• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Badan pengawas obat dan makanan selaku badan yang memiliki otoritas di dalam pengawasan obat dan makanan di Medan sebaikanya lebih mengawasi dan lebih sering mengambil sampel jamu yang beredar di pasaran agar mengeteahui apakah masih ada jamu yang mengandung bahan kimia obat atau tidak, sehingga produsen takut untuk memproduksi jamu yang mengandung bahan kimia obat lagi. Selain itu diberikan penyuluhan kepada masyarakat baik yang berperan sebagai produsen, maupun konsumen dari obat tradisional akan bahaya dari penambahan bahan kimia obat dis dalam jamu. Hal tersebut akan menumbuhkan kesadaran bagi para produsen serta konsumen yang dapat lebih berhati-hati dalam memilih jamu yang ingin dikonsumsi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional

Obat bahan alam yang lebih dikenal dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Wasito, 2011).

2.2 Penggolongan Jamu

Pada dasarnya jamu dapat digolongkan menjadi 3 jenis yakni: 1. Jamu

Inilah jamu tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Dipasaran, kita bisa menjumpainya dalam bentuk herbal kering siap seduh atau siap rebus, juga dalam bentuk segar rebusan (jamu godhok) sebagaimana dijajakan para penjual jamu gendong.

2. Herbal Terstandar

Sedikit berbeda dengan jamu, herbal terstandard umumnya sudah mengalami pemrosesan, misalnya berupa ektrak atau kapsul. Herbal yang sudah di ekstrak tersebut sudah diteliti khasiat dan keamanannya melalui uji pra klinis (terhadap hewan) di laboratorium. Dan bahan bakunya sudah terstandar.

3. Fitofarmaka

Merupakan jamu dengan “kasta” tertinggi karena khasiat, keamanan serta standar proses pembuatan dan bahannya telah di uji secara klinis. Jamu fitofarmaka di jual di apotek dan sering diresepkan oleh dokter (Yuliarti, 2008). 2.2.1 Manfaat dan Bahaya Jamu

1. Manfaat Jamu

Pada awalnya jamu adalah ramuan warisan nenek moyang yang digunakan secara turun temurun. Pengguna jamu juga kalangan terbatas dalam arti belum banyak orang yang percaya namun kini orang makin percaya dengan khasiat dan manfaat jamu sehingga jamu menjadi kian popular. Manfaat jamu diantaranya menjaga kebugaran tubuh, menjaga kecantikan, mencegah penyakit, dan mengobati penyakit

2. Bahaya Jamu

Dibalik manfaatnya yang besar seperti halnya obat, jamu juga berbahaya jika digunakan secara sembarangan misalnya digunakan secara terus menerus, digunakan dalam jumlah yang berlebihan maupun konsumen salah memilih jamu yang dikomposisi misalnya mengonsumsi jamu-jamu palsu ataupun jamu yang dicampur zat berbahaya, sehingga tidak bermanfaat bagi tubuh bahkan akan menimbulkan efek negatif pada tubuh kita (Yuliarti, 2008).

2.3 Kapsul

Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut.

Jenis kapsul terdiri dari:

a. Hard capsule (cangkang kapsul keras)

Kapsul yang menggunakan cangkang yang dibuat dari gelatin dalam berbagai ukuran disesuaikan dengan jumlah serbuk obat yang akan dimasukkan. Cangkang kapsul umumnya berbentuk tabung berujung bulat terdiri dari wadah dan tutup.

b. Soft capsule (cangkang kapsul lunak atau kenyal)

Kapsul yang cangkangnya berbahan dari campuran yang terdiri dari gelatin, gliserol, dan sorbitol atau metilselulosa dalam perbandingan yang sama (Ditjen POM, 1995).

2.3.1 Persyaratan Kapsul

lsi kapsul harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Keseragaman bobot (untuk kapsul yang berisi obat tradisional kering) Tidak lebih dari 2 kapsul yang masing-masing bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-ratanya lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom A dan tidak satu kapsul pun yang bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom B, yang tertera pada daftar berikut (Depkes RI, 1994).

Tabel 1. Persyaratan Keseragaman Bobot Kapsul Bobot rata-rata isi

kapsul

Penyimpangan terhadap bobot isi rata-rata

A B

120 mg atau kurang ± 10% ± 20%

2.4 Disfungsi Ereksi

2.4.1 Pengertian Disfungsi Ereksi

Disfungsi ereksi (erectile dysfunction, ED) sebelumnya disebut impotensi, adalah ketidakmampuan pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi. Erectile dysfunction dapat timbul sekali-kali, sering, atau setiap kali pria berusaha untuk berhubungan intim. Ketika ditanya, sekitar 35% pria berusia 40 tahun atau lebih dan lebih dari 80% pria berusia 70 tahun atau lebih melaporkan setidaknya ED sporadic. Meski dulunya, ED dipercaya terjadi sebagian besar karena faktor psikologis, tetapi kini diketahui bahwa untuk sebagian besar penyebab utamanya faktor fisik (Corwin, 2009).

2.4.2 Penyebab Disfungsi Ereksi Penyebab disfungsi ereksi ada 2 yaitu:

1. Penyebab fisik

Salah satu penyebab fisik utama disfungsi ereksi adalah aterosklerosis arteri-arteri penis. Pada aterosklerosis, aliran darah kepenis berkurang dan terjadi penurunan kemampuan arteri-arteri penis untuk berdilatasi sewaktu perangsangan seksual, yang menyebabkan terbatasnya pembengkakan. Penyebab fisik lainnya adalah penyakit-penyakit sistemik misalnya hipotiroidisme, akromegali, dan yang tersering, diabetes mellitus. Selain itu ada juga obat yang diketahui mengganggu kemampuan pria untuk mencapai ereksi dan/ orgasme, termasuk sebagian obat antihipertensi dan obat psikotropik

2. Penyebab psikologis

Disfungsi ereksi psikologis dapat terjadi akibat adanya aktiva impuls-impuls inhibitorik desendens yang berasal dari korteks serebrum. Keadaan psikologis yang berkaitan dengan ED adalah stress, rasa marah, rasa cemas, dan depresi (Corwin, 2009).

2.4.3 Penatalaksanaan terapi

Dalam terapi disfungsi ereksi, yang menjadi sasaran terapi (bagian yang akan diterapi) adalah ereksi penis. Berdasarkan sasaran yang diterapi, maka tujuan terapi adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas ereksi penis yang nyaman saat berhubungan seksual. Kualitas yang dimaksud adalah kemampuan untuk mendapatkan dan menjaga ereksi. Sedangkan kuantitas yang dimaksud adalah seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjaga ereksi (waktu untuk tiap-tiap orang berbeda untuk mencapai kepuasan orgasme, tidak ada waktu normal dalam ereksi).

Sebelum memilih terapi yang tepat, perlu diketahui penyebab atau faktor resiko pada pasien yang berperan dalam menyebabkan munculnya disfungsi ereksi. Hal ini terkait dengan beberapa penyebab disfungsi ereksi yang terkait. Dengan demikian, jika diketahui penyebab disfungsi ereksi yang benar maka dapat diberikan terapi yang tepat pula. Terapi untuk disfungsi ereksi dapat dibedakan menjadi dua yaitu terapi tanpa obat (nonfarmakologis-pola hidup sehat dan menggunakan alat ereksi seperti vakum ereksi) dan terapi menggunakan obat (farmakologis).

Yang pertama kali harus dilakukan oleh pasien disfungsi ereksi harus memperbaiki pola hidup menjadi sehat. Beberapa cara dalam menerapkan pola hidup sehat antara lain olah raga, menu makanan sehat, kurangi dan hindari rokok atau alkohol, menjaga kadar kolesterol dalam tubuh, mengurangi berat badan hingga normal), dan mengurangi stres. Jika dengan menerapkan pola hidup sehat, pasien sudah mengalami peningkatan kepuasan ereksi maka pasien disfungsi ereksi tidak perlu menggunakan obat atau vakum ereksi

Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan disfungsi ereksi antara lain golongan phosphodiesterase inhibitor5 (sildenafil, vardenafil, dan tadalafil), alprostadil (disuntikkan di penis-intracevernosal dan dimasukkan dalam ureter-intrauretral), papaverine, trazodone, dan dengan testosteron replacing hormone (penambahan homon estrogen). Obat yang digunakan sebagai obat pilihan untuk pengobatan disfungsi ereksi adalah sildenafil (Siwi, 2007).

2.5 Sildenafil Sitrat

Obat ini bukan steroid kelamin. Obat ini digunakan secara oral untuk penanganan disfungsi ereksi. Sildenafil beraksi dengan menghambat fosfodiasterase dalam otot polos vaskuler. Fosfodiesterase merupakan enzim yang mengubah cGMP menjadi GMP. Di lain pihak, Nitrit Oksida dilepaskan oleh sel syaraf atau sel endothelial yang dapat bereaksi dengan otot polos, membentuk cGMP yang bisa menyebabkan relaksasi otot polos. Relaksasi inilah yang menghasilkan ereksi pada organ kelamin laki-laki (Nugroho, 2012).

2.5.1 Struktruk Sildenafil Sitrat

Nama dagang : VIAGRA® Berat Moleku : 666,7

Pemerian : Serbuk kristalin berwarna putih sampai keputihan dengan kelarutan 3,5 mg/ml dalam air

Sediaan : Sildenafil sitrat tersedia dalam bentuk tablet bersalut film bermerek Viagra® sebagai produk Pfizer 2.5.2 Efek Samping

Efek sampingnya umumnya bersifat singkat dan tidak begitu serius, yang tersering berupa sakit kepala (10%), muka merah (flushing), gangguan penglihatan (guram sampai melihat segala sesuatu kebiru-biruan, 3%) dan mual, yang semuanya berkaitan dengan blockade PDE 5 yang terdapat diseluruh tubuh. Efek lainnya dapat terjadi hilangnya kesadaran (‘black out’) akibat turunnya tensi terlalu keras, apalagi dalam kombinasi dengan nitrogliserin atau antihipertensiva lainnya, beberapa kematian diantara pemakai telah dilaporkan, tetapi tidak ditemukan hubungan kausal dengan sildenafil. Namun, pasien jantung/hati dan dengan hipotensi tidak dianjurkan menggunakan sildnafil (Tjay, 2007).

2.5.3 Mekanisme Kerja Sildenafil Sitrat

Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambat enzim fosfodiesterase (PDE) dengan jalan memblokir reseptornya, sehingga cGMP terhambat penguraiannya dan ereksi dipepanjang sampai 3-5 jam. Karena tidak menstimulasi pembentukan cGMP, melainkan hanya memperkuat/ memperpanjang daya kerjanya, sildenafil tidak efektif jika belum/ tidak terdapat stimulasi atau eksitasi seksual. Artinya, tidak bekerja sebagai afrodisiacum untuk menimbulakan syahwat (libido) (Tjay, 2007).

2.5.4 Kontra Indikasi

Sildenafil tidak boleh digunakan pada pasien dengan fungsi ereksi normal karena dapat menyebabkan ereksi terlalu lama/ prolong erection (menimbulkan nyeri yang sangat pada penis); pasien yang menggunakan nitrat (isosorbid dinitrat/mononitrat-untuk pengobatan angina pektoris) karena dapat meningkatkan efek hipotensi dari nitrat sehingga tekanan darah menjadi terlalu rendah (shock hipotensi), pasien dengan terapi simetidin, eritromisin, ketoconazole, itraconazole karena meningkatkan resiko munculnya efek samping sildenafil (Siwi, 2007). 2.5.5 Dosis

Dewasa 50 mg, 1 jam sebelum aktifitas seksual, dapat dinaikkan sampai dengan maksimal 100 mg atau diturunkan sampai dengan 25 mg. frekuensi maksimal 1x sehari. Pertimbangan untuk penggunaan dosis awal 25 mg pada pada pasien usia > 65 tahun, gangguan hati, gangguan ginjal berat, dan penggunaan bersama dengan penghambat sitokrom P4503A4 poten. Jangan melebihi dosis

tunggal maksimal 25 mg/ 48 jam pada pasien yang menggunakan ritonavir (Anonim, 2010)

2.6 Identifikasi sildenafil sitrat dalam sediaan kapsul jamu kuat secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri Ultraviolet

2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis

Salah satu cara untuk mengidentifikasi bahan kimia obat yang terdapat dalam sediaan obat tradisonal adalah dengan menggunakan kromatografi lapis tipis dan dilanjutkan dengan spektrofotometri ultraviolet untuk melihat spektrumnya. Di antara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi lapis tipis (disingkat KLT) adalah yang paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi. Metode ini hanya memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, menggunakan waktu yang singkat untuk menyelesaikan analisis (15-60 menit), dan memerlukan jumlah cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 g). Selain itu, hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan ruangan minimum, dan penanganannya sederhana (Stahl, 1985).

Keuntungan lain dari kromatografi lapis tipis ini adalah, dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet (Stahl, 1985).

Komponen-komponen Kromatografi Lapis Tipis yaitu: a. Fase Diam

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya (Rohman, 2009).

Kebanyakan penjerap yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder) yang dimaksud untuk memberikan kekuatan pada lapisan, dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Pengikat yang digunakan kebanyakan kalium sulfat. Tetapi biasanya dalam perdagangan silika gel telah diberi pengikat. Jadi tidak perlu mencampur sendiri, dan diberi nama dengan kode silika gel G (Sastrohamidjojo, 1985).

b. Fase Gerak

Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Yang digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan, bila diperlukan, sistem pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka banding campuran dinyatakan dalam bagian volume sedemikian rupa sehingga volume total 100, misalnya, benzena-kloroform-asam asetat 96% (50:40:10).

c. Bejana Pemisah dan Penjenuhan

Bejana harus dapat menampung pelat 200x200 mm dan harus tertutup rapat. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih

yang lebarnya 18 – 20 cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada dinding sebelah-dalam bejana berbentuk U dan dibasahi dengan pelarut pengembang. Tingkat kejenuhan bejana dengan uap pelarut pengembang mempunyai pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak bercak pada kromatogram (Stahl, 1989).

d. Aplikasi (Penotolan) Sampel

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 µl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda.

e. Deteksi Bercak

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak bewarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan fluoresensi sinar ultraviolet. Lapisan tipis sering mengandung indikator fluoresensi yang ditambahkan untuk membantu penampakan bercak tanwarna pada lapisan yang telah dikembangkan. Indikator fluoresensi ialah senyawa yang memancarkan sinar tampak jika disinari dengan sinar berpanjang gelombang lain, biasanya sinar ultraviolet. Indikator fluoresensi yang paling berguna ialah sulfida anorganik yang

memancarkan cahaya jika disinari pada 254 nm. Indikator fluoresensi terdapat dalam penjerap niaga dan lapisan siap pakai sekitar 1% dan tampaknya tidak berperan dalam proses kromatografi (Rohman, 2009; Gritter, 1991).

2.6.2 Spektrofotometri Ultraviolet

Spektrum ultraviolet dan cahaya tampak suatu zat pada umumnya tidak mempunyai derajat spesifikasi yang tinggi. Walaupun demikian, spektrum tersebut sesuai untuk pemeriksaan kuantitatif dan untuk berbagai zat spekstrum tersebut bermanfaat sebagai tambahan untuk identifikasi (Ditjen POM, 1995).

Spektra UV-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Dasar dari spektrofotometri ultraviolet-visible adalah penyerapan molekuler elektronik dalam larutan. Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 – 400 nm, sementara sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400 – 750 nm. Jadi, spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200 – 800 nm (Rohman, 2009).

Komponen-komponen dari spektrofotometer UV-Vis meliputi sumber-sumber sinar, monokromator, dan sistem optik.

i. Sumber-sumber lampu; lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190 – 350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel (pada panjang gelombang anatar 350 – 900 nm)

ii. Monokromator; digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan instrumen melewati spektrum.

iii. Optik-optik; dapat didesain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen, suatu larutan blanko dapat digunakan dalam suatu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi (Rohman, 2009).

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pola hidup “back to nature” sangat dirasakan dewasa ini, baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Mahalnya harga dan tingginya efek samping dari obat-obat sintetis, mendorong pencarian sumber bahan baku obat dari bahan alam. Hal ini merupakan keuntungan bagi masyarakat Indonesia yang kaya akan tumbuhan obat, tumbuhan dari bahan alam itu biasanya dikenal masyarakat sebagai obat tradisional yang dikemas dalam bentuk jamu dengan bentuk sediaan yang bermacam-macam (Yuliarti, 2008).

Komposisi jamu yang ada pada umumnya terdiri dari beberapa macam simplisia yang satu sama lain saling berinteraksi, mendukung maupun menetralisasikan. Itulah sebabnya daya kerja jamu tidak dapat diharapkan secepat efek obat dalam bentuk kimia murni yang dapat dengan langsung ditujukan kepada penyakit (Soeparto, 1999).

Badan pengawas obat dan makanan (Badan POM) selaku badan yang memiliki otoritas di dalam pengawasan obat dan makanan di Indonesia, menemukan beberapa produk obat tradisional yang didalamnya dicampuri bahan kimia obat (BKO). Bahan kimia obat di dalam obat tradisional inilah yang menjadi selling point bagi produsen. Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya, atau bahkan semata-mata demi

meningkatkan penjualan, karena konsumen menyukai produk obat tradisional yang bereaksi cepat pada tubuh (Yuliarti, 2008).

Salah satu jenis jamu tradisional yang dicurigai badan POM di pasaran dan yang sering ditambahkan BKO ialah jamu kuat. Dalam jamu kuat tersebut ditambahkan bahan kimia salah satunya sildenafil sitrat. Sildenafil sitrat digunakan untuk terapi disfungsi ereksi pada pria, efek samping dari pemakaian obat ini ialah kepala pusing, muka merah, gangguan penglihatan dan mual. Banyak bahaya dapat terjadi pada konsumen yang kurang paham efek dari jamu yang “caspleng” tersebut. Oleh karena itu penulis ingin melakukan identifikasi sildenafil sitrat dalam kapsul jamu kuat secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri Ultraviolet. Pengujian yang dilakukan oleh penulis di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari identifikasi sediaan obat tradisional secara Kromatografi Lapis Tipis Dan Spektrofotometri Ultraviolet adalah untuk mengetahui apakah pada salah satu jamu kuat yang beredar di pasaran mengandung bahan kimia obat sildenafil sitrat atau tidak.

1.3 Manfaat

Adapun manfaat yang diperoleh dari identifikasi sildenafil sitrat dalam kapsul jamu kuat secara Kromatografi Lapis Tipis Dan Spektrofotometri Ultraviolet adalah untuk memperoleh informasi tentang jamu kuat yang mengandung sildenafil sitrat di pasaran.

IDENTIFICATION OF SILDENAFIL CITRATE IN STRONG HERBAL BY THIN-LAYER CHROMATOGRAPHY AND ULTRAVIOLET

SPECTROPHOTOMETRY Abstract

Traditional medicine is the ingredient or ingredients in the form of plant material, animal ingredients, mineral materials, sarian (galenic) or mixtures of these materials that have been used for generations. In general, herbs can not cure all kinds of disease and its effects are not as fast as the natural chemical drugs. Identification of sildenafil citrate in strong herbal capsules Thin Layer Chromatography and Ultraviolet Spectrophotometry aims to determine whether the powerful herbs in the market that contain no chemicals, drugs or not. Sildenafil citrate is used to treat erectile dysfunction. Identification of sildenafil citrate in strong herbal conducted at the Center for Food and Drug Administration (BBPOM) in Medan, identification using Thin Layer Chromatography and Ultraviolet Spectrophotometry. Results obtained from the reference standard Rf 0.80 price approached with sample rates Rf 0.75, and approaching the reference standard pick samples, from these results it can be concluded that the positive traditional medicines containing sildenafil citrate drug chemicals that are in the test sample does not meet the the same strict.

Keywords: traditional medicine, sildenafil citrate, TLC, and UV spectrophotometry

IDENTIFIKASI SILDENAFIL SITRAT DALAM KAPSUL JAMU KUAT SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI

ULTRAVIOLET Abstrak

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan. Pada umumnya jamu tidak dapat menyembuhkan segala macam penyakit dan efek kerjanya alamiah tidak secepat obat kimia. Identifikasi sildenafil sitrat dalam kapsul jamu kuat secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri Ultraviolet ini bertujuan untuk mengetahui apakah jamu kuat yang beredar dipasaran ada yang mengandung bahan kimia obat atau tidak. Sildenafil sitrat digunakan untuk terapi disfungsi ereksi. Identifikasi sildenafil sitrat dalam jamu kuat dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan, Identifikasinya menggunakan Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri Ultraviolet. Hasil yang diperoleh dari harga Rf baku pembanding 0,80 mendekati dengan harga Rf sampel 0,75, dan pick baku pembanding mendekati dengan sampel, dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa obat tradisional positif mengandung bahan kimia obat sildenafil sitrat sehingga sampel yang di uji tidak memenuhi persyratan.

Kata kunci: obat tradisional, sildenafil sitrat, KLT, dan Spektrofotometri Ultraviolet

IDENTIFIKASI SILDENAFIL SITRAT DALAM KAPSUL

JAMU KUAT SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN

SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET

TUGAS AKHIR

OLEH: MUHZA LUBIS

NIM 102410044

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah : “Identifikasi Sildenafil Sitrat dalam Sediaan Obat Tradisional Kapsul Jamu Kuat Secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri Ultraviolet” yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan tugas akhir ini penulis telah banyak mendapat bimbingan, bantuan dan dukungan baik moril maupun spiritual dari berbagai

Dokumen terkait