• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : DASAR PERTIMBANGAN JAKSA DALAM

C. Kendala-Kendala Dalam Prapenuntutan

Pemberian petunjuk dari penuntut umum kepada penyidik dalam rangka melengkapi BAP agar menjadi berkas perkara “hasil penyidikan yang lengkap” ditemui hambatan-hambatan atau kesulitan-kesulitan baik yang berasal dari kejaksaan maupun luar kejaksaan. Hambatan-hambatan tersebut dibedakan sebagai berikut:77

1. Hambatan internal atau dari dalam

Adalah kesulitan-kesulitan yang ditemui oleh Kejaksaan Negeri Medan dalam hal ini penuntut umum dalam mengadakan prapenuntutan yang timbul dari dalam tubuh kejaksaan itu sendiri. Hambatan tersebut adalah:

a. Prapenuntutan dibatasi oleh tenggang waktu yang jelas telah ditentukan oleh pembentukan undang. Disamping itu pembentuk

undang-77

undang tidak mengatur lebih lanjut kemungkinan apabila waktu yang tersedia dalam melakukan prapenuntutan tidak mencukupi.

b. Ketentuan berapa kali penyerahan BAP yang timbal balik tidak ditentukan, berakibat BAP tersebut menjadi mondar-mandir, berlarut-larut dari Kejaksaan Negeri Medan ke penyidik atau sebaliknya. Keadaan demikian didasarkan oleh karena Kejaksaan Negeri Medan setelah menerima dan meneliti BAP dari penyidik dan beranggapan bahwa hasil penyidikannya belum dianggap lengkap, maka Kejaksaan Negeri Medan harus mengembalikan BAP itu dimaksudkan untuk tidak terjadi kegagalan dalam melakukan penuntutan juga menghindari ketidakadilan dalam melaksanakan penuntutan yang akan dilakukannya.

2. Hambatan eksternal atau dari luar

Adalah kesulitan atau hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan prapenuntutan yang bukan berasal dari pihak Kejaksaan Negeri Medan, tetapi berasal dari pihak luar yaitu dari penyidik sendiri. Hambatan-hambatan tersebut antara lain:

a. Sering terjadi dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pengembalian BAP dari penuntut umum pihak penyidik belum mengembalikan berkas tersebut kepada Kejaksaan Negeri Medan dikarenakan penyidikan tambahan belum selesai.

b. Penyidik menilai bahwa tindakan Kejaksaan Negeri Medan tersebut dalam mengadakan prapenuntutan seolah-olah mengada-ada. Dalam hal ini

penyidik mengalami kesullitan untuk memenuhi petunjuk-petunjuk dari Kejaksaan Negeri Medan tersebut.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dari permasalahan dalam penelitian ini memberikan beberapa jawaban sebagai berikut:

1. Kejaksaan dalam melakukan tugas dan kewenangannya di bidang prapenuntutan, dituntut untuk bersikap independen. Tanpa indepedensi dari Kajaksaan maka akan sangat sulit mengharapkan indepedensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas, namun harus tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh penuntut umum. Dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, pada masa orde baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan sekarang berlaku Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Kedudukan Kejaksaan semakin mantap ketika masa orde lama bila dibanding dengan masa reformsi. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Dalam Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 justru Kejaksaan menjadi lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan di bidang yudikatif. Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa kekuasaan Kejaksaan

dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjaankan kekuasaan dan kewenangan dialakukan secara merdeka. Maka jelas bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang di bidang yudikatif, sehingga sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen. 2. Kejaksaan Negeri Medan dalam melakukan prapenuntutan berdasarkan

kepada adanya kesenjangan dalam BAP dari penyidik yang oleh jaksa dianggap kurang sesuai dengan fakta di lapangan. Berdasrkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.901.DPW.07.03 tentang Pelaksanaan KUHAP dimana disebutkan bahwa dalam prapenentutan, penuntut umum setelah menerima berkas perkara penyidikan dari penyidik dan berpendapat bahwa hasil penyidikan itu dianggap belum lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikannya kepada penyidik disertai petunjuk seperlunya dan dalam hal ini penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum, dan apabila penuntut umum dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak mengembalikan hasil penyidikan tersebut, maka penyidikan dianggap selesai. Dasar hukumnya dalam KUHAP adalah Pasal 109 ayat (1) KUHAP, penyidik jika telah mulai melakukan penyidikan, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum. Pasal 138 KUHAP, Kejaksaan harus mempelajari BAP dari penyidik selama 7 (tujuh) hari. Bila BAP tersebut belum lengkap, harus dikembalikan ke penyidik disertai dengan petunjuk-petunjuk selama 14 (empat belas) hari. Pasal 139

KUHAP, Kejaksaan segera menentukan apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan misalnya didukung oleh alat-alat bukti yang cukup dengan mempedomi Pasal 183 yang menentukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

B. Saran

Adapun yang menjadi saran dari penelitian ini menggambarkan beberapa harapan yaitu:

1. Diharapkan kepada Pemerintah dan anggota DPR agar segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Alasannya adalah karena UU Kejaksaan ini menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga eksekutif. Jika institusi Kejaksaan ditempatkan sebagai bagian dari lembaga eksekutif, maka sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen. Seharusnya kedudukan Kejaksaan ditempatkan sebagai bagian dari lembaga yudikatif. 2. Diharapkan pula agar KUHAP juga secepatnya direvisi khususnya mengenai

rentang waktu 14 (empat belas) hari bagi penyidik untuk memperbaiki BAP karena penyidik dalam menemukan bukti-bukti sangat tidak dimungkinkan dapat dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari tersebut.

BAB II

KEDUDUKAN DAN WEWENANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 1. Kedudukan Penuntut Umum Pada Masa HIR

Sewaktu pemerintahan jajahan Belanda mengundangkan IR (Inlandsch Reglement atau Reglemen Bumi Putra) dan RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie atau Reglemen Oraginsasi Peradilan). IR merumuskan antara lain merumuskan hukum acara pidana, sedangkan RO merumuskan badan penuntut umum pada pengadilan bumi putra maupun pengadilan golongan Eropa di Hindia Belanda.26

Setelah berkali-kali diubah dan ditambah, pada kahirnya tahun 1941, IR diganti menjadi HIR (Herziene Inlandsch Reglement atau Reglemen Bumi Putra yang Diperbaharui kemudian menjadi Reglemen Indonesia yang Diperbaharui). HIR mengatur hukum acara perdata dan hukum acara pidana untuk pengadilan-pengadilan bumi putra sedangkan jaksa (magistraat) pada pengadilan tersebut berada pada tangan resident atau asisten resident di kabupaten-kabupaten. Setiap

magistraat membawahi beberapa jaksa (bumi putra).

27

Menurut sistem HIR jaksa mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan (centralfigur) dalam pemeriksaan pendahuluan yang mencakup penyidikan (opsporing), penyidikan lanjutan (nasporing) dan melakukan

26

RM. Surachman., dan Andi Hamzah., Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 30.

penuntutan. Pada masa ini jaksa diberi tugas dan wewenang selaku lembaga (badan atau dinas) negara yang dinamakan openbaar ministeire (badan penuntut umum) yang mempunyai tugas pokok antara lain:28

1. Mempertahankan segala peraturan negara;

2. Melakukan penuntutan terhadap segala tindak pidana; dan 3. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.

Pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan tahap penyidikan atau pemeriksaan sebelum dimajukan di depan persidangan pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan dimaksudkan sebagai persiapan pemeriksaan di muka pengadilan, dan atas dasar pemeriksaan ini suatu tuntutan yang diajukan akan diputus oleh hakim. Dalam stadium pertama ini sifatnya masih dalam mencari-cari dan meraba-raba segala sesuatu dilakukan merupakan usaha untuk memperoleh jawaban sementara atas pernyataan apakah telah terjadi kejahatan, dan jika demikian siapa pelakunya dan dalam keadaan bagaimana kejahatan itu dilakukan.

Terhadap perbuatan pidana tersebut diadakan tindakan penyidikan dan jika perlu diadakan penyidikan lanjutan, dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari penyidikan dalam arti luas.

Tindakan pada pemeriksaan pendahuluan ini pertama-tama ditujukan pada pengumpulan alat-alat bukti. Alat-alat bukti yang dikumpulkan pertama-tama harus memungkinkan alat penuntutan, sehingga penuntutan umum dapat membentuk suatu permulaan keyakinan tentang hal-hal yang telah terjadi.

28

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dikenal HIR dan Rbg, dalam HIR Kejaksaan lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah pada saat itu, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van

Beberapa wewenang penuntut umum menurut HIR adalah sebagai berikut:29

1. Berdasarkan Pasal 46 HIR sebagai pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri, jaksa karena jabatannya bertugas mengusut dengan seksama, segala kejahatan dan pelanggaran serta menuntut agar si bersalah diadili oleh hakim;

2. Jika terdapat keterangan-keterangan yang cukup menunjukkan bahwa sitersangka itu bersalah sedangkan untuk kepentingan atau pemeriksaan perkaranya itu perlu ditahan, atau untuk menghindarkan ia akan mengulangi prerbuatannya itu, atau menjaga supaya ia tidak melarikan diri, maka jaksa dalam hal-hal tersebut berdasarkan Pasal 75 ayat (1) HIR dapat memerintahkan supaya tersangka itu ditahan;

3. Jaksa dapat dengan seijin hakim menggeledah rumah, bahkan dapat pula melakukan pemeriksaan surat-surat sesuai dengan Pasal 77 dan Pasal 78 HIR;

4. Dalam hal kedapatan tertangkap tangan, maka jaksa memerintahkan supaya orang yang diduga bersalah, agar ditahan dan dibawa kepadanya. Dan apabila dari keterangannya menunjukkan bahwa ia bersalah terhadap perbuatannya itu jaksa diperbolehkan mengadakan penahanan sementara, yang selanjutnya mengeluarkan perintah penahanan sementara demikian menurut ketentuan Pasal 64 HIR;

5. Berdasarkan Pasal 53 HIR pejabat kepolisian yang melakukan penyidikan bertindak sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat), sehingga apabila antara polisi dan jaksa bersamaan mengusut perkara, maka polisi menghentikan penyidikannya dan diserahkan ke jaksa.

Bila jaksa berpendapat bahwa hasil penyidikan perkara telah lengkap, maka ia memutuskan apakah ia menyimpangkan perkara (mendeponer) atau menuntut perkara itu dihadapan pengadilan. Dalam hal akan melakukan penuntutan maka dikirimnya berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan Negeri setempat.

Pada waktu berlakunya HIR khususnya di Jawa dan Madura (untuk luar jawa berlaku Rbg) kedudukan jaksa hanya sebagai adjust magistraat sedangkan

29

penuntut umumnya magistraat tetap di tangan asisten resident. Sikap dan praktek demikian tidak lepas dari latar belakang kolonialisme pada masa lalu.

2. Kedudukan Penuntut Umum Pada Masa Pemerintahan Jepang

Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, maka dengan ditawannya semua pegawai-pegawai Belanda, termasuk Asisten Residen, maka semua pekerjaan Asisten Residen di bidang penuntutan oleh pemerintah tentara Jepang diserahkan kepada jaksa dengan pangkat Thio Kensatsukan (Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri). Pada masa ini, Kejaksaan diberi kekuasaan ditugaskan untuk:30

1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran; 2. Menuntut perkara;

3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal; dan

4. Mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilaksanakan menurut hukum. Pada masa pendudukan Jepang tersebut, alat penuntut umum magistraat

dan officier van justitie (pada masa kolonial dan HIR) ditiadakan. Akan tetapi tugas dan wewenang para Jaksa dibebankan pada penuntut umum bumi putra di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan, seorang Jaksa Jepang. Dengan demikian Jaksa merupakan satu-satunya penuntut umum.

Seluruh Kejaksaan mula-mula ada di bawah perintah dan koordinasi

Sihoobucoo (Direktur Departemen Kehakiman) dan kemudian Cianbucoo

(Direktur Keamanan) dan untuk tingkat pusat disebut Gunseikanbu dan untuk tingkat daerah di kantor-kantor keresidenan disebuti Syuu.31

30

RM. Surachman., dan Andi Hamzah., Op. cit, hal. 40. dan Marwan Effendy., Op. cit, hal 65.

Sejak saat itu maka para jaksa telah benar-benar menjadi penuntut umum, dengan penentuan tugas untuk mencari kejahatan (pegawai penyidik), menuntut perkara (pegawai penuntut) dan menjalankan putusan hakim.

Keadaan demikian pada masa kedudukan Jepang merupakan suatu perkembangan yang sangat berarti. Oleh karena jabatan Asisten Residen dihapuskan, sehingga berakibat jaksa di daerah-daerah tidak lagi di bawah pemerintah langsung residen atau asisten residen tetapi melalui Kepala Kejaksaan Pengadilan stempat yang bertanggung jawab kepada Cianbucoo (Direktur Kemanan).

3. Kedudukan Penuntut Umum Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sisitem ketatanegaraan dapat dilihat sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan negara Indonesia melalui beberapa fase.

Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam struktur negara Republik Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Ini berarti bahwa secara yurudis formal Kejaksaan Republik Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Kedudukan Kejaksaan dalam struktur kenegaraan adalah selaku alat kekuasaan eksekutif dalam bidang yustisial yang sudah berakar sejak jaman kerajaan Majapahit, Mataram, Cirebon, serta pada masa penjajahan baik pada

pendudukan pemerintah Hindia Belanda maupun pada masa Jepang berkuasa di Indonesia.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, istilah Kejaksaan dipergunakan secara resmi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Balatentara Pendudukan Jepang, yang kemudian diganti dengan undang-undang Osamu Seirei

Nomor 3 Tahun 1942, Nomor 2 Tahun 1944, dan Nomor 49 Tahun 1944. Peraturan tersebut tetap dipergunakan dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945.32

Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan peraturan peralihan UUD 1945 jo Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, ketentuan yang digariskan dalam

Osamu Seirei Nomor 3 Tahun 1942 menegaskan bahwa jaksa yang menjadi satu-satunya pejabat penuntut umum tetap berlaku di negara Republik Indonesia setelah proklamasi.

Pada intinya bahwa kedudukan penuntut umum setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah sama dengan kedudukannya di jaman Hindia Belanda dan kedudukan Jepang. Dengan berdasarkan Pada II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menetapkan berlakunya ketentuan Undang-Undang maupun peraturan pemerintah lain sebelumnya.

B. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1961 diundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indoneia yang pada prinsipnya secara yuridis disebutkan bahwa fungsi penegakan hukum oleh kejaksaan tidak mengalami perubahan. Pengaturannya sama saja pengaturan Kejaksaan setelah Indonesia merdeka.

Menurut undang-undnag pokok kejaksaan tersebut, kejaksaan selain bertugas melakukan penuntutan juga berwenang mengadakan penyidikan tambahan atau lanjutan serta melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap alat-alat penyidik demikian ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 disebutkan, ”Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.”

Pada Pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa, ”Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.”

Adapun untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 tersebut, kejaksaan mempunyai tugas antara lain disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (4), disebutkan bahwa:

Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, Kejaksaan mempunyai tugas:

(1) Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada Pengadilan yang berwenang dan Menjalankan keputusan dan penetapan Hakim Pidana;

(2) Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara;

(3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara; dan

(4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan Negara.

Pada ayat (2) disebutkan bahwa jaksa berwenang mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan dengan alat-alat penyidik, menurut ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (waktu itu yang berlaku HIR) dan lain-lain peraturan Negara.

Pada ayat (3) ditentukan tugas Kejaksaan untuk mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Sedangkan pada ayat (4) ditentukan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh sesuatu peraturan negara.

Mengenai tugas yang disebutkan pada pasal 2 ayat (2) di atas, penjelasan outentik undang-undang tersebut (TLN 2289) mengatakan bahwa:33

”Untuk kesempurnaan tugas penuntutan jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-sejelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai dengan akhir, yang seluruhnya harus dilakukan atas dasar hukum. Hal ini ialah pada akhirnya segala tindakan petugas-petugas yang melakukan penyidikan adalah benar-benar berdasarkan hukum, akan diminta pertanggung jawabannya semua perlakuan terhadap terdakwa itu dari mula-mula terdakwa disidik, kemudian diperiksa perkaranya, lalu ditahan dan akhirnya apakah tuntutan-tuntutannya yang dilakukan oleh jaksa itu sah dan benar atau

33

tidak menurut hukum, sehingga benar-benar perasaan keadilan masyarakat dipenuhi. Demikianlah dapat dipahami pentingnya tidnakan jaksa dalam mengurus sesuatu perkara pidana dari sejak permulaan perkara itu diungkap sampai pada akhir pemeriksaan perkara itu, demi kepentingan hukum pihak-pihak yang bersangkutan. Maka untuk baiknya perkerjaan jaksa perlu sekali ikut serta mengawasi dan mengkoordinasikan penyidikan yang dilakukan oleh alat-alat penyidik untuk memperlancar penyelesaian perkara itu.”

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa tugas kejaksaan yang terutama adalah melakukan penuntutan di bidang peradilan pidana. Untuk mencapai kesempurnaan penyelesaian suatu perkara pidana baik mengenai perkaranya sendiri maupun mengenai cara-cara penyelesaiannya ataupun untuk kepentingan hukum orang yang kena perkara yang merupakan pedoman bagi para pejabat dalam mengerjakan perkara itu, maka jaksa perlu campur tangan di dalam segala tindakan penyelesaian perkara dari mula-mula perkara itu diungkap.

Jelasnya untuk kesempurnaan pemeriksaan perkara dalam keseluruhannya yang pada hakekatnya ditunjuk pada pekerjaan penuntutan perkara itu di sidang pengadilan, hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, jaksa diberi wewenang di bidang penyidikan.

Selanjutnya Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan tersebut pada ayat (1) ditentukan ”Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi.” Pada ayat (2) ditentukan bahwa untuk kepentingan penuntutan perkara Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam daerah hukumnya memberi petunjuk mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat penyidik dengan mengindahkan hirarki.

Penjelasan Otentik dari Pasal 7 di atas, khususnya mengenai ayat (2) berbunyi sebagai:34

C. Kedudukan Penuntut Umum Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP

”Penyidikan adalah sebenarnya merupakan tugas kehakiman (justitie taak). Pekerjaan mempunyai segi-segi yuridis, oleh karena kseluruhan pekerjaan penyidikan ini ditujukan kepada pekerjaan pada sidang pengadilan. Dalam hubungan ini dimana pada akhirnya jaksa yang menurut Undang-Undang harus mempertanggungjawabkan seluruh pekerjaan penyidikan perkara ini maka sudah sewajarnyalah bahwa jaksa dibebani pengawasan dan koordinasi alat-alat penyidik, demi kepentingan orang-orang yang kena perkara.”

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tersebut beserta penjelasannya menyebutkan bahwa, tugas kejaksaan terutama adalah penuntut di bidang pidana. Di samping itu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana dalam keseluruhannya yang pada hakekatnya ditujukan kepada pekerjaan penuntutan, maka jaksa juga mempunyai wewenang di bidang penyidikan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 yang menggantikan HIR menyebutkan bahwa tugas dan kewajiban jaksa ditentukan lain. Setelah berlakunya KUHAP terdapat pembagian tahapan tugas Kejaksaan yakni tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan. Tetapi KUHAP sendiri memuat kedua tahap ini dalam Bab Penuntutan yakni terdapat pada Bab XV.35

34

Ibid, hal. 684.

KUHAP mengenal tahap prapenuntutan, dimana KUHAP memperkenalkan tahapan sejak penuntut umum menerima BAP dari penyidik. Dalam waktu 7 (tujuh) hari Jaksa yang memeriksa BAP harus menentukan apakah BAP tersebut sudah lengkap atau belum. Lengkap, maksudnya adalah bahwa bukti-bukti dalam BAP cukup dan BAP tersebut juga disusun berdasarkan ketentuan KUHAP. Kalau penuntut umum berpendapat BAP itu belum lengkap, Kejaksaan harus mengembalikan kepada penyidik disertai dengan petunjuk-petunjuk.36

Dalam waktu 14 (empat belas) hari penyidik harus menyelesaikan penyidikan tambahan itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk penuntut penuntut umum.37

Sebaliknya, berkas perkara dianggap sudah lengkap apabila sejak penyerahan BAP tersebut, penuntut umum tidak mengembalikannya kepada penyidik.38

Berdasarkan bunyi beberapa pasal tersebut di atas, menunjukkan bahwa dalam KUHAP tersebut terdapat perubahan fundamental mengenai tugas-tugas Kejaksaan. Bila dalam perundang-undangan yang lama (HIR), jaksa atau penuntut umum bertugas sebagai penyidik, maka di dalam KUHAP berdasarkan Pasal 1 butir 7 tugas kejaksaan adalah dalam bidang penuntutan saja yaitu melimpahkan perkara pidana ke pengadilann negeri yang berwenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Sedangkan menurut butir

36

Pasal 110 ayat (2) junto Pasal 138, KUHAP. 37

6 huruf a dan b pasal tersebut jaksa melaksanakan keputusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan melaksankan penetapan hakim.

Penuntut umum tidak ditunjuk lagi sebagai pegawai penyidik oleh karena itu tugas penyidikan diserahan sepenuhnya kepada Kepolisian Negara sepanjang yang tidak menyangkut tindak pidana khusus.

Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang.

Menurut KUHAP penuntutan adalah tindakan untuk melimpahkan perkara

Dokumen terkait