• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat diberikan saran sebagai berikut :

1. Nyeri punggung bawah banyak menunjukkan masalah psikologikal yang juga merupakan masalah penting bagi petugas kesehatan.

2. Perlu ditingkatkan penatalaksanaan nyeri yang tepat agar menurunkan angka intensitas kecemasan pada penderita nyeri punggung bawah.

3. Fisioterapi yang rutin perlu disarankan kepada pasien sehingga intensitas dari nyeri punggung bawahnya berkurang.

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nyeri Punggung Bawah 2.1.1. Definisi

Menurut van Tudler et al. (2006) nyeri punggung bawah digambarkan sebagai nyeri dan ketidaknyamanan,terlokalisir di bawah pinggiran kosta dan di atas lipatan gluteus inferior, dengan ada atau tidaknya nyeri pada kaki. Nyeri punggung bawah akut umumnya didefinisikan sebagai suatu episode nyeri punggung bawah kurang dari 6 minggu; nyeri punggung bawah subakut adalah nyeri punggung bawah menetap antara 6-12 minggu; nyeri punggung bawah kronik adalah nyeri punggung bawah menetap lebih dari 12 minggu.

Nyeri punggung bawah dapat berkaitan dengan gangguan pada vertebra lumbar, diskus intervertebralis, ligamentum di sekitar tulang belakang dan diskus, saraf tulang belakang dan saraf, otot-otot punggung bawah, organ panggul dan perut, dan kulit yang menutupi area lumbal.

2.1.2. Epidemiologi

Menurut Andersson (1995) dalam Munir (2012). Nyeri punggung bawah merupakan persoalan yang sering di jumpai pada negara-negara industri. Pada populasi di Eropa 40-80% pernah mengalami keluhan nyeri pinggang dalam hidupnya dan insiden tahunan menunjukan angka 5%.Sebuah survei pada 2685 laki-laki di inggris, menemukan 23% mengalami nyeri pada daerah lumbal.

Sekitar 80% orang Amerika mengalami LBP selama masa hidup mereka.Diperkirakan 15-20% memiliki rasa sakit terus menerus, dan sekitar 2-8% mengalami nyeri kronis.LBP merupakan penyebab kedua setelah flu biasa yangmenyebabkan waktu kerja hilang; LBP adalah penyebab paling sering kelima untuk rawat inap dan alasan ketiga yang paling umum untuk menjalani prosedur pembedahan.Produktivitas kerugian LBP kronis mendekati $28 miliarsetiap tahun di Amerika Serikat (PhilloBeukes,2012).

6

2.1.3. Faktor Resiko

Faktor resiko nyeri punggung bawah banyak, tapi tidak ada penyebab yang meyakinkan. Lihat Tabel 2.1. Faktor resiko yang mungkin termasuk faktor genetika, usia, dan merokok. Faktor resiko yang besar kemungkinannya termasuk pernah ada riwayat sakit punggung, ketidakpuasan kerja, postur kerja statis, mengangkat, getaran, obesitas, dan faktor psikososial (Manchikanti, 2000).

Tabel2.1.:Faktor resiko NPB.

Penyebab Memungkinkan Bisa Menimbulkan TidakAdaHubungan

Tidak ada Genetik Mengangkat Tinggi Badan

Usia Getaran Skoliosis

Merokok Faktor psikososial Kifosis

Jenis Kelamin Leg-length discrepancy Obesitas Aktifitas fisik

Pekerjaan fisik yang berat

Postur tubuh kerja yang statis

Pernah alami sakit punggung

Kerja yang tidak puas

Sumber: Manchikanti, 2000.

Faktor psikologikal juga termasuk umum di temukan pada pasien nyeri punggung bawah (Bener(2006) dalam Bener et al.(2013).

7

2.1.4. Etiologi

Nyeri punggung dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang terjadi pada tulang belakang, otot, diskus intervertebralis, sendi, ataupun struktur lain yang menyokong tulang belakang. Kelainan tersebut antara lain (Engstrom, 2005):

1. Kelainan kongenital spina lumbalis:Spondilolisis terdiri atas defek tulang yang mungkin disebabkan oleh trauma pada segmen yang telah mempunyai kelainan kongenital di daerah pars interartikularis. Defek biasanya paling bagus dilihat dengan dengan proyeksi obliquepada x-ray datar atau CT scan dan muncul dalam keadaan cedera tunggal.

2. Kelainan trauma: Seorang pasien yang mengeluh nyeri bagian belakang tubuh dan ketidakmampuan untuk menggerakan tungkai dapat mempunyai suatu tulang belakang yang fraktur. Sprain (terkilir, keseleo) dan strain (teregang) punggung bawah dikaitkan dengan cedera minor yang berhubungan dengan mengangkut objek berat, jatuh, atau deselerasi tiba-tiba seperti kecelakaan yang mengakibatkan spasme otot. Fraktur vertebra dihasilkan oleh cedera yang menyebabkan kompresi atau penekanan anterior sebagian besar fraktur pada korpus vertebra lumbal terjadi akibat cedera fleksi dan terdiri atas fraktur kompresi. Pada trauma yang lebih berat, pasien dapat mengalami dislokasi fraktur, fraktur terbuka yang bukan hanya melibatkan korpus vertebra tetapi juga elemen posteriornya.

3. Penyakit Diskus Lumbalis: keadaan ini merupakan penyebab utama nyeri punggung bagian bawah dan tungkai yang kronik, berat atau rekuren dan biasanya terjadi pada level L4-L5 dan L5-S1. Penyebabnya biasanya tidak diketahui; faktor resiko lebih tinggi pada individu overweight.

4. Kondisi Degeneratif: Stenosis spinal lumbalis dideskripsikan sebagai kanalis spinal lumbalis yang menyempit. Ketika penyakit ini semakin parah, klaudikasi neurogenik yang terdiri dari nyeri punggung, kaki dan bokong akan terinduksi dengan berjalan atau berdiri lalu akan lega jika duduk, akan terjadi.

8

Gejala pada kaki biasanya bilateral. Berbeda dengan klaudikasi vaskular, gejala dipicu dengan berdiri tanpa berjalan.

5. Arthritis: Spondilosis, atau penyakit tulang tipe osteoartritis yang lebih sering terjadi ini biasanya ditemukan pada usia lanjut dan dapat melibatkan spinal servikalis dan lumbo-sakral. Pasien sering mengeluhkan rasa nyeri berpusat di tulang belakang dan bertambah berat ketika bergerak dan berhubungan dengan keterbatasan gerak. Ankylosingspondilitis merupakan bentuk dari penyakit atritis tulang belakang yang sering ditemui dengan onset NPB.Gambaran awal perjalanan penyakitnya dilukiskan sebagai gejala ”rasa kaku di pagi hari”. 6. Neoplasma nyeri punggung merupakan simptom neurologis yang umum pada

pasien dengan kanker sistemik dan biasanya berhubungan dengan ke metastasis vertebralis. Karsinoma metastasis (payudara,paru, prostat,tiroid, ginjal dan saluran pencernaan). Nyeri yang diraskan cenderung konstan, tumpul, tidak hilang oleh istirahat, dan bertambah parah saat malam. 7. Infeksi/inflamasi: vertebral ostemyelitis biasanya disebabkan oleh

stafilokokus tetapi bisa juga disebabkan oleh bakteri lain atau mycobakterium tuberkulosis (Pott’s disease). Sumber primer infeksi cenderung adalah saluran kemih, kulit, atau paru, didapatkan pada 40% pasien.

8. Metabolik: Immobilisasi atau kelainan sistemik yang mendasari seperti osteomalasia, hiperparatiroid, multiple myeloma, karsinoma metastasis, atau pengguna glikokortikoid bisa mempercepat osteoporosis dan membuat korpus vertebra lemah. Penyebab paling umum fraktur korpus vertebra yang bukan disebabkan trauma adalah osteoporosis postmenopausal atau senile.Manifestasi tunggal dari fraktur kompresi bisa berupa nyeri yang terlokalisir yang dieksaserbasi oleh pergerakan.

9. Vaskular: Penyakit dari toraks, abdomen, atau pelvis bisa mengalihkan nyeri ke bagian posterior dari segmen spinalis yang menginervasi organ yang terkena. Terkadang, NPB adalah pertama dan satu-satunya tanda. Tanda lokal seperti nyeri pada saat palpasi dan spasme paraspinal tidak ditemukan dan sedikit atau pergerakan spinal yang tidak menimbulkan nyeri. Nyeri punggung menjadi tanda pertama.

9

10.Penyakit Psikiatri: Pasien dengan nyeri punggung kronik memiliki riwayat penyakit psikiatri (depresi, cemas, penyiksaan terhadapnya) yang dimana menimbulkan onset dari sakit punggung.

2.1.5. Patofisiologi

Beberapa struktur peka terhadap nyeri punggung bawah yang dimana bila terangsang oleh berbagai stimulus lokal terhadap reseptor-resptornya; periosteum, sepertiga bagian luar anulus fibrosus, ligamentum, kapsula artikularis, fasia dan otot. Semua struktur tersebut mengandung nosiseptor yang peka terhadap berbagai stimulus (mekanikal, termal, kimiawi). Maka keluarlah berbagai mediator inflamasi dan substansi lainnya, yang menyebabkan timbulnya persepsi nyeri, hyperalgesia maupun allodynia dimana bertujuan mencegah pergerakan untuk memungkinkan kelangsungan proses penyembuhan. Terdapat proses untuk mencegah kerusakan yaitu spasme otot yang untuk membatasi pergerakan. Namun Spasme otot ini menyebabkan iskemia dan sekaligus menyebabkan munculnya titik picu (trigger points), yang merupakan salah satu kondisi nyeri (Meliala dkk.(2003) dalam Bukit (2014).

2.1.6. Short form McGill.

SF-MPQ terdiri dari tiga bagian. Komponen utama/ bagian pertama terdiri dari 15 kata (11 sensorik dan 4 afektif), yang dinilai sendiri oleh pasien sesuai dengan keparahan mereka pada skala 4 titik (0 = tidak ada, 1= ringan, 2 = sedang, 3 = berat), hal ini menghasilkan 3 nilai yaitu, skor sensorik dan afektif dihitung dengan menambahkan nilai sensorik dan afektif secara terpisah, dan total skornya adalah jumlah dari dua skor yang disebutkan tadi.

Bagian kedua adalah VAS (Visual Analog Scale), merupakam garis 10cm garis horizontal dengan batas yang jelas dengan batas deskriptif mulai dari “tidak

sakit” dengan “nyeri terburuk”. Intensitas nyeri ditandai dengan cm, dan sebagai

bukti mewakili intensitas nyeri pasien saat menyelesaikan kuesioner.

Bagian ketiga dari SF-MPQ ialah PPI (Pain Present Intensity), yang merupakan 6 poin skala penilaian verbal. Dalam skala ini, pasien diminta untuk

10

memilih antara enam kata, dari 0 = tidak ada sampai 5 = menyiksa; pilih kata yang paling tepat menggambarkan intensitas keseluruhan rasa sakit mereka di saat akhir menyelesaikan kuesioner (Adelmanesh et al., 2011)

2.2. Kecemasan 2.2.1. Definisi

Menurut Wiramihardja (2005) dalam Hardiani (2012), kecemasan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari,maka dari itu kecemasan merupakan suatu hal yang wajar pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan adalah suatu perasaan bersifat umum, dimana seseorang kehilangan kepercayaan diri dan merasa ketakutan yang tidak jelas asal maupun wujudnya.

Cemas ialah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya(Stuart, 2006).

Cemas cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi persepsi, tidak hanya persepsi waktu dan ruang tetapi juga orang dan arti peristiwa. Cemas mempengaruhi pikiran, persepsi, dan pembelajaran(Sadock, 2010).

2.2.2. Epidemiologi

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang timbul dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan ialah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang, maka dari itu beban penyakit dari penyakit jiwa di Indonesia masih sangat besar (DEPKESRI 2014).

2.2.3. Faktor Resiko

Menurut penelitian Malonda (1999) dalam Ayuningtyas (2012) dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan yaitu:

1. Faktor umur : tingkat kematangan seseorang dalam berfikir. 2. Faktor pendidikan : tingkat pengetahuan seseorang.

3. Faktor pendapatan : tingkat kemampuan seseorang mencukupi kebutuhannya. 4. Faktor pengalaman : sesuatu yang pernah dialami.

11

2.2.4. Tingkat Kecemasan

Menurut Stuart (2006), Kecemasan mempunyai berbagai tingkatmenggolongkan sebagai berikut :

1. Kecemasan ringan

Adanya ketegangan dalam kehidupan sehari-hari; kecemasan ini membuat individu menjadi waspada dan meningkatkan lapangan pencerapannya. Kecemasan ini juga berperan dalam menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas dan memotivasi belajar

2. Kecemasan sedang

Individu menjadi lebih berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan hal lain. Kecemasan ini mempersempit lapangan pencerapannnya. Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun jika diarahkan untuk melakukannya individu dapat berfokus pada lebih banyak area.

3. Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lapangan pencerapan individu. Individu cenderung berfokus pada hal yang spesifik dan rinci serta tidak berpikir tentang hal yang lain. Individu memerlukan arahan yang banyak untuk berfokus pada daerah yang lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan.

4. Tingkat panik.

Berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror.Karena mengalami kehilangan kendali, hal yang rinci terpecah dari proporsinya.Individu menjadi tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik dapat menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, disorganisasi kepribadian, persepsi menyimpang, dan kehilangan pemikiran rasional; jika berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama menimbulkan kematian

12

2.2.5. Gejala Klinik

Menurut Stuart (2006), gejala dan gambaran klinis cemas adalah : 1. Secara Fisiologis:

a. Kardiovaskuler : palpitasi, jantung “berdebar”, tekanan darahmeningkat, rasa

ingin pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.

b. Pernapasan : napas cepat, sesak napas, tekanan pada dada, napas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, sensasi tercekik dan terengah-engah.

c. Neuromuskular : refleks meningkat, reaksi terkejut, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah dan mondar-mandir, wajah tegang, kelemahan umum, sertatungkai lemah dan gerakan yang janggal.

d. Gastrointestinal : kehilangan nafsu makan,menolak makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, diare dan nyeri pada ulu hati.

e. Saluran perkemihan : tidak dapat menahan kencing, sering berkemih.

f. Kulit : wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan), gatal, rasa panas dandingin pada kulit, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh.

2. Secara Psikologis;

a. Perilaku : gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicaracepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami cedera, menarik diri dari hubunganinterpersonal, melarikan diri dari masalah, hiperventilasi serta sangat waspada;

b. Kognitif : perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir, lapang persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut cedera (kematian), dan mimpi buruk; Afektif: mudah terganggu, tidaksabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, kengerian dan kekhawatiran ,kecemasan, rasa bersalah dan malu.

13

2.2.6. Patofisiologi

Tubuh manusia berusaha untuk mempertahankan homeostasis setiap saat.Apa pun yang di lingkungan mengganggu homeostasis didefinisikan sebagai stressor.Keseimbangan homeostatis kemudian dibangun kembali oleh adaptasi fisiologis yang terjadi dalam menanggapi respon stres.

Respon stres pada manusia melibatkan kaskade kejadian hormonal, termasuk pelepasan corticotropin-releasing factor (CRF), yang pada gilirannya, merangsang pelepasan kortikotropin, yang menyebabkan pelepasan hormon stres (glukokortikoid dan epinefrin) dari adrenal korteks. Glukokortikoid biasanya mengerahkan umpan balik negatif ke hipotalamus, sehingga mengurangi pelepasan CRF.

Amigdala adalah modulator utama dari respon takut ataupun kecemasan, yang merangsang stimulus.Ketika diaktifkan, amigdala merangsang daerah otak tengah dan batang otak, menyebabkan hiperaktivitas otonom, yang dapat dikorelasikan dengan gejala fisik kecemasan.Dengan demikian, respon stres melibatkan aktivasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.Sumbu ini adalah hiperaktif dalam depresi dan kecemasan.

Glukokortikoid mengaktifkan lokus caeroleus, yang dimana mengirimkan sebuah pengaktifan kembali proyeksi yang kuat ke amigdala dengan menggunakan norepinefrin neurotransmitter.Amigdala kemudian mengirimkan CRF lebih, yang mengarah ke sekresi glukokortikoid berlebihan, dan menghasilkan siklus buruk dari umpan balik antara pikiran dan tubuh. Kontak yang terlalu lama system saraf pusa tdengan hormone glukokortikoid akan menghabiskannya tingkat norepinefrin dalam lokus caeruleus. Dimana norepinefrin adalah neurotransmitter penting yang terlibat dalam perhatian, kewaspadaan, motivasi, aktivitas, dan mungkin selanjutnya yang terjadi ialah timbulnya depresi (Shelton, 2004).

14

2.2.7. Hammilton Anxiety Rating Scale

Hammilton Anxiety Rating Scale (HAM-A) untuk mengukur gejala kecemasan yang muncul pada individu yang mengalami kecemasan. Terdapat 14 item pertanyaan, setiap item yang dinilai dengan 5 tingkatan skor, antara 0 (tidak ada) sampai dengan 4 (berat). Penentuan derajat kecemasan skor, skor 0-13 berarti tidak ada kecemasan, 14-17 kecemasan ringan, 18-24 kecemasan sedang, 25>kecemasan berat (Hamilton, 1959).

2.2.8. Hubungan LBP dengan Kecemasan

Temuan studi menunjukkan bahwa LBP adalah masalah yang umum ditemukan pada populasi umum.Data menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan diamati antara tekanan psikologis dan prevalensi LBP.Somatisasi adalah lebih umum di LBP, diikuti oleh depresi. Selain itu, faktor sosiodemografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, kelebihan berat badan, dan merokok merupakan faktor pencetus LBP (Bener (2006) dalam Bener et al. ( 2013).

Gangguan ansietas menyeluruh sering terjadi pada pasien dengan penyakit kronis. Penyebab gangguan ansietas menyeluruh sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti. Studi pada binatang dan beberapa studi lain menyebutkan bahwa disfungsi dari berbagai neurotransmitter merupakan penyebab gangguan ansietas menyeluruh. Serotonin, norepinephrin, dan - aminobutyric acid (GABA) disregulasi mempunyai peranan penting. Studi lain menunjukkan keterlibatan glutamat pada gangguan cemas dan mood. Glutamat adalah neurotransmitter asam amino yang meningkatkan transmisi sinaptik. Disregulasi glutamat di otak

menyebakan peningkatan “rapid firing” dari jalur respon cemas, sehingga muncul gejala-gelaja yang disebut dengan gangguan cemas(Helsley, 2008).

Neurotransmitter adalah messager kimiawi di otak, dan hormone membawa message ke seluruh tubuh. Hipotalamus melepaskan corticotropin releasing factor (CRF) yang mencetuskan pelepasan hormone adrenocorticotropin (ACTH) dari glandula pituitary.Hormon adrenocorticotropin menstimulasi pelepasan cortisol dan glandula adrenal.Hormon stress ini dilepaskan di aliran darah dan memberikan efek ke otak, mempertahankan integritas psikologi.

15

Cortisol menyebabkan terjadinya umpan balik negative. Amigdala adalah modulator utama dari respon takut ataupun kecemasan, yang merangsang stimulus. Ketika diaktifkan, amigdala merangsang daerah otak tengah dan batang otak, menyebabkan hiperaktivitas otonom, yang dapat dikorelasikan dengan gejala fisik kecemasan.Dengan demikian, respon stres melibatkan aktivasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.Sumbu ini adalah hiperaktif dalam depresi dan kecemasan (Vanin, 2008).

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nyeri punggung bawah (NPB) adalah kondisi umum yang dimana akan mempengaruhi banyak orang pada titik tertentu selama kehidupan mereka. Untuk sebagian besar orang, sakit dan gangguan yang terkait akan teratasi dan mereka akan kembali ke aktivitas normal.Pada sebagian kecil dari mereka akan mengalamisakit dan gangguan tersebut namun nyeri jangka panjang yang terus menurus dan keterbatasan yang menetap selama lebih dari setahun membuat mereka tidak mungkin untuk kembali ke aktivitas normal (Savigny et al. (2009) dalam Pearce (2012).

Nyeri punggung bawah merupakan penyakit yang sering dijumpai, dan telah di observasi sebanyak 70-85% dari populasi yang pernah mengalami nyeri punggung ini setidaknya sekali selama seumur hidupnya (Ha JY dkk. (2011) dalam Bukit (2014).

Nyeri punggung bawah merupakan gangguan yang cukup sering di jumpai. Nyeri punggung di Amerika Serikat diperkirakan menghabiskan biaya antara 20 dan 50 milyar US$ per tahunnya. Setiap 3% sampai 4% populasi mengalami disabilitas temporer dan 1% dari populasi usiakerja mengalami kecacatan total akibat masalah nyeri punggung bawah (Price et al.2002).

Berdasarkan Data Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) tahun 2002, terdapat 4.456 orang mengalami nyeri, sekitar 819 orang (35,86%) mengeluhkan nyeri punggung bawah, Sehinga disimpulkan bahwa NBP menduduki tingkat kedua pada kasus nyeri. Dari kunjungan pasien di beberapa rumah sakit, data epidemiologi Jawa Tengah melaporkan terdapat sekitar 40% mengalami NBP (Purnamasari(2010) dalam Setyanigrum (2014).

Lebih dari 70 % dari orang-orang di negara-negara maju akan mengalami nyeri punggung bawah pada beberapa waktu dalam kehidupan mereka. Setiap tahun, 15-45 % orang dewasa menderita nyeri punggung bawah, dan satu per dua

2

puluh orang yang hadir ke rumah sakit dengan episode baru. Sekitar 2-7 % orang dengan nyeri punggung bawah akut akan menuju untuk menjadi kronis. Low back pain (nyeri punggung bawah) adalah yang paling umum terjadi antara umur 35-55 tahun (Hall et al., 2008).

Satu tahun dari episode pertama nyeri punggung bawah mereka, 62% masih memiliki rasa sakit dan 16% dari mereka tidak dapat bekerja, mengingat mereka tidak mampu kembali bekerja (HestBaek et al. (2003) dalam Pearce (2012).

Sakit punggung lebih sering terjadi pada orang dengan kecemasan dan gangguan mood dibandingkan dengan mereka yang tidak ada sama sekali. Penyakit, kecelakaan, dan infeksi adalah salah satu penyebab sakit punggung. Gejala termasuk nyeri persisten atau kekakuan di mana saja sepanjang tulang belakang; tajam, nyeri lokal pada leher,punggung atas, atau punggung bawah, terutama setelah mengangkat benda berat atau terlibat dalam aktivitas berat; dan sakit kronis di tengah atau punggung bagian bawah, terutama setelah duduk atau berdiri untuk waktu yang lama (ADAA, 2010).

Pada 200 pasien dengan nyeri punggung bawah kronik yang memasuki program pemulihan fungsional, dilakukan penilaian dan masa sindroma kejiwaan; didapat 59% menunjukan gejala saat ini setidaknya satu diagnostik psikiatri. Yang paling umum adalah depresi berat, penyalahgunaan zat dan gangguan kecemasan. Terakhir dan yang paling penting adalah pasien dengan riwayat timbulnya sindrom psikiatri, 54% dari mereka dengan depresi, 94% dari mereka dengan penyalahgunaan zat, dan 95% dari mereka dengan gangguan kecemasan memiliki pengalaman akan sindroma ini sebelum timbulnya sakit punggung (Polatin et al., 1993).

3

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah ada hubungan intensitas nyeri dengan tingkat kecemasan pada penderita nyeri punggung bawah kronis pada RSUP H. Adam Malik Medan?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri dengan tingkat kecemasan pada penderita nyeri punggung bawah kronis di RSUP H. Adam Malik.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui gambaran nyeri pada penderita nyeri punggung bawah kronis di Poli Saraf RSUP H. Adam Malik.

2. Mengetahui gambaran karakteristik pada penderita nyeri punggung bawah kronis di Poli Saraf RSUP H. Adam Malik.

3. Mengetahui gambaran demografi penderita nyeri punggung bawah kronis di Poli Saraf RSUP H. Adam Malik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan

Memberikan kontribusi keilmuan mengenai hubungan intensitas nyeri dengan tingkat kecemasan pada penderita nyeri punggung bawah sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang optimal.

2. Manfaat Penelitian untuk Penulis

Memberikan kontribusi penelitian mengenai hubungan intensitas nyeri dengan tingkat kecemasan pada penderita nyeri punggung bawah dan diharapkan dapat memberikan terapi preventif pada penderita nyeri punggung bawah.

4

3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat

Penelitian ini diharapkan agarmasyarakat mendapatpengetahuan tentang adanya hubungan antara intensitas nyeri dengan tingkat kecemasan.

iv

ABSTRAK

Latar belakang dan Tujuan : Nyeri punggung bawah, merupakan masalah ekonomi dan kesehatan, mengenai 80% dari seluruh populasi. Nyeri punggung bawah merupakan nyeri muskuloskletal kronik yang menyebabkan disabilitas dan merupakan kondisi kompleks yang disebabkan berbagai faktor. Bukti ini menunjukkan gangguan psikososial dan faktor psikologikal berhubungan dengan nyeri punggung bawah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara intensitas nyeri dan tingkat kecemasan.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode potong lintang pada pasien nyeri punggung bawah kronik di RSUP H. Adam Malik Medan periode Oktober 2015- November 2015. Short Form- McGill Pain Quesionner (SF-MPQ) digunakan untuk menilai intensitas nyeri.Tingkat kecemasan dinilai dengan menggunakan kuesioner HAM-A.

Hasil: Dari 34 pasien, terdiri dari 32,4% laki-laki dan 67,4% wanita. Nyeri punggung bawah kronik sering dijumpai pada suku Batak (85,3%). Kuesioner SF-MPQ, ditemukan bahwa nyeri sensorik lebih sering dijumpai dibandingkan dengan nyeri afektif. Korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang bermakna antara intensitas nyeri dan tingkat kecemasan (p < 0,001, r = 0,640).

Kesimpulan : Dengan demikian, distres psikologikal seperti kecemasan sering pada pasien nyeri punggung bawah kronik. Dijumpai hubungan yang bermakna antara intensitas nyeri dan tingkat kecemasan

Dokumen terkait