• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Bagi dokter maupun tenaga kesehatan (operator) agar dapat mendokumentasikan data pasien lebih maksimal sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal untuk penelitian berikutnya.

Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas varibel penelitian mengenai penyakit vitiligo sehingga penelitian ini akan dapat terus dikembangkan.

Bagi dokter maupun tenaga kesehatan agar dapat mendokumentasikan data pasien lebih maksimal sehingga dapat memberikn hasil yang maksimal pula untuk penelitian selanjutnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vitiligo 2.1.1 Definisi

Kata vitiligo berasal dari bahasa latin, vitellus, yang memiliki arti 'veal' (pucat, merah jambu). Penyakit ini adalah penyakit yang depigmentasi terbatas yang didapat, dan ditemukan pada semua ras (Hunter et al., 2002). Kata vitiligo mungkin berasal dari bahasa Yunani, vitelius, yang berarti bercak putih pada lembu (Habif, 2003).

Vitiligo adalah kehilangan pigmen yang didapatkan dan ditegakkan dengan pemeriksaan histologi dimana didapati tidak adanya melanosit epidermal (Habif, 2003). Vitiligo adalah penyakit hipomelanosis idiopatik yang didapat dengan adanya gejala klinis berupa makula putih yang dapat meluas dan dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit, misalnya rambut dan mata (Soepardiman, 2011).

2.1.2 Etiologi dan Klasifikasi

Penyebab dari vitiligo belum diketahui dengan pasti dan terdapat berbagai faktor pencetus yang sering dilaporkan sebagai penyebab vitiligo, misalnya krisis ekonomi dan trauma fisis (Soepardiman, 2011).

Selain dilihat dari etiologinya, menurut Soepardiman dalam buku Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), vitiligo juga memiliki 2 bentuk yang memiliki

ciri khas masing-masing, yaitu:

1. Lokalisata, yang dapat dibagi lagi menjadi:

a. fokal: satu atau lebih makula pada satu area, namun tidak segmental,

b. segmental: satu atau lebih makula pada satu area dengan distribusi sesuai dermatom, misalnya pada satu tungkai,

2. Generalisata

Jarang penderita vitiligo lokalisata yang berubah menjadi generalisata. Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya simetris. Vitiligo generalisata dapat dibagi lagi menjadi:

a. akrofasial: depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka, yang merupakan stadium mula vitiligo generalisata,

b. vulgaris: makula tanpa pola tertentu di banyak tempat,

c. campuran: depigmentasi yang terjadi menyeluruh atau yang hampir menyeluruh dan disebut vitiligo total (Halder dan Taliaferro, 2008).

Vitiligo merupakan kelainan piogenik yang multifaktoral dengan patogenesis yang rumit. Walaupun beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan hilangnya melanosit pada epidermal di vitiligo, penyebab utama vitiligo masih belum diketahui. Perkembangan yang pesat telah terjadi pada 2 dekade yang lalu. Teori yang berkaitan dengan vitiligo adalah autoimun, sitotoksik, oksidan-antioksidan biokimia, neural, dan mekanisme virus yang merusak melanosit epidermal. Banyak studi juga menyatakan bahwa peran genetik sangat signifikan pada kasus vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008). Vitiligo dan beberapa penyakit autoimun lainnya dilaporkan berhubungan dengan adanya infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Seyedalinahi et al., 2009).

Ada juga pengaruh genetik pada kejadian munculnya vitiligo yakni ditandai dengan penetrasi yang tidak sempurna, berbagai tempat yang rentan, dan jenis genetik yang beragam. Vitiligo yang diturunkan bisa melibatkan gen yang berhubungan dengan biosintesis melanin, pengaruh oksidatif stress, dan regulasi dari autoimun (Halder dan Taliaferro, 2008).

Hubungan yang paling sering antara vitiligo dengan penyakit autoimun berdasarkan hasil pemeriksaan bahwa terdapat hubungan HLA dengan vitiligo. Beberapa jenis HLA dengan vitiligo pada berbagai studi termasuk A2, DR4, DR7, dan Cw6 (Halder dan Taliaferro, 2008).

Hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun dengan baik telah diketahui. Tiroid disorder, Hashimoto tiroiditis dan penyakit Graves, sangat

sering berkaitan dengan vitiligo, bersamaan dengan penyakit endokrin lainnya seperti penyakit Addison dan diabetes mellitus. Alopesia areata, anemia pernisiosa, sistemik lupus eritematosus, inflammatory bowel disease, rematoid artritis, psoariasis dan autoimmune polyglandular syndrome adalah kelainan lain yang berkaitan dengan vitiligo, tetapi ada makna dari beberapa hubungan ini yang masih diperdebatkan. Bukti yang paling meyakinkan pada patogenesis autoimun adalah demonstrasi dari sirkulasi autoantibodi pada pasien vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008).

Sebagai tambahan pada keterlibatan mekanisme imun humoral di patogenesis vitiligo, terdapat bukti yang kuat dimana terdapat indikasi proses imun selular. Kerusakan pada melanosit bisa secara langsung dimediasi oleh

autoreactive cytologic T cells. Peningkatan jumlah sirkulasi limfosit sitotoksik

CD8+ yang reaktif pada melanA/Mart-1 (melanoma antigen yang dikenali oleh sel T ), glikoprotein 100, dan tirosinase telah dilaporkan pada pasien dengan vitiligo. Aktivasi Sel T CD8+ telah didemonstrasikan didalam pinggiran luka pada kulit yang terkena vitiligo. Reseptor Melanocyte-spesific T-cell ditemukan di lapisan melanoma dan pada pasien vitiligo memiliki struktural yang sama (Halder dan Taliaferro, 2008).

2.1.3 Epidemiologi

Vitiligo adalah penyakit depigmentasi paling sering dijumpai. Hampir setengah dari kasus vitiligo muncul sebelum umur 20 tahun. Kedua jenis kelamin sama-sama terkena vitiligo, dan tidak ada perbedaan yang nyata dalam angka kejadian menurut jenis kulit dan ras. Nonsegmental (atau generalisasi) vitiligo dan segmental vitiligo memiliki gejala klinis yang khusus dan riwayat alami. Nonsegmental vitiligo adalah bentuk yang paling sering pada penyakit ini (tercatat 85-90% dari semua kasus vitiligo), tetapi pada segmental vitiligo, bisa memiliki onset yang lebih cepat, tercatat 30% pada kasus anak-anak. Pada awal kejadian, kedua jenis vitiligo baik nonsegmental vitiligo dan segmental vitiligo dapat menunjukkan fokal vitiligo, yang mana ditunjukkan karakteristiknya oleh bagian kecil area yang dipengaruhi (<15 cm2) (Taïeb dan Picardo, 2009).

Vitiligo ditemukan pada 0,1-2,9% populasi penduduk dunia, di usia berapapun, tersering pada usia 10-40 tahun, dengan dominasi pada perempuan. Di Amerika, sekitar 2 juta orang menderita vitiligo. Di Eropa Utara dialami 1 dari 200 orang. Di Eropa, sekitar 0,5% populasi menderita vitiligo. Di India, angkanya mencapai 4%. Prevalensi vitiligo di China sekitar 0,19%. Sebagian besar kasus terjadi sporadis, sekitar 10-38% penderita memiliki riwayat keluarga dan pola pewarisannya konsisten dengan trait poligenik (Anurogo dan Ikrar, 2014).

Pada vitiligo yang berkaitan dengan pekerjaan, penyakit ini dimulai setelah terpapar bahan kimia yang toksik terhadap melanosit. Setelah itu, penyakit ini berkembang menjadi generalisasi vitiligo. Derivat fenolik/ katekol adalah bahan kimia mayor yang berhubungan dengan vitiligo, dan dapat menimbulkan kejadian ini. Berbagai jenis alergen yang menyebabkan allergic contact dermatitis (ACD) memiliki kemungkinan menjadi faktor pemicu bagi vitiligo kontak atau vitiligo yang berkaitan dengan pekerjaan. Bagaimanapun, kontak dengan bahan kimia dan allergen telah dilaporkan karena telah memicu lesi vitiligo. Secara etiologi, telah dilaporkan 864 kasus pada bahan kimia leukoderma di India. Pewarna rambut (27,4%) adalah kasus tersering yang dilaporkan sebagai agen kausative, diikuti oleh deodorant atau parfum (21,6%) dan deterjen atau pembersih (15,4%). Telah dilaporkan bahwa diantara 29 pasien yang melaporkan faktor provokasi dari bahan kimia, diduga terdapat vitiligo yang di induksi oleh bahan kimia seperti captan, paratertiary butyl phenol (PTBP), dan diphencyprone telah terdeteksi pada 4 pasien. Bahan kimia yang paling berkontribusi adalah PTBP yang memberikan 50,7% dari agen kausatif. Bahan kimia yang paling sering terpapar pada kehidupan sehari-hari pasien adalah produk pembersih (30,0%), diikuti oleh produk kosmetik (17,0%), pewarna rambut (11,4%), dan nikel (11,2%). Bagaimanapun, hanya 23 pasien (4,9%) mengatakan bahwa semua bahan bahan kimia ini diduga menjadi pemicu kejadian vitiligo. Diantara 16 pasien yang menjawab bahwa pewarna rambut memperburuk vitiligo yang telah dideritanya, hanya 8 pasien yang melaporkan allergic contact dermatitis (ACD) pada pewarna rambut. Oleh karena itu, allergic contact dermatitis (ACD) pada

pewarna rambut tidak dapat menjadi persyaratan untuk perkembangan vitiligo (Jeon et al., 2014).

Terdapat 30% penderita dari prevalensi di dunia mempunyai riwayat keluarga. Perkembangan awal dari lesi, sekitar 25% penderita dijumpai pada usia dibawah 10 tahun, 50% terjadi sebelum usia 23 tahun dan kurang dari 10% terjadi pada usia lebih dari 42 tahun. Walaupun vitiligo relatif jarang dijumpai pada bayi tetapi kongenital vitiligo pernah dilaporkan dan kadang kadang didiagnosa sebagai piebaldism (Lubis, 2009).

Pada banyak penelitian, vitiligo lebih banyak dijumpai pada wanita (dewasa) dibandingkan pada laki-laki (dewasa) yaitu 2-3 :1. Sedangkan penelitian vitiligo pada anak-anak, dijumpai perbandingan yang hampir sama pada kedua jenis kelamin. Kemungkinan ini disebabkan wanita (dewasa) lebih memberikan perhatian terhadap penyakit nya dibandingkan laki-laki (dewasa), sehingga lebih banyak mendapat pengobatan (Lubis, 2009).

2.1.4 Patogenesis

Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), ada beberapa patogenesis terbentuknya vitiligo, yakni sebagai berikut: 1. Hipotesis autoimun

Ditandai adanya hubungan antara vitiligo dengan tiroiditis hashimoto, anemia pernisiosa, dan hipoparatiroid melanosit dijumpai pada serum 80% penderita.

2. Hipotesis neurohumoral

Karena melanosit terbentuk dari neuralcrest, maka diduga faktor neural berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan katekol. Kemungkinan adanya produk yang terbentuk selama sintesis katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat dan pembuluh darah terhadap respons transmitter saraf, misalnya asetilkolin. 3. Autotoksik

Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA dan DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi berbagai indol dan

radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo dirusak oleh penumpukan prekursor melanin. Secara in vitro dibuktikan tirosin, DOPA, dan dopakrom merupakan sitotoksik terhadap melanosit.

4. Pajananan terhadap bahan kimia

Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan mono benzil eter hidrokinon dalam sarung tangan atau deterjen yang mengandung fenol.

Mono benzil eter hidrokinon mempunyai mekanisme yang sama dengan hidrokinon yakni sebagai precursor dalam proses melanogenesis, namun penggunaan yang berlebihan dari mono benzil eter hidrokinon ini dapat mengakibatkan zat ini dimetabolisme menjadi radikal bebas yang aktif yang dapat menghancurkan melanosit itu sendiri (Katsambas dan Stratigos, 2001).

2.1.5 Gejala Klinis

Pasien dengan vitiligo akan menunjukkan satu sampai beberapa makula amelanotik yang berwarna seperti kapur atau putih susu. Lesi vitiligo biasanya dapat ditentukan batasnya dengan baik, tetapi garis tepinya dapat dijumpai “scalloped”. Makula vitiligo dapat dievaluasi dengan pemeriksaan lampu wood. Perbesaran lesi secara sentrifugal pada kadar yang tidak dapat diprediksi dan dapat timbul di semua sisi tubuh, termasuk mukosa membran. Walaupun demikian, lesi inisial lebih sering timbul pada tangan, lengan bawah, kaki , dan wajah. Ketika vitiligo timbul pada wajah, vitiligo sering melibatkan penyebaran di daerah perioral dan periokular (Halder dan Taliaferro, 2008).

2.1.6 Diagnosis Banding

Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (2011) sebagai diagnosis banding vitiligo ialah piebaldisme, sindrom wardenburg, dan sindrom woolf. Vitiligo segmental harus dibedakan dengan nevus depigmentosis. Lesi tunggal atau sedikit harus dibedakan dengan tinea versikolor, pitiriasis alba, hipomelanosis gutata, dan hipopigmentasi pasca-inflamasi.

Lepra, tinea versikolor, tubero sklerosis, nevus anemikus, atau depigmentasi juga menjadi pertimbangan untuk menegakkan penyakit vitiligo (Barankin dan Freiman, 2006).

Vitiligo sering berhubungan dengan penyakit autoimun. Prevalensi yang paling berhubungan dengan endorinopati adalah disfungsi tiroid, baik hipertiroid (Grave diseases) atau hipotiroid (Hashimoto tiroiditis) yang biasanya didahului dengan onset disfungsi tiroid. Penyakit addison, anemia pernisiosa, alopesia areata, dan diabetes melitus juga sering terjadi peningkatan pada pasien dengan vitiligo. Pasien dengan autoimun poliendokrinopati kandidiasis-ektodermal distropi telah meningkatkan prevalensi vitiligo. Mutasi dari autoimmune regulator (AIRE) telah ditemukan pada sindrom ini. Pasien harus dianamnesis tentang gejala gejala kelainan ini (Halder dan Taliaferro, 2008).

Vitiligo bisa mempengaruhi aktivitas melanosit di seluruh tubuh, termasuk sel pigmen pada rambut, bagian dalam telinga, dan retina. Poliosis (leukotrichia) terjadi pada banyak pasien. Gangguan pada auditori dan visual terjadi pada beberapa pasien. Aseptik meningitis bisa menjadi hasil dari kerusakan leptomeningeal melanosit (Halder dan Taliaferro, 2008).

Beragam diagnosis banding untuk vitiligo antara lain: depigmentasi diinduksi obat atau topikal, depigmentasi pasca-inflamasi (misalnya: skleroderma, psoriasis, atopic eczema), depigmentasi pasca-trauma, halo naevus, idiopathic

guttate hypomelanosis, progressive macular hypomelanosis, lepra, lichen sclerosus (untuk vitiligo genital), melanoma-associated leucoderma, melasma, mycosis fungoides-associated depigmentation, naevus anaemicus, naevus

hipopigmentasi, naevus of Ito, piebaldism, pityriasis alba, pityriasis versicolor,

tuberous sclerosis. Penyakit/gangguan tersering yang dikira/mirip vitiligo adalah: tinea (pityriasis) versicolor, piebaldism, dan guttate hypomelanosis (Anurogo dan

2.1.7 Penegakan Diagnosis

Lampu wood dapat menegaskan wilayah vitiligo dan membantu mencari perluasannya. Biopsi kulit tidak biasa di lakukan. Dipertimbangkan pemeriksaan TSH dan kadar glukosa darah puasa (Barankin dan Freiman, 2006).

Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (2011) terdapat beberapa cara untuk mendiagnosis vitiligo, yaitu:

1. Evaluasi klinis

Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis dan gambaran klinis. Pada anamnesis ditanyakan:

a. awitan penyakit

b. riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini

c. riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes melitus, dan anemia pernisiosa.

d. kemungkinan faktor pencetus, misalnya stres, emosi, terbakar surya, dan pajanan bahan kimiawi.

e. riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih. 2. Pemeriksaan histopatologi

Dengan pewarnaaan Hematoksilin Eosin (HE) tampaknya normal kecuali tidak ditemukan melanosit, kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi makula. Reaksi DOPA untuk melanosit negatif pada daerah apigmentasi, tetapi meningkat pada tepi yang berpigmentasi.

3. Pemeriksaan biokimia

Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan DOPA menunjukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit normal.

Diagnosis pada vitiligo ditegakkan dengan pemeriksaan fisik. Bagaimanapun, adanya pertimbangan bahwa terdapat hubungan vitiligo dengan penyakit autoimun lainnya, beberapa pemeriksaan laboratorium membantu menegakkan diagnosis, termasuk kadar TSH (thyroid stimulating hormone), antibodi antinuklear, dan pemeriksaan darah lengkap. Para klinisi juga harus melakukan investigasi dari serum antitiroglobulin dan antitiroid peroksida antibodi, khususnya ketika pasien mempunyai tanda dan gejala dari penyakit

tiroid. Antitiroid peroksida antibodi, menjadi tanda yang sensitif dan spesifik dari kelainan autoimun tiroid. Berdasarkan definisi, penyakit vitiligo adalah penyakit dimana kurangnya melanosit pada lesi kulit. Demikian juga dengan permukaan dermal, perivaskular dan limfositik perifolikular infiltrat primer dapat juga diamati pada batas lesi vitiligo dan lesi awal, yang terdiri dari mediasi sel imun yang melakukan proses kerusakan melanosit pada vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008).

2.1.8 Penatalaksanaan

Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita untuk menggunakan penutup muka agar bagian yang terkena vitiligo tidak tampak. Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksi-psoralen dengan gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung ultraviolet gelombang panjang (ultraviolet A). Dosis psoralen adalah 0.6 mg/kg berat badan dan 2 jam sebelum penyinaran selama 6 bulan sampai setahun. Pengobatan dengan psoralen secara topikal yang dioleskan lima menit sebelum penyinaran sering menimbulkan dermatitis kontak iritan. Pada beberapa penderita kortikosteroid potensi tinggi, misalnya betametason valerat 0.1% atau klobetasol propionat 0.05% efektif menimbulkan pigmen (Soepardiman, 2011).

Pada usia dibawah 18 tahun hanya diobati secara topikal saja dengan salep metoksalen 1% yang diencerkan 1:10 dengan spiritus dilutus. Cairan tersebut dioleskan pada lesi. Setelah didiamkan 15 menit lalu dijemur selama 10 menit. Pada usia di atas 18 tahun, jika kelainan kulitnya generalisata, pengobatannya digabung dengan kapsul metoksalen (10 mg). Obat tersebut dimakan 2 kapsul (20 mg) 2 jam sebelum dijemur, seminggu 3 kali. Bila lesi lokalisata, hanya diberikan pengobatan topikal. Jika setelah 6 bulan tidak ada perbaikan pengobatan dihentikan dan dianggap gagal (Soepardiman, 2011).

MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% dapat dipakai untuk mengobati vitiligo yang lebih luas dari 50% permukaan kulit dan tidak berhasil

dengan pengobatan psoralen. Bila tidak ada dermatitis kontak pengobatan dilanjutkan sampai 4 minggu untuk daerah yang normal (Soepardiman, 2011). Tabel 2.1 Penanganan pada vitiligo

Tipe Vitiligo Penanganan

Segmental dan nonsegmental/ terbatas (melibatkan <2-3% permukaan tubuh)

Lini pertama : hindari faktor pemicu atau pencetus, terapi lokal ( kortikosteroid topikal, inhibitor calcineurin)

Lini kedua : terapi localized narrow-band UVB, terutama lampu monokromatis excimer atau laser

Lini ketiga : pertimbangkan teknik pembedahan jika repigmentasi secara kosmetik di daerah yang terlihat kurang memuaskan Nonsegmental (melibatkan >3% permukaan tubuh)

Lini pertama : stabilkan dengan terapi narrow-band UVB minimal 3 bulan, durasi optimal setidaknya 9 bulan jika ada respon ; kombinasikan dengan terapi topikal, termasuk penguatan (reinforcement) dengan terapi UVB pada target Lini kedua : pertimbangkan kortikosteroid sistemik atau agen imunosupresif bila terdapat *extension under

narrow-band UVB therapy*, namun data pendukung pendekatan ini

terbatas

Lini ketiga : pertimbangkan pembedahan di daerah yang menunjukkan respons minimal 1 tahun, terutama di daerah bernilai kosmetik tinggi (misalnya: wajah); fenomena Koebner’s dapat merusak kelangsungan hidup cangkok kulit (graft survival); kontraindikasi relatif di daerah seperti punggung tangan

Lini keempat : pertimbangkan depigmentasi (monobenzyl

ether of hydroquinone atau hanya mequinol atau

berhubungan dengan Q-switched ruby laser) jika lebih dari 50% area yang dirawat atau diterapi tidak berespons atau jika area terlihat amat jelas, seperti di wajah atau tangan Sumber : Anurogo dan Ikrar, 2014

Depigmentasi dapat terjadi setelah 2-3 bulan dan sempurna setelah 1 tahun. Kemungkinan akan timbul kembali pigmentasi yang normal pada daerah yang terpajan sinar matahari dan pada penderita berkulit gelap sehingga harus dicegah dengan tabir surya (Soepardiman, 2011).

Cara lain ialah tindakan pembedahan dengan tandur kulit, baik pada seluruh epidermis dan dermis, maupun hanya kultur sel melanosit. Daerah ujung jari, bibir, siku, dan lutut umumnya memberikan hasil pengobatan yang buruk (Soepardiman, 2011).

2.1.9 Prognosis

Perjalanan penyakit vitiligo dapat bervariasi dan tidak dapat di prediksi. Repigmentasi spontan yang secara kosmetik memuaskan pasien jarang terjadi. Bintik repigmentasi pada bercak menandakan bahwa melanosit yang berasal dari lapisan akar terluar pada folikel rambut memproduksi melanin. Penting untuk menentukan apakah vitiligonya stabil atau progresif, yang kedepannya menentukan pemilihan terapi (Sterry et al., 2006).

Klinis dari sub-tipe vitiligo belum dapat memprediksi bagian anatomi yang terkena di masa depan atau aktivitas dari penyakit ini (Halder dan Taliaferro, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak zaman dahulu telah dikenal beberapa istilah untuk vitiligo antara lain shwetakustha, suitra, behak, dan beras (Soepardiman, 2011). Vitiligo adalah suatu penyakit depigmentasi kulit yang progresif dan didapat yang disebabkan oleh kehilangan melanosit pada epidermis dan telah dilaporkan dengan prevalensi yang bervariasi di seluruh dunia (Lee et al., 2015). Vitiligo adalah perubahan warna yang didapat pada kulit dan membran mukosa yang mempengaruhi nilai kosmetik 1-4% populasi di dunia (Sangma et al., 2015).

Walaupun tidak dilaporkan adanya pengaruh etnis pada penyakit ini, tetapi banyak bukti klinis pada vitiligo yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki kulit yang lebih gelap memiliki frekuensi kunjungan rumah sakit yang lebih sering dan menjadi stigma pada masyarakat (Lee et al., 2015).

Faktor pencetus yang berhubungan dengan perkembangan vitiligo adalah paparan sinar matahari yang berlebihan, stres, kehamilan, dan paparan bahan sitotoksik. Pada vitiligo yang berhubungan dengan pekerjaan, penyakit ini dicetuskan setelah terjadi paparan zat kimia yang bersifat toksik terhadap melanosit dan berkembang menjadi vitiligo umum. Derivat phenolic/cacthecol adalah zat kimia utama yang diketahui berkaitan dengan vitiligo dan bisa menginduksi kondisi ini. Berbagai jenis alergen yang dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi (DKA) dapat juga menyebabkan kondisi ini. Akan tetapi, kejadian vitiligo pada pasien dengan pekerjaan tertentu dan paparan lingkungan dan pekerjaan belum pernah dilaporkan. Faktor resiko vitiligo lainnya seperti jenis kelamin, perjalanan penyakit, waktu setelah perburukan, dan subtipe vitiligo tidak ditemukan statistik secara bermakna dalam analisis univarian (Jeon et al., 2014).

Pada berbagai studi populasi yang dilakukan, prevalensi vitiligo di seluruh dunia tercatat 0,5%-1% dan mencapai puncaknya pada 8%. Studi populasi terbaru pada vitiligo melalui screening lebih dari 50 studi di dunia dilaporkan bahwa prevalensi pada vitiligo adalah 0.5%-2%. Akan tetapi, studi yang menggunakan

seluruh populasi memiliki kekurangan, pada studi sebelumnya memiliki keterbatasan dalam memperkirakan prevalensi vitiligo di seluruh dunia (Lee et

al.,2015).

Di Amerika, sekitar 2 juta orang menderita vitiligo. Di Eropa Utara dialami 1 dari 200 orang. Di Eropa, sekitar 0,5% populasi menderita vitiligo. Di India, angkanya mencapai 4%. Prevalensi vitiligo di China sekitar 0,19%. Umumnya vitiligo muncul setelah kelahiran, dapat berkembang di masa anak-anak, onset usia rata-ratanya adalah 20 tahun. Sementara ahli berpendapat vitiligo dijumpai baik pada pria maupun wanita, tidak signifikan perbedaan dalam hal tipe kulit atau ras tertentu. Pada 25% kasus, dimulai pada usia 14 tahun, sekitar separuh penderita vitiligo muncul sebelum berusia 20 tahun. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit autoimun, termasuk penyakit tiroid autoimun, SLE (systemic lupus erythematosus), dan IBD (irritable bowel disease), berkelompok pada keluarga penderita vitiligo. Vitiligo juga terkait erat dengan berbagai penyakit autoimun organ spesifik, seperti: penyakit tiroid, tiroiditis Hashimoto, diabetes melitus tipe 1, hipotiroidisme primer, dan anemia pernisiosa, alopesia areata, dan penyakit Addison. Tiroiditis Hashimoto paling sering dijumpai pada anak-anak. Uveitis juga sering dijumpai pada penderita vitiligo (Anurogo dan Ikrar, 2014). Insidens yang dilaporkan bervariasi antara 0.1 sampai 8.8%. Semua ras dan jenis kelamin mempunyai resiko yang tinggi menderita vitiligo sebelum umur 20 tahun. Faktor genetik juga berpengaruh sekitar 5% pada keturunannya. Riwayat keluarga yang menderita vitiligo bervariasi antara 20-40% (Soepardiman, 2011).

Karena sedikitnya data prevalensi vitiligo dan karakteristik pasien vitiligo di Indonesia, terutama di Sumatera Utara, maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melihat prevalensi dan gambaran vitiligo pada pasien di Medan, yakni di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana gambaran pada pasien dengan penyakit vitiligo di RSUP Haji Adam Malik tahun 2013-2014?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran penyakit vitiligo pada pasien di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus adalah sebagai berikut:

1. Untuk melihat prevalensi pasien yang menderita penyakit vitiligo di RSUP Haji Adam Malik Medan

2. Untuk mengetahui karakteristik penderita vitiligo berdasarkan umur di RSUP Haji Adam Malik Medan

3. Untuk mengetahui karakteristik penderita vitiligo berdasarkan jenis

Dokumen terkait