• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk mengelusidasi senyawa dari isolat seperti spektrometer massa, spektrometer C-NMR dan spektrometer H-NMR dan dilakukan uji farmakologi dari isolat yang diperoleh seperti uji antihiperkolesterol.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan Buni 2.1.1 Habitat

Buni tumbuh secara liar di daerah-daerah basah dan dapat ditemukan dari dataran rendah di India, Sri Lanka, Burma, Malaysia, Indonesia, New Guinea dan Australia. Di Indonesia terutama di pulau Jawa, buni dapat tumbuh di daerah kering di bagian timur pulau Jawa atau pun di bagian barat pulau Jawa yang beriklim lembab (BPTH, 2011; LIPI, 2009).

2.1.2 Nama umum

Di Indonesia, buni dikenal dengan nama barune, huni pada daerah Sunda, wuni di daerah Jawa, burneh di daerah Madura dan buni, katakuti, kutikata di daerah Maluku. Di Inggris, buni dikenal dengan nama bignay atau chinese laurel. Di Filipina, buni dikenal dengan nama bignay (LIPI, 2009; BPTH, 2011).

2.1.3 Sinonim

Buni memiliki beberapa sinonim, yaitu Antidesma crassifolium (E.) Merr., Antidesma dallachyanum Baillon., Antidesma rumphii Tulase (BPTH, 2011). 2.1.4 Klasifikasi tumbuhan

Klasifikasi tumbuhan buni adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Ordo : Malpighiales Famili : Phylantaceae

Genus

Spesies : Antidesma bunius (L.) Spreng. 2.1.5 Morfologi

Pohon buah, tinggi 15-30 m. Batang pohon berukuran sedang. Daun tunggal, bertangkai pendek, bentuknya bulat telur sungsang sampai lanset, panjang 9-25 cm, tepi rata agak bergelombang, ujung meruncing, pangkal tumpul. Daun muda warnanya hijau muda, setelah tua menjadi hijau tua. Buni berumah dua, bunga dalam tandan, keluar dari ketiak daun atau di ujung percabangan. Buah buni berbentuk kecil panjang sekitar 1 cm, bulat berwarna hijau, bila telah masak menjadi ungu kehitaman dan rasanya manis sedikit asam. Biji pipih dengan rusuk berbentuk jala (LIPI, 2009).

2.1.6 Kegunaan

Buah buni yang matang dapat dimakan segar. Cairan buah dapat memberikan bekas warna di jari dan mulut. Buah ini juga berpotensi dijadikan minuman serta mengandung pigmen antosianin dan digunakan sebagai pewarna alami pada makanan. Daun muda rasanya sedikit asam, dapat disayur atau dimakan mentah. Buah dapat dimakan langsung, diekstrak menjadi brandy, dibuat selai atau sirop. Daun oleh pembuat jamu disebut mojar, biasa dipakai untuk campuran ramuan jamu kesehatan. Daun dan buah dapat digunakan sebagai obat kurang darah, darah kotor, raja singa dan kencing nanah (BPTH, 2011; LIPI, 2009).

2.1.7 Kandungan kimia

Tanaman Antidesma bunius (L.) Spreng. pada fraksi metanol daun mengandung senyawa saponin, gula, flavonoid dan tanin sedangkan pada kulit batang mengandung terpenoid, gula, dan flavonoid (Elya, et al., 2012).

Kandungan kimia utama yang terkandung dalam buah buni antara lain flavonoid, tanin, fenolik, dan polifenol (Butkhup dan Samappito, 2008).

2.2 Uraian Kimia 2.2.1 Glikosida

Glikosida adalah suatu senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon). Glikosida yang gulanya berupa glukosa disebut glukosida, yang pada umumnya berupa glukosa, fruktosa, laktosa, galaktosa, dan manosa, tetapi dapat juga berupa gula yang khusus seperti sarmentosa, oleanrosa, simarosa, dan rutinosa. Umumnya glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim (Harborne, 1987).

Berdasarkan ikatan glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan menjadi: a. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan

O. Mayoritas glikosida pada tumbuhan terdapat dalam kelompok ini.

b. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan C, yakni gugus karbon gula melekat pada gugus karbon aglikon.

c. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan S. Contoh: sinigrin yang termasuk ke dalam glikosida glukosinolat dari tumbuhan dari tumbuhan Brassicaceae.

d. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui jembatan N. Contoh: nikleosidin, krotonosidin (Fansworth, 1966).

2.2.2 Saponin

Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin. Sapogenin dapat dibagi dua yaitu saponin triterpenoida ataupun saponin steroida. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan bersifat racun bagi hewan

berdarah dingin (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Saponin bersifat seperti sabun, serta dapat diketahui berdasarkan kemampuan membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah dilaboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif, dan lain-lain). Pola glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukoronat (Harborne, 1987). Senyawa saponin secara umum dapat diidentifikasi dari warna yang dihasilkannya dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Warna biru-hijau menunjukkan adanya senyawa saponin steroida, dan warna merah, merah muda, atau ungu menunjukkan adanya senyawa saponin triterpenoida (Farnsworth, 1966). Saponin triterpenoida dan saponin steroida memiliki hubungan glikosidik pada atom C-3 dan memiliki asal usul biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan satuan-satuan isoprenoid. Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter. Aglikonnya diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana asam atau enzim, dan tanpa gula ciri kelarutannya sama dengan ciri sterol lain (Gunawan dan Mulyani, 2004; Robinson 1995). Tipe aglikon senyawa saponin dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Farnsworth, 1966):

Saponin triterpenoida secara umum banyak terdapat pada tumbuhan dikotil seperti: gipsogenin terdapat pada Gypsophylla sp., dan asam glisiretat terdapat pada Glycyrrhiza glabra (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Gambar 2.3 Saponin Triterpenoida (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Saponin steroida terdapat pada tumbuhan monokotil maupun dikotil, contohnya diosgenin yang terdapat pada Dioscorea hispida, dan hekogenin yang terdapat pada Agave americana (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Gambar 2.4 Saponin Steroida (Gunawan dan Mulyani, 2004). 2.2.3 Flavonoida

Flavanoida adalah senyawa tanpa warna yang tak dapat dideteksi pada pemeriksaan kromatografi kecuali bila menggunakan penyemprot tertentu. Ada beberapa flavon berwarna hijau-kuning diuapi ammonia, tetapi hal ini tidak cukup terpercaya untuk digunakan sebagai uji diagnostik. Uji warna yang penting dalam larutan alkohol hanya flavon ialah reduksi dengan serbuk Mg dan HCl(p) yang

menghasilkan warna merah ceri kuat. Cara ini dapat digunakan pada kromatografi kertas atau plat KLT dengan menyemprotnya pertama kali memakai larutan natrium borohidrida dalam alkohol kemudian disemprot lagi dengan larutan aluminium klorida dalam etanol (Harborne, 1987).

Senyawa flavonoid di alam merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri atas 15 atom karbon yang membentuk susunan C6 – C3 – C6 (Markham, 1988).

2.2.4 Triterpenoida/Steroida

Steroida adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidropenantren. Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis masuk jalur asam mevalonat yang diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Triterpenoida/Steroida merupakan senyawa tidak berwarna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard yang dengan kebanyakan triterpen dan sterol memberikan warna hijau-biru atau merah-ungu (Harbone, 1987; Robinson, 1995).

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu (Depkes RI, 2000).

Proses ekstraksi akan menghasilkan ekstrak, berupa ekstrak kental, ekstrak padat maupun ekstrak cair yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir

semua pelarut diuapkan (Depkes RI, 2000).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu: A. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan dan didiamkan selama beberapa hari pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik, sedangkan maserasi yang dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi (Depkes RI, 2000).

Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Beberapa senyawa ada yang sulit diekstraksi pada suhu kamar, tetapi metode maserasi dapat menghindari kerusakan senyawa yang bersifat termolabil (Mukhriani, 2014).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Penghentian ekstraksi dilakukan dengan cara menguji tetesan terakhir dengan menggunakan pereaksi tertentu (Depkes RI, 2000).

Metode perkolasi menggunakan serbuk sampel yang dibasahi secara perlahan dalam sebuah perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru, sedangkan kerugian adalah jika sampel dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Metode ini juga membutuhkan banyak pelarut dan memakan waktu yang cukup lama (Mukhriani, 2014).

B. Cara panas 1. Refluks

Refluks adalah ektraksi pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

Metode refluk menggunakan sampel yang dimasukkan bersama pelarut ke dalam labu yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai titik didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu dan dilakukan secara kontinu (Mukhriani, 2014).

2. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan terus-menerus pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan, secara umum dilakukan pada temperatur 40-50˚C (Depkes RI, 2000).

3. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan menggunakan alat Soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

Metode soklet dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam sarung selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam tempat sampel yang ditempatkan di atas labu dan di bawah kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam labu dan suhu penangas diatur di bawah suhu reflux. Keuntungan dari metode ini adalah proses ektraksi yang kontinu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugian adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih (Mukhriani, 2014).

4. Infusa

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada penangas air dengan temperatur 96-98˚C selama waktu 15-20 menit (Depkes RI, 2000).

5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur sampai titik didih air selama 30 menit atau lebih (Depkes RI, 2000).

2.4 Kromatografi

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa di antara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau

zat cair). Kromatografi serapan dikenal jika fase diam berupa zat, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi (Sastrohamidjojo, 1985).

Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dilakukan dengan menggunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987).

2.4.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat kaca, logam atau lapisan yang cocok. Plat dimasukkan ke bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak) sehingga pemisahan terjadi dengan cara perambatan kapiler (pengembangan) (Stahl, 1985). Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2007).

Fasa diam (penyerap) dapat dibagi dua, yaitu jenis polar dan non polar. Penyerap polar meliputi berbagai oksida organik seperti silika, alumina, magnesium dan lain sebagainya. Penyerap nonpolar yang biasa digunakan adalah arang. Fase diam ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam, atau lapisan yang cocok kemudian senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan/dideteksi dengan penampang noda yang sesuai (Gritter, et al., 1991)

Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pengamatan dengan sinar ultraviolet adalah cara sederhana yang dilakukan untuk senyawa tak berwarna. Beberapa senyawa organik berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Cara lain apabila senyawa tidak dapat dideteksi dengan sinar

ultraviolet maka harus dicoba dengan penyemprotan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dilakukan pemanasan (Gandjar dan Rohman, 2007).

Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi digunakan harga Rf yang didefinisikan sebagai berikut (Sastrohamidjojo,1990):

Rf = jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik penotolan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik penotolan

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1990): 1. Struktur kimia

2. Sifat dari penyerap

3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap 4. Pelarut dan derajat kemurniannya

5. Derajat kejenuhan bejana pengembangan 6. Teknik percobaan

7. Jumlah cuplikan yang digunakan 8. Suhu

9. Kesetimbangan

2.4.2 Kromatografi lapis tipis preparatif

Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penjerap yang sering dipakai adalah 0,5-2 mm. Plat kromatografi biasanya berukuran 20 x 20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penjerap yang paling umum digunakan adalah silika gel. Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan jarak

sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri di sekeliling permukaan bagian dalam bejana (Hostettmann, et al., 1995).

2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet (UV)

Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi sinar UV terhadap intensitas serapan (absorbansi). Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm. Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan (Sastrohamidjojo, 1985).

Spektrofotometer UV-Vis pada umunya digunakan untuk:

1.Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonyugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik.

2.Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan penjang gelombang maksimum suatu senyawa.

3.Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004).

Atom atau molekul akan menyerap sinar UV sehingga energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Gugus kromofor disebut juga gugus yang dapat mengabsorpsi cahaya (Dachriyanus, 2004).

Sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan beberapa persyaratan pelarut yang dipakai, antara lain:

a. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna.

b.Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis. c. Kemurniannya harus tinggi (Muldja, 1995).

Analisis kualitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis hanya dipakai untuk data sekunder atau data pendukung. Analisis kualitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis yang dapat ditentukan ada dua yaitu:

a. Pemeriksaan kemurnian spektrum UV-Vis.

b. Penentuan panjang gelombang maksimum (λmaks) (Muldja, 1995).

Spektrum (serap) elektronik molekul dihasilkan akibat elektron molekul menyerap gelombang elektromagnetik untuk berpindah ke tingkat yang lebih tinggi. Elektron yang menyerap gelombang biasanya elektron di kulit terluar atau sekitarnya, misalnya dari HOMO (highest occupied molecular orbital ) ke LUMO (lowest unoccupied molecular orbital ) (McMurry, 2008).

1,3-butadiena terkonjugasi memilki 4 orbital molekul π dimana dia akan menyerap energi dan 1 elektron π dikembangkan dari HOMO (Highest Occupied Molecular Orbital) menuju ke LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital), dinamakan eksitasi π → π* . En ergi dari HOMO ke LUMO pada 1,3-butadiena menunjukkan panjang gelombang maksimum sinar UV pada 217 nm untuk mengubah elektron π → π* (McMurry, 2008).

Panjang gelombang yang diperlukan untuk transisi elektron π → π* tergantung dengan energi pada jarak antara HOMO dan LUMO, dimana energi yang dihasilkan tergantung dengan struktur dari elektron π terkonjugasi. Salah

satu faktor terpenting yang mempengaruhi absorpsi panjang gelombang UV pada molekul adalah tingkat konjugasi dari molekulnya. Perhitungan molekul orbital menunjukkan adanya perbedaan penurunan energi dari HOMO ke LUMO ketika tingkat terkonjugasi memakin banyak, seperti 1,3-butadiena mengabsorpsi pada λmax = 217 nm, 1,3,5-heksatriena mengabsorpsi pada λmax = 258 nm dan 1,3,5,7-oktatetraena menyerap pada λmax = 290 nm (McMurry, 2008).

2.5.2 Spektrofotometri sinar inframerah (IR)

Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk: 1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik

2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya (Dachriyanus, 2004).

Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5–50 �m atau bilangan gelombang 4000–200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorpsi sinar inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi. Metode

ini sangat berguna untuk mengidentifikasi senyawa organik (Dachriyanus, 2004). Jenis absorpsi energi yang lain, molekul-molekul dieksitasikan ketingkat

energi yang lebih tinggi ketika molekul-molekul ini menyerap radiasi inframerah. Frekuensi (energi) tertentu dari radiasi inframerah yang dapat diserap oleh suatu molekul, agar molekul dapat menyerap radiasi inframerah, maka molekul tersebut harus mempunyai gambaran spesifik, yakni momen dipol molekul harus berubah selama vibrasi (Gandjar dan Rohman., 2007).

Getaran molekul terdapat dua macam, yaitu getaran ulur dan getaran tekuk. Getaran ulur adalah suatu gerakan berirama di sepanjang sumbu ikatan sehingga

jarak antar atom bertambah atau berkurang. Getaran tekuk dapat terjadi karena perubahan sudut-sudut ikatan antara pada sebuah atom, atau karena gerakan sebuah gugusan atom terhadap sisa molekul tanpa gerakan nisbi atom-atom di dalam gugusan (Silverstein, 1986).

Menafsirkan sebuah spektrum inframerah tidak terdapat aturan yang pasti., tetapi terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum mencoba menafsirkan sebuah spektrum, yaitu:

1. Spektrum harus cukup terpisah dan mempunyai kuat puncak yang memadai. 2. Spektrum harus dibuat dari senyawa yang cukup murni.

3. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga pita akan teramati pada kerapatan atau panjang gelombang yang semestinya. Kalibrasi yang betul dapat dilakukan dengan baku-baku yang dapat dipercaya, misalnya polisterna.

4. Metode penanganan cuplikan harus ditentukan., seperti pada penggunaan pelarut, maka macam dan konsentrasi pelarut serta tebal sel harus disebutkan juga (Silverstein, 1986).

Dua kawasan penting dalam pemeriksaan awal sebuah spektrum adalah daerah 4000 – 1300 cm-1 (2,5 – 7,7 µm) dan daerah 909 – 650 cm-1 (11,0 – 15,4 µm). Bagian kerapatan tinggi sebuah spektrum disebut sebagai daerah gugus fungsi. Kerapatan uluran khas bagi gugus-gugus fungsi yang penting seperti -OH, NH dan C=O terletak pada bagian itu. Ketiadaan serapan pada selang jejak gugus-gugus tertentu biasanya dapat digunakan sebagai bukti bahwa molekul itu tidak mempunyai gugus-gugus tersebut. Menafsirkan seperti itu harus dengan hati-hati, sebab suatu struktur tertentu yang khas dapat menyebabkan sebuah pita menjadi sangat lebar sehingga tidak terartikan (Silverstein, 1986).

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam hayati dan hutan tropis, salah satu adalah daerah pulau Jawa yang kaya akan tanaman berkhasiat yang digunakan secara tradisional. Tanaman buni (Antidesma bunius (L.) Spreng) yang digunakan masyarakat untuk mengobati darah tinggi, jantung berdebar kencang, anemia, sifilis (Wijayakusuma, 1996), dan juga beberapa penelitian tentang kegunaan tumbuhan buni berupa gangguan saluran pencernaan (diare, disentri, konstipasi) (Kassem, 2013), antikanker (Micor, et al., 2005; Puspitasari, et al., 2009), antioksidan (Butkhup dan Samappito, 2011; Barcelo, et al., 2016), antidiabetes (Herrera, et al., 2010; Elya et al., 2012; Loranza, 2012) dan sumber zat warna alami (Amelia, et al., 2013). Daun buni mengandung sejumlah saponin, flavonoid dan tanin dan juga buah buni mengandung antosianin, flavonoid dan asam fenolat (Butkhup dan Samappito, 2008; Ajmiati, et al, 2014).

Saponin merupakan senyawa fitokimia yang mempunyai karakteristik berupa kemampuan membentuk busa dan mengandung aglikon polisiklik yang berikatan dengan satu atau lebih gula (Majinda, 2012). Berdasarkan aktivitas, saponin mampu mengemulsi lemak (Cheeke, 2001; Bogoriani, 2015). Saponin dapat diaplikasikan sebagai surfaktan alami, antimikroba, antijamur, obat hiperkolesterol, antitumor, antikanker, antidiabetes dan lain sebagainya (Netala, et al, 2015; Garai, 2014).

Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan dari tumbuhan liar (wild crop) memilki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan karena variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara panen) serta

proses pasca panen dan preparasi akhir. Karakterisasi suatu simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan sebagai bahan baku obat harus memenuhi persyaratan secara umum (Depkes RI, 2000).

Peningkatan minat pada senyawa yang berasal dari tumbuhan yang dapat diperoleh dengan berbagai cara dimana salah satu adalah kromatografi. Kromatografi merupakan cara untuk mengisolasi senyawa murni pada skala miligram sampai skala gram untuk menelaah struktur, uji biologi, uji farmakologi, senyawa pembanding dan senyawa baku untuk penentuan kuantitatif (Hostettmann, 1995).

Berdasarkan latar belakang diatas maka pada penelititan ini dilakukan isolasi senyawa saponin dari daun buni (Antidesma bunius (L.) Spreng). Penelitian ini meliputi karakterisasi simplisia, uji pendahuluan, ekstraksi bertingkat terhadap serbuk simplisia daun buni yang dilanjutkan dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan berbagai variasi fase gerak dan dipisahkan dengan KLT preparatif. Isolat yang diperoleh dikarakterisasi dengan spektrofotometer ultraviolet (UV-Vis) dan spektrofotometer inframerah (IR).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan penelitian ini adalah:

a. Apakah karakteristik simplisia daun buni memenuhi persyaratan mutu simplisia secara umum.

b. Apakah senyawa saponin pada daun tumbuhan buni dapat dipisahkan secara KLT dan KLT preparatif.

c. Apa panjang gelombang UV maksimum dan gugus fungsi yang terdapat pada

Dokumen terkait