• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Saran saya sebagai penulis mengenai Kehidupan Transmigran di Desa Suak Temenggung adalah pemerintah kiranya lebih mengembangkan lagi sarana dan prasarana di Desa Suak Temenggung Kecamatan Pakaitan Kabupaten Rokan Hilir. Seperti Pengaspalan Jalan dan bukan lagi semenisasi. Sebab untuk menuju kepusat kota Bagansiapiapi banyak kendaraan bermotor harus melalui Desa Suak Temenggung. Memperbanyak Bangunan Sekolah, sebab di Desa Suak Temenggung sampai saat ini hanya ada satu gedung sekolah yang dibangun oleh pemerintah, sementara pendidikan itu sangat penting untuk kemajuan dan mencerdaskan anak- anak bangsa. Pembangunan sarana dan prasarana sangat penting untuk kemajuan desa itu sendiri. Program pemerintah saat ini yakni pengambangan desa-desa di Indonesia sebagai desa yang maju memiliki banyak program-program kerja salah satunya adalah membangun dan mengembangkan sarana dan prasarana desa-desa di Indonesia. Saya rasa program ini sangat cocok untuk mengembangkan lagi Desa Suak Temenggung menjadi desa yang lebih maju, apalagi Desa Suak Temenggung telah didukung oleh tanaman perkebunan kelapa sawit rakyat yang hasilnya lebih menjanjikan. Kiranya masyarakat desa dan pemerintah hendanya bekerja sama dalam mengembangkan dan mendukung program-program kerja pemerintah agar terciptanya desa-desa yang lebih maju di Indonesia.

14

BAB II

KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA SUAK TEMENGGUNG SEBELUM MASUKNYA TRANSMIGRASI TAHUN 1981

2.1 Letak Geografis

Kabupaten Rokan Hilir merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sesuai dengan Undang-undang nomor 53 tahun 1999. Wilayah Kabupaten Rokan Hilir terletak pada bagian pesisir timur Pulau Sumatera di sepanjang selat Malaka yang berbatasan dengan Malaysia. Rokan Hilir termasuk daerah yang dilalui jalan Lintas Timur Sumatera. Kabupaten Rokan Hilir terletak antara 1014-2030 Lintang Utara dan 100016-101021 Bujur Timur dengan pusat pemerintahan di Bagansiapiapi. Luas wilayah Kabupaten Rokan Hilir adalah 8.881,59 Km2, Kabupaten Rokan Hilir beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan adalah 277,94 mm/tahun, dan temperatur udara berkisar antara 26° - 32°C. Musim kemarau di daerah ini umumnya terjadi pada bulan Februari sampai dengan Agustus, sedangkan musim penghujan terjadi pada bulan September sampai dengan Januari dengan jumlah hari hujan sebanyak 52 hari. Kabupaten Rokan Hilir sebagian besar merupakan tipe tanah gambut, sekitar 28,96% luas lahan di Rokan Hilir digunakan untuk lahan perkebunan.15

15

Kecamatan Pakaitan merupakan bagian dari Kabupaten Rokan Hilir. Kecamatan Pakaitan terdiri dari sembilan desa didalamnya diantaranya Rokan Baru, Rokan Baru Pesisir, Teluk Bano II, Suak Temenggung, Padamaran, Sungai Besar, Kubu I, Pakaitan dan Suak Air Hitam.16

16

Badan Pusat Statistik Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2009.

Desa Suak Temenggung merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Pakaitan, Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau. Ibu kota kecamatan ini berada di Bagansiapiapi. Jarak dari Desa Suak Temenggung menuju kota Bagansiapiapi ± 17 km atau sekitar 1 jam jarak tempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak menuju Pekan Baru yang merupakan ibu kota Provinsi Riau kurang lebih 360 Km atau sekitar 5-6 jam jarak tempuh. Luas Desa Suak Temenggung sebelum masuknya program transmigrasi secara keseluruhannya sekitar 868,39 Km2, 90% dari luas wilayah tersebut terdiri dari tanah gambut, selebihnya merupakan daerah bergelombang yakni sekitar 10%.

Batas-batas wilayah Desa Suak Temenggung sebagai berikut : Sebelah Utara : Padamaran

Sebelah Selatan : Telok Bano II Sebelah Barat : Telok Bano II Sebelah Timur : Telok Bano II

16

Sebelum adanya program transmigrasi, Desa Suak Temenggung seluruhnya adalah kawasan tanah gambut atau merupakan daerah lahan basah. Kawasan tanah gambut ini masih berupa kawasan hutan. Berdasarkan informasi yang didapat dari wawancara dengan Samiyo, Desa Suak Temenggung sendiri sebelum masuknya Program Transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, masih merupakan kawasan hutan gambut yang tidak dimanfaatkan atau lahan basah yang merupakan lahan yang tidak dikelola atau bisa dibilang dengan lahan tidur yang masih di penuhi dengan hewan-hewan melata seperti ular. Selain itu juga kawasan hutan gambut yang ada di Desa Suak Temenggung ini banyak terdapat binatang katak, belalang, jangkrik dan di dalam rawa tersebut juga banyak terdapat ikan-ikan seperti papuyu, gabus, bulan-bulan dan juga sepat siam. Kawasan hutan gambut di Desa Suak Temenggung ini merupakan jenis kawasan hutan yang memiliki batang kayu sedang dan terdiri dari semak belukar. Sebelum Program Transmigrasi dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat tidak ada jalan yang jelas ataupun yang menjadi jalan umum dalam perjalanan menuju Desa Suak Temenggung dari Kota Bagansiapiapi, karena jalan-jalan yang dilewati masih merupakan hutan gambut yang masih semak belukar. Keadaan ini membuat perjalanan menuju kota Bagansiapiapi terlihat sedikit rumit. Masyarakat setempat harus melewati hutan gambut setelah itu penyeberangan getek dari muara Sungai Rokan untuk menuju kota Bagansiapiapi.17

17

Wawancara Samiyo. Desa Suak Temenggung Kecamatan Pakaitan Kabupaten Rokan Hilir, 3Mei 2015.

17

Terdapat beberapa buah pondok atau rumah panggung di dekat muara sungai Rokan dan juga di pedalaman hutan gambut yang dihuni oleh suku Melayu yang telah lama tinggal disana dengan jumlah dua puluh keluarga. Desa Suak Temenggung berdekatan dengan muara Sungai Rokan, yang beriklim tropis dengan jumlah curah hujan 2.710 mm/tahun dan temperatur udaranya berkisar pada 240-320 C. Musim kemarau di daerah ini umumnya terjadi pada bulan Februari sampai dengan Agustus. Sedangkan musim penghujan terjadi pada bulan September sampai dengan januari dengan jumlah hari hujan rata-rata 52 hari.18

Desa Suak Temenggung sebelum tahun 1981 dihuni oleh suku Melayu yang berjumlah dua puluh keluarga yang mendiami pondok atau rumah panggung. Total keseluruhan penduduk pada saat itu ialah berjumlah 80 jiwa. Diantaranya terdiri atas 42 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 38 jiwa berjenis kelamin perempuan. Apabila didata menurut klasifikasi umur terungkap bahwa sebanyak 5 jiwa berumur 0-5 tahun, 15 jiwa berumur 6-12 tahun, 20 jiwa berumur 20-25 tahun, 30 jiwa berumur 35-55 tahun, dan selebihnya berumur 60 tahun lebih.

Ketika sungai Rokan pasang aliran air akan mengaliri Desa Suak Temenggung sehingga menyebabkan banjir. Pada musim kemarau lahan gambut tetap berair, hal ini disebabkan dekatnya Desa Suak Temenggung dengan muara sungai Rokan yang terus mengairi lahan gambut.

2.2 Keadaan Penduduk

19

18

Badan Pusat Statistik Kabupaten Rokan Hilir tahun 2009.

19

Badan Pusat Statistik Kabupaten Rokan Hilir tahun 1990.

18

Sebelum Program Transmigrasi dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, suku Melayu telah mendiami pondok atau rumah panggung ditepi sungai Rokan dan juga pedalaman hutan gambut. Bentuk rumah rata-rata panggung dan terlihat kurang memenuhi standar rumah sehat dengan corak kayu dan atap dari daun purun, pemandangan tersebut banyak dijumpai disepanjang pinggiran sungai dan dipedalaman kawasan hutan gambut.

Suku Melayu mendirikan sendiri rumah mereka dengan bermodalkan bahan- bahan kayu yang mereka peroleh dari hutan gambut. Suku Melayu menebangi sebagian semak belukar di hutan gambut dengan peralatan seadanya seperti parang. Kemudian kayu yang mereka peroleh dari hutan gambut mereka gunakan untuk membangun rumah panggung di sekitar tepi sungai Rokan dan pedalaman hutan gambut. Rumah panggung yang mereka buat terdiri dari ruang tamu, kamar dan dapur untuk memasak. Suku Melayu yang tinggal di tepi sungai Rokan dan pedalaman hutan gambut tidur beralaskan tikar yang terbuat dari jerami. Kehidupan suku Melayu yang tinggal di tepi sungai Rokan dan pedalaman hutan gambut jauh dari keramaian kota serta sarana hiburan. 20

Kehidupan suku Melayu yang ada di Desa Suak Temenggung sebelum adanya Program Transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat pada tahun 1981 terlihat dari segi pendidikan. Pada umumnya mereka msih buta huruf, anak-anak dari suku Melayu sendiri tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Hal ini

20

Wawancara Tengku Azmi Hamzah. Desa Suak Temenggung Kecamatan Pakaitan Kabupaten Rokan Hilir, 3Mei 2015.

19

dikarenakan kehidupan mereka yang jauh dari pusat kota dan ekonomi yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari saja. Sedangkan sekolah- sekolah pada saat itu hanya ada di pusat kota yaitu Bagansiapiapi. Untuk menuju pusat kota Bagansiapiapi mereka harus melewati hutan gambut dan semak belukar, kemudian menyeberangi muara Sungai Rokan dengan getek yang terbuat dari kayu. Kondisi ini membuat masyarakat suku Melayu di daerah tepi sungai Rokan dan pedalaman hutan gambut tidak dapat meningkatkan kompetensi pendidikannya karena letak sekolah yang jauh dipusat kota dan juga keterbatasa ekonomi. Anak- anak suku Melayu yang tinggal dipedalam sungai Rokan dan kawasan pedalaman hutan gambut hanya bisa membantu orang tua mereka memancing ikan dan menjala ikan. Alhasil perekonomian masyarkat suku Melayu yang tinggal ditepi sungai Rokan dan pedalaman hutan gambut tidak meningkat dan untuk memperoleh kehidupan yang layak.

Walaupun demikian suku Melayu yang tinggal ditepi sungai Rokan dan pedalaman hutan gambut telah mempunyai tatanan masyarakat berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yaitu anak-anak suku Melayu baik yang tinggal ditepi sungai Rokan dan pedalaman kawasan hutan gambut hanya belajar dari bersosialisasi dengan tetangga dan saling menghormati. Selain itu mengaji di rumah adalah salah satu cara yang dapat anak-anak suku melayu lakukan untuk menimba ilmu agama.

Masyarakat suku Melayu yang tinggal di tepi sungai Rokan dan pedalaman kawasan hutan gambut, kerap kesulitan mendapatkan air bersih. Hal ini terlihat dari kondisi tanahnya yang merupakan kawasan tanah gambut atau lahan basah yang

20

merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik >50 cm. Kondisi airnya bewarna hitam dan sedikit berbau asam ditambah lagi dialiri aliran sungai rokan yang terus menerus. Hal inilah yang kerap membuat masyarakat suku Melayu hanya bergantung pada air hujan untuk air minum dan kebutuhan harian. Ketika musim kemarau datang, masyarakat suku Melayu terpaksa mengkonsumsi air yang berasal dari kawasan hutan gambut yang berbau asam dan bewarna hitam untuk kelangsungan hidup. Masyarakat suku Melayu yang tinggal ditepi sungai Rokan dan kawasan hutan gambut semuanya beragama Islam, adat istiadat dominan yang dianut oleh masyarakat tersebut adalah adat istiadat suku Melayu (adat resam).

Tidak ada sarana dan prasarana kesehatan di Desa Suak Temenggung seperti puskesmas, apotek dan lainnya, ketika masyarakat suku Melayu sakit, mereka pada saat itu hanya menggunakan obat-obatan tradisional yang terbuat dari berbagai daun yang tumbuh di hutan gambut yang mereka racik sendiri. Puskesmas dan rumah sakit pada saat itu hanya ada di pusat kota Bagansiapiapi yang letaknya sangat jauh dari kediaman suku Melaya yang berada di pedalaman hutan gambut. Untuk menuju pusat kota Bagansiapiapi mereka harus melewati hutan gambut dan semak belukar, kemudian menyeberangi muara Sungai Rokan dengan getek yang terbuat dari kayu.

21

2.3 Mata Pencaharian

Suku Melayu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berbagai macam jalan. Mereka mau melakukan apa saja yang penting mendapatkan penghasilan dengan jalan yang baik dan halal. Mayoritas suku Melayu adalah bekerja sebagai pencari kayu di hutan gambut, memancing ikan, menjala ikan dan menanam sayuran seadanya di lahan gambut.

Letak Geografis Desa Suak Temenggung yang berada disekitar tepi sungai Rokan dan pedalaman hutan gambut tentu mempengaruhi sistem mata pencaharian masyarakat suku Melayu. Seperti layaknya daerah lain, pola pemukiman masyarakat suku Melayu yang tinggal disekitar tepi sungai Rokan ialah memanjang agar dapat mempermudah suku melayu untuk beraktivitas dan memenuhi kebutuhan hidup. Sungai Rokan adalah urat nadi perekonomian suku Melayu yang tinggal disekitar tepi sungai Rokan. Keadaan ini yang membuat suku Melayu lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara memancing ikan dan menjala ikan di sekitar sungai Rokan. Hasil tangkapan ikan inilah yang kemudian dijual oleh suku Melayu ke pusat kota Bagansiapiapi.21

21

Andreas.T.Sipahutar, “Komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi Tahun 1945-2001”, Skripsi, S-1 belum diterbitkan, Medan:Departemen Sejarah FIB USU, 2014.

Ketika hasil tangkapan ikan banyak suku Melayu terkadang menjualnya kepada toke-toke Cina di kota Bagansiapiapi. Ketika tangkapan ikan itu sedikit suku Melayu yang tinggal disekitar sungai Rokan hanya menjual hasil tangkapan ikan kepada warga yang tinggal di sekitar kota Bagansiapiapi ataupun juga dikonsumsi sendiri.

22

Sebelum dilaksanakan Program Transmigrasi oleh Pemerintah Pusat, sungai Rokan pada saat itu masih memiliki berbagai jenis ikan yang dapat ditangkap, seperti ikan sepat, bulan-bulan dan lainnya. Dari hasil tangkapan ikan inilah suku Melayu yang tinggal di tepi sungai Rokan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari realitas ekonomi, nyata sekali bahwa kehidupan suku Melayu di sekitar tepi sungai Rokan memang sangat rentan sebelum adanya Program Transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Terlebih lagi ketika suku Melayu yang tinggal di sekitar tepi sungai Rokan semata-mata bergantung pada hasil penangkapan ikan dari sungai Rokan. Ketika sungai Rokan pasang suku Melayu semakin sulit mendapatkan hasil ikan yang maksimal, hal ini merupakan suatu ancaman bagi berlangsungnya kehidupan ekonomi mereka. Tetapi ketika sungai Rokan surut, hasil tangkapan ikan melimpah. Meskipun dari kegiatan memancing dan menjala ikan adakalanya memberikan hasil yang melimpah, namun tak jarang pula bahkan seringkali hasilnya hanya bisa menutupi kebutuhan satu hari saja. Sementara untuk esok harinya diserahkan pada hasil tangkapan yang akan dilakukan dan seterusnya.

Suku Melayu yang tinggal di pedalaman hutan gambut pola pemukiman lebih tidak teratur, Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain ± 20 m. Suku Melayu tinggal di pedalaman hutan gambut dengan komposisi tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik >50 cm. Dengan keadaan tanah inilah yang mempengaruhi sistem mata pencaharian suku Melayu di pedalaman hutan gambut. Hutan gambut yang menjadi

23

urat nadi bagi suku Melayu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Suku Melayu mencari kayu bakar di hutan gambut. Kayu bakar tersebut diperoleh dengan cara menebang pohon baik yang berdiameter sedang atau kecil dengan peralatan seperti kuku kambing. Selain itu masyarakat suku Melayu juga mengambil ranting- ranting yang sudah jatuh ke tanah, hasil batang kayu yang masih basah yang dikumpulkan dari kawasan hutan gambut biasanya langsung di jemur di depan rumah. Setelah kering kayu bakar tersebut di potong-potong hingga berdiameter kurang lebih 3 – 4 cm dan dipotong sepanjang kurang lebih 40 – 50 cm. Kemudian kayu bakar diikat menjadi beberapa bagian, kayu yang sudah diikat inilah kemudian dijual oleh suku Melayu yang tinggal di pedalam hutan gambut kepada warga dipusat kota Bagansiapiapi dengan harga Rp 2.000,- hingga Rp 3.000,-. Per ikat kayu. Menjualnya tidaklah mudah melainkan mereka harus mengangkat kayu-kayu tersebut ketepi sungai Rokan, kemudian kayu-kayu yang sudah diikat diangkat menggunakan sampan melalui sungai Rokan hingga sampai kepusat kota Bagansiapiapi.

Selain memenuhi kebutuhan hidup dengan cara mencari kayu bakar dikawasan hutan gambut, suku Melayu yang tinggal dipedalaman hutan gambut juga menjala ikan di muara sungai Rokan. Memancing dilahan gambut juga menjadi salah satu mata pencaharian suku Melayu untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebab dilahan gambut kaya sekali akan ikan gabus dan ikan sepat siamnya. Hasil tangkapan ikan di sungai dan memancing inilah yang kemudian mereka jual ke kota Bagansiapiapi dan juga sebagian dikonsumsi oleh suku Melayu di pedalaman hutan gambut untuk kelangsungan hidup. Selain itu, suku melayu juga melakukan kegiatan diantaranya

24

mencari burung, mengelola lahan gambut untuk ditanami berbagai macam sayur untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti daun singkong, rimbang dan kangkung liar yang tumbuh di perairan lahan gambut. Sayuran ini juga dimanfaatkan oleh suku Melayu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada saat hasil sayuran banyak, suku Melayu menjual sayuran-sayuran tersebut kepada warga dipusat kota Bagansiapiapi.22 pada dasarnya masyarakat suku Melayu yang tinggal di kawasan pedalaman hutan gambut terbatas dalam beraktivitas, hal ini terlihat semata-mata hanya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

22

Wawancara Tengku Azmi Hamzah. Desa Suak Temenggung Kecamatan Pakaitan Kabupaten Rokan Hilir, 3 Mei 2015.

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Desa Suak Temenggung merupakan bagian dari Kecamatan Pakaitan, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Desa Suak Temenggung pada awalnya sudah dihuni oleh suku asli Riau yaitu Suku Melayu. Sebelum program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, masyarakat asli memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menjual kayu bakar yang diperoleh dari hutan. Selain itu memancing ikan juga merupakan cara mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Desa Suak Temenggung merupakan desa yang keseluruhannya adalah lahan gambut.1 Desa ini dikenal dengan lahan gambut yang pada awalnya tidak dimanfaatkan. Seiring dengan Program Nasional Transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, maka pemanfaatan lahan gambut semakin pesat untuk pertanian dan perkebunan.2

Pemerintah pusat menyediakan sebagian dari lahan gambut yang sudah diolah di desa Suak Temengung untuk Program Transmigrasi. Pemerintah menyediakan dua hektar tanah gambut dengan satu rumah panggung dan lahan pertanian pangan untuk Hal ini menyebabkan banyaknya pembukaan lahan-lahan gambut diberbagai daerah di Indonesia termasuk di desa Suak Temenggung.

1Lahan Gambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-

sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama. Lihat Muhammad, Faiz Barchia, Gambut: Agroekosistem dan Transformasi Karbon, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006, hlm 2.

2 Muhammad Noor, Lahan Gambut: Pengembangan, Konservasi, dan Perubahan Iklim,

2

persatu keluarga transmigran. Para transmigran adalah suku Jawa yang didatangkan dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat seperti, Solo, Pakalongan, Banyumas, Seragen, Malang, Kediri, Banyuwangi, Jombang, Blitar, Pasuruan, Sukabumi dan Bandung. Alasan utama para transmigran mengikuti program transmigrasi yang ada di Desa Suak Temenggung di sebabkan padatnya penduduk di Jawa, kehidupan yang tidak mencukupi di daerah asal dan bencana alam seperti gunung meletus. Suku Jawa mulai menetap di Desa Suak Temenggung pada tahun 1981 dan merintis lahan pertanian padi yang bibitnya diperoleh dengan cara membeli dari luar daerah seperti Padang. Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir membagi desa Suak Temenggung kedalam tiga dusun yaitu, Suka Jadi, Rejo Mulyo dan Sumber Sari yang ketiganya dihuni oleh para transmigran.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebelum padi menghasilkan, para transmigran mendapat bantuan dari pemerintah pusat yang kemudian bantuan ini disalurkan melalui pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, Hal ini berupa kebutuhan pokok. Tidak hanya bantuan dari Pemerintah Pusat yang menopang kehidupan mereka tetapi para transmigran juga memenuhi kebutuhan hidup dengan mencari kayu bakar dan memancing ikan. Melalui Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir juga membebaskan mereka untuk mengolah lahan gambut yang masih tersisa untuk di tanami tanaman pertanian padi. Para transmigran di desa Suak Temenggung juga membentuk kelompok tani yang diambil dari setiap dusun di desa Suak Temenggung.

3

Para transmigran membuka lahan gambut yang masih tersisa dengan peralatan seperti kuku kambing, parang besar, klewangan dan kampak. Proses penebangan, pengeringan, pembakaran, serta pengolahan untuk tanaman pangan yaitu tanaman pertanian padi dilakukan oleh para transmigran. Selama delapan tahun pertanian padi yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan hidup para transmigran, hal ini disebabkan karena kondisi lahan yang tidak memungkinkan dilahan gambut seperti musim penghujan lahan akan banjir dan ketika musim kemarau lahan akan kering serta tanah menjadi pecah-pecah. Pada saat musim penghujan hama penyakit yang mulai menyerang lahan pertanian padi seperti keong mas dan tikus. Sementara pada saat musim kemarau hama penyakit yang mulai menyerang seperti orong-orong dan wereng telah merusak tanaman pertanian padi. Pengolahan tanaman padi lebih sulit karena setiap hari para transmigran harus pergi keladang serta masa panennya yang cukup lama yaitu sekitar enam bulan sekali. Kemudian hasil panen pertanian padi juga tidak begitu mencukupi kehidupan para transmigran di Desa Suak Temenggung. Banyak anak-anak tidak bersekolah dan semakin tahun harga padi semakin menurun. Disamping itu telah dikenalnya tanaman komersil yaitu kelapa sawit yang hasilnya lebih menjanjikan, Maka pada tahun 1992 pertanian padi di desa Suak Temenggung beralih menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat.3

Banyak dari para transmigran yang tidak tahan akan kondisi ekonomi yang

Dokumen terkait