• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Saran dari penelitian ini untuk mengurangi kejadian skabies pada warga binaan pemasyarakatan di Rutan Cabang Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas adalah : 1. Manajemen Rutan Cabang Sibuhuan perlu memperluas bangunan atau menambah

ruang tahanan agar menyesuaikan kapasitas hunian dan memperbaiki kondisi lantai serta juga sekaligus menjaga sanitasi lingkungan rumah tahanan agar tetap bersih dan sehat.

2. Melakukan penyuluhan dari petugas kesehatan, baik dari pihak Puskesmas Sibuhuan maupun dari Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten Padang Lawas kepada warga binaan pemasyarakatan di Rutan Cabang Sibuhuan mengenai pola hidup yang bersih dan sehat dalam hal menjaga kebersihan pribadi agar dapat mencegah dan mengurangi kejadian skabies.

3. Melakukan pemberantasan dan pengobatan bagi warga binaan pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Cabang Sibuhuan yang menderita penyakit skabies secara tuntas sehingga tidak menularkan kepada warga binaan pemasyarakatan lainnya.

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kejadian Skabies 2.1.1 Pengertian Skabies

Penyakit Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varian hominis (Harahap, 2000). Skabies disebut juga dengan itch, pamaan itch, seven year itch (diistilahkan dengan penyakit yang terjadi tujuh tahunan). Di Indonesia skabies lebih dikenal dengan nama gudik, kudis, buduk, kerak, penyakit ampera atau gatal agogo (Djuanda, 2006). Penyakit skabies sering disebut kutu badan. Penyakit ini juga mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia dan sebaliknya.

Skabies mudah menyebar baik secara langsung atau melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah dipergunakan penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya. Skabies menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti disela – sela jari, siku, selangkangan.

Penyakit kulit skabies menular dengan cepat pada suatu komunitas yang tinggal bersama sehingga dalam pengobatannya harus dilakukan secara serentak dan menyeluruh pada semua orang dan lingkungan pada komunitas yang terserang skabies, karena apabila dilakukan pengobatan secara individual maka akan mudah tertular kembali penyakit skabies (Yosefw, 2007).

2.1.2 Sejarah Skabies

Aboumezzan Abdel Malek Ben Zohar merupakan dokter yang pertama mngungkapkan Skabies yang lahir pada tahun 1070 di Spanyol dan wafat pada tahun 1162 di Maroko. Dokter tersebut menuliskan sesuatu yang disebut “soab” yang hidup pada kulit yang menimbulkan rasa gatal. Bila kulit digaruk akan muncul binatang yang sangat sulit dilihat dengan mata telanjang. Pada tahun 1812, Bonomo menemukan Sarcoptes scabiei yang dijelaskan oleh Meunir dan penemuan tersebut yang dibuktikan oleh temuan orang lain. Pada tahun 1839, Gales berhasil mendemonstrasikan cara mendapatkan tungau dari penderita skabies dengan sebuah jarum (Kandun, 2000).

2.1.3 Etiologi Skabies

Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda, Klas Arachnida, ordo Ackarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis. Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih, kotor, dan tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 – 350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.

Siklus hidup tungau ini sebagai berikut, setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang – kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 – 3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50 . Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya.

Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3 – 5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 – 3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12 hari (Handoko, 2001). Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian larva meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati setelah meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi (Mulyono, 1986).

Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar dengan suhu kamar selama lebih kurang 7 – 14 hari. Kulit yang tipis dan lembab merupaka daerah yang sering di serang, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang. Perkembangan penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain keadaan sosial – ekonomi yang rendah, kondisi perang, kepadatan penghuni yang tinggi, tingkat hygiene yang buruk, kurangnya pengetahuan, dan kesalahan dalam diagnosis serta penatalaksanaan skabies (Tabri, 2005).

Transmisi atau perpindahan skabies antara penderita dapat berlangsung melalui kontak langsung (kontak kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan seksual. Selain itu juga dapat melalui kontak tidak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprai, bantal dan lain – lain (Handoko, 2008).

2.1.4Epidemiologi Skabies

Skabies telah menyebar ke seluruh dunia, terutama pada daerah beriklim tropis dan subtropis. Penyakit ini dapat mempengaruhi semua jenis ras di dunia, meskipun demikian gambaran akurat insidensinya sulit ditentukan dengan pasti oleh karena berbagai laporan yang ada hanya berdasarkan catatan kunjungan pasien rawat jalan di rumah sakit (Burns DA, 1998). Dibeberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% – 27% populasi umum (Sungkar, 1995). Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu endemik dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10 – 15 tahun (Harahap, 2000).

Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Anjing dan kucing merupakan sumber utama penularan skabies dari hewan ke manusia, meskipun hewan lainnya seperti sapi, babi, domba, kuda dapat menularkannya (Soedarto, 2003).

Cara penularan skabies melalui dua cara yaitu melalui kontak langsung dan kontak tak langsung. Kontak langsung yang saling bersentuhan seperti berjabat tangan atau tidur bersama dan kontak tak langsung melalui alat – alat seperti tempat

tidur, handuk, sprai, bantal, pakaian dan lain – lain. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat.

Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, atau apabila banyak orang yang tinggal secara bersama – sama disatu tempat yang relatif sempit (Benneth, 1997). Penularan skabies terjadi ketika orang – orang tidur bersama dengan tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah – sekolah yang ada asramanya serta fasilitas masyarakat seperti Rumah Tahanan Negara.

Proses penyebab terjadinya penyakit skabies dimulai dari rantai sebab akibat ke suatu proses kejadian penyakit, yakni proses interaksi antara manusia (pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis, fisiologis, psikologis, sosiologis dan antropologis) dengan penyebab (agent) dan dengan lingkungan (environment).

Host

Environment Agent Gambar 2.1

Hubungan Interaksi Host, Agent dan Environmet

Dalam teori keseimbangan, interaksi antara ketiga unsur tersebut harus dipertahankan keseimbangannya. Bila terjadi gangguan keseimbangan antara ketiganya, akan menyebabkan timbulnya penyakit tertentu, termasuk penyakit kulit skabies (Noor, 2008).

a. Unsur penyebab (agent)

Kejadian setiap penyakit sangat dipengaruhi oleh beberapa unsur yang berinteraksi dengan unsur penyebab dan ikut dalam proses sebab akibat. Faktor yang berinteraksi dalam proses kejadian penyakit dalam epidemiologi digolongkan dalam faktor resiko. Dalam hal ini yang berperan menjadi faktor penyebab dalam terjadinya penyakit skabies adalah tungau sarcoptes scabiei. b. Unsur pejamu (host)

Unsur pejamu terutama manusia dibagi dalam dua kelompok sifat utama, yakni manusia sebagai makhluk biologis dan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk biologis memiliki sifat biologis seperti umur, jenis kelamin, keadaan imunitas dan reaksi tubuh terhadap berbagai unsur dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial mempunyai berbagai sifat khusus seperti kelompok etnik termasuk adat, kebiasaan, agama, kebiasaan hidup dan kehidupan sehari – hari termasuk kebiasaan hidup sehat. Keseluruhan unsur tersebut merupakan sifat karakteristik individu sebagai pejamu dan ikut memegang peranan dalam proses kejadian penyakit, termasuk penyakit kulit skabies yang dapat berfungsi sebagai faktor resiko.

c. Unsur lingkungan (Environment)

Lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya proses penyakit. Secara garis besarnya, maka unsur lingkungan dapat di bagi dalam tiga bagian utama, yakni lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial (Noor, 2008).

2.1.5 Patogenesis Skabies

Beberapa faktor yang mendukung terjadinya peekembangan penyakit skabies, antara lain sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual dengan berganti – ganti pasangan, perkembangan demografis dan ekologis. Penyakit ini juga mudah menular dan sangat cepat perkembangannya, terutama di tempat yang padat penduduk.

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita akibat garukan. Penularan juga dapat terjadi karena bersalaman atau bergandengan tangan yang lama dengan penderita sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kuman skabies berpindah ke lain tangan. Kuman skabies dapat menyebabkan bintil (papul, gelembung berisi air, vesikel dan kudis) pada pergelangan tangan (Handoko, 2008).

Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekreta dan ekskreta tungau yang kira – kira memerlukan waktu sebulan setelah infestasi. Pada saat ini kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papula, vesikel, urtika, dan lain – lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskorisasi (lecet sampai epidermis dan berdarah), krusta (cairan tubuh yang mengering pada permukaan kulit) dan infeksi sekunder (Djuanda, 2006). Mula – mula, manifestasi klinik mungkin ringan, tetapi setelah beberapa minggu kulit mengalami sensitisasi, yang mengakibatkan suatu erupsi yang gatal, tersebar luas dan berupa eritmen (Brown HW, 1979).

Pasien dengan skabies mempunyai gejala yang sangat khas. Ini berbeda dengan penyakit kulit yang lain. Gejala tersebut antara lain :

a. Proritus nocturna, gatal di malam hari. Terjadi karena aktivitas tungau lebih tinggi pada saat hospes dalam keadaan tenang atau tidak beraktivitas dan pada suhu yang lebih lembab dan panas

b. Penyakit skabies menyerang manusia secara kelompok. Misalnya dalam sebuah keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga dapat terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, misalnya asrama, pesantren dan penjara.

c. Adanya lesi yang khas yaitu berupa terowongan (kurnikulus) pada tempat – tempat predileksi, berwarna putih atau keabu – abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok – kelok, rata – rata panjang 1 cm. Ditemukan papul dan vesikel pada ujung terowongan. Kulit dengan stratum korneum yang tipis yang menjadi tempat predileksinya adalah sela – sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genetalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat mengenai telapak tangan dan kaki.

d. Ditemukannya tungau sebagai penentu utama diagnosis. Diagnosis penyakit skabies dapat dibuat jika ditemukan 2 dari 4 tanda kardinal di atas.

2.1.6 Diagnosis Skabies

Diagnosa skabies dilakukan dengan membuat kerokan kulit pada daerah yang berwarna kemerahan dan terasa gatal. Kerokan yang dilakukan sebaiknya dilakukan agak dalam hingga kulit mengeluarkan darah karena sarcoptes betina bermukim agak dalam di kulit dengan membuat terowongan. Untuk melarutkan kerak digunakan

larutan KOH 10 persen selanjutnya hasil kerokan tersebut diamati dengan mikroskop dengan perbesaran 10 – 40 kali. Cara lain adalah dengan meneteskan minyak immesi pada lesi, dan epidermis diatasnya dikerok secara perlahan – lahan (Mawali, 2000).

2.1.7 Pengobatan Skabies

Pengobatan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

a. Delousing, bilas dengan air yang dilarutkan bubuk Diclhoro Diphenyl Trichloroetan (DDT).

b. Olesi dengan salep yang mempunyai daya miticid baik dari zat kimia organik maupun non organik pada bagian kulit yang terasa gatal dan kemerahan, dan didiamkan selama 10 jam.

c. Mandi dengan sabun sulfur / belerang karena kandungan pada sulfur bersifat antiseptik dan antiparasit, tetapi pemakaian sabun sulfur tidak boleh berlebihan karena membuat kulit menjadi kering.

d. Obat tradisional, seperti khasiat tanaman obat permot (Passiflora Foeltida) melalui aplikasi secara topikal atau dengan menggosok – gosokkan pada kulit yang terserang skabies, reaksinya akan mengakibatkan terjadinya pembesaran pori – pori kulit sehingga bahan aktif yang terkandung dalam tanaman permot akan diserap ke dalam kulit dan bereaksi terhadap tungau. Diduga khasiat yang memberikan pengaruh terhadap kematian sarcoptes scabiei adalah asam hidrosianat dan alkaloid.

Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat serta syarat pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi, penyakit ini dapat di berantas dan

memberikan prognosis yang baik (Harahap, 2000). Pengobatan penyakit skabies harus dilakukan secara serentak pada daerah yang terserang skabies agar tidak tertular kembali penyakit ini.

2.2 Sanitasi Lingkungan dan Higiene Perseorangan 2.2.1 Sanitasi Lingkungan

Pengertian sanitasi yaitu suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada kegiatan seseorang untuk berusaha memelihara kesehatan lingkungan hidup manusia. Pencegahan ini dilakukan dengan pemeliharaan makanan, tempat kerja atau peralatan agar sehat dan bebas tercemar dari bakteri, serangga, atau binatang lainnya. Selain pemeliharaan, pengawasan terhadap faktor – faktor lingkungan juga termasuk dalam pencegahan penyakit. Jadi dalam hal ini sanitasi ditujukan kepada lingkungannya, sedangkan hygiene ditujukan kepada orangnya. Beberapa manfaat dapat kita rasakan apabila kita menjaga sanitasi di lingkungan kita, misalnya: mencegah penyakit menular, mencegah kecelakaan, mencegah timbulnya bau tidak sedap, menghindari pencemaran, mengurangi jumlah (presentase sakit), lingkungan menjadi bersih, sehat dan nyaman (Depkes, 2000).

Berdasarkan UU RI No. 23 tahun 1977 tentang pengelolaan lingkungan hidup, lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Menurut Timmreck (2004), lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi dan juga kondisi luar manusia atau hewan yang bisa menyebabkan akan penularan penyakit.

Kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimal, sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimal pula (Mubarak, 2009). Pemeliharaan lingkungan yang bersih dan sehat tentunya akan berdampak bagi kesehatan. Apabila lingkungan tidak terawat dan tidak dilaksanakannya kesadaran masyarakat dalam berperilaku hidup sehat sehingga berbagai penyakit akan ditimbulkannya, mulai dari penyakit yang menyerang sistem pernafasan, sistem pencernaan dan sistem integument seperti penyakit kulit skabies.

Penyakit kulit skabies adalah salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Adapun faktor yang dominan yang paling penting adalah penyediaan air bersih, kepadatan penghuni kesehatan kamar. Ketiga faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia yang termasuk higiene perseorangan. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar tungau skabies serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula maka akan menimbulkan penyakit kulit.

Pemeliharaan lingkungan juga harus disertai dengan kesadaran individu maupun masyarakat dalam berperilaku hidup sehat. Perilaku hidup sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Dunanti, 2001). Lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya proses penyakit. Secara garis besar, unsur lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian utama (Noor, 2008).

a. Lingkungan biologis, seluruh makhluk hidup yang berada di sekitar manusia yang meliputi berbagai mikroorganisme, serta berbagai jenis binatang dan tumbuhan yang dapat mempengarui kehidupan manusia sebagai sumber kehidupan (bahan

makanan dan obat – obatan) maupun sebagai reservoir / sumber penyakit atau pejamu antara (host intermedia). Lingkungan biologis sangat berpengaruh dan memiliki peranan penting dalam interaksi antara manusia sebagai pejamu dengan unsur penyebab, baik sebagai unsur lingkungan yang menguntungkan maupun yang mengancam kehidupan / kesehatan manusia.

b. Lingkungan fisik, keadaan fisik di sekitar manusia dapat berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung, maupun terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia. Lingkungan fisik tersebut terdiri dari udara, keadaan cuaca, geografis dan geologis, air, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai sumber penyakit serta berbagai unsur kimiawi serta berbagai bentuk pencemaran pada air.

c. Lingkungan sosial, lingkungan ini meliputi semua bentuk kehidupan sosial budaya, ekonomi, sistem organisasi, serta institusi / peraturan yang berlaku bagi setiap individu yang membentuk masyarakat tersebut.

Usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau menoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup didalamnya. Menurut Riyadi (1994) sanitasi lingkungan adalah prinsip – prinsip untuk meniadakan atau setidak – tidaknya mengurangi faktor – faktor pada lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit, melalui kegiatan – kegiatan yang ditunjukkan untuk mengendalikan: sanitasi air, pembuangan kotoran, air buangan dan sampah, sanitasi udara, vektor dan binatang pengerat, tetapi dalam hal ini yang menjadi prioritas adalah penyediaan air bersih (sanitasi air).

a. Penyediaan air bersih

Air adalah komponen lingkungan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup makhluk hidup khusunya manusia karena tanpa air manusia tidak dapat hidup. Air juga bias menjadi malapetaka karena tidak tersedia dalam kondisi yang bagus baik kuantitas maupun kualitasnya. Meningkatnya pertumbuhan penduduk serta kegiatan manusia menyebabkan pencemaran sehingga kualitas air yang baik dan memenuhi syarat tertentu sulit diperoleh.

Volume air dalam tubuh manusia rata – rata 65% dari total berat badannya, dan volume tersebut sangat bervariasi pada masing – masing orang, bahkan juga bervariasi antara bagian-bagian tubuh seseorang. Volume rata – rata kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 100 – 200 liter atau 35 – 40 galon (Chandra, 2007).

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416 / Menkes / Per / IX / 1990 tentang syarat – syarat kualitas air bersih meliputi:

1) Syarat Fisik : tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa serta tidak keruh 2) Syarat Kimia, tidak tercemar secara berlebihan oleh zat – zat kimia maupun

mineral karena selain menimbulkan gangguan kesehatan juga merusak instalasi penyediaan air bersih.

3) Kesadahan, merupakan sifat air yang disebabkan oleh adanya ion – ion (kation) logam valensi dua yang mampu bereaksi dengan sabun sehingga membentuk kerak air. Kesadahan dalam air berasal dari kontaknya dengan tanah dan permukaan batuan dan umumnya air sadah berasal dari daerah dimana lapis tanah atas (topsoil) tebal dan ada pembentukan batu kapur.

4) Syarat Mikrobiologi, air sebaiknya tidak mengandung bakteri pathogen dan tidak boleh mengandung bakteri golongan coli yang mengganggu kesehatan. Standar yang dipakai adalah total bakteri Coliform dengan batas tidak boleh lebih dari 1 coli/100 ml air.

5) Syarat Radioaktif, adanya batas tertinggi yang diperkenankan adanya aktivitas Alpha (Gross Alpha Activity) tidak boleh lebih dari 0,1 Bq/L dan aktivitas Beta (Gross Beta Activity) tidak boleh lebih dari 0,1 Bq/L.

Penyakit yang menyerang manusia dapat ditularkan dan menyebar secara langsung maupun tidak langsung melalui air. Penyakit yang ditularkan melalui air disebut sebagai waterbone disease atau water related disease. Penyakit yang berhubungan dengan air dapat dikelompokkan berdasarkan cara penularannya, yaitu :

1) Water borne disease, jika kuman patogen ada dalam air dan diminum oleh manusia sehinggga terjadi penjangkitan penyakit pada orang yang meminum air dimaksud, misalnya penyakit cholera, thypus, abdominalis, hepatitis, dan disentri baselir. Pengawasan terhadap penularan penyakit ini sangat diperlukan terutama pengawasan terhadap penggunaan air bersih

2) Water based disease, penularan penyakit akibat dari penggunaan untuk membersihkan alat – alat misalnya alat dapur, alat makan dan pembersihan alat lain. Penularan penyakit dengan cara water based ini antara lain infeksi saluran pencernaan, infeksi kulit seperti skabies dan selaput lendir.

3) Water washed disease, penyakit yang ditularkan air pada orang lain melalui persediaan air sebagai pejamu (host) perantara, misalnya schistosomiasis.

4) Water related vector insect, yang berhubungan dengan air, penyakit yang berkembang biak dalam air, misalnya malaria, demam berdarah, yellow fever dan trypanosomiasis

Ketersediaan air kadang tidak diiringi dengan usaha – usaha dalam menjaga kebersihan lingkungan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan terhadap kualitas air sesuai dengan syarat kualitas air yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.

b. Kondisi Fisik Rumah 1) Ventilasi

Rumah seharusnya memiliki sistem pertukaran udara yang baik karena udara segar diperlukan untuk menjaga temperatur udara dan kelembaban udara dalam ruangan serta penghuni memerlukan udara yang segar. Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Ventilasi bermanfaat untuk sirkulasi udara dalam ruangan serta mengurangi kelembaban. Salah satu yang mempengaruhi kelembaban dalam ruangan adalah kkeringat manusia. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan, kelembaban semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari pernafasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruangan tertutup dan banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibanding di luar ruangan.

Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan role meter. Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat

kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak

memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah (Kepmenkes, 1999). Menurut Achmadi (2008), ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi debu ataupun kotoran

Dokumen terkait