• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

1. Peran orang tua diharapkan dapat lebih baik dalam membimbing anak untuk merawat kesehatan gigi dan mulut dengan melakukan penyikatan gigi secara teratur sejak dini dan membawa anak untuk mendapatkan tindakan pencegahan dan perawatan gigi di klinik.

2. Perlu dilakukan perencanaan usaha pencegahan dan perawatan terhadap karies gigi pada anak sindrom Down oleh praktisi kesehatan gigi.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar untuk memperoleh hasil dengan validitas yang lebih baik.

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Sindrom Down

John Langdon adalah seorang dokter dari Inggris yang pertama kali menggambarkan kumpulan gejala dari sindrom Down pada tahun 1866. Namun sebelumnya Esquirol pada tahun 1838 dan Seguin pada tahun 1846 telah melaporkan seorang anak yang mempunyai tanda-tanda mirip dengan sindrom Down.1

Gambar 1. Kromosom pada Sindrom Down13

Sindrom Down merupakan kelainan genetik (pada kromosom 21/trisomi 21) yang terjadi pada masa pertumbuhan janin dengan gejala yang sangat bervariasi mulai dari gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental. Anak dengan sindrom Down adalah individu yang dapat dikenali dari fenotipnya dan mempunyai kecerdasan terbatas yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih (Gambar 1). Materi genetik yang berlebih diperkirakan terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan fungsi gen lainnya

6

yang menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat.1,2

2.1.1. Etiologi

Etiologi sindrom Down berkaitan dengan masalah non-disjunctional meliputi:1

1. Genetik.

Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom Down.

2. Radiasi.

Pada tahun 1981, Uchida menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya konsepsi.

3. Infeksi. 4. Autoimun.

Pada penelitian Fialkow tahun 1966 mengemukakan bahwa adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya sama.

5. Umur ibu.

Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar Lueteinizing Hormon (LH) dan Follicular Stimulating Hormon (FSH) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunction.

6. Umur ayah.

Penelitian sitogenetik pada orang tua dari anak dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Namun korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.

7

Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nukleolus, bahan kimia, dan frekuensi koitus masih didiskusikan sebagai penyebab dari sindrom Down juga.1

2.1.2. Kondisi Fisik

Anak sindrom Down ditandai dengan kranium kecil, bagian anteroposterior yang mendatar, jembatan hidung yang datar, lipatan epikantus, ruas-ruas jari pendek, jarak yang lebar antara jari tangan dan kaki pertama dan kedua, dan retardasi mental sedang sampai berat. Selain itu pada anak sindrom Down juga ditemukan adanya keterbatasan intelektual, pertumbuhan yang lambat, masalah pada penglihatan dan pendengaran serta gangguan pada jantung.3,14

Kecepatan pertumbuhan fisik anak dengan sindrom Down lebih rendah bila dibandingkan dengan anak normal (Gambar 2). Perlu dilakukan pemantauan pertumbuhan secara berkelanjutan karena pada anak sindrom Down sering disertai adanya hipotiroid. Jika pertumbuhannya kurang dari yang diharapkan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid. Selain itu pada anak sindrom Down juga disertai masalah pada saluran pencernaan atau dengan penyakit jantung bawaan yang berat serta badan yang lebih pendek bila dibandingkan dengan anak sindrom Down yang tanpa komplikasi.1

Perkembangan anak sindrom Down juga cenderung lebih lambat dari anak yang normal. Beberapa faktor seperti kelainan jantung kongenital, hipotonia yang berat, serta masalah biologis atau lingkungan lainnya dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik dan keterampilan untuk menolong diri sendiri. Sebaliknya anak yang mendapat program intervensi dini, orang tua yang memberi lingkungan yang mendukung, serta tanpa adanya kelainan jantung bawaan, maka perkembangan anak menunjukkan kemajuan yang relatif pesat.1

Perilaku anak sindrom Down pada awal kehidupannya tidak menunjukkan temperamen yang berbeda dengan anak yang normal. Demikian pula perilaku sosial anak sindrom Down mempunyai pola interaksi yang sama dengan anak normal seusianya. Walaupun tingkat responnya berbeda secara kuantitatif tetapi polanya hampir sama.1

8

Gambar 2.Rata-rata (a) Tinggi Badan dan (b) Berat Badan Anak Sindrom Down1

2.1.3. Kondisi Rongga Mulut

Adapun karakteristik khas pada rongga mulut anak sindrom Down antara lain adanya gigitan terbuka, macroglossia, bibir dan lidah yang berfisur, angular cheilitis, terlambatnya erupsi gigi, oligodontia, microdontia, bruxism, kebersihan rongga mulut yang buruk, tingginya insidensi penyakit periodontal, dan rendahnya insidensi karies gigi. Bell, Kaidonis, dan Towsend melaporkan bahwa atrisi dan erosi gigi cenderung lebih besar terjadi pada anak sindrom Down daripada anak normal.15

Anak sindrom Down yang bebas karies memiliki jumlah Streptococcus mutans yang cenderung lebih rendah dan jumlah saliva yang cenderung lebih tinggi sehingga konsentrasi IgA pun tinggi. Rendahnya prevalensi karies pada anak sindrom Down dihubungkan terhadap keterlambatan erupsi gigi permanen, kehilangan gigi akibat kongenital, pH saliva yang tinggi, mikrodonsia, adanya jarak antar gigi, dan fisur yang dangkal.16,17

2.2 Karies Gigi

Karies gigi adalah suatu proses kronis dan regresif yang dimulai dengan larutnya mineral enamel sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara enamel dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat

9

(medium makanan bagi bakteri). Kemudian timbul destruksi komponen-komponen organik dan akhirnya terjadi kavitas (pembentukan lubang).19,20

Beberapa jenis karbohidrat makanan seperti sukrosa dan glukosa dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam sehingga pH plak akan menurun sampai di bawah 5 dalam tempo 1-3 menit. Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan proses karies pun dimulai. Paduan keempat faktor penyebab tersebut digambarkan sebagai suatu lingkaran yang bersitumpang (Gambar 4). Karies hanya dapat terjadi hanya kalau keempat faktor tersebut ada.20

Gambar 3. Empat Lingkaran yang Menggambarkan Paduan Faktor Penyebab Karies20

Adapun faktor risiko terjadinya karies meliputi:20 1. Pengalaman karies.

Penelitian epidemiologis telah membuktikan adanya hubungan antara pengalaman karies dengan perkembangan karies di masa mendatang. Prevalensi karies pada gigi sulung dapat memprediksi karies pada gigi permanennya.

10

2. Penggunaan fluor.

Pemberian fluor yang teratur baik secara sistemik maupun lokal merupakan hal yang penting diperhatikan dalam mengurangi terjadinya karies karena fluor dapat meningkatkan remineralisasi.

3. Oral hygiene.

Insiden karies dapat dikurangi dengan melakukan penyingkiran plak secara mekanis dari permukaan gigi. Peningkatan oral hygiene dapat dilakukan dengan menggunakan alat pembersih interdental yang dikombinasikan dengan pemeriksaan gigi secara teratur.

4. Jumlah bakteri. 5. Saliva.

Saliva berguna untu membersihkan sisa-sisa makanan dan mempunyai efek buffer di dalam rongga mulut. Pada individu dengan fungsi saliva yang berkurang akan menyebabkan aktivitas karies meningkat secara signifikan.

6. Pola makan.

Pengaruh pola makan dalam proses karies umumnya lebih bersifat lokal daripada sistemik terutama dalam hal frekuensi mengonsumsi makanan.

7. Umur.

Penelitian epidemiologis menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya umur. Gigi yang paling akhir erupsi lebih rentan terhadap karies. Kerentanan ini meningkat karena sulitnya membersihkan gigi yang sedang erupsi sampai gigi tersebut mencapai dataran oklusal dan beroklusi dengan gigi antagonisnya.

8. Jenis kelamin.

Perempuan mempunyai nilai DMFT yang lebih tinggi daripada pria. Umumnya oral hygiene perempuan lebih baik sehingga komponen gigi yang hilang (missing) yang lebih sedikit daripada pria.

9. Sosial ekonomi.

Skor filling lebih banyak dijumpai pada kelompok pendidikan tinggi, sedangkan skor decayed dan missing lebih banyak pada kelompok pendidikan rendah.

11

2.2.1. Indeks Karies

Indeks karies adalah ukuran yang dinyatakan dengan angka dari keadaan suatu golongan/kelompok terhadap karies gigi. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan karies gigi mulai dari yang ringan sampai berat. Ada beberapa indeks karies yang biasa digunakan seperti indeks Klein dan indeks WHO, namun belakangan ini diperkenalkan indeks Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO sebelumnya. Pada penelitian ini akan digunakan indeks DMFT WHO.21

Indeks DMFT WHO bertujuan untuk menggambarkan pengalaman karies seseorang atau suatu populasi. Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena biasanya gigi tersebut sudah dicabut dan kadang-kadang tidak berfungsi. Indeks ini dibedakan atas indeks DMFT yang digunakan untuk gigi permanen pada orang dewasa dan deft untuk gigi sulung pada anak-anak. Pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan kaca mulut datar.21

2.3 Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi:22

1. Produk pangan (jumlah dan jenis makanan).

2. Akseptabilitas (daya terima), menyangkut penerimaan atau penolakan terhadap makanan yang terkait dengan cara memilih dan menyajikan makanan.

3. Prasangka buruk pada bahan makanan tertentu, seperti anggapan yang keliru bahwa terong dapat berdampak buruk karena menyebabkan tubuh lemas.

4. Pantangan pada makanan tertentu.

5. Kesukaan terhadap jenis makanan tertentu. 6. Kebiasaan makan.

7. Selera makan.

8. Sanitasi makanan (penyiapan, penyajian, penyimpanan). 9. Pengetahuan gizi.

12

Gangguan gizi dapat disebabkan oleh faktor primer maupun sekunder. Faktor primer meliputi susunan makanan seseorang yang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai ke sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya pencernaan seperti gigi-geligi yang tidak baik, kelainan struktur saluran cerna, dan kekurangan enzim.23

2.3.1 Pemeriksaan Antropometri

Secara umum antropometri berarti ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.24

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter merupakan ukuran tunggal dari tubuh manusia meliputi:

1. Umur.

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat.24

2. Berat badan.

Berat badan dapat menggambarkan jumlah protein, lemak, air, dan mineral pada tulang. Berat badan digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap perubahan, pengukuran objektif, dan dapat menggunakan timbangan apa saja yang relatif murah, mudah, serta tidak

13

memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan memiliki kelemahan yaitu tidak sensitif terhadap proporsi tubuh seperti pendek gemuk atau tinggi kurus.1,24

3. Tinggi badan.

Ukuran tinggi badan pada masa pertumbuhan meningkat terus sampai mencapai tinggi maksimal. Keuntungan indikator tinggi badan ini adalah pengukurannya yang objektif dan dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Tinggi badan juga merupakan indikator yang baik untuk gangguan pada masa pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting) dan sebagai perbandingan terhadap perubahan-perubahan relatif seperti terhadap nilai berat badan dan lingkar lengan atas. Kerugian indikator tinggi badan adalah perubahan tinggi badan yang relatif lambat, sukar mengukur tinggi badan yang tepat, dan kadang-kadang diperlukan lebih dari seorang tenaga.1

4. Lingkaran lengan atas.

Lingkaran lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan.1

5. Lingkaran kepala.

Lingkaran kepala mencerminkan volume intrakranial. Parameter ini digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan otak.1

6. Lipatan kulit.

Tebalnya lipatan kulit pada daerah triseps dan subskapular merupakan refleksi tumbuh kembang jaringan lemak di bawah kulit yang mencerminkan kecukupan energi.1

2.3.2 Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkaran lengan atas menurut umur (LLA/U), indeks massa tubuh (IMT), dan sebagainya. Pada

14

penelitian ini indeks antropometri yang digunakan adalah indeks massa tubuh (IMT) anak yaitu indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U).24

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi seseorang khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:24

Indeks Massa Tubuh = Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (m) × Tinggi Badan (m)

Ambang batas IMT/U ditentukan dengan merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2010 yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan usia 5-18 tahun. Ambang batas IMT/U ini dengan memperhatikan Z scores atau standar deviasi (SD). Z scores merupakan indeks antropometri yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi dan pertumbuhan yang dinyatakan dalam satuan standar deviasi (SD) populasi rujukan.25,26

Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur25

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z scores) Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 5-18 Tahun Sangat Kurus <-3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD

Normal -2 SD sampai dengan 1 SD

Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD

15

2.4Kerangka Teori

Anak Sindrom Down

Kondisi Fisik Kondisi Rongga Mulut

Pertumbuhan Fisik Perkembangan Anak

Karakteristik Fisik

Status Gizi Jaringan Lunak

Jaringan Keras Gigi Maloklusi

16 2.5Kerangka Konsep Sindrom Down -Usia -Jenis Kelamin Status Karies -Indeks DMFT WHO Status Gizi

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom Down adalah suatu anomali kromosom autosomal yang banyak terjadi pada manusia. Sindrom Down dulu disebut sebagai “Mongoloid” karena tampilan mata yang khas seperti bangsa Mongol, namun sekarang istilah ini sudah tidak digunakan lagi karena dapat menyinggung perasaan bangsa tertentu. Anak sindrom Down memiliki karakteristik umum yaitu muka rata, hidung tipis (pesek), garis tangan yang khas (Simian crease), jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih besar, dan jarak antara kedua mata tampak lebih dekat. Adapun karakteristik khas pada rongga mulut anak sindrom Down antara lain maloklusi, hypodontia, microdontia, macroglossia, terlambatnya erupsi gigi, bibir dan lidah yang berfisur, tongue thrust, bruxism, clenching, mouth breathing, periodontitis, dan karies gigi. Angka kejadian sindrom Down diperkirakan 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup, tepatnya 20% anak sindrom Down dilahirkan oleh ibu yang berumur di atas 35 tahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, diperoleh bahwa prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami sindrom Down sebesar 0,13%.1-3

Beberapa penelitian mengatakan bahwa karies pada anak sindrom Down bukan merupakan masalah karena insidensinya lebih rendah dibanding anak normal. Menurut de Castilho (cit Normastura), hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain terlambatnya erupsi gigi, banyaknya saliva dan microdontia yang membuat kemampuan daya self-cleansing dan buffer menjadi cukup baik. Namun, ada juga penelitian yang mengatakan bahwa pada anak sindrom Down dijumpai insiden karies gigi yang lebih tinggi. Insidensi karies yang tinggi pada anak sindrom Down kemungkinan disebabkan karena kurangnya kesadaran tentang kunjungan ke dokter gigi, tindakan kesehatan gigi dan mulut yang kurang memadai, kebiasaan makan yang tidak teratur, ketersediaan makanan yang mengandung sukrosa yang tinggi, kurangnya fluor, kelalaian orang tua dan kurangnya inisiatif terhadap pencegahan.

2

Stabholz dkk (cit Asokan) menyatakan bahwa 84% bebas karies pada anak sindrom Down usia 8-13 tahun, sedangkan pada penelitian di India ditemukan prevalensi karies gigi pada anak sindrom Down cukup tinggi yaitu hanya 29,4% yang dinyatakan bebas karies. Pada penelitian di Indonesia juga ditemukan prevalensi karies gigi yang cukup tinggi pada anak sindrom Down tepatnya di kota Makassar yaitu sebesar 82,6% dengan nilai rata-rata DMF-T 3,69. Penelitian yang dilakukan di SLB-C kota Medan didapatkan bahwa nilai rata-rata DMF-T dan def-t pada masa gigi bercampur anak sindrom Down adalah 2,14 dan 4,36.4-7

Terdapat juga penelitian yang mengatakan bahwa karies pada anak obesitas cenderung lebih tinggi daripada anak normal. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kandungan gula dalam tubuh pada anak dengan berat badan lebih akan memicu potensi kariogenik sehingga terjadi karies, periodontitis, dan xerostomia. Pada penelitian di Jerman ditemukan rerata pengalaman karies (df-t) pada anak dengan berat badan normal adalah 2,09, anak dengan overweight adalah 2,48, dan anak dengan obesitas adalah 3,3. Namun, ada juga penelitian yang mengatakan bahwa pada anak dengan berat badan rendah cenderung memiliki insidensi karies yang tinggi. Insidensi karies yang tinggi pada anak dengan berat badan rendah kemungkinan disebabkan karena adanya gangguan fungsi pengunyahan pada anak tersebut. Pada penelitian yang dilakukan di Filipina dijumpai bahwa adanya hubungan yang bermakna (p < 0,001) antara indeks massa tubuh dengan karies yang tidak dirawat. Anak dengan karies mencapai pulpa (infeksi odontogenik) memiliki risiko indeks massa tubuh di bawah normal dibandingkan dengan anak tanpa infeksi odontogenik. Sebanyak 30,5% anak dengan status gizi kurang, 68,9% anak dengan status gizi normal, dan 0,6% anak dengan status gizi lebih memiliki skor pufa/ PUFA lebih dari 0.8-11

Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai penelitian tentang hubungan antara insidensi karies pada anak sindrom Down serta kaitan antara karies dan gizi ternyata menunjukkan hasil yang berbeda. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa anak sindrom Down memiliki insidensi karies yang tinggi dan terdapat pula penelitian yang mengatakan sebaliknya. Begitu pula dengan kaitan antara karies

3

dengan gizi, ada yang menunjukkan bahwa anak dengan gizi lebih mempunyai insidensi karies tinggi dan terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa anak dengan gizi kurang memiliki insidensi karies tinggi. Berdasarkan latar belakang ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down di kota Medan.12

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1. Rumusan Masalah Umum

Bagaimana gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan?

1.2.2. Rumusan Masalah Khusus

1. Bagaimanakah gambaran status karies gigi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan?

2. Bagaimanakah gambaran status karies gigi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan?

3. Bagaimanakah gambaran status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan?

4. Bagaimanakah gambaran status gizi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian Umum

Untuk mengetahui bagaimana gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan.

1.3.2. Tujuan Penelitian Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran status karies gigi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan.

4

2. Untuk mengetahui gambaran status karies gigi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan.

3. Untuk mengetahui gambaran status gizi pada anak sindrom Down usia 12- 18 tahun di SLB-C kota Medan.

4. Untuk mengetahui gambaran status gizi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi akademisi dengan adanya hasil penelitian ini, dapat memberikan informasi tentang status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down.

2. Bagi praktisi kesehatan gigi dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat melakukan perencanaan usaha pencegahan dan perawatan terhadap karies gigi pada anak sindrom Down.

3. Bagi Dinas Kesehatan dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat digunakan sebagai dasar bagi program pemerintah dalam bidang kesehatan gigi dan mulut anak untuk meningkatkan kualitas hidup anak sindrom Down.

4. Bagi masyarakat dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi kepada orang tua/sekolah mengenai status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down serta memotivasi orang tua/sekolah untuk memperhatikan, menjaga, dan memberikan pengarahan kepada anak sejak dini untuk menjaga kebersihan rongga mulut.

GAMBARAN STATUS KARIES GIGI DAN STATUS GIZI

PADA ANAK SINDROM DOWN USIA 12-18 TAHUN

DI SLB-C KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas akhir dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: Rica Savitri NIM : 110600143

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 6 Maret 2015

Pembimbing: Tanda tangan

Siti Salmiah, drg., Sp.KGA ... NIP: 197906262005012006

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 11 Maret 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Taqwa Dalimunthe, drg., Sp. KGA ANGGOTA : 1. Essie Octiara, drg., Sp. KGA

Fakultas Kedokteran Gigi

Dokumen terkait