• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

1. Untuk masyarakat, khususnya penderita TB yang dalam masa pengobatan agar lebih memperhatikan fungsi pendengarannya dengan mengenali tanda gangguan pendengaran seperti telinga berdenging, pusing berputar, atau penurunan ketajaman pendengaran karena pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ini dapat mempengaruhi pendengaran. Penderita TB yang memiliki keluhan tersebut sebaiknya memeriksakan pendengarannya kepada klinisi dan melakukan pemeriksaan audiometri sehingga kejadian gangguan pendengaran dapat dicegah sedini mungkin.

2. Untuk tenaga kesehatan, agar dapat memberikan informasi dan penyuluhan yang benar tentang adanya efek yang ditimbulkan dari pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terhadap pendengaran serta penyuluhan tentang hasil pemeriksaan pendengaran mereka (seperti hasil audiogram), sehingga penderita TB lebih termotivasi untuk memperhatikan kesehatan pendengarannya.

3. Untuk Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, kiranya bisa diterapkan pemeriksaan telinga secara berkala pada setiap pasien TB paru yang menggunakan OAT agar jangan penyakit tuberkulosisnya saja yang sembuh, tetapi efek samping dari pengobatan tersebut pada telinga bisa dicegah sehingga kualitas hidup penderita TB tersebut bisa tetap maksimal.

4. Penelitian ini masih sangat sederhana, dimana jumlah sampel masih sedikit, alat pemeriksaan sangat sederhana yang hanya dapat menentukan jenis ketulian tanpa mengetahui derajat penurunan ketajaman pendengaran, serta cakupan lokasi yang kurang luas. Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang lebih lanjut dengan sampel dan cakupan lokasi penelitian yang lebih besar serta pemeriksaan menggunakan alat yang lebih canggih agar didapatkan hasil yang lebih tepat dalam menggambarkan hubungan pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan gangguan pendengaran.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis Paru

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis (Djojodibroto, 2009). Basil ini berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih, dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet. Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang lembab (Alsagaff dan Mukty, 2010). Kuman ini dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang

mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membrana selnya sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam (Rab, 2010).

2.1.2. Epidemiologi

WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1.9 milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini. Setiap tahun terjadi sekitar sembilan juta penderita baru TB dengan kematian sebesar tiga juta orang. Di negara berkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhan kasus (Ratnasari, 2012). Sepanjang tahun 2010, sebanyak 73.8% penderita TB paru BTA (+) di Sumatera Utara. Berdasarkan survey, dari jumlah tersebut, kota Medan merupakan yang terbesar jumlah penderitanya. Data yang dilaporkan melalui Penanggulangan dan Pemberantasan Penyakit (P2P)

mengatakan, sebanyak 15.614 orang positif Tuberculosis (TB) paru BTA (+) di Sumatera Utara. Sedangkan estimasi berjumlah 21.148 orang (Widyastuti, 2011).

2.1.3. Patogenesis dan Patologi

Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita TB kepada orang lain. Droplet yang mengandung basil TB yang dihasilkan dari batuk dapat melayang di udara hingga kurang lebih dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tadi terhirup oleh orang

lain yang sehat, droplet tersebut akan terdampar pada dinding sistem pernafasan. Pada tempat terdamparnya, basil tuberkulosis akan membentuk suatu fokus primer berupa tempat pembiakan basil tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan memberikan reaksi inflamasi (Djojodibroto, 2009).

Didalam alveoli yang kemasukan kuman terjadi penghancuran (lisis) bakteri yang dilakukan oleh makrofag dan dengan terdapatnya sel langhans, yakni makrofag yang mempunyai inti di perifer, maka mulailah terjadi pembentukan granulasi. Keadaan ini disertai pula dengan fibrosis dan kalsifikasi yang terjadi di lobus bawah paru. Proses infeksi yang terjadi di lobus bawah paru yang disertai dengan pembesaran dari kelenjar limfe yang terdapat di hilus disebut dengan kompleks Ghon yang sebenarnya merupakan permulaan infeksi yang terjadi di alveoli atau di kelenjar limfe hilus. Kuman tuberkulosis akan mengalami penyebaran secara hematogen ke apeks paru yang kaya dengan oksigen dan kemudian berdiam diri (dorman) untuk menunggu reaksi yang lebih lanjut (Rab, 2010).

2.1.4. Gejala Klinis

Menurut Rab (2010), tanda-tanda klinis yang tampak dari penyakit tuberkulosis adalah terdapatnya keluhan berupa:

 Batuk

 Sputum mukoid atau purulen  Nyeri dada

 Hemoptisis

 Demam dan berkeringat, terutama pada malam hari  Berat badan berkurang

 Anoreksia  Malaise

 Ronki basah di apeks paru

 Wheezing (mengi) yang terlokalisir

Perjalanan penyakit dan gejalanya bervariasi tergantung pada umur dan keadaan penderita saat terinfeksi. Gejala umum berupa demam dan malaise.

Demam dapat mencapai 40o-41oC dan bersifat hilang timbul. Malaise yang terjadi dalam jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu makan berkurang, serta penurunan berat badan. Gejala respiratorik berupa batuk kering maupun batuk produktif. Batuk ini sering bersifat persisten karena

perkembangan penyakitnya lambat. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar (Djojodibroto, 2009).

2.1.5. Diagnosis

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan

dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama (Menkes RI, 2009).

Menurut Kowalak (2011), diagnosis juga dapat ditegakkan melalui:

1. Foto rontgen toraks memperlihatkan lesi nodular, bercak-bercak infiltrat (terutama pada lobus atas paru), pembentukan kavitas, jaringan parut, dan timbunan kalsium.

2. Tes kulit tuberkulin mengungkapkan infeksi hingga taraf tertentu tetapi tidak menunjukkan aktivitas penyakit.

3. Sediaan apus dengan pewarnaan dan pemeriksaan kultur pada sputum, cairan serebrospinal, cairan drainase dari abses atau cairan pleura memperlihatkan bakteri basil tahan asam yang sensitif-panas, tidak bergerak, dan bersifat aerob.

4. CT scan atau MRI memungkinkan evaluasi kerusakan pada paru dan

dapat memastikan diagnosis yang sulit ditegakkan.

5. Bronkoskopi memperlihatkan inflamasi dan perubahan pada jaringan paru. Pemeriksaan ini dapat pula dilakukan untuk mendapatkan sputum jika pasien tidak dapat mengeluarkan spesimen sputum dalam jumlah cukup.

2.1.6. Pengobatan Tuberkulosis

Ada dua prinsip pengobatan tuberkulosis, yaitu: a) paling sedikit menggunakan dua obat, dan b) pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6 bulan setelah sputum negatif untuk tujuan sterilisasi lesi dan mencegah kambuh. Kini semua pasien tuberkulosis diobati dalam jangka pendek, antara 6-8 bulan (Zubaidi, 2007). Menurut Menkes RI (2009), paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia:

o Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3

o Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3 Paduan OAT dan peruntukannya:

1. Kategori-1

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: • Pasien baru TB paru BTA positif

• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif • Pasien TB ekstra paru

2. Kategori-2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

• Pasien kambuh • Pasien gagal

• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

2.2. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu kelompok obat primer dan obat sekunder. Kelompok obat primer, yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin dan pirazinamid, memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Walaupun demikian, kadang terpaksa digunakan obat lain yang kurang efektif karena pertimbangan resistensi atau kontraindikasi pada penderita. OAT sekunder adalah etionamid,

paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin, dan kanamisin (Zubaidi, 2007).

Isoniazid dan rifampisin merupakan dua obat yang paling aktif. Kombinasi isoniazid-rifampisin yang diberikan selama sembilan bulan akan menyembuhkan 95-98% kasus tuberkulosis. Penambahan pirazinamid pada kombinasi isoniazid- rifampisin selama 2 bulan pertama membuat durasi total terapi dapat dipersingkat hingga enam bulan tanpa terjadinya penurunan efektivitas. Baik etambutol

maupun streptomisin tidak menambah aktivitas regimen secara keseluruhan (artinya, durasi terapi tidak dapat dikurangi meskipun salah satu dari kedua obat tersebut digunakan), tetapi obat tersebut memberikan perlindungan tambahan jika isolat mikobakterium terbukti resisten terhadap isoniazid, rifampin, atau keduanya (Chambers, 2010).

Tabel 2.2. Antimikroba yang digunakan dalam terapi tuberkulosis (Chambers, 2010).

Obat Dosis biasa pada dewasa1

Agen lini-pertama Isoniazid 300 mg/hari Rifampisin 600 mg/hari Pirazinamid 25 mg/kg/hari Etambutol 15-25 mg/kg/hari Streptomisin 15 mg/kg/hari Agen lini-kedua Amikasin 15 mg/kg/hari Paraaminosalisilat 8-12 g/hari Kapreomisin 15 mg/kg/hari Etionamid 500-750 mg/hari

Sikloserin 500-1000 mg/hari, terbagi

1fungsi ginjal dianggap normal.

Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Obat ini dapat mencapai kavitas (Zubaidi, 2007), melintasi sawar darah otak dan mencapai kadar terapeutik bila meningens meradang. Penetrasi streptomisin ke dalam sel buruk, dan obat ini aktif terutama pada basil tuberkel ekstrasel (Chambers, 2010).

Resistensi terjadi akibat mutasi titik pada gen rpsL yang mengode gen protein ribosomal S12 atau gen rss yang mengode rRNA ribosomal 16S, yang mengubah lokasi pengikatan ribosomal (Chambers, 2010). Penggunaan streptomisin bersama anti tuberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi (Zubaidi, 2007).

Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira- kira sepertiga streptomisin yang berada didalam plasma terikat protein plasma. Streptomisin diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresikan dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang pada gagal ginjal (Zubaidi, 2007).

Mati rasa dan kesemutan di sekitar mulut terjadi segera setelah injeksi. Reaksi hipersensitivitas kulit dapat terjadi (WHO, 2009). Streptomisin bersifat neurotoksik pada saraf kranialis ke VIII, bila diberikan dalam dosis besar dan jangka lama (Zubaidi, 2007). Vertigo dan tuli merupakan efek samping yang paling sering terjadi dan dapat bersifat permanen (Chambers, 2010). Ototoksisitas dan nefrotoksisitas dihubungkan dengan pemberian obat ini, terjadi lebih sering pada pasien usia lanjut. Gangguan vestibular lebih sering terjadi dibandingkan dengan kerusakan auditori (Hershfield, 1999). Streptomisin tidak boleh diberikan pada masa kehamilan karena dapat menembus sawar plasenta dan menyebabkan gangguan saraf auditorius dan nefrotoksisitas pada bayi (WHO, 2009).

Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif.

Mikroorganisme yang sedang “istirahat” mulai lagi dengan pembelahan biasa bila

kontaknya dengan obat dihentikan. Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal asam mikolat. Isoniazid

menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari mikobakterium (Zubaidi, 2007). Isoniazid larut dengan bebas dalam air. Isoniazid dapat mempenetrasi makrofag sehingga aktif terhadap organisme intrasel dan ekstrasel. Isonizid menghambat sintesis asam mikolat, yang merupakan komponen penting dalam dinding sel mikobakterium. Isoniazid merupakan prekursor obat yang diaktifkan oleh KatG, suatu katalase-peroksidase milik mikobakterium. Bentuk aktif isoniazid membentuk kompleks kovalen dengan protein pembawa beta keto-asil (AcpM) dan KasA, suatu sintetase protein pembawa beta-ketoasetil, yang menyekat sintesis asam mikolat dan membunuh sel (Chambers, 2010).

Resistensi terhadap isoniazid disebabkan mutasi yang mengakibatkan ekspresi berlebihan inhA, yang mengode reduktase untuk protein pembawa asil yang dependen-NADH; mutasi atau delesi gen katG; mutasi promotor yang menyebabkan ekspresi berlebih ahpC, suatu gen virulens putatif yang terlibat dalam perlindungan sel mikobakterium terhadap stres oksidatif; dan mutasi kasA (Chambers, 2010).

Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal kira-kira 20% kadar cairan plasma. Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik. Antara 75-95% isoniazid diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi, dan asam

nikotinat yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali berupa N-metil isoniazid (Zubaidi, 2007).

Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan terjadinya lupus eritematous sistemis yang dipicu oleh obat (Chambers, 2010). Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optik juga dapat terjadi. Kelainan mental dapat juga terjadi selama menggunakan obat ini di antaranya euforia, kurangnya daya ingat sementara, hilangnya pengendalian diri, dan psikosis. Efek samping lain yang terjadi ialah mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, methemoglobinemia, tinitus, dan retensi urin (Zubaidi, 2007). Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi piridoksin. Berbagai reaksi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna (Chambers, 2010).

2.2.3. Rifampisin

Rifampisin menghambat pertumbuhan kuman gram-positif dan gram- negatif (Zubaidi, 2007). Rifampisin adalah bahan ampuh untuk melawan secara aktif pembelahan mikroorganisme intraseluler dan ekstraseluler dan memiliki aktivitas melawan basil semi dormant. Obat ini bekerja terutama dengan menghambat DNA-dependentRNApolimerase, menghalangi transkripsi RNA (Hershfield, 1999).

Rifampisin dapat larut dalam lemak. Dengan pemberian oral, rifampisin dapat diserap dengan cepat dan didistribusikan melalui jaringan dan cairan tubuh. Dosis tunggal 600 mg menghasilkan konsentrasi serum puncak sekitar 10 mcg / ml dalam 2-4 jam, yang kemudian meluruh dengan waktu paruh 2-3 jam (WHO, 2009). Obat ini cepat mengalami deasetilasi, sehingga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk deasetil rifampisin, yang mempunyai aktivitas bakteri penuh. Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme, sehingga walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya

plasma. Obat ini berdifusi baik ke berbagai jaringan termasuk ke cairan otak. Eksresi melalui urin mencapai 30%, setengahnya merupakan rifampisin utuh sehingga gangguan fungsi ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis. Obat ini juga dibuang lewat ASI (Zubaidi, 2007).

Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Dengan dosis biasa, kurang dari 4% penderita tuberkulosis mengalami efek toksik. Yang paling sering adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah. Berbagai keluhan yang berhubungan dengan sistem saraf seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, pening, ataksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya otot dapat juga terjadi (Zubaidi, 2007). Pemantauan klinis (dan tes fungsi hati, jika mungkin) harus dilakukan selama perawatan semua pasien dengan penyakit hati yang sudah ada, yang akan meningkatkan risiko kerusakan hati (WHO, 2009). Rifampisin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air mata, dan lensa kontak. Efek samping yang sesekali muncul meliputi ruam, trombositopenia, dan nefritis (Chambers, 2010).

2.2.4. Etambutol

Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati (Zubaidi, 2007). Etambutol menghambat arabinosil transferase mikobakterium, yang dikode oleh operon embCAB. Arabinosil transferase terlibat dalam reaksi polimerasi

arabinoglikan, suatu komponen esensial dinding sel mikobakterium (Chambers, 2010).

Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol tetap diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah

pemberian sebanyak 25 mg / kg. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke dalam plasma. Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol yang diberikan diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit,

berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Bersihan ginjal untuk etambutol kira-kira 8.6 ml / menit / kg menandakan bahwa obat ini selain mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi melalui tubuli (Zubaidi, 2007). Etambutol melintasi sawar darah otak hanya jika meningens mengalami radang. Seperti semua OAT, resistensi terhadap etambutol segera timbul jika obat ini digunakan secara tunggal. Oleh sebab itu, etambutol selalu diberikan dalam bentuk kombinasi dengan OAT lain (Chambers, 2010).

Dosis harian sebesar 15 mg / kgBB menimbulkan efek toksik yang minimal. Pada dosis ini kurang dari 2% penderita akan mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam. Efek samping lain ialah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala, bingung, disorientasi dan mungkin juga halusinasi. Reaksi kaku dan kesemutan di jari sering terjadi. Efek samping yang paling penting adalah gangguan

penglihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya tajam penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna,

mengecilnya lapangan pandang, dan skotoma sentral maupun lateral. Terapi dengan etambutol menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada 50% penderita. Hal ini disebabkan oleh penurunan ekskresi asam urat melalui ginjal (Zubaidi, 2007).

2.2.5. Pirazinamid

Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik (Zubaidi, 2007), yang dikode oleh pncA. Obat ini tidak aktif pada pH netral, tetapi pada pH 5,5 obat ini menghambat basil tuberkel dan beberapa mikobakterium lain pada kadar sekitar 20 mcg/ml. Pirazinamid diambil oleh makrofag dan memunculkan aktivitasnya terhadap mikobakterium yang tinggal dalam lingkungan lisosom yang bersifat asam. Resistensi dapat disebabkan oleh gangguan ambilan ambilan pirazinamid atau mutasi pada pncA yang mengganggu konversi pirazinamid menjadi bentuk aktifnya (Chambers, 2010).

Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 mcg/ml pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam

pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam

hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini antara 10-16 jam (Zubaidi, 2007). Pirazinamid merupakan obat lini-pertama penting yang digunakan bersama dengan isoniazid dan rifampin pada regimen jangka pendek (yakni, 6 bulan) sebagai agen “sterilisasi” yang aktif terhadap organisme intrasel residual yang dapat menimbulkan relaps (Chambers, 2010).

Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5% penderita), mual, muntah, demam karena obat, dan hiperurisemia (Chambers, 2010).

2.2.6. Etionamid

Etinonamid secara kimiawi terkait dengan isoniazid dan juga menyekat sintesis asam mikolat. Etionamid sulit larut dalam air dan hanya tersedia dalam bentuk oral. Obat ini dimetabolisme di hati. Meskipun secara teoritis bermanfaat, dosis sebesar 1 g / hari ditoleransi dengan buruk karena sering menimbulkan iritasi lambung yang hebat dan gejala neurologis. Etionamid juga bersifat hepatotoksik (Chambers, 2010). Etionamid sering menyebabkan efek samping pada gastrointestinal, seperti nyeri perut, mual, muntah dan anoreksia (Hershfield, 1999). Sering juga terjadi hipotensi postural yang hebat, depresi mental,

mengantuk, dan astenia. Efek samping lain pada sistem saraf mencakup gangguan pada saraf olfaktorius, penglihatan kabur, diplopia, vertigo, parastesia, sakit kepala, rasa lelah, dan tremor (Zubaidi, 2007).

2.2.7. Paraaminosalisilat

Asam aminosalisilat adalah antagonis sintesis folat yang hampir hanya aktif terhadap M. tuberculosis. Asam amiosalisilat cepat diserap dari saluran

cerna. Obat ini didistribusi secara luas dalam berbagai jaringan dan cairan tubuh kecuali cairan serebrospinal. Asam aminosalisilat cepat diekskresi dalam urin, sebagian dalam bentuk asam aminosalisilat aktif dan sebagian lagi dalam bentuk senyawa terasetilasi dan produk metabolik lainnya. Kadar asam aminosalisilat yang sangat tinggi dicapai dalam urin, yang dapat menimbulkan kristaluria (Chambers, 2010).

2.2.8. Sikloserin

Sikloserin merupakan penghambat dinding sel (Chambers, 2010). Sikloserin sering menyebabkan gangguan neurologis dan psikiatri, mencakup sakit kepala, kantuk, bingung, kejang dan psikosis. Gangguan ginjal menurunkan ekskresi obat (Hershfield, 1999). Efek samping yang paling sering timbul dalam penggunaan sikloserin ialah pada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama pengobatan. Gejalanya ialah somnolen, sakit kepala, tremor, disartria, vertigo, gangguan tingkah laku, paresis, serangan psikosis akut, dan konvulsi. Obat ini hanya digunakan pada kegagalan terapi dengan obat primer atau bila kumannya resisten terhadap obat-obat itu. Penggunannya harus bersama dengan obat lain yang efektif (Zubaidi, 2007).

2.2.9. Amikasin dan Kanamisin

Obat ini termasuk golongan aminoglikosida dan bersifat bakterisid dengan menghambat sintesis protein mikroba. Efeknya pada M. tuberkulosis hanyalah bersifat supresif. Pada pemberian IM obat ini diserap dengan cepat dan sempurna. Metabolismenya dapat diabaikan, ekskresinya melalui ginjal kira-kira 90% dan dalam bentuk utuh. Masa paruh eliminasi obat ini sekitar 2 jam. Kanamisin dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang dihubungkan dengan hilangnya fungsi labirin. Kanamisin juga mempunyai efek nefrotoksik sedang (Zubaidi, 2007). Kanamisin telah digunakan dalam terapi tuberkulosis yang disebabkan oleh galur resisten-streptomisin. Efek toksik ginjal biasanya terjadi kadang-kadang, dimana efek toksik auditori lebih sering terjadi. Pemeriksaan reguler terhadap

2.2.10. Kapreomisin

Kapreomisin adalah antibiotik injeksi poliptida dan mekanisme belum diketahui (Chambers, 2010). Obat ini terutama digunakan untuk infeksi paru oleh

M. tuberculosis yang resisten terhadap antituberkulosis primer. Kapreomisin

kurang toksik dan efek bakteriostatiknya lebih besar. Kapreomisin juga merusak saraf otak VIII, oleh karena itu perlu dilakukan audiometri dan pemeriksaan fungsi vestibuler sebelum mulai pemberian obatnya. Efek samping lain adalah hipokalemia, memburuknya fungsi hati, eosinofilia, leukositosis dan leukopenia, serta trombositopenia (Zubaidi, 2007).

2.3. Fisiologi Pendengaran

Telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, tengah, dan dalam. Bagian luar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam

Dokumen terkait