• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V - KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

5.2 Saran

Penelitian yang penulis lakukan masih dalam tahap kecil namun bermanfaat bagi masyarakat pendukung kebudayaan serta pihak departemen pemerintah yang mengemban tugas menjaga dan melestarikan Budaya Nusantara. Kiranya penelitian ini dapat membuka jalan untuk penelitian berikutnya. Adapun saran yang penulis kemukakan adalah : perlu diadakan pelatihan penelitian surdam tangko kuda agar semakin maraknya industry musik tradisional Karo, Pemasaran dan management yang jelas agar surdam yang dihasilkan bisa terus berkesinambungan khususnya untuk kegiatan ekonomi pengrajin, pertunjukan kesenian tradisonal secara berkesinambungan. Maksudnya ada festival atau karnaval Budaya Pemerintah yang menjadi wadah bagi para seniman-seniman daerah lainnya untuk lebih menyemangati para pelaku seni. Hal ini bermanfaat untuk kontuinitas dan kelestarian budaya kita Indonesia.

BAB II

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

Di dalam Bab II ini penulis akan menerangkan gambaran lokasi penelitian dengan spesifikasi objek penelitian surdam belin (tangko kuda) yang terdapat di Desa Hulu, yang dibuat oleh Bapak Pauji Ginting, sebagai latar belakang budaya Karo yang diinternalisasikannya. Begitu juga dengan gambaran masyarakat Karo pada umumnya yang memiliki kebudayaan tersebut. Sehingga dalam tulisan ini penulis juga memaparkan setiap kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Karo dengan rincian terkait kesenian tradisional dalam masyarakat Karo pada khususnya. Dengan melihat gambaran lokasi penelitian maka pembaca diharapkan mengerti dan paham dengan kesenian tradisional yang terdapat dalam masyarakat Karo pada umumnya.

2.1 Sejarah Berdirinya Kabupaten Deli Serdang

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Kabupaten Deli Serdang yang dikenal sekarang ini merupakan dua pemerintahan yang berbentuk Kerajaan (Kesultanan) yaitu Kesultanan Deli yang berpusat di Kota Medan, dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan, kurang lebih 38 km dari Kota Medan menuju Kota Tebing Tinggi. Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatera Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar NST (Negara Sumatera Timur) yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda) dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk Negara Republik Indonesia. Para pendukung NST membentuk Permusyawaratan Rakyat se-Sumatera Timur menentang Kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk

oleh Front Nasional. Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian bergabung dengan NRI, sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST) tdak bersedia. Akhirnya Pemerintah NRI meminta kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk mencari kata sepakat dan mendapat mandat penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang pembentukan Negara Kesatuan dengan hasil antara lain Undang-Undang Dasar Sementara Kesatuan yang berasal dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945

Atas dasar tersebut terbentuklah Kabupaten Deli Serdang seperti tercatat dalam sejarah bahwa Sumatera Timur dibagi atas 5 (lima) Afdeling, salah satu diantaranya Deli en Serdang, Afdeling ini dipimpin seorang Asisten Residen beribu kota Medan serta terbagi atas 4 (empat) Onderafdeling yaitu Beneden Deli beribu kota Medan, Bovan Deli beribu kota Pancur Batu, Serdang beribu kota Lubuk Pakam, Padang Bedagai beribu kota Tebing Tinggi dan masing-masing dipimpin oleh Kontrolir. Selanjutnya dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur tanggal 19 April 1946, Keresidenan Sumatera Timur dibagi menjadi 6 (enam). Kabupaten ini terdiri atas 6 (enam) Kewedanaan yaitu Deli Hulu, Deli Hilir, Serdang Hulu, Serdang Hilir, Bedagei (Kota Tebing Tinggi) pada waktu itu ibu kota berkedudukan di Perbaungan. Kemudian dengan Besluit Wali Negara tanggal 21 Desember 1949 wilayah tersebut adalah Deli Serdang dengan ibu kota Medan meliputi Lubuk Pakam, Deli Hilir, Deli Hulu, Serdang, serta Padang dan Bedagai. Pada tanggal 14 November 1956. Kabupaten Deli dan Serdang ditetapkan menjadi Daerah Otonom dan namanya berubah menjadi Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan Undang Nomor 22 tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Drt

Tahun 1956. Untuk merealisasikannya dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Namun, tahun demi tahun berlalu setelah melalui berbagai usaha penelitian dan seminar-seminar oleh para pakar sejarah dan pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang pada waktu itu (sekarang Pemerintah Kabupaten Deli Serdang), akhirnya disepakati dan ditetapkanlah bahwa Hari Jadi Kabupaten Deli Serdang adalah tanggal 1 Juli 1946.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1984, ibu kota Kabupaten Deli Serdang dipindahkan dari Kota Medan ke Lubuk Pakam dengan lokasi perkantoran di Tanjung Garbus yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara tanggal 23 Desember 1986.

2.1.1 Letak Geografis Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Deli Serdang secara geografis, terletak diantara 2°57’ - 3°16’ Lintang Utara dan antara 98°33’ - 99°27’ Bujur Timur, merupakan bagian dari wilayah pada

posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah 2.497,72 Km2 Dari luas Propinsi Sumatera Utara, dengan batas sebagai berikut:

(a) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Melaka, (b) Sebelah Selatan berbatasan dergan Kabupaten Karo,

(c) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai, dan

(d) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat. Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, secara administratif terdapat dua puluh dua (22) Kecamatan yang ada di Kabupaten Deli Serdang salah satunya adalah Kecamatan Pancur Batu.

Berdasarkan hasil sensus penduduk 2013, penduduk Kabupaten Deli Serdang mayoritas bersuku bangsa Jawa (51,77 %), Karo (10,84 %), Toba (10,78 %), Mandailing (6,71%), Melayu (6,22 %), Minangkabau (2,91%) Simalungun (1,68 %), dan lain lain (1,24 %). Sedangkan Agama yang dianut oleh masyarakat Deli Serdang beragama Islam paling besar (78,22%), Kristen (19,30 %), Budha (2,03 %), Hindu (0,17 %), dan lainnya (0,29 %).

2.1.2 Letak Lokasi Penelitian

Kecamatan Pancur Batu merupakan tempat tinggal Bapak Pauji Ginting, Secara administratif kecamatan Pancur Batu mempunyai luas wilayah 122.53 km2 yang terdiri atas 26 Desa. Adapun batas-batas wilayah kecamatan Pancur Batu adalah sebelah utara berbatasan dengan Kota Medan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sibolangit, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Katalimbaru, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Namo Rambe. Dari 26 desa tersebut, beliau tinggal di Desa Hulu , tepatnya berada di Jalan Rambung Merah - Perumahan Salam Tani Blok E No. 40. Di lokasi tersebutlah beliau membuka bengkel alat musik Karo dan tinggal bersama keluarganya.

2.2 Penduduk dan Sistem Bahasa

Kependudukan dan sistem bahasa merupakan satu kesatuan yang berkisanambungan untuk menciptakan suatu lingkungan maupun desa. Dengan adanya bahasa maka dapat tercipta suatu wilayah dengan kependudukan daerah tersebut. Berdasarkan wilayah geografis, masyarakat Karo mendiami daerah Kabupaten Karo (meliputi Tanah Karo simalem dan sekitarnya) dan Kabupaten Langkat. Masyarakat

Karo yang mendiami daerah kabupaten Karo sering disebut sebagai Karo Gugung yang artinya adalah masyarakat Karo yang mendiami dataran tinggi (pegunungan), dan masyarakat Karo yang menempati Kabupaten Langkat disebut sebagai Karo Jahe yang artinya adalah sebagian masyarakat Karo yang mendiami dataran rendah wilayah Langkat dan Deli Serdang.

2.2.1 Kependudukan

Penduduk dalam desa Hulu mayoritas suku Karo Jahe dan terkadang ada sebagian suku lain yang sudah bertempat tinggal di daerah tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa Desa Hulu merupakan desa yang termasuk dalam wilayah yang pada umumnya mayoritas masyarakat Karo Jahe. Pada tahun 2014, penduduk di desa Hulu sebanyak 1563 jiwa dengan jumlah 315 keluarga. Komposisi penduduk dilihat dari jenis kelamin, tingkat umur, agama, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian.

Hal ini membuktikan bahwa Desa Hulu pada Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang merupakan sebuah daerah yang berkembang kepadatan penduduknya. Oleh sebab itu tingkat pendidikan di daerah ini secara otomatis masih pada taraf tingkat lanjutan pertama dan tingkat atas. Dari segi kepercayaan, agama Islam merupakan agama mayoritas, diikuti dengan agama Kristen Protestan dan Katholik, serta Budha. Secara umum mata pencaharian masyarakat di seluruh Kabupaten Deli Serdang termasuk di daerah peneliran adalah bertani, seperti menanam buah-buahan dan sayur-sayuran.

2.2.2 Bahasa

Masyarakat Karo Jahe memiliki bahasa yang biasanya digunakan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara adat yaitu bahasa Karo. Selain memiliki bahasa sendiri, masyarakat Karo Jahe juga memiliki aksara Karo. Aksara Karo ini merupakan aksara Kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi saat ini penggunaannya terbatas sekali dan bahkan hampir tidak pernah dipergunakan lagi. Berikut aksara Karo yang digunakan oleh masyarakat Karo dari dulu.

Gambar 1 : Aksara Karo

2.3 Sistem Kekerabatan

Setiap etnis/ suku yang ada di Sumatera Utara khususnya etnis Karo memiliki sistem kekerabatan dalam kebudayaannya. Masyarakat Karo memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan istilah merga silima, daliken sitelu, dan tutur siwaluh. Ketiga sistem kekerabatan ini merupakan suatu sistem yang digunakan untuk mengatur

kehidupan sehari-hari pada masyarakat Karo dalam hubungan bermasyarakat dan berbudaya.

2.3.1 Merga Silima

Masyarakat Karo memiliki sistem marga atau dalam bahasa Karo disebut dengan merga untuk laki - laki dan beru untuk perempuan. Merga/beru merupakan sebuah identitas bagi masyarakat Karo di mana setiap masyarakatnya memiliki merga/beru tersebut. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok yang disebut dengan merga silima yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah Karo-Karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan Perangin-angin. Merga atau beru ini digunakan sebagian nama belakang, misalnya Marthin merga Tarigan, ditulis Marthin Tarigan. Merga ini diwarisi dari ayah, karena masyarakat Karo menganut garis keturunan patrilineal (garis keturunan bapak/laki-laki). Kalau laki-laki bermerga yang sama maka akan disebut ersenina yang artinya bersaudara dan begitu juga sebaliknya untuk perempuan yang memiliki beru yang sama. Namun untuk laki-laki dengan perempuan yang memiliki merga/beru yang sama maka mereka disebut erturang (keluarga), sehingga dilarang untuk melakukan perkawinan secara adat.

2.3.2 Sangkep Si Telu

Daliken Si Telu atau sering disebut Sangkep Si Telu merupakan bagian dari masyarakat Karo yang merupakan landasan bagi sistem kekerabatan dan semua kegiatan khususnya kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan adat istiadat dan interaksi antar sesama masyarakat Karo. Sangkep Si Telu ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap hubungan dalam adat istiadat ditentukan oleh adanya tiga

kelompok ini yaitu kalimbubu sebagai keluarga pemberi istri, anak beru sebagai keluarga yang mengambil atau menerima istri, dan senina sebagai keluarga yang seketurunan (semerga) dengan keluarga inti. Sangkep Si Telu dalam masyarakat Karo merupakan simbol atau lambang yang memiliki makna. Jika dilihat dari sisi etimologis katanya, bahwa daliken sitelu merupakan ―tungku yang tiga‖ yang berfungsi dalam

kehidupan masyarakat Karo sehari-hari sebagai penopang untuk memasak, daliken sitelu dalam hubungan kekerabatan masyarakat Karo juga mempunyai peran sebagai penopang sukut (yang menyelenggarakan pesta) dalam upacara adat.

2.3.3Tutur Siwaluh

Untuk menunjukkan tingkat kekerabatan di dalam masyarakat Karo dikenal istilah ertutur. Ertutur adalah salah satu ciri orang Karo untuk berkenalan. Biasanya dengan menanyakan merga, kemudian bere-bere (marga ibu), bahkan mungkin menanyakan terombo (silsilah) untuk mengetahui tingkatan kekerabatan tersebut. Tutur siwaluh terdiri dari delapan golongan yaitu (1) kalimbubu, (2) puang kalimbubu, (3) senina, (4) sembuyak, biak sembuyak, (5) senina sipemere, senina siparibanen, senina sipengalon, (6) senina sedalanen, (7) anak beru, dan (8) anak beru menteri.

2.4 Musik Tradisional Masyarakat Karo

Masyarakat Karo memiliki konsep tersendiri tentang musik. Musik dalam masyarakat Karo yaitu musik instrumental, vokal, dan gabungan keduanya. Dalam melakukan aktivitas kesenian bermusik masyarakat Karo menyebut dengan istilah ersurdam (bermain surdam) dan rende (bernyanyi). Musik tradisional Karo yang akan penulis bahas adalah solo instrumen yaitu surdam belin (tangko kuda).

2.4.1 Ensambel Tradisional Karo

Dalam penyebutan ensambel musiknya, masyarakat Karo menggunakan kata gendang. Ada dua jenis ensambel musik Karo yaitu gendang lima sedalenan dan gendang telu sedalenan. Namun ensambel musik Karo Jahe yang ada di Kabupaten Deli Serdang disebut dengan Gendang Binge. Adapun contoh persamaan dalam kebudayaan musik Karo Jahe dan Karo Gugung antara lain adalah gendang patam-patam. Gendang patam-patam merupakan sebuah istilah musikal dalam kebudayaan musik Karo. Selain pada kebudayaan musik Karo istilah patam-patam ini juga dapat ditemukan dalam kebudayaan musik Melayu. Berdasarkan penelitian pendahuluan yang penulis lakukan, gendang patam-patam merupakan judul sebuah komposisi instrumental musik tradisional Karo. Pada masyarakat Karo Jahe gendang patam-patam awalnya digunakan untuk upacara penyembuhan baik secara fisik maupun psikis oleh guru perdewel-dewel (dukun). Gendang patam-patam dalam konteks kebudayaan musik Karo Jahe, selalu disajikan dengan ensambel gendang binge. Komposisi yang dimaksud di sini adalah melodi dan juga ritem yang dihasilkan dari permainan gendang lima sedalanen. Berdasarkan hasil diskusi dan wawancara dengan Natangsa Barus mengatakan bahwa terdapat beberapa nama dari gendang patam-patam pada musik tradisional Karo Jahe yaitu patam-patam cemet, patam-patam rambung mbungkar, patam-patam bunga ncole, patam-patam gendang sikat, patam-patam anak munte, patam-patam pudi terang, patam-patam malem ate, patam-patam sereng, patam-patam pak-pak, patam-patam kebang kiung, patam-patam limbey, patam-patam pudi terang, dan patam-patam simpang empat. Penamaan dari gendang patam-patam sendiri berasal dari guru perdewel-dewel (dukun) yang datang dari daerah yang berbeda. Beberapa dari komposisi gendang patam-patam yang berasal dari Karo Jahe ini kemudian menyebar

ke dalam kebudayaan musik Karo Gugung, seperti patam bunga ncole, patam-patam sereng, patam-patam-patam-patam cemet, patam-patam-patam-patam rambung mbungkar, patam-patam-patam-patam kabang kiung, dan patam pudi terang. Pada perkembangannya gendang patam-patam yang berada dalam kebudayaan Karo Gugung ini hanya sedikit yang masih sering disajikan salah satunya adalah gendang patambunga ncole. Gendang patam-patam bunga ncole inilah yang akan menjadi fokus dalam mendeskripsikan struktur musiknya dalam kajian fungsional yang ditawarkan Susumu Kashima. Dari berbagai gendang patam-patam yang disebutkan di atas yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah gendang patam patam yang terdapat pada masyarakat Karo Gugung.

Berbeda dari Karo Jahe, pada masyarakat Karo Gugung komposisi gendang patam-patam disajikan sebagai hiburan. Gendang patam patam ini berawal dan berkembang dalam gendang guro-guro aron, sebagi salah satu komposisi dalam mengiringi aron menari. Gendang patam-patam yang berkembang di Karo Gugung pada awalnya dimainkan dengan ensambel gendang lima sedalanen. Namun pada tahun 1991 instrumen keyboard masuk ke dalam kebudayaan musik Karo. Beberapa seniman Karo mengasumsikan bahwa hadirnya instrumen keyboard dalam kebudayaan musik Karo diperkenalkan oleh Djasa Tarigan yang merupakan salah satu seniman dan musisi tradisional Karo yang cukup berpengaruh dalam perkembangan musik Karo khususnya gendang kulcapi, gendang kibod ,dan juga dalam memprogram gendang patam-patam.

2.4.1.1 Gendang Lima Sedalenan

Gendang lima sedalenan sering juga disebut gendang sarune yang merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam masyarakat Karo. Gendang lima sedalenan

yang merupakan sekumpulan instrumen terdiri dari satu buah sarune sebagai pembawa melodi, dua buah gendang yaitu gendang anak dan gendang indung (gendang berarti sebagai instrumen) sebagai instrumen ritmis, serta gung dan penganak sebagai pengatur tempo. Kelima instrumen tersebut dimainkan secara bersama-sama sebagai sebuah ensambel. Gendang lima sedalenan sering juga disebut sebagai istilah gendang sarune.

Adapun yang menjadi perbedaan pada gendang binge adalah terlihat pada ukuran gendang, gung dan sarune yang lebih besar dan panjang dari yang ada di gendang lima sedalenan. Di kalangan musisi tradisional Karo istilah gendang sarune lebih sering digunakan sementara itu di berbagai tulisan tentang kebudayaan musik Karo lebih banyak menggunakan istilah gendang lima sedalenan.

Orang yang memainkan kelima instrumen musik ini dalam gendang lima sedalenan masing-masing memiliki sebutan sesuai dengan alat musik atau instrumen yang dimainkan. Untuk pemain sarune disebut sebagai panarune, pemain gendang anak dan pemain gendang indung disebut sebagai penggual, pemain gung disebut sebagai simalu gung dan pemain penganak disebut sebagai simalu penganak. Sekumpulan pemain musik ini sering disebut sebagai sierjabaten (yang memiliki jabatan) atau penggual ketika bermain mengiringi upacara adat masyarakat Karo. Dalam konteks upacara adat sierjabaten atau penggual yang memainkan gendang lima sedalenan /telu sedalanen diberikan tempat yang khusus dengan beralaskan amak mbentar (tikar anyaman berwarna putih) sebagai kehormatan. Walaupun sekarang gendang lima sedalenan atau telu sidalenan.

2.4.1.2 Gendang Telu Sidalenan

Sama halnya dengan gendang lima sedalenan, secara harafiah gendang telu sidalenan memiliki pengertian ―tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan bersamaan.‖ Ketiga alat musik tersebut adalah kulcapi/balobat, keteng-keteng, dan mangkuk mbantar. Dalam ensambel ini ada dua instrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu kulcapi dan balobat. Sedangkan mangkuk dan keteng-keteng merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola rritem yang bersifat konstan dan repetitif. Pemakain kulcapi dan balobat sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda tergantung kebutuhan. Prinsipnya sebenarnya sama hanya saja instrumen pembawa melodinya saja yang berbeda. Jika kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi maka disebut sebagai gendang kulcapi, dan jika menggunakan balobat sebagai pembawa melodi maka disebut sebagai gendang balobat.

2.4.2 Instrumen Musik Tradisional Karo non-Ensambel

Selain dari ketiga ensambel di atas, masih banyak instrumen Karo non-ensambel yang dapat dimainkan secara tunggal tanpa diiringi alat musik lainnya, namun hanya beberapa yang masih dapat ditemukan. Adapun instrumen tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Kulcapi

Selain dapat digunakan secara ensambel, instrumen kulcapi juga dapat dimainkan secara tunggal. Instrumen tunggal ini dapat dimainkan dimana dan kapan saja. Kulcapi adalah alat musik petik berbentuk lute yang terdiri dua buah senar.

Senarnya terbuat dari metal namun dulunya terbuat dari akar pohon aren atau enau. Kulcapi memiliki lubang resonator yang memberi efek suara.

2. Balobat

Balobat merupakan alat musik tiup yang mirip dengan alat musik rekorder yang terbuat dari bambu dan dapat dimainkan secara ansambel dan secara tunggal, balobat juga dapat dimainkan dimana dan kapan saja.

3. Surdam

Sesuai dengan objek penelitian utama penulis bahwa surdam merupakan alat musik tiup yang berjenis end blown flute yang terbuat dari bambu. Cara memainkan surdam tidaklah mudah karena tidak terdapat sekat pembelah udara yang mau ditiup sehingga untuk memainkannya harus menggunakan teknik khusus. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa surdam ini terdiri dari surdam rumamis, surdam tangko kuda, surdam pingko-pingko, dan surdam puntung.

4. Murbab

Murbab merupakan satu-satunya alat musik gesek yang terdapat dalam kesenian masyarakat Karo. Instrumen ini mirip dengan instrumen rebab yang terdapat dalam musik Jawa. Namun sekarang ini tidak dapat dapat dijumpai lagi murbab dalam kebudayaan masyarakat Karo.

5. Embal-embal

Embal-embal merupakan alat musik yang biasanya dapat ditemukan di sawah atau pada saat ladang padi sedang menguning. Instrumen ini digunakan atau dimainkan sebagai alat musik hiburan pribadi di ladang ketika menjaga padi dari gangguan burung. Embal -embal ini terbuat dari satu ruas bambu yang dibuat lubang-lubang penghasil nada. Sebagai alat musik tiup, lidah (reed) embal-embal dibuat dari badan alat musik itu sendiri.

6. Empi-empi

Empi-empi (multiple reed) terbuat dari batang padi yang telah menguning. Lidah (reed) empi-empi dibuat dari batang padi itu sendiri dengan cara memecahkan sebagian kecil dari salah satu ujung padi yang memiliki ruas. Akibatnya terpecahnya ruas batang padi maka ketika ditiup akan menimbulkan bunyi. Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat lubang-lubang untuk menghasilkan nada-nada yang berbeda. Biasanya empi-empi memiliki empat buah lubang nada. Empi-empi merupakan alat musik yang biasanya dapat ditemukan di sawah atau pada saat ladang padi sedang menguning. Instrumen ini digunakan atau dimainkan sebagai alat musik hiburan pribadi di ladang ketika menjaga padi dari gangguan burung.

2.4.3 Musik Vokal

Penggunaan musik vokal dalam masyarakat Karo dapat ditemukan di beberapa konteks upacara. Menurut penjelasan Pak Kumalo Tarigan (http:// respository.usu.ac.id), musik vokal dalam musik tradisional Karo dapat disajikan berdasarkan konteks yaitu:

(A) Musik vokal dalam konteks seni pertunjukan

Musik vokal dalam konteks seni pertunjukan merupakan nyanyian disebutkan enden-enden yaitu nyanyian yang biasanya dibawakan oleh perkolong-kolong dalam seni pertunjukan gendang guro-guro aron.

(B) Musik vokal dalam konteks ritual

Musik vokal dalam konteks ritual terdiri dari tujuh nyanyian yaitu: (1) didong doah, adalah nyanyian untuk menidurkan anak, (2) ndilo wari udan adalah nyanyian untuk mengundang atau mendatangkan hujan, (3) mangmang, adalah nyanyian untuk memanggil roh atau meminta kekuatan gaib untuk dapat menjalankan upacara ritual, (4) nendong, adalah nyanyian untuk meramal suatu kejadian, (5) ngeria, adalah nyanyian untuk menyadap atau mengambil nira dari pohon aren, (6) perumah begu, adalah nyanyian untuk berkomunikasi dengan arwah orang yang sudah meninggal dunia, dan (7) tabas, adalah nyanyian yang berisi mantra.

(C) Musik vokal dalam konteks adat

Musik vokal dalam konteks adat dapat dibagi menjadi dua yaitu katoneng-katoneng dan pemasun-masun yaitu nyanyian bercerita yang disajikan dalam upacara

Dokumen terkait