• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

1. Bagi Petugas Kesehatan dan Pemerintah

Asap rokok merupakan masalah bersama yang harus diselesaikan dengan kerjasama berbagai sektor. Dalam bidang kesehatan, tentunya diperlukan partisipasi petugas kesehatan seperti dokter ataupun bidan. Bentuk pelayanan yang diberikan dapat berupa edukasi pada saat pemeriksaan antenatal ibu hamil. Peran petugas kesehatan disini sebagai orang yang menjelaskan secara detail mengenai dampak buruk asap rokok terhadap kesehatan, terutama kelahiran prematur. Namun,

40

agar pasien yang diedukasi memilikicompliance yang tinggi tentunya petugas kesehatan tersebut harus memberikan contoh untuk tidak merokok ataupun menghindari paparan asapnya.

Selain petugas kesehatan, pemerintah juga memberikan andil yang sangat penting dalam mengurangi paparan asap rokok di lingkungan umum. Peran pemerintah yang dapat membantu mengurangi paparan asap rokok berupa menyediakan tempat khusus merokok di lingkungan umum, membuat undang-undang tentang larangan merokok, atau hal lain yang dapat dilaksanakan secara langsung seperti koordinasi dengan media elektronik untuk memaparkan dampak rokok bagi kesehatan. Namun, dalam kenyataannya tempat khusus merokok yang telah dibuat pemerintah setempat tidak efektif dikarenakan tidak adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran merokok di tempat umum. Apabila pemerintah dapat menekan angka penggunaan rokok, maka diperkirakan bahwa kualitas sumber daya manusia di Indonesia akan semakin membaik pada masa datang.

2. Bagi Masyarakat Umum

Seperti yang kita ketahui bahwa rokok memiliki dampak buruk bagi kesehatan. Oleh karena itu, hindari penggunaan rokok baik secara aktif maupun pasif. Bagi perokok aktif memang sulit untuk menghentikan kebiasaan merokoknya karena hal tersebut memerlukan waktu untuk membiasakan diri tanpa rokok. Namun, apabila hal tersebut dapat terlaksana, maka tingkat kesehatan setiap individu akan lebih baik. Selain itu, bagi Ibu yang sedang hamil diutamakan untuk menghindari paparan asap rokok agar bayi yang dilahirkannya sehat.

3. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini menjelaskan adanya hubungan paparan asap rokok pada ibu hamil dengan kejadian bayi prematur. Namun, untuk peneliti

41

lain apabila mengambil tema yang mirip dengan penelitian ini disarankan untuk menambahkan data karakteristik berupa pendapatan orang tua untuk mengetahui apakah ada hubungan atau tidak dengan kelahiran prematur. Selain itu, diperlukan jumlah sampel yang lebih besar agar hasil yang didapatkan lebih menggambarkan populasi yang lebih luas. Dalam penelitian ini, ditunjukkan bahwa paparan asap rokok yang didapatkan ibu ketika hamil dominan berasal dari dalam rumah. Oleh karena itu, hal ini mungkin dapat dijadikan suatu acuan untuk mengetahui hubungan paparan asap rokok yang berasal dari suami dengan kejadian prematuritas.

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Epidemiologi Kelahiran Prematur

Menurut World Health Organization, kelahiran prematur adalah kelahiran bayi kurang dari 37 minggu usia kehamilan sejak hari pertama periode menstruasi (Carlo, 2011). Menurut Beck et al. (2010), kelahiran prematur didefinisikan sebagai bayi yang lahir kurang dari 37 minggu komplit atau 259 hari masa gestasi, hal tersebut yang menentukan angka mortalitas dan morbiditas neonatus dan memiliki konsekuensi jangka panjang untuk kesehatan.

Di Amerika Serikat, tingkat kelahiran prematur adalah 12-13%, sedangkan di Eropa dan negara berkembang lainnya dilaporkan hanya sekitar 5-9%. Kejadian bayi prematur meningkat di negara-negara industri seperti Amerika Serikat meningkat dari 9,5% pada 1981 menjadi 12,7% pada 2005 (Goldenberg et al.,

2008).

Becket al.(2010) menyatakan bahwa dari 12,9 juta kelahiran tahun 2005, 9,6% merupakan kelahiran prematur. Sekitar 11 juta (85%) kelahiran prematur terbanyak di Afrika dan Asia, sedangkan 0,5 juta terjadi di Eropa dan Amerika Utara (termasuk Meksiko) dan 0,9 juta di Amerika Latin dan Carribbia. Tingkat kelahiran prematur tertinggi di Afrika dan Amerika Utara (11,9% dan 10,6% dari semua kelahiran), dan paling rendah di Eropa (6,2%).

2.2. Klasifikasi Kelahiran Prematur

Kelahiran prematur merupakan penyebab angka morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. Berdasarkan usia kehamilan, kelahiran prematur dapat diklasifikasikan sebagai berikut: sebanyak 5% kelahiran prematur terjadi pada

usia kurang dari 28 minggu (extreme premature), 20% pada usia 32-33 minggu

(moderate premature), dan 60-70% pada usia 34-36 minggu (near premature) (Goldenberget al., 2008).

5

Selain pengelompokkan di atas, prekursor obstetrik yang dapat memicu kelahiran prematur adalah persalinan berdasarkan indikasi medis yang menyebabkan harus dilakukannya sectio caesarea; persalinan prematur spontan dengan membran yang masih intak; dan persalinan prematur karena ketuban pecah dini. Sekitar 30-35% persalinan prematur karena indikasi, 40-45% persalinan spontan, dan 25-30% akibat ketuban pecah dini (Goldenberg et al., 2008).

2.2.1. Kelahiran Prematur atas Indikasi Medis

Ananth dan Vintzileos (2006) menggunakan data kelahiran Missouri dari tahun 1989 sampai 1997 untuk menganalisis faktor-faktor yang mengindikasikan intervensi pada masa kehamilan kurang dari 35 minggu. Preeklampsia, fetal distress, kecil usia kehamilan, dan abrusio plasenta adalah indikasi umum untuk dilakukannya intervensi medis yang menyebabkan bayi lahir prematur. Penyebab lainnya adalah hipertensi kronik, plasenta previa, perdarahan, diabetes, penyakit ginjal, Rh isoimmunization, dan malformasi kongenital (Cunningham et al., 2010).

2.2.2. Kelahiran Prematur Spontan

Goldenberg dan kolega menyatakan patogenesis dari kelahiran prematur spontan diimplikasikan sebagai efek progesterone withdrawal, inisiasi oksitosin, dan aktivasi dari desidua (Cunninghamet al., 2010).

Teori progesterone withdrawal menjelaskan aksis adrenal fetus lebih sensitif terhadap hormon adrenokortikotropik yang meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol fetus menstimulasi aktivitas 17α-hydroxylase plasenta yang menurunkan sekresi progesteron dan meningkatkan produksi estrogen. Peningkatan rasio estrogen/ progesteron menyebabkan terjadinya formasi prostaglandin. Hal tersebutlah yang menginisiasi proses kelahiran. Karena oksitosin intravena meningkatkan frekuensi dan intensitas kontraksi, oksitosin diasumsikan juga memiliki peran dalam mengawali persalinan (Goldenberget al.,2008).

6

Penyebab lain yang cukup penting dalam menginduksi proses persalinan adalah aktivasi proses inflamasi desidua. Meskipun begitu, aktivasi desidua sepertinya diperantarai oleh sistem parakrin dari desidua-fetus itu sendiri (mungkin melalui penurunan konsentrasi progesteron secara lokal). Pada kebanyakan kasus persalinan preterm, aktivasi desidua meningkat pada perdarahan intrauterin dan infeksi intrauterin (Cunningham et al., 2010; Goldenberget al., 2008).

2.2.3. Kelahiran Prematur karena Ketuban Pecah Dini

Ketuban pecah dini atau Premature Preterm Rupture of Membranes (PPROM)

merupakan akibat beberapa mekanisme, termasuk infeksi intraamniotik. Namun, penyebab pastinya belum diketahui pasti. Faktor risiko PPROM sama dengan kelahiran prematur spontan, walaupun infeksi dan paparan rokok berperan penting dalam hal tersebut (Goldenberget al., 2008).

2.3. Patogenesis Kelahiran Prematur

Etiopatogenesis kelahiran prematur diasumsikan mencakup proses-proses berikut: infeksi, iskemia uteroplasenta, gangguan metabolisme hormon, gangguan toleransi ibu terhadap fetusnya (teori janin sebagai allograft), alergi, distensi uterus berlebihan, dan inkompetensi serviks. Dasar proses patogenik kelahiran prematur adalah inflamasi/ peradangan. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan mekanisme yang telah disebutkan memicu proses inflamasi (persalinan prematur) (Kouckyet al., 2009).

2.3.1. Infeksi

Menurut Koucky et al. (2009) patogenesis kelahiran prematur secara khusus berhubungan dengan sitokin, matriks metalloprotein, dan prostaglandin. Efek pemicu utamanya terlihat padapattern recognition receptors—PRR. Reseptor ini memiliki kemampuan mengidentifikasi struktur molekul tertentu, umumnya mayoritas mikroorganisme. Selain itu, reseptor tersebut juga berikatan dengan “sinyal berbahaya” dari jaringan yang rusak—produk stres oksidatif

7

(kemungkinkan berasal dari jalur noninfeksi). Kelompok terpenting diwakili oleh

Toll-like receptor (TLR). Ikatan ligan pada PRR/TLR menghasilkan aktivasi

nuclear kappa B factor, yang stimulasinya berhubungan dengan stimulasi sitokin, matriks metalloproteinase, dan faktor pertumbuhan transkipsi gen. Beberapa sitokin ini memiliki efek pro atau anti-Inflamasi, misalnya interleukin-6 dan -8 atau interleukin-10. Pada beberapa interleukin, fungsinya berubah secara dinamis selama inflamasi, misalnya TGF-transforming growth factor. Interleukin-10 dianggap sebagai kunci saat kehamilan (maintenance). TGF-beta 1 merupakan sitokin yang menginisiasi fase inflamasi.

2.3.2. Iskemia Uteroplasenta

Masalah keterlibatan iskemia uteroplasenta dalam etiopatogenesis kelahiran prematur relatif baru dipelajari. Berdasarkan penelitian, terdapat peningkatan jumlah bukti mengenai hubungan trombofilia dengan kelahiran prematur. Secara bawaan (mutasi trombofilik) atau didapat (sindrom antifosfolipid) kondisi trombofilik, kita asumsikan aktivitas koagulasi berlebihan dengan efek potensial pada mikrosirkulasi plasenta, disfungsi endotel terkait memicu kaskade proses biokimia yang menyebabkan kelahiran prematur (Kouckyet al., 2009).

2.3.3. Gangguan Metabolisme Hormon

Kontraktilitas uterus berubah selama kehamilan dan setelah melahirkan. Inisiasi melahirkan berhubungan dengan ekspresi gen contraction associated protein

(CAP), penting untuk perkembangan kontraktilitas uterus. Ekspresi gen tersebut

memproduksi protein penting –Connexin-43—pembentuk utama gap junctions

dan reseptor-reseptor. Ia juga bagian struktur dari kanal ion. Regulasi aktivitas uterus pada masa kehamilan—memastikan relaksasi dari ketegangan otot uterus— masih dipelajari hingga saat ini. Agen terpenting dalam pengaturan ini adalah progesteron, relaksin, prostasiklin (PGI2), nitrogen (I) oksida, dancorticotrophin- releasing hormone (CRH). Aktivitas agen tersebut menyebabkan elevasi cAMP intraseluler yang kemudian akan menginhibisi pelepasan ion kalsium dari deposit intraseluler dan menginhibisi myosin kinase. Namun, aktivitas uterus normal

8

terjadi, maka hal ini disebut kontraksi Braxton-Hik yang merupakan tanda melahirkan (Kouckyet al., 2009).

2.3.4. Gangguan Toleransi Ibu terhadap Fetusnya

Menurut Kouckyet al. (2009) mekanisme penting toleransi ibu terhadap janinnya

dikarenakan keseimbangan antara downregulation dan upregulation antigen

utama MHC (Major Histocompatibility Complex). Ketika gen kelas I HLA-A dan

B antigen mengalami downregulation oleh tropoblas, gen kelas HLA-G antigen

melindungi janin terhadap respon imun ibu yang diekspresikan selama masa kehamilan. Tidak adekuatnya identifikasi antigen janin oleh ibu menyebabkan gagalnya pemeliharaan kehamilan.

2.3.5. Alergi

Uterus kaya akan sel mast—salah satu sel yang bereaksi terhadap proses alergi. Sel mast tersebut akan mengalami degranulasi yang menginduksi aktivitas uterus, khususnya karena pelepasan prostaglandin. Kehadiran eosinofil juga mendukung respon imun abnormal/ alergi sebagai salah satu cara yang menyebabkan kelahiran prematur (Kouckyet al., 2009).

2.3.6. Distensi Uterus Berlebihan

Distensi uterus berlebihan disebabkan oleh gangguan rahim bawaan, polihidramnion, dan kehamilan multipel. Ketegangan intrauterin relatif konstan selama kehamilan, meskipun rahim tetap berkembang. Fenomena ini terjadi karena aktivitas dari progesteron dan endogenous myometrialrelaxing agent”, khususnya nitrogen dioksida. Distensi tersebut menyebabkan peningkatan kontraksi miometrium, penghasilan prostaglandin, dan ekspresi protein gap junctions, terutama connexin-43. Sama halnya dengan ekspansi amniochorial

yang berlebihan dalam kerusakan chorions secara mekanik berpotensi

9

2.3.7. Inkompetensi Serviks

Kurangnya kemampuan penutupan serviks terjadi dalam berbagai bentuk pada wanita hamil. Penyebab bawaan termasuk langka seperti hipoplasia dan eksposur dietilstilbesterol serviks (DES) ibu. Sedangkan kelainan yang didapat umumnya dikarenakan operasi serviks sebelumnya. Mekanisme lain yang berpotensi ialah infeksi intrauterin (Kouckyet al., 2009).

2.4. Faktor Risiko Bayi Prematur

Persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik mempunyai pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur (Mochtar, 2008). Selain itu, menurut Carlo (2011) persalinan prematur juga merupakan interaksi kompleks dari beberapa faktor seperti fetus, plasenta, uterus, dan faktor maternal (ibu).

Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan prematur adalah sebagai berikut: (Mochtar, 2008)

a. Janin dan Plasenta

 Perdarahan pada trimester awal

 Perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa)

 Ketuban pecah dini (KPD)

 Pertumbuhan janin terhambat

 Cacat bawaan janin

 Kehamilan ganda/ gemeli

 Polihidramnion

b. Ibu

 Penyakit berat pada ibu

 Diabetes mellitus

 Preeklampsia/ hipertensi

 Infeksi saluran kemih/ genital/ intrauterin

 Penyakit infeksi dengan demam

10

 Kelainan bentuk uterus dan serviks

 Riwayat persalinan prematur/ abortus berulang

 Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)

 Pemakaian obat narkotik

 Trauma

 Perokok berat

 Kelainan imunologi/ kelainan resus

2.5. Epidemiologi Merokok

Merokok merupakan metode penggunaan tembakau yang paling populer. Secara global, penggunaan tembakau menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun dan apabila gaya hidup seperti ini terus berlanjut, diperkirakan rokok menyebabkan kematian lebih dari 8 juta kematian pada tahun 2030. Merokok merupakan penyebab kematian di Amerika Serikat yang dapat dicegah, bertanggung jawab terhadap seperlima atau setengah juta kematian setiap tahun. Paparan asap rokok juga dipertimbangkan menjadi penyebab 49.000 kematian per tahun. Merokok dan penggunaan tembakau pada orang muda cukup signifikan, sekitar 60% orang mulai merokok pada usia di bawah 18 tahun ketika merokok pertama kali (Patelet al., 2010).

2.6. Jenis Asap Rokok

Tembakau yang dibakar menghasilkan sekitar 7.000 substansi kimia dalam bentuk uap cair gas dan partikel-partikel. Proses merokok menghasilkan 3 jenis asap yang berbeda. Yang pertama adalah mainstream smoke, yaitu asap yang secara langsung dihirup ke dalam paru-paru melalui rokok yang dibakar. Kedua ialah

exhaled mainstream smoke, asap yang dikeluarkan oleh perokok dari paru-paru mereka. Ketiga adalahsidestream smoke,asap yang berasal dari ujung rokok yang

membara (Scollo dan Winstanley, 2012). Sedangkan menurut Patel et al. (2010)

asap rokok merupakan hasil pembakaran tembakau yang tidak sempurna. Asap rokok dapat dijelaskan sebagai mainstream smoke yaitu asap yang dihirup langsung oleh perokok melalui mulut langsung ke paru-paru, komposisinya

11

sekitar 45% dari total asap rokok. Selain itu, sidestream smoke merupakan asap rokok yang berasal dari tembakau yang membara dan asap tersebut berdifusi melalui kertas pembungkus rokoknya dan lepas selama proses merokok, komposisinya sekitar 55% dari total asap rokok.

Gambar 2.1. Jenis asap yang dihasilkan dari proses merokok

Sumber: Patelet al., 2010

2.7. Klasifikasi Perokok

Perokok dapat dibagi mejadi beberapa jenis, yaitu perokok aktif, perokok pasif (secondhand smoke), dan perokok yang terpapar dari perokok pasif (thirdhand smoke). Perokok aktif adalah orang yang merokok secara langsung dan menghirup asapnya ke dalam paru-paru. Perokok pasif (secondhand smoke) adalah istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan orang secara tidak langsung/ involunter menghisap asap yang dikeluarkan perokok aktif. Sedangkanthirdhand smoke merujuk pada paparan senyawa kimia yang mengendap dari secondhand smokeatau sumber lain seperti pakaian yang sudah terpapar asap, kulit, debu yang masuk ke dalam rumah (Scollo dan Winstanley, 2012).

12

2.8. Komposisi Zat/Senyawa dalam Rokok

Asap rokok merupakan campuran substansi kimia yang kompleks, beberapa dari senyawa tersebut mempunyai efek proinflammasi, sitotoksik, dan karsinogenik. Merokok dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu fase gas dan fase partikulat (tar). Fase tersebut berisi ribuan komponen kimia yang bertanggung jawab terhadap kesehatan (Kamholz, 2004).

2.8.1. Nikotin

Nikotin yang struktur kimianya menyerupai neurotransmitter asetilkolin bekerja pada reseptor stereospesifik nikotin kolinergik (nAChRs) di otak dan organ lain. Nikotin memiliki efek secara langsung maupun tidak langsung pada sistem endokrin. Awal fase stimulasi sistem saraf pusat oleh nikotin biasanya diikuti dengan fase depresi sistem saraf pusat. Aktivitas nikotin pada nAChRs menstimulasi pelepasan berbagai neurotransmitter dan hormon meliputi asetilkolin, norepineprin, dopamin, vasopressin, serotonin, dan beta-endorpin.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan penurunan level monoamin oksidase (MAO) di otak. Namun, diperkirakan penurunan MAO disebabkan oleh bahan lain yang terkandung dalam asap selain dari nikotin. Penurunan MAO-A dan MAO-B di otak menghasilkan level dopamin yang lebih tinggi di otak. Nikotin meningkatkan level dopamin melalui aksinya di mesolimbik. Nikotin di sistem saraf pusat menyebabkan peningkatan kewaspadaan, meningkatkan memori, konsentrasi, dan menurunkan kecemasan (Patelet al., 2010).

2.8.2. Karbon Monoksida

Karbon monoksida merupakan komponen penting dari fase gas. Ia dapat bergabung dengan hemoglobin membentuk karboksihemoglobin, yang dalam darah kadarnya akan meningkat 3-10 kali lipat pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok (Kamholz, 2004). Luasnya pembentukan karboksihemoglobin tergantung pada kedalaman inhalasi dan fungsi paru selain jenis dan jumlah rokok yang dihisap. Adanya ikatan karboksihemoglobin

13

mengurangi kapasitas pengangkutan oksigen oleh eritrosit sehingga sering menginduksi sebuah kompensasi eritrositosis dengan peningkatan hematokrit. Eritrositosis meningkatkan viskositas darah dan mengganggu aliran melalui kapiler (Powell, 1998).

2.8.3. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon

Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH), seperti benzo[a]pyrene dan nikotin

turunan nitrosamin, berhubungan dengan sejumlah besar mutasi (G-to-T

transversion) pada gen p53 yang menyebabkan kanker paru. Zat yang bersifat karsinogenik ini berasosiasi dengan penurunan kapasitas perbaikan DNA, yang juga meningkatkan risiko non-small cell lung cancer (Kamholz, 2004). PAH dibentuk oleh pembakaran tidak sempurna dari bahan atau material yang mengandung karbon, dan PAH muncul sebagai komponen penting polusi lingkungan (US. Department of Health and Human Services, 2010).

2.8.4. Nitrogen Oksida

Nitrogen oksida merupakan radikal bebas, salah satu yang banyak dihirup oleh perokok. Radikal bebas yang diabsorpsi mengkatalisis oksidasi low density

lipoprotein (LDL) yang memicu aktivasi endotel, makrofag, dan perkembangan

arterosklerosis di percabangan arteri (Powel, 1998).

2.8.5. Logam dan Metaloid

Logam dan metaloid juga substansi yang banyak dalam tembakau. Mereka biasa disebut dengan “heavy metal”. Substansi ini biasanya ditemukan pada logam murni atau logam alami yang secara kimia berikatan dengan element lain dan dapat berubah secara signifikan (US. Department of Health and Human Services, 2010).

2.8.6. Senyawa Lain

Beberapa senyawa yang terkandung dalam asap rokok selanjutnya dapat dilihat dari tabel berikut: (Powel, 1998)

14

Tabel 2.1. Beberapa senyawa kimia yang ditemukan padamainstream smoke

dansidestream smoke

Mainstream smoke

(Asap Utama) (Asap Sampingan)Sidestream smoke

Karbon monoksida Nitrogen oksida Hidrogen sianida Ammonia Asetaldehid Akrolein Benzene Benzathracene Benzapyrene Toluena Fenol Cresol Acrylamide Nitrosonornicotin Nitrosoanatabine Karbon monoksida Nitrogen oksida Hidrogen sianida Ammonia Asetaldehid Akrolein Benzene Benzathracene Benzapyrene Nitrosonornicotin

2.9. Dampak Rokok bagi Kesehatan

Penggunaan rokok telah dikenal sebagai penyebab kesakitan dan masalah kesehatan global (Bloch et al., 2008). Rokok juga memiliki efek terhadap berbagai sistem dalam tubuh kita.

2.9.1. Sistem Serebrovaskuler

Sawar darah otak (blood brain barrier) berfungsi mempertahankan homeostasis

otak. Sawar ini selektif terhadap berbagai substansi yang masuk ke otak, melindungi pengaruh eksogen maupun sistemik. Sawar darah otak secara dinamis merespon gangguan hemodinamik (misalnya, iskemia fokal) melalui pelepasan radikal bebas dan sitokin-sitokin. Hal ini juga memainkan peran penting dalam melindungi saraf terhadap neurotoksisitas. Disfungsi sawar darah otak terlibat dalam patogenesis dan perkembangan sejumlah gangguan neurologis (termasuk stroke, sklerosis multipel, alzheimer, demensia, epilepsi, dan sebagainya). Asap rokok terbukti menyebabkan vasodilatasi serebrovaskular melalui aktivasi sistem simpatis. Nikotin mengaktivasi reseptor nikotin, yang memicu pelepasan

15

asetilkolin dari endotel pembuluh darah melalui aktivasi endothelial nitric oxide

synthase (eNOS). NO adalah salah satu major endothelium-derived relaxing

factors, yang berperan aktif dalam mengatur tonus mikrovaskular dan aliran daarah serebri dalam keadaan normal maupun patologis. NO juga meningkatkan permeabilitas sawar darah otak yang menyebabkan terganggunya homeostasis otak. Selain itu, paparan nikotin merusak fungsi sawar darah dengan menurunkan

ekspresi ZO1, yang merupakan komponen pentingtight junctionpada sawar darah

otak (Mazzoneet al., 2010).

2.9.2. Sistem Kardiovaskular

Merokok merupakan faktor predisposisi beberapa sindrom arterosklerotik klinis yang berbeda, termasuk angina stabil, sindrom koroner akut, kematian mendadak, dan stroke. Berdasarkan penelitian epidemiologi, paparan asap rokok baik aktif maupun pasif merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas penting terhadap penyakit kardiovaskular. Paparan asap rokok memicu terjadinya disfungsi endotel, atherogenesis, dan trombosis multipel di pembuluh darah. Meskipun mekanismenya belum pasti, radikal bebas yang dimediasi oleh stres oksidatif tampaknya memainkan peran pada penyakit kardiovaskular—penyakit athero- trombitik (Ambrose dan Barua, 2004).

2.9.3. Sistem Respirasi

Lapisan epitel saluran pernapasan bagian atas bertindak sebagai garis pertahanan pertama terhadap agen invasif (polutan, alergen, mikroorganisme). Hal itu menyebabkan gejala klinis pada saluran napas bagian atas. Agius dan rekan rekan menunjukkan bahwa kotinin, metabolit toksik dari nikotin, memiliki kemampuan signifikan dalam menurunkan silia sel epitel secara in vitro. Asap rokok juga dapat menyebabkan perubahan mekanisme produksi mukus. Paparan kronis terhadap asap rokok menyebabkan perubahan metaplastik pada mukosa saluran pernapasan dengan penambahan jumlah serta ukuran sel goblet. Sehingga konsekuensinya akan terjadi peningkatan sekresi mukus. Selain perubahan fungsi, perubahan struktural epitel juga terjadi. Beberapa penelitian menunjukkan asap

16

rokok menyebabkan penurunan viabilitas sel dan menginduksi proses apoptosis padahair cell respiration(Tamashiroet al., 2009).

2.9.4. Sistem Reproduksi

Profesional di bidang kesehatan telah lama mempertimbangkan paparan asap rokok memiliki dampak terhadap reproduksi, mempengaruhi beberapa aspek seperti fertilitas, perkembangan anak, dan pregnancy outcome. Sekitar 10% pasangan yang merokok mengalami infertilitas dan 10-20% wanita yang merokok juga mengalami keguguran atau still birth, dan beberapa komplikasi selama kehamilan seperti kehamilan ektopiks, serta kelahiran prematur (US. Department of Health and Human Services, 2010).

Penelitian secara in vitro telah membuktikan bahwa konsentrasi kadmium

yang tinggi dapat menginhibisi ekspresi dari gen pembelahan rantai Sitokrom P450, aktivitas aromatase, dan beberapa studi klinis mengonfirmasikan bahwa asap rokok memiliki efek antiestrogen pada wanita. Penjelasan lain yang mungkin adalah rendahnya level estradiol pada perokok yang dikarenakan peningkatan 2- hidroksilasi. Tingginya konversi katekoestrogen bisa mengurangi ketersediaan estradiol. Kotinin, metabolit utama nikotin, juga berhubungan dengan inhibisi fungsi sel granulosa-luteal melalui efek antimitosis dan efek apoptosis, menjadi penentu kemungkinan insuffisiensi luteal. Selain itu, stress oksidatif dikaitkan dengan sejumlah kelainan fisiologis dan struktural pada sperma manusia. Kapasitas fertilisasi berkurang karena kegagalan mengusir sisa sitoplasma spermatozoon, berkurangnya kematangan membran dan aktivitas acrosin, dan peningkatan kelainan struktural di bagian ekor sperma (Soares, 2009).

2.10. Paparan Asap Rokok dengan Kelahiran Bayi Prematur

Efek paparan asap rokok pada wanita hamil berhubungan dengan meningkatnya risiko abortus spontan, bayi berat lahir rendah, bayi prematur, kematian neonatus, dan sindroma bayi mati mendadak (Puiget al., 2012).

Rokok dapat meningkatkan risiko kelahiran prematur sebanyak 2 kali. Terdapat lebih dari 3.000 jenis bahan kimia yang terdapat dalam rokok dan

17

efeknya secara biologis masih perlu diteliti. Bagaimanapun, nikotin dan karbon monoksida yang terdapat dalam rokok merupakan vasokonstriktor kuat yang menyebabkan kerusakan plasenta dan menurunkan aliran darah uteroplasenta. Merokok juga berhubungan dengan respon inflamasi sistemik dan meningkatkan kelahiran prematur spontan melalui jalur tersebut (Goldenberget al., 2008).

Level karbon monoksida perokok lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak merokok, hal itu meningkatkan kebutuhan oksigen dalam tubuh. Ikatan hemoglobin dengan oksigen pada perokok biasanya lebih sedikit dibandingkan dengan nonperokok. Rokok menginduksi hipoksemia kronik yang diperkirakan menjadi penyebab perluasan plasenta. Hal tersebut meningkatkan risiko plasenta mencapai serviks. Level asam askorbat plasma yang rendah juga merupakan

Dokumen terkait