat, faktor satuan, budaya, komposisi sumberdaya yang dibutuhkan, pendefenisian lingkup pekerjaan, iklim, gempa bumi, badai, banjir, air pasang dan lain-lain (Mankiw, 2009).

2.2.2 Volume Penjualan

2.2.2.1 . Pengertian Penjualan

Menurut Basu Swastha DH (2004) penjualan adalah interaksi antara individu saling bertemu muka yang ditujukan untuk menciptakan, memperbaiki, menguasai atau mempertahankan hubungan pertukaran sehingga menguntungkan bagi pihak lain. Penjualan dapat diartikan juga sebagai usaha yang dilakukan manusia untuk menyampaikan barang bagi mereka yang memerlukan dengan imbalan uang menurut harga yang telah ditentukan atas persetujuan bersama.

2.2.2.2 Tujuan Penjualan

Kemampuan perusahaan dalam menjual produknya menentukan keberhasilan dalam mencari keuntungan, apabila perusahaan tidak mampu menjual maka perusahaan akan mengalami kerugian. Menurut Basu Swastha DH (2004) tujuan umum penjualan dalam perusahaan yaitu :

1) Mencapai volume penjualan 2) Mendapatkan laba tertentu

3) Menunjang pertumbuhan perusahaan

2.2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penjualan

Menurut Basu Swastha DH (2004) aktivitas penjualan banyak dipengaruhi oleh faktor yang dapat meningkatkan aktivitas perusahaan, oleh karena itu manajer penjualan perlu memperhatikan faktor-faktor yang

mempengaruhi penjualan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penjualan menurut Basu Swastha(2004) sebagai berikut :

1) Kondisi dan Kemampuan Penjual

Kondisi dan kemampuan terdiri dari pemahaman atas beberapa masalah penting yang berkaitan dengan produk yang dijual, jumlah dan sifat dari tenaga penjual adalah:

a) Jenis dan karakteristik barang atau jasa yang ditawarkan b) Harga produk atau jasa

c) Syarat penjualan, seperti: pembayaran, pengiriman 2) Kondisi Pasar

Pasar mempengaruhi kegiatan dalam transaksi penjualan baik sebagai kelompok pembeli atau penjual. Kondisi pasar dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni : jenis pasar, kelompok pembeli, daya beli, frekuensi pembelian serta keinginan dan kebutuhannya.

3) Modal

Modal atau dana sangat diperlukan dalam rangka untuk mengangkut barang dagangan ditempatkan atau untuk membesar usahanya. Modal perusahaan dalam penjelasan ini adalah modal kerja perusahaan yang digunakan untuk mencapai target penjualan yang dianggarkan, misalnya dalam menyelenggarakan stok produk dan dalam melaksanaan kegiatan penjualan memerlukan usaha seperti alat transportasi, tempat untuk menjual, usaha promosi dan sebagainya.

4) Kondisi Organisasi Perusahaan

Pada perusahan yang besar, biasanya masalah penjualan ini ditangani oleh bagian tersendiri, yaitu bagian penjualan yang dipegang oleh orang-orang yang ahli dibidang penjualan.

5) Faktor-faktor lain

Faktor-faktor lain seperti periklanan, peragaan, kampanye, dan pemberian hadiah sering mempengaruhi penjualan karena diharapkan dengan adanya faktor-faktor tersebut pembeli akan kembali membeli lagi barang yang sama.

2.2.2.4 Pengertian Volume Penjualan

Volume penjualan merupakan hasil akhir yang dicapai perusahaan dari hasil penjualan produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Volume penjualan tidak memisahkan secara tunai maupun kredit tetapi dihitung secara keseluruhan dari total yang dicapai. Seandainya volume penjualan meningkat dan biaya distribusi menurun maka tingkat pencapaian laba perusahaan meningkat tetapi sebaliknya bila volume penjualan menurun maka pencapaian laba perusahaan juga menurun.

2.2.3 Harga

Harga identik dengan harga karena pada umumnya harga merupakan faktor yang dominan yang akan menentukan pertimbangan bagi pembeli. Dapat dikatakan bahwa harga merupakan jumlah yang dibayarkan oleh pembeli atas

barang dan jasa yang ditawarkan oleh penjual. Harga mempunyai empat macam fungsi, yakni:

1. Sebagai pembayaran kepada lembaga saluran pemasaran atas jasa-jasa yang ditawarkannya.

2. Sebagai senjata dalam persaingan.

3. Sebagai alat untuk mengadakan komunikasi. 4. Sebagai alat pengawasan saluran pemasaran.

Penetapan harga merupakan keputusan penjualan yang sangat menentukan karena berpengaruh besar terhadap hasil penjualan (penerimaan). Pengaruh tersebut berlangsung dalam dua cara:

1. Harga sebagai komponen penerimaan mempunyai dampak atas penerimaan (Penerimaan = harga x kuantitas penjualan).

2. Tingkat harga itu sendiri sangat berpengaruh terhadap kuantitas penjualan yaitu melalui mekanisme fungsi permintaan.

Kedua cara ini akan menimbulkan komplikasi karena pengaruhnya saling bertentangan. Harga yang rendah menghasilkan pendapatan yang lebih kecil untuk setiap unit yang terjual tetapi biasanya mengakibatkan kuantitas penjualan yang meningkat, pengaruh sebaliknya akan terjadi akan terjadi apabila harga naik. Tentu saja, peningkatan kuantitas penjualan akan memperkecil biaya tetap per unit sampai mencapai skala produksi tertentu. Karena itu keputusan mengenai penetapan harga merupakan tantangan nyata bagi para manajer (Downey, 1992).

Menurut Mankiw (2009), perusahaan yang bertujuan untuk mencari laba, tidak akan terlepas pada penentuan harga jual, oleh sebab itu dalam penentuannya

turut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada tujuh faktor yang mempengaruhi dalam penentuan harga jual, yaitu sebagai berikut:

1. Keadaan perekonomian 2. Permintaan dan penawaran 3. Elastisitas permintaan 4. Persaingan 5. Biaya 6. Tujuan perusahaan 7. Pengawasan pemerintah 2.2.4. Pendapatan

Pendapatan adalah suatu ukuran balas jasa terhadap faktor-faktor produksi yang ikut dalam proses produksi. Pengukuran pendapatan untuk tiap-tiap jenis faktor produksi yang ikut dalam usaha tergantung kepada tujuannya (Prawirakusumo, 1990).

Dalam kegiatan perusahaan, pendapatan ditentukan dengan cara mengurangkan berbagai biaya yang dikeluarkan dari hasil penjualan yang diperoleh. Apabila hasil penjualan yang diperoleh dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan produsen nilainya adalah positif maka diperolehlah pendapatan. Pendapatan merupakan keuntungan yang diperoleh para pengusaha sebagai pembayaran dari melakukan kegiatan-kegiatan seperti: menghadapi resiko ketidakpastian di masa yang akan datang, melakukan inovasi/pembaruan di dalam berbagai kegiatan ekonomi dan mewujudkan kekuasaan monopoli di dalam pasar (Sukirno, 1994).

Menurut Mankiw (2009), jumlah pendapatan yang diterima oleh suatu perusahaan sebagai hasil dari penjualan output disebut pendapatan total (Total Revenue-TR). Jumlah pengeluaran yang harus dilakukan suatu perusahaan untuk membeli input disebut biaya total (Total Cost-TC). Jadi, keuntungan (profit) dinyatakan sebagai pendapatan total dikurangi dengan biaya total. Dengan demikian,

Keuntungan = Pendapatan Total – Biaya Total

2.3 Kerangka Pemikiran

PT Perkebunan Nusantara III merupakan perkebunan yang telah menerapkan RSPO. Sebelum penerapan RSPO dilakukan perusahaan perkebunan ini melakukan proses produksi untuk menghasilkan CPO menggunakan berbagai kombinasi input. Di dalam proses produksi terdapat biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan jumlah output tertentu. Output yang dihasilkan berupa CPO yang akan dijual setelah proses produksi berlangsung. Setelah proses penjualan diperoleh penerimaan yang dihasilkan dari harga penjualan CPO dan jumlah CPO yang dijual . Lalu didapatkan jumlah pendapatan melalui selisih total penerimaan dengan total biaya produksi yang dikeluarkan. Setelah diterapkannya RSPO, terjadi penambahan dalam biaya produksi berupa biaya sertifikat RSPO tersebut. Akan tetapi akan terjadi juga perubahan terhadap harga, jumlah output, dan pendapatan yang lebih besar. Salah satu dampak yang terjadi akibat penerapan RSPO di PT Perkebunan Nusantara III adalah tingkat penjualan ekspor CPO yang diduga mengalami peningkatan.

Keterangan :

: Perbandingan : Ada pengaruh

Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran

2.4 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis yang dibuat berdasarkan landasan teori adalah sebagai berikut ini :

1. Ada perbedaan volume penjualan ekspor CPO, biaya produksi, harga dan pendapatan setelah bersertifikat RSPO.

2. Ada dampak positif dan negatif setelah penerapan RSPO.

PENERAPAN RSPO

SEBELUM PENERAPAN

Harga CPO

Volume penjualan ekpor CPO Biaya Produksi CPO

SESUDAH PENERAPAN

Harga CPO

Volume penjualan ekspor CPO Biaya Produksi CPO

Pendapatan Pendapatan

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pengembangan ekspansi perkebunan secara cepat memberikan dampak tekanan pada lingkungan, sedangkan pada perkebunan yang dikelolah dengan baik dan petani kecil kelapa sawit yang melayani sebagai model pertanian berkelanjutan, dalam hal kinerja ekonomi maupun tanggung jawab sosial dan lingkungan, ada kekhawatiran bahwa tidak semua minyak kelapa sawit selalu diproduksi secara berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggung-jawabkan (Thrupp, 1998).

Pengembangan perkebunan baru telah mengakibatkan konversi areal hutan dengan nilai konservasi tinggi dan telah mengancam keanekaragaman hayati yang kaya dalam ekosistem. Akibat permasalahan itu maka dibentuklah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Pada tanggal 8 April 2004, organisasi tersebut resmi didirikan yang berpusat di Zurich, Swiss dan Sekretariat berbasis di Kuala Lumpur dengan kantor Penghubung RSPO di Indonesia terletak di Jakarta.

Tabel 1. Konsumsi Minyak Dunia Berdasarkan Negara 2010-2011

Sumber : pecad.fas.usda.gov, 2012.

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat persentase penggunaan minyak kelapa sawit berdasarkan negara/wilayahnya. Indonesia merupakan salah satu negara pengkonsumsi minyak kelapa sawit yang besar dengan jumlah konsumsi sebesar 14% dari seluruh konsumsi dunia.

Tabel 2. Konsumsi Minyak Nabati Dunia Berdasarkan Jenisnya Tahun 1993 - 2012

Jenis Minyak Jumlah (%)

Sawit 21

Kedelai 19

Kanola 11

Bunga Matahari 9

Lainnya 40

Sumber : Oil world, 2012

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat konsumsi minyak nabati terbesar berasal dari minyak kelapa sawit dengan persentase sebesar 21%, kemudian diikuti dengan kedelai 19%, kanola 11%, bunga matahari 9%, dan beragam minyak lainnya dengan persentase gabungan sebesar 40%.

Didorong oleh semakin meningkat permintaan global untuk minyak nabati, beberapa dekade terakhir telah melihat ekspansi yang cepat dalam produksi dua minyak nabati utama, soya oil di Amerika Selatan dan minyak sawit di daerah tropis dan peregangan ke dalam sub-tropis. RSPO adalah asosiasi

non-Negara Jumlah (%) India 16 Indonesia 14 China 12 EU-27 10 Malaysia 7 Pakistan 4

profit yang menyatukan pihak-pihak terkait dari beberapa sektor dalam industri kelapa sawit, yakni produsen minyak kelapa sawit, pemroses atau pedagang kelapa sawit, bank dan investor, LSM lingkungan serta LSM sosial untuk mengembangkan dan menerapkan standar global untuk minyak kelapa sawit yang berkesinambungan.

Gambar 1. Pertumbuhan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1993 - 2012

Sumber : Oil world, 2012

Berdasarkan gambar 1 grafik pertumbuhan konsumsi minyak nabati diatas dapat di lihat bahwa tren pertumbuhan minyak nabati dunia kian meningkat setiap tahunnya. Hal ini terus menuntut pertumbuhan produksi untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan akan minyak tersebut.

Indonesia melalui Indonesian National Interpretation Working Group (RSPO INA-NIWG) telah menghasilkan Interpretasi Nasional Prinsip dan Kriteria untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan yang akan menjadi acuan perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam menerapkan prinsip pengelolaan yang

ramah lingkungan dan menjadi dasar sertifikasi minyak sawit di Indonesia. Perusahaan kelapa sawit memiliki peluang untuk disertifikasi berdasarkan prinsip dan kriteria tersebut serta mengakui (Klaim) hasil-hasil produksinya sebagai Certified Sustainable Palm Oil (CSPO). Pengakuan tersebut didasarkan atas kemampuan memenuhi seluruh persyaratan (Comply) RSPO-P&C yang ditunjukkan dengan peraihan sertifikat RSPO.

R

RSPO telah mendefinisikan cara berproduksi minyak sawit yang berkelanjutan adalah bila cara berproduksi tersebut memenuhi prinsip dan kriteria yang dikenal sebagai RSPO Principles and Criteria for Sustainable Palm Oil Production (RSPO-P&C).

oundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) merupakan sebuah wadah bagi berbagai pihak yang berkepentingan (Multistakeholders) yang bertujuan mempromosikan cara produksi, pengadaan dan penggunaan minyak sawit berkelanjutan (Sustainable Palm Oil - SPO). RSPO memberikan lingkungan dimana penghasil minyak sawit (Producers), Pedagang (Traders), Pengolah (Processors), Pengusaha Barang Konsumsi (Consumer Goods Manufacturers), Pedagang Eceran (Retailers), Bank, dan LSM Lingkungan dan Sosial dapat mendiskusikan dengan kedudukan sederajat cara berproduksi dan penggunaan minyak sawit berkelanjutan.

Kelapa sawit yang diproduksi kemudian diolah menjadi CPO (Crude Palm Oil) dan PKO (Palm Kernel Oil). CPO dan PKO ini kemudian dijual baik di dalam negeri (domestik) maupun di luar negeri (ekspor). Di pasar ekspor, minyak kelapa sawit merupakan salah satu dari minyak nabati. Data Oil World Report tahun 2009 menunjukkan bahwa untuk periode 2003-2006 produksi minyak sawit memiliki kontribusi terbesar terhadap minyak nabati dunia yaitu sebesar 39,06%. Disusul

minyak kanola (rapeseed) sebesar 25%, minyak kedelai sebesar 17,28%, minyak bunga matahari sebesar 9,67% dan minyak biji kapas sebesar 4,05%. Pada periode 2006-2009 kontribusi minyak sawit bahkan meningkat menjadi 57,57%

(MPOB, 2009).

Tabel 3. Produksi Perkebunan Besar Menurut Jenis Tanaman, Indonesia (Ton),1995- 2012

Thn Karet

Kering

Minyak

Sawit Biji Sawit Coklat Kopi Teh Kulit Kina

Gula Tebu 1) Tembakau 1) 1995 341,000 2,476,400 605,300 46,400 20,800 111,082 300 2,104,700 9,900 1996 334,600 2,569,500 626,600 46,800 26,500 132,000 400 2,160,100 7,100 1997 330,500 4,165,685 838,708 65,889 30,612 121,000 500 2,187,243 7,800 1998 332,570 4,585,846 917,169 60,925 28,530 132,682 400 1,928,744 7,700 1999 293,663 4,907,779 981,556 58,914 27,493 126,442 917 1,801,403 5,797 2000 375,819 5,094,855 1,018,971 57,725 28,265 123,120 792 1,780,130 6,312 2001 397,720 5,598,440 1,117,759 57,860 27,045 126,708 728 1,824,575 5,465 2002 403,712 6,195,605 1,209,723 48,245 26,740 120,421 635 1,901,326 5,340 2003 396,104 6,923,510 1,529,249 56,632 29,437 127,523 784 1,991,606 5,228 2004 403,800 8,479,262 1,861,965 54,921 29,159 125,514 740 2,051,642 2,679 2005 432,221 10,119,061 2,139,652 55,127 24,809 128,154 825 2,241,742 4,003 2006 554,634 10,961,756 2,363,147 67,200 28,900 115,436 800 2,307,000 4,200 2007 578,486 11,437,986 2,593,198 68,600 24,100 116,501 500 2,623,800 3,100 2008 586,081 12,477,752 2,829,201 62,913 28,074 114,689 400 2,668,428 2,614 2009 522,312 13,872,602 3,145,549 67,602 28,672 107,350 600 2,333,885 4,100 2010 541,491 14,038,148 3,183,066 65,147 29,012 100,066 719 2,288,735 3,369 2011* 602,404 14,632,406 3,317,813 44,821 23,704 96,559 426 2,126,669 2,863 2012* * 612,120 14,788,270 3,352,851 66,390 28,931 96,725 466 2,318,069 3,730 Sumber : BPS Indonesia, 2012

Melihat peluang pasar yang semakin besar Dinas Perkebunan juga turut memberikan dorongan untuk para produsen minyak kelapa sawit nasional untuk meningktakan produksinya. Hal ini terlihat dari pertumbuhan produksi yang signifikan dari setiap tahunnya seperti yang dipaparkan pada tabel distribusi tanaman perkebunan hingga tahun 2012. Indonesia juga kian menyusul ketertinggalan dan bersaing dengan Malaysia untuk menyuplai kebutuhan minyak kelapa sawit dunia seperti yang tertera pada gambar 2.

Gambar 2. Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia Terhadap Malaysia

Sumber : pecad.fas.usda.gov, 2012

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu komoditi yang sangat penting dalam mendorong perekonomian di Indonesia umumnya dan Sumatera Utara khususnya. Sebagai penghasil devisa negara, kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan ekspor minyak kelapa sawit . Hal tersebut didasarkan dengan adanya peningkatan yang sangat pesat pada beberapa karakter penting seperti luas areal, tingkat produksi Crude Palm Oil (CPO) dan kontribusi terhadap perekonomian nasional (Anonimous, 2010).

Tabel 4. Produksi Minyak Nabati Dunia Tahun 2006

Negara % *000 Tons Indonesia 44% 15900 Malaysia 43% 15881 Others 7% 2718 Thailand 2% 820 Nigeria 2% 815 Columbia 2% 711 Sumber : pecad.fas.usda.gov, 2012

Di pasar dunia khususnya Negara Uni Eropa, minyak sawit yang diproduksi harus berkelanjutan dan ramah lingkungan agar produknya dapat diterima oleh pasar internasional. Sertifikasi lestari RSPO berperan untuk menjembatani antara negara produsen dengan negara konsumen terkait pemenuhan isu lingkungan.

Pasar Uni Eropa merupakan pengekspor yang mengharuskan CPO yang masuk ke negaranya berasal dari perkebunan bersertifikat RSPO. Sertifikasi RSPO dapat dikatakan merupakan hambatan nontarif (kebijakan) dalam ekspor CPO. Dilihat dari volume ekspor CPO ke Uni Eropa yang semakin meningkat maka pilihan untuk melakukan sertifikasi terhadap perusahaan perkebunan bukanlah hal yang merugikan. Hal ini juga merupakan salah satu faktor perusahaan perkebunan mensertifikasi perkebunannya.

Ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan perusahaan perkebunan untuk mendapatkan sertifikat RSPO atau tidak mengurus sertifikasi RSPO. Salah satu pertimbangan utama bagi perusahaan perkebunan untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan sertifikat RSPO adalah tingginya biaya baik untuk proses pemenuhan persyaratan maupun untuk pengurusan sertifikatnya. Biaya untuk pembuatan sertifikat yang besar tentunya mempengaruhi biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan perkebunan dalam memproduksi kelapa sawit berbeda dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh perkebunan tidak bersertifikat

Dokumen terkait