• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Kesimpulan dan Saran

5.2 Saran

Ada kesadaran oleh dukun serta masyarakat bahwa hal-hal yang gaib dengan yang tidak gaib dibutuhkan. Hubungan di antara kedua-duannya bukan hubungan yang bersaing malahan saling pengertian saja. Ada tren

menurut pendapat para resonden bahwa masyarakat yang lebih menilai atau bersifat modern untuk tidak menganggap pola-pikir yang tidak logika, seperti kepercayaan mistik. Kalau tren ini menjadi semakin populer di masa depan lalu ada kecenderungan bahwa mistik yang terkait hal ghaib akan sulit diterima masyarakat tertentu ini. Walaupun, sejauh-jauhnya kepercayaan mistik masih kuat dalam budaya Melayu selalu ada tempat untuk melakukan kegiatan mistik pada masyarakat Melayu Batubara. Pada akhirnya kelestarian budaya Melayu pada masa depan terutama ditentukan kaum muda sekarang.

Apabila nilai mistik sebagai budaya memiliki nilai positif dalam arti memiliki keuntungan ekonomis sehingga berbentuk mitos dan kepercayaan masyarakat lokal dan pada akhirnya dapat dilindungi melalui perlindungan hukum terhadap folklore, maka keberadaan mistik masih tetap dapat dipertahankan.

Persoalannya menjadi pelik, apabila mistik sebagai suatu budaya tersebut setelah melalui prosesnya menjadi budaya hukum, terlalu dominan sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat, seperti dalam menentukan pilihan hukumnya pada pemilihan umum, atau wakil rakyat dalam menentukan ketentuan hukum apa yang perlu diatur. Hal ini dapat menjadi penghambat perkembangan hukum dalam beradaptasi pada perubahan dan kemajuan dunia. Oleh karenanya, keberadaan mistik sebagai suatu budaya hukum, harus ditempatkan pada posisi yang tepat, seperti hanya sebagai alat untuk mempengaruhi menjelang adanya pilihan hukum, tidak pada saat melakukan pilihan hukum dalam pemilihan umum ataupun harus disertai

dengan upaya pembuktian hukum yang tepat jika akan menjadi bagian ketentuan tertulis, seperti pengaturan mengenai santet dalam KUHPidana.

BAB II

Kosmologi dan Sosio Budaya Masyarakat Melayu

2.1 Geografi Wilayah Penelitian

Batubara adalah sebuah kota yang dahulunya terdiri atas beberapa

kepenghuluan, terletak di pantai timur Pulau Sumatera, dahulunya adalah daerah Kabupaten Asahan, dan sekarang sudah menjadi Kabupaten Batubara. Pada zaman dahulu pemerintahannya bersifat kerajaan, terdiri atas kepenghuluan yang dipimpin oleh seorang Datuk. Batubara

merupakan bagian dari wilayah Deli. Adapun kedatukannya adalah Lima laras, Lima Puluh atau Simpang Dolok, Pesisir, dan Tanah Datar. Tanah Datar sendiri terdiri dari beberapa desa, salah satunya adalah desa Pahang. Desa Pahang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara. Desa Pahang terletak di pesisir pantai Timur Sumatera pada ketinggian lebih kurang 3 meter di atas permukaan laut. Suhu maksimal di desa Pahang 33,2 derajat celcius dan suhu minimal 21,5 derajat celcius.

Desa Pahang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Mesjid Lama 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Sei-Muka 3. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Panjang 4. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Labuhan Ruku

Luas desa Pahang lebih kurang 200.000 Ha, yang memanjang dan

mengarah ke Selatan 3.5 km. Jumlah penduduk desa Pahang pada tahun 2004/2005 lebih kurang 4854 jiwa, yang terdiri dari VII dusun. Desa

Pahang rata-rata penduduknya beretnis Melayu, sedangkan lebihnya bersuku Batak, Padang dan Jawa.

Jarak antara pusat kota pemerintahan, yaitu kota Batubara menuju Kecamatan Talawi sejauh 1 km, dan dari pemerintahan kota sejauh 27 km, dan jarak dari Ibukota Dati II sejauh 27 km, sedangkan jarak dari Ibukota Dati I sejauh 160 km. Mata pencaharian utama penduduk desa adalah nelayan. Hampir seluruh laki-laki yang berada di desa ini

menggantungkan hidupnya dengan hasil laut, meskipun penduduknya mempunyai mata pencaharian tanbahan dengan berladang, buruh, dan jasa. Usaha kaum perempuannya bersifat industri rumah tangga, seperti membuat kain songket, membuat jaring ikan, dan berjualan di depan rumah.

Tingkat pendidikan penduduk di desa ini tergolong sudah meningkat, terbukti dengan banyaknya anak-anak yang bersekolah Tsanawiah (SMP) dan Aliyah (SMA), serta ada juga yang bersekolah di luar negeri, seperti Libya, Mesir, Malasyia, dan Arab Saudi.

Mayoritas penduduk Batubara memeluk agama Islam, dan selebihnya memeluk agama Kristen Protestan dan Kristen Katholik. Di desa ini banyak sarana tempat ibadah, seperti mesjid, langgar, musholla, serta tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti Kubah Sabun, Langgar

Dusun VII, Istana Air Putih, dan kuburan-kuburan datuk-datuk zaman dahulu yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

2.2 Sejarah Masyarakat Melayu Batubara

Cerita singkat sejarah masyarakat Melayu Batubara berawal dari seorang raja yang memiliki seorang putri yang cantik jelita. Dan pada saat itu raja yakin bahwa usianya tidak akan lama lagi. Lalu raja berkehendak ada seorang yang bakal menjadi penerus untuk menggantikannya menjadi raja kelak. Kemudian raja mengadakan Sayembara ke seluruh negeri. bagi pemuda yang ingin mempersunting anak perempuannya yang cantik jelita tersebut. Dan beberapa hari kemudian, datanglah Empat pemuda yang ingin mempersunting anak gadis raja tersebut. Keempat pemuda itu datang dari daerah yang berbeda. Pemuda-pemuda tersebut datang dari daerah Lima Laras, Pesisir, Lima Puluh, dan Tanah Datar. Oleh karena seorang raja harus berlaku adil, maka keempat pinangan pemuda tersebut diterima oleh raja dan ditetapkan hari pernikahan putrinya. Pada saat pernikahan akan dilaksanakan, raja bingung karena putrinya hanya satu orang, sementara Ia harus bersikap adil. Keempat pemuda itu membawa rombongan yang sangat banyak sekali. Raja memanggil datuk empat suku untuk membicarakan agar menunda pernikahan selama satu hari. Keempat datuk ini menyetujuinya.

Permaisuri meminta agar raja memberinya tiga ekor binatang, yaitu: anjing betina, monyet, dan kambing. Permaisuri mengurung ketiga binatang itu di dalam kamar dan menutupinya dengan sehelai kain putih.

Siang malam permaisuri berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar tidak malu. Dan keesokan harinya terjadi keajaiban ketika permaisuri membuka kain putih. Ia mendapatkan tiga orang putri yang berwajah sama dengan dirinya. Lalu dilaksanakanlah pesta pernikahan itu dengan sangat meriah. Setelah pesta keempat putri raja dibawa oleh suaminya masing-masing. Putri monyet dibawa ke Lima Laras, putri anjing dibawa ke Simpang Dolok, putri kambing dibawa ke Pesisir, dan putri raja yang asli tetap di Tanah Datar. Masyarakat Melayu Batubara mempercayai bahwa sifat ketiga binatang tersebut mempengaruhi citra masyarakatnya masing-masing, terkecuali masyarakat Tanah Datar yang memiliki ketiga-tiga sifat binatang tersebut. Seperti monyet yang suka makan buah-buahan,

kambing yang suka makan sayur-sayuran, dan anjing yang suka makan ikan atau daging.

Dari cerita sejarah singkat masyarakat Batubara ini dapat diambil hikmah bahwa pada zaman dahulu sistem pemerintahan di Batubara merupakan kerajaan. Terdiri atas kepenghuluanyang dipimpin oleh seorang Datuk. Batubara merupakan bagian dari wilayah kerajaan Deli. Adapun wilayah kedatukannya dibagi atas wilayah Simpang Dolok, atau Lima Puluh, Lima Laras, Pesisir, dan Tanah Datar.

Dalam sejarah silsilah atau keturunan, Datuk-datuknya berasal dari Pagaruyung. Pada zaman kerajaan, pemimpin masyarakatnya adalah datuk dan di bawah kekuasaan kesultanan Deli. Dan sekarang berada dalam pemerintahan Indonesia. Masyarakatnya di bawah Bupati dan Camat. Masing-masing wilayah masyarakat Batubara memiliki kelebihan

dan kekurangan. oleh sebab itu masyarakat Batubara saat ini masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, nilai adat-istiadat, serta bertutur kata lemah lembut. Hal ini membuat masyarakat Batubara baik didalam berkata maupun berbuat.

Masyarakat Melayu Batubara hingga saat ini masih mempunyai budaya yang nilai dan norma-normanya masih dipatuhi di tengah-tengah

khalayaknya. seperti adat bersopan santun dan bertutur kata lemah lembut. Masyarakat Melayu Batubara khususnya daerah Lima Laras, Pesisir, Lima Puluh, dan Tanah Datar masih ada yang percaya dengan mistik. Karena daerah-daerah tersebut masih mempunyai beberapa fenomena yang serba mistisme. Hal ini juga dapat dilihat dalam setiap jamuan atau pesta yang diadakan di Batubara sampai saat ini. Tradisi hidangan yang berasal dari daging, ikan, sayur-sayuran, dan buah-buahan yang di masak harus ada, disantap sebagai lauk nasi. Hidangan ini

dikenal juga sebagai hidangan penghormatan terhadap leluhur, nenek moyang yang ada pada zaman dahulu.

2.3 Sistem Sosial Masyarakat Melayu Batubara

Mistik mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan sosial

masyarakat. Hal ini dikarenakan, ahli mistik atau seorang datuk dapat mudah dikenal oleh masyarakat. Akan tetapi seorang Datuk atau ahli mistik, belum tentu mengenal seluruh masyarakat Melayu Batubara. Walaupun demikian, satu sama lainnya saling menghargai. Karena masyarakat Melayu Batubara masih menjunjung nilai-nilai kesopanan.

Kuatnya tali silaturahmi masyarakat Melayu Batubara, menjadikan

masyarakat tersebut berguna bagi siapa saja, sehingga orang asing yang ingin mencari datuk tersebut mudah menemukannya. Dalam tradisi lisan, penyampaian dari penduduk biasanya menggunakan bahasa daerah setempat atau bahasa Melayu. Kerukunan dalam masyarakat Melayu Batubara biasanya dapat terlihat pada acara perkawinan, syukuran, dan upacara-upacara ritual. Masyarakat Batubara saat ini masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, nilai adat-istiadatnya, serta bertutur kata lemah lembut, baik di dalam berkata maupun berbuat, sehingga memperkuat tali silaturahmi masyarakatnya.

Dalam masyarakat Melayu Batubara pernah dipakai sistem pemerintahan yang bersifat kerajaan, dan sejak kemerdekaan Indonesia berlaku sistem sosial yang sudah diatur dalam UUD 1945 dan Ideologi yang ada di Indonesia. Pada zaman kerajaan, pimpinan tertinggi dipegang oleh seorang Datuk dan di bawah kekuasaan kesultanan Deli. Dan sekarang berada dalam pemerintahan Indonesia, masyarakatnya di bawah

pimpinan Camat dan Bupati.

Untuk mengangkat citra manusia dengan alam yang terdapat dalam mistik masyarakat Melayu Batubara, terlebih dahulu harus dicari barometer atau pendapat tentang kepercayaan atau konsep religiositas dari masyarakat Melayu itu sendiri. Untuk menjelaskan konsep religiositas masyarakat Melayu tersebut, akan dipaparkan beberapa pendapat agar jelas kita gambarkan tentang kepercayaan masyarakat Melayu tersebut. Daud (1994 : 74-75) mengatakan,

…kepercayaan mereka daripada Animisme, Hindu-Budha hingga Islam melahirkan corak pemikiran-pemikiran yang seolah-olah menggabungkan tiga unsur kepercayaan tersebut. Kuasa gaib pada peringkat Animisme dapat dilihat pada kepercayaan tentang

penunggu dan hantu. Hindu-Budha menampilkan para Dewa, dan Islam melahirkan kepercayaan terhadap Allah, Malaikat dan Rasul. Namun begitu tidaklah berarti masyarakat Melayu mengamalkan ketiga corak kepercayaan tersebut. Mereka tetap berpegang pada ajaran agama Islam. Pengaruh Animisme dan Hindu-Budha yang ada itu cuma menjadi unsur sampingan yang mewarnai kepercayaan mereka.

Sejalan dengan hal tersebut, Abbas (dalam Safrin, dkk.., 1996 : 26) menjelaskan,

Cara hidup orang Melayu masih dipengaruhi oleh tiga unsur

kepercayaan, yaitu kepercayaan Animisme, Hinduisme-Budhaisme, dan Islam. Serta sedikit-sedikit pengaruh Barat. Setelah menerima agama Islam, orang Melayu masih juga mengamalkan cara hidup tradisional mereka dengan unsur-unsur Animisme dan Hinduisme-Budhaisme.

Dalam teks mistik ini pengaruh Hindu-Budha tidaklah begitu tampak. Tapi dalam upaya dan upacara turun tanah (pengambilan ilmu) banyak sekali dijumpai warna kepercayaan Hindu-Budha, seperti : tepung tawar, sesajen untuk jamuan, sperti ayam, pulut kuning, air jeruk purut, dan penebus mistik atau mahar mistik. seperti pisau, jarum, kain putih, mangkuk, benang tiga warna, dan lain-lain.

Sedangkan pada teks mistik pengungkapan yang masih menggambarkan suasana zaman Hindu-Budha. Seperti kalimat ‘mambang yang menjaga

berupa hantu atau jembalang melainkan gambaran wujud penguasa yang memiliki kekuasaan menjaga tujuh penjuru alam.

Seperti kata pepatah ‘kalau diturut nasehat guru, air laut boleh diminum’. Pepatah ini menandakan konsekwensi seorang murid kepada sang guru. Apapun yang diajarkan seorang guru merupakan hal yang harus diterima dan diyakini serta diamalkan. Dalam hal ini unsur-unsur pengaruh Hindu-Budha dan Animisme tidak lagi menjadi suatu masalah yang nyata dan urgent. Sebab semua telah membaur ke dalam tradisi atau ajaran itu sendiri. Namun walaupun demikian benang merah pembatas antara kepercayaan Hindu-Budha, Animisme, dan Islam masih terlihat jelas. Yang pasti ajaran Islam merupakan pondasi dan barometer dari setiap tradisi dan bergeraknya masyarakat Melayu.

2.4 Zaman Kedatangan Islam

Taylor (dalam Hamid, 1991 : 29) mengatakan, “kepercayaan yang mula-mula tumbuh dalam alam pikiran manusia primitif, adalah kepercayaan Animisme”.

Hamid (1988 : 56) menjelaskan,

Islam mulai tersebar di alam Melayu sejak abad ketiga belas Masehi. Agama Islam bertapak di Pasai, kira-kira sekitar tahun 1297 Masehi dan di Trengganu pada tahun 1303 Masehi. Kedatangan Islam ke daerah ini telah membawa perubahan yang dinamik dalam kehidupan orang Melayu. Sama ada dari segi luaran dan dalaman seperti yang ditegaskan oleh S.M Naguib al-Attas, bahwa agama Islam telah merubah jiwa dan fizikal masyarakat Melayu Indonesia.

Selanjutnya Taib (dalam Ismail, 1988 : 56) menegaskan,

Kedatangan Islam ke Nusantara telah membawa perubahan sehingga menjadikannya sebagian dari pada dunia Islam. Perubahan yang dimaksudkan itu meliputi semua aspek kehidupan orang Melayu. Seperti dalam bidang-bidang bahasa, sastra, intelektual, undang-undang, kepercayaan, politik, adat istiadat, kesenian, dan lain-lain.

Selanjutnya Hamid (1988 : 56) lebih memperjelaskan lagi secara spesifik tentang kepercayaan orang Melayu. Beliau mengemukakan bahwa,

Islam mengubah pandangan dunia orang Melayu dari pada

mempercayai dewa-dewa. Seperti yang mereka anut pada zaman Hindu kepada kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Disamping itu mereka mempercayai Nabi dan Rasul, Malaikat, kitab-kitab suci, seperti Injil, Taurat, Zabur, dan Al-Qur’an. Percaya kepada hari kiamat dan kepada Qadha dan Qadar. Keimanan mereka diikuti dengan amal ibadah, seperti yang tersebut dalam rukun Islam yang berbentuk. solat, puasa, zakat, dan rukun Haji. Walaupun kepercayaan lama tidak dapat dihapuskan sepenuhnya, namun kepercayaan Islam telah berjaya mempengaruhi bentuk-bentuk kepercayaan Melayu lama dengan memperkenalkan konsep Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Misalnya dalam sihir atau mistik dimasukkan konsep Islam sebagai menggantikan paham ketuhanan Animisme dan Hinduisme. Walaupun unsur dewa-dewa masih lagi diwarisi dalam sastra dan tradisi lisan Melayu. Namun fungsi mereka tidak lagi sebagai Tuhan, tetapi hanya sebagai

makhluk-makhluk alam gaib seperti hantu dan jembalang yang masih lagi mempengaruhi alam pemikiran orang Melayu hingga dewasa ini.

Dari keterangan pendapat para pakar di atas, bahwa kepercayaan yang latarbelakangnya agama pada orang Melayu dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu. Islam, Hindu-Budha dan Animisme. Dan perlu dipertegas pula bahwa Islam merupakan yang utama. Sedangkan Animisme dan Hindu-Budha merupakan sampiran atau pewarna saja.

Manusia pada zaman Animisme dan Dinamisme jelas sekali memiliki nilai religiositas. Hal ini dapat dilihat dengan adanya semacam pengakuan dan kepercayaan akan alam gaib serta kekuatan gaib. Dan mereka

mempercayai itu semua dan membuat semacam tradisi kepercayaan tersendiri dengan jalan mereka sendiri pula. Apakah itu berupa pemujaan akan roh yang sudah mati, pohon besar, gunung, laut, dan sebagainya.

Menurut kamus Latin-Indonesia, susunan K. Prent, Adisubrata dan Poerwadarminta (penerbit Kanisius 1969). Istilah religio datang dari kata latin relego, yang berarti, memeriksa lagi, menimbang-nimbang,

merenungkan keberatan hati nurani. Walaupun demikian arti yang persis dari kata religio orang hanya dapat menduga. sebab ada yang

berpendapat, bahwa kata religio, berasal dari kata re-ligio = menambah kembali. Namun kita dengan ikhlas mengatakan bahwa manusia religiosus adalah manusia yang berhati nurani serius, saleh, teliti dalam

pertimbangan batin dan sebagainya. Agama secara wajar harus terikat dengan yang namanya religiositas. Tapi religositas tidak harus tertumpu dan memiliki wadah yang bernama agama.

Mangunwijaya (1988 :17) mengatakan “religiositas tidak bekerja dalam pengertian (otak) tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisa atau konseptualisasi”. Kiranya religius

merupakan denyut bathin atau iman. Manusia religius pada dasarnya ingin hidup dalam suasana kekudusan, ini merupakan suatu hal yang realitas objektif. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mircea (dalam Mangunwijaya,

1988 : 17) yang mengatakan “Tuhan tidak meminta manusia agar menjadi kaum teolog, tetapi menjadi manusia yang beriman. Bagi manusia religius, ada sesuatu yang dihayati keramat, suci, kudus, adi-kodrati”.

Berdasarkan pendapat pakar tersebut, bisa kiranya kita jalin

kebijaksanaan pendapat serta pemikiran bahwasannya nilai-nilai religius itu merupakan sesuatu yang lahir dari dalam batin setelah ada sesuatu yang berupa pengalaman atau perenungan lalu keluar melalui sikap dan perbuatan. Sebagai contoh. Manusia beragama harus percaya akan ajaran agamanya dan melaksanakan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat kepercayaan tersebutlah yang kita namai nilai-nilai religius, jadi bukan agama itu sendiri.

Data Informan

Nama : Drs. Rizal Mahmuzar Umur : 38 tahun

Alamat : Kampung Panjang Pekerjaan : Pegawai

Nama : Ibrahim Somat Umur : 48 Tahun

Alamat : Prupuk Teluk Piai Pekerjaan : Pegawai

Nama : Niar Umur : 60 Tahun

Alamat : Prupuk Teluk Piai Pekerjaan : Petani

Nama : Pak Zaenal Umur : 63 Tahun

Alamat : Prupuk Dsn. II Binjai Pekerjaan : Nelayan

Nama : M. Cengkunek Umur : 56 Tahun

Alamat : Pantai Sejarah. Kampung Tengah Pekerjaan : Nelayan

Nama : Suroto Umur : 65 Tahun Alamat : Desa Pahang Pekerjaan : Pawang / penghulu

Nama : Chaidir Umur : 51 Tahun Alamat : Desa Pahang Pekerjaan : Berdagang

Nama : Pak Kipek Umur : 68 Tahun

Alamat : Nana Siam, dekat Titi Merah Pekerjaan : Beladang

Nama : Nur’aidah Umur : 72 Tahun Alamat : Desa Pahang Pekerjaan : Bertenun

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia : Jakarta, P.T Raja Grafindo Persada. 1994.

Alimuddin Ridwan, Development of Cultural Exchange Program Through

Sailing Experience and Wooden Boatbuilding Technology in Sulawesi,

Makassar, 2006.

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru.

Eliade, Mircea. Mitos. (2002) : Gerak Kembali yang Abadi Kosmos dan

Sejarah : Penerjemah, Cuk Ananta. Yogyakarta : Ikon Tera Litera.

Hadari Nawawi. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjahmada University Press.

Hasan, Fuad. Stadium General. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998

H.B. Yasin. 1985. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta, Gunung Agung.

Koentjaraningrat. 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat Jakarta, Gramedia.

Mangunwijaya, Y.B Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia 1987.

Maniyamin Bin Haji Ibrahim, 2005. Analisis Terhadap Kumpulan Puisi Islam. Karisma Publication, SDN BHD.

MH Amien Jaiz, Masalah Mistik Tasawuf & Kebatinan (PT Alma'arif, Bandung, Cetakan 1980)

Nazir, Mohammad. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988

Osman, Mohd Taib, 1987. Pengajian Tinggi dan Isu-isu Lain. Jabatan Pengajian Melayu

Prent C.M. K. Kamus Latin-Indonesia. / K. Prent C.M.,Adisubrata (AM) W.J.S. Poerwadarminta Yogyakarta : Kanisius. 1969.

Prof. Dr. Hazairin SH almarhum dalam suatu tulisannya mengenai Ilmu Jagat Raya dalam bukunya Ajjamui Qur’an.

Ruslani. Tabir Mistik Alam Gaib dan Perdukunan. Yogyakarta, Qalam. 2004

Safian Hussain et . al. 1988. Glosari Istilah Kesusastraan. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.

Shahnon Ahmad. 1991. Sastra Sebagai Seismograf Kehidupan. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.

Shafie Abu Bakar. 1995, Takmilah : ‘Teori Sastra Islam’. S.Jaafar Husin.

Ketaqwaan Melalui Kreativiti. Dewan Bahasa dan Pustaka.

Sohaimi Abdul Azis, 1992. Mobiliti Sosial Perspektif Barat dan Islam dalam

Novel Terpilih Shahnon Ahmad. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan

Pustaka.

Sukapiring, Peraturen. 1989. Pedoman Penulisan karya Ilmiah. Medan : Fakultas Sastra USU.

Sutan Takdir Alisjahbana. 1966. Puisi Baru. Petaling Jaya : Zaman Baru Limited.

Tim Penyusun ‘Citra’. 1994. Citra Manusia dalam Puisi Indonesia Modern. 1920-1960. Jakarta : Balai Pustaka.

Tuanku Luckman Sinar Basyarsyah II, S.H dan Drs. Syaifuddin, M.A, 2003, Jati Diri Melayu, Kebudayaan Melayu Sumatera Timur.

Wayland D. Hand,. 1985. The Brown Collection of North Carolina Folklore Jilid VI dan VI 1 Redaktur Bab Superstitious

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung dalam kehidupan masyarakat disekitarnya. Setiap aktifitas sosial yang dilakukan maupun yang di lihat manusia akan menumbuhkan pengalaman bagi manusia. Pengalaman itu tentu ada yang cukup menarik untuk diekspresikan atau direfleksikan menjadi sebuah karya sastra. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sohaimi (1992: 1) sastra tidak diilhamkan dalam kekosongan sosial. Pendapat Sohaimi menunjukkan bahwa sastra memiliki hubungan dengan manusia. Sebab karya sastra adalah hasil dari pemikiran dari seorang pengarang. Dengan demikian, manusia telah mengambil suatu sikap kreatif dengan menampilkan hasil pengamatannya terhadap lingkungan dan waktu menjadi sebuah karya sastra.

Karya sastra yang dihasilkan pengarang tersebut banyak jenisnya, salah satunya adalah mistik. Mistik ada sejak manusia Melayu ada di bumi ini. Mistik merupakan jawaban terhadap segala fenomena alam jauh sebelum peradaban Islam masuk ke Melayu. Pada masa itu masyarakat Melayu masih berkehidupan serba subjektif, abstrak, dan spekulatif sesuai dengan kedudukan sosialnya. Di antara masyarakat Melayu masih ada yang berusaha merasionalkan paham mistik yang dianutnya dan ada pula yang tegas-tegas lepas sama sekali dari tuntutan kemajuan zaman ini.

Dalam khasanah kesusastraan Melayu mistik tergolong dalam sastra tradisi. Mistik yang terdapat dalam kesusastraan masyarakat Melayu

Dokumen terkait