• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

1. Sistem formularium Jamkesmas/Medan Sehat yang lama sebaiknya

diperbaharui dan disosialisasikan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam pengobatan

2. Sebaiknya pelayanan farmasi klinis pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit seperti Monitoring Efek Samping Obat (MESO) lebih ditingkatkan.

3. Agar pelayanan farmasi klinis di instalasi farmasi berjalan secara maksimal dan menyeluruh diharapkan agar pihak rumah sakit meningkatkan penyelengaraan pelatihan-pelatihan di bidang farmasi klinis bagi tenaga farmasi.

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

BAB V STUDI KASUS

Gagal Ginjal Kronik Yang Disebabkan oleh Penyakit Ginjal Obstruksi dan Infeksi (PGOI)

5.1 Latar Belakang

Gambaran umum perjalanan gagal ginjal kronik dapat diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dan kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) sebagai persentase dari keadaan normal terhadap kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN) dengan rusaknya massa nefron secara progresif oleh penyakit ginjal kronik (Wilson and Sylvia, 1995).

Stadium dini penyakit ginjal kronik dapat didiagnosis dengan pemeriksaan penunjang dan telah dibuktikan bahwa pengobatan dini penyakit ginjal kronik berhasil menghambat terjadinya gagal ginjal, penyakit kardiovaskuler dan kematian sebelum waktunya. Pengelolaan penyakit ginjal kronik harus meliputi terapi terhadap penyebab penyakit, evakuasi dan pengobatan penyakit kardiovaskuler, pencegahan dan pengobatan komplikasi yang disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal (JNHC, 2003).

Salah satu penyebab kerusakan ginjal adalah penyakit batu ginjal dan saluran kemih (GSK). Pada gejala awal penyakit batu GSK (ginjal dan saluran kemih) penderita mengalami suatu keadaan tanpa keluhan atau tanpa gejala. Hal itu disebabkan karena batu berukuran kecil dan tidak menyebabkan penyumbatan dan infeksi. Bila keadaan tanpa gejala ini berlangsung lama maka batu akan

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

menjadi besar dan kemudian mengakibatkan kerusakan struktur ginjal dan berbagai gejala akan timbul, kadang-kadang pada keadaan yang sudah lanjut/terlambat (Lumenta, dkk, 1992).

Sejumlah obat dapat menyebabkan dan memperburuk penyakit ginjal kronik, sehingga sangat penting melakukan pengkajian ulang secara menyeluruh tentang daftar pengobatan yang telah diberikan (pengobatan dengan resep dokter atau swamedikasi). Selain itu pengobatan memerlukan penyesuaian dosis atau harus dihentikan berdasarkan laju filtrasi glomerulus.

Farmasi atau apoteker sangat diperlukan untuk pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada kebutuhan pasien. Apoteker diharapkan tidak berpusat hanya pada perbekalan saja, tetapi juga menjamin ketersediaan obat yang berkualitas, efikasi tinggi dan harga yang wajar serta pada penyerahannya disertai informasi yang cukup dan diikuti pemantauan penggunaan obat. Oleh karena itu diperlukan peran apoteker untuk mendukung tercapainya mutu pelayanan.

5.2 Tujuan

Tujuan dilakukan studi kasus ini adalah:

1. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat. 2. Untuk melihat rasionalitas penggunaan obat di rumah sakit

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

5.3 Tinjauan Pustaka 5.3.1 Ginjal

Ginjal adalah organ ekskresi. Fungsi utama ginjal adalah menjaga keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan ekstraseluler. Fungsi ginjal secara keseluruhan dibagi dalam 2 golongan yaitu:

1. Fungsi ekskresi

a. Ekskresi sisa metabolisme protein

Sisa metabolisme lemak dan karbohidrat adalah CO2 dan H2O dikeluarkan melalui paru dan kulit. Sisa metabolisme protein yaitu ureum, kalium, asam urat dikeluarkan melalui ginjal. Jadi bila terjadi kerusakan ginjal akan terjadi penimbunan zat-zat hasil metabolisme dan sebagai akibatnya akan terjafi hiperkalemia, hiperurisemia, azotemia.

b. Regulasi volume cairan tubuh

Bila tubuh kekurangan air (dehidrasi) maka produksi ADH (anti diuretik hormon) akan bertambah sehingga produksi urine berkurang karena penyerapan air di tubulis distal dan duktus koligens bertambah.

c. Menjaga keseimbangan asam basa

Keseimbangan asam dan basa di dalam tubuh diatur oleh paru dan ginjal. 2.Fungsi endokrin

a. Berperan dalam eritropoesis

Penderta gagal ginjal kronik sering disertai dengan anemia berat yang normokromik. Pembentukan sel darah merah diperlukan zat eritropoetin, yaitu

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

suatu hormon glikoprotein yang diproduksi 90% oleh ginjal dan sisanya diproduksi diluar ginjal (hati). Eritropoetin dirubah dari proeritropoetin. Mekanisme terjadinya anemia pada GGK adalah pemendekan umur eritrosit, toksisitas aluminium karena penggunaan obat-obat pengikat fosfat yang mengandung aluminium, iatrogenik karena kehilangan darah sewaktu dialisis dan pengambilan contoh darah serta terjadinya defisiensi asam folat pada pasien yang sedang menjalani dialisis.

b. Pengaturan tekanan darah

Bila terjadi iskemia ginjal maka granula renin akan dilepaskan. Renin akan merubah angiotensin di dalam darah menjadi angiotensin I. Angiotensin I dirubah menjadi angiotensin II oleh enzym konvertase di paru. Angiotensin II mempunyai 2 efek, yaitu yang pertama mengakibatkan vasokontriksi pembuluh darah perifer dan yang kedua merangsang korteks kelenjar adrenal untuk memproduksi aldosteron. Aldosteron bersifat meretensi air dan natrium sehingga volume darah bertambah dan akan menyebabkan hipertensi.

c. Keseimbangan kalsium dan fosfor

Pada GGK dapat terjadi kerusakan tulang yang disebut dengan rikest ginjal. Hal ini disebabkan karena ginjal mempunyai peranan pada metabolisme vitamin D. Vitamin D atau kolekalsiferol pertama kali dirubah dihati kemudian dirubah di ginjal menjadi metabolit yang aktif dan dapat menyerap kalsium di usus. Jika terjadi kerusakan ginjal maka akan terjadi hipokalsemia. Hipokalsemia akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi parathormon (PTH) dengan tujuan meningkatkan kadar kalsium darah tetapi caranya memobilisasi

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

tulang sehingga terjadi kerusakan tulang tersebut (rikets ginjal) (Alatas, H, dkk, 2002).

a. Struktur Ginjal

Bentuk ginjal seperti kacang merah, jumlahnya sepasang dan terletak di dorsal kiri dan kanan tulang belakang di daerah pinggang. Berat ginjal diperkirakan 0,5% dari berat badan, dan panjangnya ± 10 cm. Setiap menit 20-25% darah dipompa oleh jantung yang mengalir menuju ginjal. Ginjal terdiri dari tiga bagian utama (dapat dilihat pada gambar 2.1) yaitu:

i. korteks (bagian luar)

ii. medulla (sumsum ginjal) iii. Renal pelvis (rongga ginjal)

iv. ureter

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

Bagian korteks ginjal banyak mengandung nefron ± 100 juta sehingga permukaan kapiler ginjal menjadi luas, akibatnya perembesan zat buangan menjadi banyak. Setiap nefron terdiri atas badan Malphigi dan tubulus (ditunjukkan pada gambar 2.2) yang panjang. Pada badan Malphigi terdapat kapsul Bowman yang bentuknya seperti mangkuk atau piala yang berupa selaput sel pipih. Kapsul Bowman membungkus glomerulus. Glomerulus berbentuk jalinan kapiler arterial. Tubulus pada badan Malphigi adalah tubulus proksimal yang bergulung dekat kapsul Bowman yang pada dinding sel terdapat banyak sekali mitokondria. Tubulus yang kedua adalah tubulus distal. Pada rongga ginjal bermuara pembuluh pengumpul. Rongga ginjal dihubungkan oleh ureter (berupa saluran) ke kandung kencing (vesika urinaria) yang berfungsi sebagai tempat penampungan sementara urin sebelum keluar tubuh, dari kandung kencing menuju luar tubuh urin melewati saluran yang disebut uretra (Davey, P., 2002).

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

Gbr. 2.2 Struktur Nefron

b. Proses-proses di dalam Ginjal

Proses yang terdapat adalah suatu rangkaian filtrasi, reabsorbsi, dan augmentasi.

i. Penyaringa n (filtrasi)

Filtrasi terjadi pada kapiler glomerulus pada kapsul Bowman. Pada glomerulus terdapat sel-sel endotelium kapiler yang berpori (podosit) sehingga mempermudah proses penyaringan. Beberapa faktor yang mempermudah proses penyaringan adalah tekanan hidrolik dan permeabilitas yang tinggi pada glomerulus. Selain penyaringan, di glomelurus terjadi pula pengikatan kembali sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan-bahan kecil terlarut dalam plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, garam lain, dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan (Davey, P., 2002).

Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin primer), komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung protein. Pada filtrat glomerulus masih dapat ditemuka n asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-garam lainnya.

ii. Penyerapan kembali (Reabsorbsi)

Volume urin manusia hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat glomerulus akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimal dan terjadi penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

distal. Substansi yang masih berguna seperti glukosa dan asam amino dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan garam, dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan dalam urin. Tiap hari tabung ginjal mereabsorbsi lebih dari 178 liter air, 1200 g garam, dan 150 g glukosa. Sebagian besar dari zat-zat ini direabsorbsi beberapa kali. Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder yang komposisinya sangat berbeda dengan urin primer. Pada urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah, misalnya ureum dari 0,03 % dalam urin primer dapat mencapai 2% dalam urin sekunder. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam mino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Reabsorbsi air terjadi pada tubulus proksimal dan tubulus distal.

iii. Augmentasi

Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah 96% air; 1,5% garam; 2,5% urea, sisa urin adalah substansi lain, seperti pigmen empedu yang berfungsi memberi warna dan bau pada urin.

c. Tes Fungsi Ginjal

1. Tes untuk protein. Bila ada kerusakan pada glomerulus atau tubulus, maka protein bocor masuk ke urine.

2. Mengukur konsentrasi urea darah. Bila ginjal tidak cukup mengeluarkan ureum, maka ureum dapat meningkat diatas kadar normal 20-40

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

mg/100cc darah karena filtrasi glomerulus harus turun sampai 50% sebelum kenaikan kadar urea darah terjadi.

5.3.2 Gagal Ginjal Kronik

5.3.3 Anemia Akibat Gagal Ginjal Kronik

Anemia pada gagal ginjal kronik akan timbul apabila kreatinin serum lebih dari 3,5 mg/dL. Anemia akan lebih berat jika fungsi ginjal lebih buruk dan penyakit ginjal telah mencapai stadium akhir.

Etiologi anemia pada gagal ginjal kronik terdiri dari:

1. Produksi eritropoetin berkurang disebabkan a.Infeksi/kerusakan ginjal

b.malnutrisi

2. Adanya toksin di dalam darah yang menghambat respon eritrosit terhadap eritropoesis.

3. Adanya perubahan afinitas hemoglobinterhadap oksigen yang berakibat meningkatnya efisiensi pembebasan oksigen secara relatif terhadap beratnya anemia.

Gagal ginjal kronik adalah suatu gejala klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun dan berlangsung progresif. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 50 ml/menit (suhardjono,dkk, 2001). Sedangkan menurut Mansjoer (2001) gagal ginjal kronik adalah penurunan

fungsi ginjal yang bersifat perssisten dan irreversibel. Hal ini disebabkan kemampuan tubuh yang gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyebabkan uremia (retensi urea dan

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

5.3.4 Batu Ginjal

Batu Ginjal adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di dalam ginjal dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolithiasis (lithiasis renalis atau nefrolithiasis) (Gambar 2.3).

Gbr. 2.3 Batu di dalam Ginjal

5.3.5 Penyebab Batu Ginjal

Batu ginjal terbentuk bisa karena yang dapat membentuk batu atau karena air kemih kekurangan penghambat pembentukan batu yang normal. Sekitar 80% batu terdiri dari mengandung berbagai bahan termas (campuran dari magnesium, ammonium dan fosfat). infeksi karena batu ini hanya terbentuk di dalam air kemih yang terinfeksi. Ukuran batu bervariasi, mulai dari yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang sampai

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

yang sebesar 2,5 sentimeter atau lebih. Batu yang besar disebut kalkulus staghorn (Bakri, S., 2003).

5.3.6 Penatalaksanaan dan Pengobatan

a. Mengatasi simptom. Batu dapat menimbulkan keadaan darurat bila batu turun ke sistem kolektivus dan dapat menyebabkan kelainan berupa kolik ginjal atau infeksi di dalam sumbatan saluran kemih. Berikan spasme analgetik atau inhibitor sintesis prostaglandin (intravena, intramuskular atau supositoria).

b. Pengambilan batu

i. Batu dapat keluar spontan. Berdasarkan ukuran, bentuk dan posisi batu dapat diestimasi batu akan keluar spontan atau harus diambil. Sekitar 60-70% dari batu yang turun spontan sertai dengan serangan kolik ulangan. Diberikan terapi atau pencegahan kolik, pembuangan tinja dijaga tetap baik, terapi anti edema diuresis diberikan, dan aktivitas fisis. Batu tidak diharapkan keluar spontan bila batu berukuran sebesar atau melebihi 6 mm.

ii. Pengambilan Batu dilakukan dengan gelombang kejutan litotripsi ekstra korporeal, perkutaneus nefrolitomi/cara lain dengan pembedahan. iii. Pencegahan (batu kalsium kronik kalsium oksalat)

iv. Menurunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan oksalat)

v. Meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentukan batu seperti sitrat (kalium sitrat 20 mEq tiap malam hari, minum jeruk nipis atau lemon

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

malam hari), meningkatkan masukan cairan, mengontrol secara berkala pembentukan batu baru.

vi. Pengaturan diet

a) Meningkatkan masukan cairan terutama pada malam hari akan meningkatkan aliran kemih dan menurunkan konsentrasi pembentuk batu dalam air kemih. b) Menghindari masukan minuman gas (soft drinks) lebih 1 liter perminggu.

c) Mengurangi masukan protein (sebesar 1g/kg berat badan/hari). Masukan protein tinggi dapat meningkatkan eksresi kalsium, asam urat dan menurunkan sitrat dalam air kemih .

d) Membatasi masukan natrium. Diet natrium rendah (80 sampai 100 mEq/hari) dapat memperbaiki reabsorpsi natrium proksimal dan reabsorpsi kalsium proksimal, sehingga terjadi pengurangan ekskresi natrium dan ekskresi kalsium. (Bakri, S., 2003).

5.3.7 Patofisiologi GGK

Gagal Ginjal Kronik (GGK) dapat terjadi karena berbagai gangguan ginjal. Karena hebatnya kemampuan kompensasi nefron yang tidak terganggu maka penurunan fungsi ginjal seringkali tidak bergejala sampai pada tahap lanjut proses. Bila GGK berkembang menuju penyakit ginjal tahap akhir maka terapi transplantasi ginjal mungkin diperlukan. Penurunan laju filtrasi glomerulus (Glomerulus Filtration Rate) dapat diikuti dengan tercatatnya perubahan harga kebalikan kadar kreatinin serum versus waktu.

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

Penyakit ginjal kronik sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Stadium dini penyakit ginjal kronuk dapat didiagosis dengan pemeriksaan penunjang dan telah dibuktikan bahwa pengobatan dini penyakit ginjal kronik berhasil menghambat terjadinya gagal ginjal, penyakit kardiovaskuler dan kematian sebelum waktunya.

Pada Pedoman Kidney Disease Outcome Quality Intiative (KDOQI), batasan penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih dari 3 bulan, berdasarkan kalainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti pada urinalisis. Selain itu batasan ini juga memperlihatkan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus, seperti berikut:

Kriteria Batasan Penyakit Ginjal Kronik

a. Kerusakan ginjal 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulis berdasarkan :

i. Kelainan patologik

ii. Pertanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan.

b. Laju filtrasi glomerulis < 60 ml/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Susalit, 2003).

Keadaan yang mendadak memperburuk pada GGK

a. Kekurangan cairan yang berakibat penurunan perfusi ginjal adalah

penyebab lazim memburunya fungsi ginjal. Idealnya penderita GGK hendaknya memperoleh hidrasi yang baik seperti yang ditunjukkan dengan edema samar-samar pada kaki penderita.

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

b. Penurunan isi semenit curah jantung dapat mengganggu perfusi ginjal sehingga dapat memperburuk GGK. Pengobatan yang meningkatkan isi semenit jantung dapat memperbaiki fungsi ginjal melalui peningkatan aliran darah.

c. Obat-obatan dapat menyebabkan kekambuhan GGK melalui efek toksik

langsung terhadap struktur ginjal atau perfusi ginjal yang menurun. d. Perubahan pada tekanan darah

e. Infeksi

f. Obstruksi

g. Bahan-bahan nefrotoksik.

5.3.8 Hemodialisa

Hemodialisa adalah suatu proses pemisahan zat-zat tertentu dari darah melalui membran semi permeabel di dalam ginjal buatan yang disebut dengan dialiser dan dibuang melalui cairan dialisis yang disebut dengan dialisat. Pada proses ini akan dikeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari aliran darah seperti air, natrium, kalium, urea, kreatinin, asam urat melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dibuang melalui cairan dialisis dimana terjadi proses difusi. Proses difusi terjadi karena pergerakan zat-zat terlarut dari larutan yang berberkonsentrasi tinggi ke larutan yang berkonsentrasi rendah. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi kedua larutan tersebut.

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

Secara keseluruhan sistem hemodialisis terdiri dari tiga elemen dasar yaitu sistem sirkulasi darah di luar tubuh (ekstrakorporeal), dialiser, dan sistem sirkulasi dialisat.

a.Sistem sirkulasi darah diluar tubuh

Selama hemodialisis, darah pasien mengalir dari tubuh ke dalam dialiser melalui selang arteri, kemudian kembali ke tubuh melalui selang vena. Sistem sirkulasi darah di luar tubuh ini disebut dengan sirkulasi darah ekstrakorporeal.

b. Dialiser

Dialiser adalah suatu alat berupa tabung terdiri dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dibatasi oleh membran semipermeabel. Di dalam dialiser ini terjadi proses pencucian darah melalui proses difusi sehingga dihasilkan darah yang sudah bersih dari zat-zat yang tidak dikehendaki.

c.Sistem sirkulasi dialisat

Dialisat adalah cairan yang dipergunakan dalam proses dialisis. Dialisat dialirkan ke dalam kompartemen dialisat pada dialiser dengan kecepatan tinggi (biasanya pada mesin hemodialisa sudah ditentukan 500ml/menit). Setelah terjadi proses difusi maka dialisat dikeluarkan melalui selang pembuangan.

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

a. Furosemid (Lasix)

Furosemid adalah diuretic derivat asam antranilat. Struktur furosemid dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Struktur Furosemid

Aktivitas diuretik furosemid terutama dengan jalan menghambat absorpsi natrium klorida pada loop of henle. Tempat kerja yang spesifik ini menghasilkan efektifitas kerja yang tinggi. Efektivitas kerja furosemid ditingkatkan dengan efek vasodilatasi dan penurunan hambatan vaskuler sehingga akan meningkatkan aliran darah ke ginjal. Furosemid juga menunjukkan aktivitas menurunkan tekanan darah sebagai akibat penurunan volume plasma. Obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4 sampai 6 jam). Banyak digunakan dalam keadaan akut misalnya pada edema otak dan paru-paru. Furosemid diindikasikan juga untuk hipertensi, edema yang disebabkan kegagalan jantung, sirosis hati, penyakit ginjal termasuk sindroma nefrotik (Katzung,2004).

Keterpaparan furosemid tablet oleh cahaya akan menyebabkan warnanya pudar. Furosemid tablet sebaiknya disimpan di tempat yang terlindung dari cahaya (Mc Evoy, 2004).

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

Cefotaxime merupakan antibiotik golongan sefalosforin generasi ketiga yang memiliki cincin -laktam ( Gambar 2.5)

Gambar 2.5 Struktur Cefotaxim

Cefotaxim bekerja menghambat pembentukan dinding sel bakteri melalui pembentukan ikatan satu atau lebih ikatan protein-penisilin (PBPs) yang menghambat langkah akhir transpeptidasi dari sintesis peptidoglikan dalam dinding bakteri. Dinding bakteri terdiri dari senyawa polimer kompleks, peptidoglikan yang terdiri dari polisakarida dan polipeptida. Polisakarida mengandung gula amino, N-acetylglucosamin dan N- asam acetylmuramic. Pengikatan protein dengan penisilin (PBPs) akan mengkatalisis reaksi transpeptidasi yang memindahkan terminal alanin menjadi bentuk crosslink dengan peptide di sekitarnya, sehingga membentuk dinding sel bakteri. Antibiotik -laktam memiliki struktur yang analog dengan substrat D-Ala-D-Ala dan membentuk ikatan kovalen oleh PBPs pada sisi yang aktif. Setelah antibiotik -laktam diberikan, dan membentuk ikatan dengan protein, maka reaksi transpeptidasis dihambat, sintesis peptidoglikan dihambat dan sel akan mati. Gambar dibawah ini menunjukkan biosintesis dinding sel peptidoglikan yang dihambat oleh beberapa bakteri (B.G. Katzung, 2004.

Christina Lumban Toruan : Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, 2009.

Cefotaxime diberikan secara injeksi dalam bentuk garam natrium. Konsentrasi puncak plasma kira-kira 12 sampai 20 mcg/ml 30 menit setelah pemberian 0,5 dan 1 g cefotaxime. Segera setelah injeksi intravena 0,5; 1, atau 2 g cefotaxime, konsentrasi puncak plasma 38, 102 dan 215 mcg/ml akan dicapai dengan jarak konsentrasi dari 1 sampai 3 mcg/ml setelah 4 jam. Waktu paruh cefotaxime kira-kira 1 jam. Kira-kira 40% cefotaxime membentuk ikatan dengan protein. Metabolit yang tidak aktif dieliminasi melalui ginjal sekitar 40-60%. Cefotaxime dimetabolisme dihati.

Interaksi dengan Mezlocillin (golongan Penicillin) akan meningkatkan konsentrasi cefotaxime dalam tubuh. Pada saat cefotaxime (30 mg/kg) dan mezlocillin (50 mg/kg) diberikan secara infus bersama-sama lebih dari 30 menit pada 8 subjek normal, kinetik mezlicillin tidak berubah, tetapi clearens cefotaxime di reduksi 40-42%. Pemberian bersama Phenobarbital pada anak menunjukkan reaksi kulit yang serius. Dengan Probenecid, konsentrasi cefotaxime dalam serum

Dokumen terkait