• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

1. Perlu dilakukan penggalakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) lewat penyuluhan tentang pencegahan asma dan faktor resiko terjadinya asma

2. Perlu dilakukan pembinaan peran serta masyarakat dan kerjasama dengan kader-kader PKK. Untuk melakukan bimbingaan, motivasi kepada ibu yang menyusui untuk meningkatkan lagi kesadaran ibu memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, mengingat bahwa ASI merupakan makanan yang paling baik buat bayi

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air Susu Ibu (ASI)

2.1.1. Pengertian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif

ASI adalah satu-satunya makanan bayi yang paling baik, karena mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi yang sedang dalam tahap percepatan tumbuh kembang (Sanyoto dan Eveline, 2008).

ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi yang baru lahir tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur susu, biscuit, bubur nasi, dan tim. Pada bayi yang sehat umumnya tidak memerlukan tambahan sampai usia 6 bulan, tetapi pada keadaan khusus dibenarkan memberikan makanan padat kepada bayi setelah berumur 4 bulan. Misalnya, terjadi peningkatan berat badan yang kurang atau didapatkan tanda tanda lain yang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berjalan dengan baik (Roesli, 2005).

ASI merupakan emulsi lemak dalam protein, laktosa, dan garam organik yang disekresi oleh kelenjar payuudara ibu. ASI tidak memiliki komposisi yang sama dari waktu ke waktu. Komposisi ASI dibedakan menjadi tiga macam yaitu:

1. Kolostrum, ASI yang dihasilkan pada hari pertama sampai hari ketiga setelah bayi lahit, warnanya agak kekuningan, dan lebih kuning dari ASI biasanya, bentuknya agak kasar karena mengandung butiran lemak dan sel-sel epitel.

2. ASI masa transisi, ASI yang dihasilkan dari hari keempat sampai hari kesepuluh.

3. ASI Mature, ASI yang dihasilkan pada hari kesepuluh sampai seterusnya (Retna, 2008).

5

2.1.2. Manfaat Pemberian ASI Eksklusif

Pemberian ASI eksklusif memiliki keuntungan bagi bayi, ibu, keluarga, masyarakat, dan negara. Sebagai makanan bayi yang paling sempurna, ASI dapat dengan mudah dicerna dan diserap karena mengandung enzim pencernaan. Beberapa manfaat ASI sebagai berikut:

1. Bayi

Ketika bayi berumur 0-6 bulan ASI merupakan makanan utama bagi bayi, karena mengandung sekitar 60% kebutuhan bayi. Pemberian ASI dapat mengurangi resiko infeksi lambung dan usus, sembeli serta alergi, bayi yang diberi ASI memiliki sistem imun yang kuat daripada bayi yang tidak diberi ASI, bayi yang diberi ASI lebih mampu menghadapi efek penyakit kuning. Pemberian ASI dapat mendekatkan hubungan ibu dan bayinya. Hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan emosinya di masa depan. Apabila bayi sakit, ASI merupakan makanan yang tepat karena mudah dicerna dan dapat mempercepat penyembuhan. Pada bayi yang

premature, ASI dapat meningkatkan berat badan secara cepat dan

mempercepat pertumbuhan sel otak. Tingkat kecerdasan bayi yang diberi ASI lebih tinggi 7-9 poin dari bayi yang tidak diberi ASI (Roesli, 2000). 2. Ibu

Isapan bayi dapat membuat rahim menciut, mempercepat kondisi ibu untuk kembali kemasa pra kehamilan, mengurangi resiko perdarahan, lemak yang ditimbun di sekitar panggul dan paha pada saat kehamilan akan berpindah kedalam ASI sehingga, ibu cepat kembali langsing, resiko ibu menyusui bayinya untuk terkena kanker rahim dan payudara lebih kecil daripada ibu yang tidak menyusui. Pada ibu yang menyusui anaknya langsung setelah persalinan akan mengurangi perdarahan pada saat selesai persalinan karena pada saat ibu menyusui anaknya akan terjadi peningkatan oksitosin yang berguna untuk kontraksi atau penutupan pembuluh darah.

6

2.2. Asma

2.2.1. Definisi Asma

Tidak ada definisi asma yang diterima secara umum; asma dapat dipandang sebagai penyakit paru obstruktif, difus dengan (1) hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan dan (2) tingginya tingkat reversibilitas proses obstruktif, yang dapat terjadi secara spontan atau sebagai penyakit jalan napas reaktif, kompleks asma mungkin mencakup bronchitis mengi, mengi akibat virus, dan asma terkait atopik. Disamping bronkokonstriksi, radang merupakan faktor patofisiologi yang penting; ia melibatkan eosinofil, monosit dan mediator imun dan telah menimbulkan tanda alternatif bronkitis eosinofilik deskuamasi kronis.

2.2.2. Epidemiologi

Asma dapat timbul pada segala umur; 30% penderita bergejala pada umutangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut biasanya lebih banyak terus-menerus daripada yang musiman; menjadikannya tidak mampu sekolah dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari. Hubungan antara umur timbulnya asma dan prognosanya tidak pasti; anak-anak yang paling berat terkena mulai timbul mengi selama tahun pertama kehidupan dan mempunyai riwayat keluarga asma serta penyakit alergi lainnya (terutama dermatitis atopik). Anak-anak ini dapat mengalami pertumbuhan yang lambat, yang tidak terkait dengan pemberian kortikosteroid, deformitas dada akibat hiperinflasi kronis, dan kelainan uji fungsi paru yang menetap.

Prognosis untuk anak muda yang terkena asma biasanya baik. Sebagian penyembuhan akhir tergantung pada pertumbuhan diameter potongan-melintang jalan napas. Penelitian longitudinal menunjukkan bahwa sekitar 50% dari semua anak asma sebenarnya bebas gejala dalam 10-20 tahun, tapi sering terjadi kekambuhan pada masa anak-anak. Pada anak yang menderita asma ringan yang

7

timbul antara umur 2 tahun hingga pubertas, angka kesembuhan sekitar 50%, dan hanya 5% yang mengalami penyakit berat. Sebaliknya dengan anak asma berat, yang ditandai dengan penyakit kronis tergantung-steroid dengan riwayat rawat inap di rumah sakit yang sering, jarang membaik, dan sekitar 95% menjadi orang dewasa asmatis. Blum diketahui apakah hiperiritabilitas jalan napas mereka pernah menghilang; respon abnormal terhadap hirupan metakolin pada penderita yang dulunya asma ditemukan selama 20 tahun sesudah gejala-gejala telah berkurang.

2.2.3. Faktor Risiko Asma

Baik prevalensi maupun mortalitas asma meningkat selama 2 dekade terakhir. Penyebab kenaikan prevalensi ini tidak diketahui, tetapi beberapa faktor yang dihubungkan dengan timbulnya asma ataupun kenaikan mortalitas telah diketahui. Faktor-faktor risiko timbulnya asma adalah kemiskinan, ras kulit hitam, umur ibu kurang dari 20 tahun pada saat melahirkan, berat badan kurang dari 2500 gram, ibu merokok (lebih dari setengah bungkus per hari), ukuran rumah

kecil (<8 kamar), ukuran keluarga besar (≥6 anggota), dan paparan allergen pada

masa bayi kuat (lebih dari 10µg allergen tungau debu rumah Der p 1 per gram debu rumah yang dikumpulkan). Faktor risiko tambahan dapat meliputi seringnya infeksi pernapasan pada awal masa kanak-kanak dan kurang optimalnya perawatan oleh orangtua. Sensitisasi terhadap allergen hirupan dapat terjadi pada masa bayi, tetapi sensitisasi semakin bertambah sering setelah umur 2 tahun dan dapat ditunjukkan dari banyaknya anak setelah usia 4 tahun yang perlu mengunjungi kamar gawat darurat karena mengi.

Faktor risiko kematian asma adalah meremehkan asma berat, menunda pelaksanaan pengobatan yang tepat, kurangnya penggunaan bronkodilator dan kortikosteroid, ras kulit hitam, tidak patuh terhadap nasihat untuk penanganan, disfungsi dan stress psikososial yang dapat mengganggu kepatuhan dan kepekaan terhadap bertambahnya penyumbatan jalan napas, sedasi serta pemaparan berlebihan terhadap allergen. Pengobatan gawat darurat atau rawat inap di rumah

8

skait, karena asma, yang baru saja dilalui menambah risiko kematian asma. Penderita yang menjadi sasaran penyumbatan jalan napas berat, mendadak dan mereka yang menderita asma kronis tergantung-steroid adalah yang terutama berisiko tinggi untuk kematian oleh karena asma.

2.2.4. Patofisiologi Asma

Manifestasi penyumbatan jalan napas pada asma disebabkan oleh bronkokonstriksi, hipersekresi, mucus, edema mukosa, infiltasi seluler, dan deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan nonspesifik, akan adanya jalan napas yang hiperreaktif, mencetuskan respon bronkokonstriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi alergen yang dihirup (tungau debu, tepung sari, sari kedelain, protein minyak jarak), protein sayuran lainnya, infeksi virus, asap rokok, polutan udara, bau busuk, obat-obatan (NSAID, antagonis reseptor ß, metabisulfit), udara dingin, dan olahraga.

Patologi asma berat adalah bronkokonstriksi, hipertrofi otot polos bronkus, hipertrofi kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang dan deskuamasi. Tanda-tanda patognomosis adalah Kristal Charcot-Leyden (lisofosfolipase membrane eosinofil), spiral Cursch-mann (silinder mukosa bronchial), dan benda-benda Creola (sel epitel terkelupas).

Mediator yang baru disintesis dan disimpan dilepaskan dari sel mast mukosa lokal paska-ransangan nonspesifik atau pengikatan allergen terhadap immunoglobulin (Ig) E terkait-sel dan mast spesifik. Mediator seperti histamine, leukotrien C4, D4, dan E4 serta faktor pengaktif trombosit mencetuskan bronkokonstriksi, edema mukosa dan respon imun. Respons imun awal menimbulkan bronkokonstriksi, dapat diobati dnegan agonis reseptor ß2, dan dapat dicegah dengan agen penstabil-sel mast (kromolin atau nedokromil). Respons imun lambat terjadi 6-8 jam kemudian menghasilkan keadaan hiper-responsif jalan napas berkelanjutan dengan infiltrasi eosinofil dan neutrofil, dapat diobati dan dicegah dengan steroid, dan dapat dicegah dengan kromolin dan nedokromil.

9

Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan napas intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Walaupun penyumbatan jalan napas difus, penyumbatan ini tidak seragam semua di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi, memperburuk ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Hiperinflasi menyebabkan penurunan kelenturan, dengan akibat kerja pernapasan bertambah. Kenaikan tekanan transpulmoner, yang diperlukan untuk ekspirasi melalui jalan napas yang tersumbat, dapat menyebabkan penyempitan lebih lanjut atau penutupan dini (prematur) beberapa jalan napas total selama ekspirasi, dengan demikian menaikkan risiko pneumotoraks. Kenaikan intratoraks dapat mengganggu aliran balik vena dan mengurangi curah jantung, yang kemungkinan tampak sebagai pulsus paradoksus.

2.2.5. Etiologi Asma

Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai suatu keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas bronko-konstriktor neural diperantai oleh bagian kolinergik system saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan napas, mencetuskan reflex arkus cabang aferens, yang pada ujung eferens merangsang kontraksi otot polos bronkus. Neurotrans-misi peptide intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos bronkus. PIV mungkin merupakan suatu neuropeptide dominan yang dilibatkan pada pemeliharaan terbukanya jalan napas. Faktor humoral membantu bronkodilatasi termasuk katekolamin endogen yang bekerja pada reseptor adrenergik-β menghasilkan

relaksasi otot polos bronkus. Bila substansi humoral local seperti histamin dan leukotriene dilepaskan melalui reaksi yang diperantarai proses imunologis, mereka menghasilkan bronkokonstriksi, dengan cara bekerja langsung pada otot polos atau dengan rangsangan reseptor sensoris vagus. Adenosin yang dihasilkan setempat, yang melekat pada reseptor spesifik dapat turut menyebabkan bronkokonstriksi. Metil-santin merupakan antagonis adenosine secara kompetitif.

10

Asma dapat disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat siklase adrenergic-β, dengan penurunan respons adrenergik. Laporan penurunan jumlah

reseptor adrenergic-β pada leukosit penderita asma dapat memberi dasar strukutural hipo-responsivitas terhadap agonis-β. Cara lain, bertambahnya

aktivitas kolinergik pada jalan napas diusulkan sebagai defek pada asma, kemungkinan diakibatkan oleh beberapa kelainan pada reseptor iritan, baik intrinsic ataupun didapat, yang para penderita asma agaknya mempunyai nilai ambang yang rendah dalam responsnya terhadap rangsangan, daripada individu normal. Tidak ada teori yang cocok dengan semua data. Pada penderita-penderita perseorangan biasanya sejumlah faktor turut membantu aktivitas proses asmatis pada berbagai tingkat.

Faktor Endokrin. Asma dapat lebih buruk dalam hubungannya dngan kehamilan dan menstruasi, terutama premenstruasi, atau dapat timbul pada saat wanita menopause. Asma membaik pada beberapa anak pubertas. Hanya sedikit yang diketahui tentang peran faktor endokrin pada etiologi dan pathogenesis asma. Tirotoksikosis menambah keparahan asma; mekanismenya tidak diketahui.

Faktor-faktor Psikologis. Faktor emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi “penyimpangan”

emosional atau sifat-sifat perilaku yang dijumpai pada abak asma tidak lebih sering daripada anak dengan penyakit cacat yang lain. Sebaliknya, pengaruh penyakit kronis berat seperti asma pada pandangan anaknya sendiri, pandangan orangtuanya padanya, atau kehidupan pada umumnya, dapat merusak. Gangguan emosi dan tingkah laku terkait lebih erat dengan pengendalian asma yang buruk daripada keparahan serangan itu sendiri, karenanya, intervensi medis yang ahli dapat mempunyai dampak yang penting.

2.2.6. Manifestasi Klinis Asma

Timbulnya eksaserbasi asma dapat secara akut atau diam-diam. Episode akut paling sering disebabkan oleh pemaparan terhadap iritan seperti udara dingin dan gas (asap) beracun (rokok, cat basah) atau pemaparan terhadap allergen atau

11

bahan kimia sederhana, misalnya aspirin atau sulfit. Bila penyumbatan jalan napas terjadi dengan cepat dalam beberapa menit, sepertinya kebanyakan disebabkan oleh spasme otot polos pada jalan napas besar. Eksaserbasi dipercepat oleh infeksi virus pernapasan yang timbulnya lebih lambat, dengan frekuensi dan keparahan batuk dan mengi yang sedikit demi sedikit bertambah selama beberapa hari. Karena pembukaan jalan napas mengurang pada malam hari, banyak anak menderita asma akut pada saat ini. Tanda-tanda dan gejala-gejala asma adalah batuk, yang kedengarannya lengket dan batuk yang nonproduktif pada awal perjalanan serangan; mengi, takipnea, dan dyspnea dengan ekspresi panjang serta menggunakan otot-otot pernapasan tambahan; sianosis;hiperinflasi dada; tatikardi dan pulsus paradoksus; yang mungkin dijumpai pada berbagai tingkat, tergantung pada stadium dan keparahan serangan. Dapatdijumpai batuk tanpa mengi, atau dijumpai mengi tanpa batuk; juga dapat dijumpai takipnea tanpa mengi. Manifestasinya akan bervariasi tergantung pada keparahan eksaserbasi.

Bila penderita berada pada dalam disters pernapasan yang berat, tanda-tanda utama asma, mengi, mungkin tidak mencolok; pada penderita demikian, dapat terjadi gerakan udara yang cukup untuk menimbulkan mengi hanya sesudah pengobatan bronkodilator, yang memberikan sebagian kelegaan dari penyumbatan jalan napas. Napas yang pendek mungkin begitu berat, sehingga anak mengalami kesukaran berjalan atau bahkan berbicara. Penderita dengan penyumbatan berat bersikap duduk membungkuk, posisi duduk seperti tripod yang membuatnya lebih mudah bernapas. Ekspirasi (khas) lebih sukar karena penutupan prematur jalan napas ekspirasi, tetapi banyak anak yang mengeluhkan kesukaran dalam inspirasi juga. Sering didapat nyeri abdomen terutama pada anak yang lebih muda, dan agaknya karena penggunaan otot abdomen dan diafragma yang berlebihan. Hati dan limpa mungkin dapar teraba karena hiperinflasi paru. Sering dijumpai muntah dan dapat disertai pengurangan gejala sementara.

Selama penyumbatan jalan napas yang berat, usaha yang luar biasa untuk bernapas dapat dijumpai dan anak dapat berkeringat banyak; dapat terjadi demam ringan hanya karena kerja pernapasan yang berat, kelelahan mungkin menjadi

12

berat. Diantara serangan-serangan yang buruk anak dapat bebas gejala sama sekali dan tidak ditemui bukti adanya penyakit paru pada pemeriksaan fisik. Deformitas dada seperti tong merupakan tanda penyumbatan jalan napas asma berat yang kronis dan terus-menerus. Sulkus Harisson, depresi antero-lateral toraks pada insersi diafragma, mungkin ditemui pada anak dengan retraksi berat yang berulang. Jadi tabuh jarang ditemukan pada asma yang tanpa komplikasi, walaupun pada asma berat. Jadi tabuh memberi kesan penyebab penyakit penyumbatan paru kronis lainnya seperti kistik fibrosis.

2.2.7. Diagnosis Asma

Episode batuk berulang dan mengi, terutama jika diperburuk atau dipicu oleh olahraga, infeksi virus atau alergan hirupan, sangat memberi kesan asma. Namun, asma juga dapat menyebabkan batuk menetap pada anak tanpa riwayat mengi karena kecepatan aliran udara tidak mencukupi untuk menimbulkan mengi, penyumbatan jalan napas yang relatif ringan, atau pengasuh tidak mampu mengenali mengi. Gejala-gejala yang buruk tersebut dapat dianggap berasal dari

“batuk alergi,” “bronkitis alergika,” “bronkitis mengi,” atau “bronkitis kronis”.

Uji fungsi paru sebelum dan sesudah oalhraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma. Pemeriksaan selama episode gejala yang berat dapat juga membantu jika terjadi perbaikan pasca-terapi bronkodilator. Lagipula, bila diobati dengan cara-cara yang spesifik untuk asma, dan anak yang terkena menunjukkan perbaikan yang mencolok, memberi kesan kuat bahwa batuk tersebut merupakan tanda asma.

Evaluasi laboratorium. Eosinophilia pada darah dan sputum terjadi pada asma. Eosinoffilia darah lebih dari 250-400 sel/mm3 adalah biasa. Sputum penderita asma sangat kental, elastis dan keputih-putihan. Cat biru metilen-eosin biasanya menampakkan banyak eosinophil dan granula dari sel yang terganggu. Beberapa penyakit pada anak selain asma mungkin menyebabkan eosinophilia dalam sputum. Biakan sputum biasanya tidak membantu pada anak asma karena

13

superinfeksi bakteri jarang dan biakan seringkali terkontaminasi dengan organisme orofaring. Protein serum dan kadar immunoglobulin biasanya normal pada asma, kecuali bahwa kadar IgE mungkin bertambah.

Uji alergi kulit dan URAS (uji radioalergosorben) atau penentuan IgE spesifik secara in vitro lainnya, berguna dalam mengendali allergen lingkungan yang secara potensial penting.

Uji tantangan inhalasi bronkus jarang sekali dilakukan untuk menjajaki arti klinik keterlibatan allergen dengan uji kulit, karena tantangan alergik dapat menimbulkan respons asma fase lambat, prosedur ini memakan waktu dan hanya satu allergen yang dapat diuji pada satu saat. Bila diagnosis asma tidak pasti, uji hiper-responsivitas terhadap pengaruh bronkokon-striktif metakolin atau histamine dapat membantu anak yang cukup tua untuk bekerja sama pada uji fungsi paru. Uji provokatif metakolin tidak boleh dilakukan bila garis dasar fungsi paru abnormal, respons terhadap terapi bronkodilator lebih tepat.

Respons penderita asma terhadap uji olahraga sangat khas. Lari selama 1-2 menit sering menyebabkan bronkodilatasi pada penderita dengan asma; tetapi bila bernapas dalam udara yang kering dan relative dingin, olahraga berat yang lama menyebabkan bronkokonstriksi yang sebenarnya pada semua subjek asmatis. Peragaan respons abnormal terhadap olahraga ini secara diagnostic membantu dan menolong dalam menyakinkan penderita dan orangtua mengenai pentingnya pengobatan pencegahan. Lari pada treadmill 3-4 mil/jam dengan kemiringan 15% serta bernapas melalui mulut selama sekurang-kurangnya 6 menit akan menimbulkan penyumbatan jalan napas pada kebanyakan penderita dengan asma, terutama jika olahraga menyebabkan kenaikan frekuensi nadi sampai sekurang-kurangnya 180 denyut/menit. Pengukuran fungsi paru segera sebelum olahraga, segera sesudah olahraga, juga 5 dan 10 menit kemudian biasanya menampakkan penurunan angka aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow rate = PEFR) atau volume ekspirasi paksa (forced expiratory volume = FEV) dalam 1 detik (FEV1) sekurang-kurangnya 15% tanpa premedikasi. Jika olahraga

14

tidak menyebabkan penyumbatan jalan napas, uji diulangi pada hari lainnya ketika kelembaban udara relative rendah, biasanya mendatangkan respons positif pada penderita asma. Uji olahraga harus ditangguhkan jika terjadi penyumbatan jalan napas yang berarti. Bila mungkin, bronkodilator dan kromolin harus dihentikan selama sekurang-kurangnya 8 jam sebelum pengujian; teofilin lepas lambat (slow release)jangan diberikan 12-24 jam sebelum pengujian.

Setiap anak yang diduga menderita asma tidak memerlukan roentgenogram dada, tetapi pemeriksaan ini seringkali tepat untuk mengesampingkan kemungkinan diagnosis lainnya ataupun komplikasi, seperti atelektasisatau pneumonia. Corakan paru sering bertambah pada asma. Hiperinflasi terjadi selama serangan akut dan dapat menjadi kronis apabila penyumbatan jalan napas menetap. Atelectasis dapat terjadi sebanyak 6% anak selama eksaserbasi akut dan sepertinya terutama melibatkan lobus media kanan, di mana atelectasis dapat menetap selama berbulan-bulan. Roentgenogram ulangan selama masa eksaserbasi biasanya tidak diindikasikan bila tidak ada demam; bila tidak ada kecurigaan pneumotoraks, atau takipnea yang lebih dari 60 denyut/menit, takikardia yang lebih dari 160/menit, ronki atau mengi setempat, atau suara pernapasan yang berkurang.

Uji fungsi paru bermanfaat dalam mengevaluasi anakyang didugaa menderita asma. Pada mereka yang diketahui menderita asma, uji demikian berguna dalam menilai tingkat penyumbatan jalan napas dan gangguan pertukaran gas, pada pengukuran respons jalan napas terhadap alergen dan bahan kimia yang dihirup, atau olahraga (uji provokasi bronkus), dalam menilai respons terhadap agen terapeutik, dan dalam mengevaluasi perjalanan penyakit jangka lama. Penilaian fungsi paru pada asma adalah paling bermanfaat bila dibuat sebelum dan sesudah pemberian aerosol bronkodilator, suatu prosedur yang menunjukkan tingkat reversibiltas penyumbatan jalan napas pada saat pengujian. Kenaikan PFR atau FEVI, sekurang-kurangnya 10% sesudah terapi aerosol, sangat memberi kesan asma. Kegagalan dalam merespons tidak berarti mengesampingkan asma

15

dan dapat disebabkan oleh status asmatikus atau karena fungsi paru yang mendekati-maksimum.

Pada kasus asma ringan yang dalam penyembuhan, kelainan tidak dapat terdeteksi. Pada yang lain mungkin ditemukan berbagai kelainan. Kapasitas total paru, kapasitas sisa fungsional, dan volume sisa bertambah. Kapasitas vital biasanya menurun. Uji-uji dinamis aliran udara, kapasitas vital paksa (forced vital capacity = FVC), FEVI, PFR, dan aliran ekspirasi maksimum antara 25%-75% kapasitas vital (forced expiratory flow = FEF 25-75%) dapat juga menunjukkan pengurangan nilai-nilai, yang kembali ke arah normal sesudah pemberian aerosol bronkodilator.dengan tersedianya instrumen kecil, yang secara relative tidak mahal, yang mengukur angka aliran ekspirasi puncak (PEFR) (Mini-WrightPeak Flow Meter, Healthscan Assess Plus peak flow meter, cocok untuk memantau angka aliran ekspirasi di rumah dua sampai tiga kali sehari. Ini memberikan pengukuran tingkat penyumbatan jalan napas yang objektif di luar kunjungan ke tempat praktek. Penurunan aliran ekspirasi puncak meramalkan mulainya eksaserbasi dan mendorong intervensi dini dengan terapi obat tambahan.

Penentuan gas dan pH darah arterial adalah penting dalam evaluasi

Dokumen terkait