• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV STABILITAS DAN KONVERGENSI

B. Syarat Perlu untuk Konvergensi

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran

BAB II

MASALAH NILAI AWAL DALAM PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

A. PERSAMAAN DIFERENSIAL Definisi 2.1.1

Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat turunan (derivatif) dari suatu fungsi.

Contoh 2.1.1

Ketiga persamaan di bawah ini merupakan contoh persamaan diferensial: a.

=2�

b. �= (�2+�) � c. �′′ + 4�= (�2+ 1)3

1. Klasifikasi Persamaan Diferensial

Persamaan diferensial dapat diklasifikasikan dengan berbagai macam cara. Jika fungsi yang belum diketahui dalam persamaan diferensial bergantung pada satu variabel bebas, maka persamaan itu disebut persamaan diferensial biasa. Di sisi lain, jika fungsi yang belum diketahui bergantung pada lebih dari satu variabel bebas, maka persamaan itu disebut persamaan diferensial parsial.

Contoh 2.1.2 a.

=2+�

b. �′′ + 4�= (�2+ 1)3

Kedua persamaan pada contoh (a) dan (b) merupakan persamaan diferensial biasa, dimana � menyatakan fungsi yang belum diketahui (variabel tak bebas) dan � menyatakan variabel bebas.

c. �� + �� = 0 d. �2 ��2 +2 ��2 = 1 +�

Kedua persamaan pada contoh (c) dan (d) merupakan persamaan diferensial parsial, dimana menyatakan fungsi yang belum diketahui (variabel tak bebas), sedangkan � dan � menyatakan variabel bebas.

Definisi 2.1.2

Tingkat persamaan diferensial adalah tingkat turunan tertinggi yang muncul dalam persamaan diferensial.

Klasifikasi persamaan diferensial berdasarkan tingkatnya adalah sebagai berikut: 1) Persamaan diferensial tingkat pertama

Bentuk umum: � �,�,� = 0

Contoh 2.1.3 a.

b. � =�+�2

2) Persamaan diferensial tingkat kedua Bentuk umum:

� �,�,�,�′′ = 0 Contoh 2.1.4

a. �′′ + 2�=� −1

b. �′′ = +� − �

3) Persamaan diferensial tingkat ke-� Bentuk umum: � �,�,�,′′,…,�(�) = 0 Contoh 2.1.5 a. �(4)−5�′′ = 4�+ 2� b. �(3)= �′′ − � +Definisi 2.1.3

Persamaan diferensial biasa tingkat ke-� disebut linear dalam � jika persamaan diferensial itu dapat ditulis dalam bentuk

� �+�−1 � � �−1 +⋯+�1 � � +0 � �= �(�)

dimana �0, �1,…,� dan � adalah fungsi-fungsi kontinu pada suatu interval yang memuat � dan �(�) ≠0 pada interval itu. Fungsi �(�) disebut fungsi-fungsi koefisien.

Jadi persamaan diferensial biasa adalah linear jika memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Fungsi yang belum diketahui dan turunan-turunannya secara aljabar hanya berderajat satu.

b. Tidak ada hasil kali yang berkaitan dengan fungsi yang belum diketahui dan turunan-turunannya atau dua atau lebih turunan.

c. Tidak ada fungsi transendental dari fungsi yang belum diketahui dan turunan-turunannya.

Persamaan diferensial yang tidak linear disebut nonlinear.

Contoh 2.1.6

a. �′′ −3� + 3�= �3, merupakan persamaan diferensial linear. b. ��′′′ +�+ 5 = 0, merupakan persamaan diferensial linear.

c. (�)3+ 2�= �, merupakan persamaan diferensial nonlinear karena turunan pertama dari fungsi yang belum diketahui berderajat tiga.

d. �� + 3� = 0, merupakan persamaan diferensial nonlinear karena �� adalah

hasil kali dari fungsi yang belum diketahui dengan turunannya.

e. �′′ + 5�= cos�, merupakan persamaan diferensial nonlinear karena cos� adalah fungsi transendental dari fungsi yang belum diketahui.

2. Penyelesaian Persamaan Diferensial Definisi 2.1.4

Penyelesaian persamaan diferensial tingkat ke-� pada interval � ≤ � ≤ adalah suatu fungsi yang mempunyai semua turunan yang diperlukan, yang jika menggantikan �,�,′′,…,�(�) menjadikan persamaan diferensial itu suatu identitas.

Contoh 2.1.7

Tunjukkan bahwa fungsi �= 2 +�−� adalah penyelesaian dari persamaan

diferensial � +� −2 = 0. Penyelesaian:

Diketahui �= 2 +�−�, maka diperoleh = −�−�.

Kemudian substitusikan kedua fungsi tersebut ke dalam persamaan diferensial sehingga diperoleh

−�−� + 2 +−� −2 = 0

Ruas kiri dari persamaan tersebut bernilai 0 (sama dengan ruas kanan), maka fungsi �= 2 +�−� merupakan penyelesaian dari persamaan diferensial +� −

2 = 0.

Contoh 2.1.8

Tentukan penyelesaian dari persamaan diferensial berikut ini � = 3�

�2+5 Penyelesaian:

Penyelesaian persamaan tersebut disajikan oleh = 3� �2+5 � = 32 +5 � � = 3 � �2+ 5 1 2

Misalkan = (�2+ 5), maka = 2� � atau

2 = � �, sehingga �= 3

1

2+ .

Karena = (�2+ 5), maka penyelesaian dari persamaan diferensial tersebut adalah

� = 3 (�2+ 5)

1

2+ = 3 �2+ 5 +

Persamaan diferensial mempunyai tak hingga banyak penyelesaian. Misalnya pada Contoh 2.1.8 penyelesaiannya berbentuk �= 3 �2+ 5 + , dimana adalah kontanta real. Penyelesaian itu disebut keluarga penyelesaian. Pemberian nama untuk keluarga penyelesaian adalah berdasarkan banyaknya parameter yang termuat dalam penyelesaian, dalam kasus di atas maka �= 3 �2+ 5 + disebut keluarga berparameter-satu.

Definisi 2.1.5

Suatu keluarga berparameter-� dari penyelesaian persamaan diferensial tingkat ke-� disebut penyelesaian umum dari persamaan diferensial, jika semua penyelesaian persamaan diferensial dapat diperoleh dari keluarga berparameter-�.

Definisi 2.1.6

Suatu penyelesaian persamaan diferensial tingkat ke-� yang diperoleh dari penyelesaian umum dengan menentukan nilai � parameter disebut penyelesaian khusus.

Contoh 2.1.9

Penyelesaian umum dari �′′ + 9�= 0 adalah keluarga berparameter-dua �=

1cos 3�+ 2sin 3�. Jika diambil 1 = 2 dan 2 = 1, maka penyelesaian khusus dari persamaan diferensial tersebut adalah �= 2 cos 3�+ sin 3�.

3. Masalah Nilai Awal

Penyelesaian umum dari persamaan diferensial tingkat ke-� memuat � konstanta sembarang. Sedangkan, penyelesaian khusus dari suatu persamaan diferensial diperoleh dari penyelesaian umum dengan memasukkan syarat bantu pada fungsi penyelesaian umum tersebut. Ada dua macam cara penentuan syarat bantu untuk memperoleh penyelesaian khusus dari suatu persamaan diferensial seperti dijelaskan dalam definisi berikut ini.

Definisi 2.1.7

1) Jika syarat bantu pada persamaan diferensial yang diketahui berhubungan dengan sebuah nilai �, syarat itu disebut syarat awal. Persamaan diferensial dengan syarat awalnya disebut masalah nilai awal.

2) Jika syarat bantu pada persamaan diferensial yang diketahui berhubungan dengan dua atau lebih nilai �, syarat itu disebut syarat batas atau nilai batas. Persamaan diferensial dengan syarat batasnya disebut masalah nilai batas.

Contoh 2.1.10

a. � +�= 3, � 0 = 1 merupakan masalah nilai awal.

b. �′′ − � +�= �3, � 0 = 2, �′ 1 =−1, merupakan masalah nilai batas.

Contoh 2.1.11

Penyelesaian umum dari persamaan diferensial � +� = 1 adalah keluarga berparameter-satu �= 1 + �−�. Diberikan syarat bantu � 0 = 0, tentukan penyelesaian khusus dari persamaan diferensial tersebut.

Penyelesaian:

Diketahui � 0 = 0, maka diperoleh

0 = 1 + �0 = −1

Jadi penyelesaian khusus dari persamaan diferensial tersebut adalah �= 1− �−�.

Contoh 2.1.12

Selesaikan masalah nilai awal berikut ini � � = ��2

Penyelesaian:

Penyelesaian persamaan diferensial tersebut disajikan oleh

= ��2

−2 � = ��

Ruas kiri dari persamaan di atas mudah untuk diintegralkan langsung. Sedangkan untuk ruas kanan digunakan pengintegralan parsial dengan dimisalkan = � dan

=� � sehingga = � dan =�, maka

−2 � = �� � −�−1 = �� − � � −�−1 = �� − �+

� = ��−�1

+

Diketahui bahwa � 0 = 2, sehingga = 1 2.

Jadi penyelesaian dari masalah nilai awal tersebut adalah � = 2

2���−2��+1

Berikut ini diberikan definisi mengenai syarat Lipschitz yang akan digunakan dalam pembuktian teorema eksistensi dan ketunggalan.

Definisi 2.1.8

Fungsi �(�,�) dikatakan memenuhi syarat Lipschitz terhadap variabel � pada himpunan ⊂ �2 jika ada konstanta > 0 dengan

� �,�1 − �(�,�2) ≤ �1− �2

Contoh 2.1.13

Tunjukkan bahwa � �,� = 1−2� � memenuhi syarat Lipschitz pada interval

= �,� |1≤ � ≤ 2,−2≤ � ≤5 . Penyelesaian:

Untuk sembarang titik (�,�1) dan (�,�2) di , maka � �,�1 − �(�,�2) = 1−2� �1− 1−2� �2

= 1−2� (�1− �2)

= 1−2� (�1− �2) ≤5 �1− �2

Maka � memenuhi syarat Lipschitz pada terhadap variabel �. Sedangkan, konstanta Lipschitznya adalah 5.

4. Teorema Eksistensi dan Ketunggalan

Bentuk umum dari masalah nilai awal adalah sebagai berikut

=�(�,�), � �0 =�0 (2.1) Andaikan masalah nilai awal tersebut mempunyai titik awal (�0,�0) pada titik

(0, 0), maka

= �(�,�), � 0 = 0 (2.2) Secara umum, jika titik awalnya tidak berada pada titik (0, 0) , maka dapat ditranslasi agar titik (�0,�0) berada pada titik (0, 0). Berikut ini akan disajikan pembuktian dari teorema eksistensi dan ketunggalan, dimana masalah nilai awal

yang memenuhi syarat yang disebutkan dalam teorema nanti akan mempunyai penyelesaian dan penyelesaian tersebut adalah tunggal.

Teorema 2.1.1 Jika � dan ��

�� kontinu pada bidang �: � ≤ �, � ≤ , maka ada suatu interval � ≤ ℎ ≤ � dimana ada penyelesaian tunggal �= �(�) dari masalah nilai awal (2.2).

Bukti:

Andaikan ada �= �(�), yaitu fungsi yang terdiferensial dan memenuhi masalah nilai awal. Oleh karena itu, �=�(�) merupakan fungsi kontinu dan karena � kontinu, maka �[�,� � ] merupakan fungsi yang kontinu pada �. Jadi dengan mengintegralkan � = �(�,�) dari � = 0 sampai ke sembarang nilai �, diperoleh

� � = �0 [ ,� ] (2.3) yang disebut persamaan integral.

Ketika �= 0, maka � 0 = 0, yang memenuhi syarat awal. Andaikan ada fungsi kontinu � =�(�) yang memenuhi persamaan integral (2.3), maka fungsi ini juga memenuhi masalah nilai awal (2.2). Karena fungsi yang diintegralkan pada persamaan (2.3) kontinu, maka berdasarkan teorema dasar kalkulus diperoleh bahwa � terdiferensial dan � � = �[�,�(�)]. Oleh karena itu, masalah nilai awal (2.2) ekuivalen dengan persamaan integral (2.3), sehingga penyelesaian yang memenuhi persamaan integral juga memenuhi masalah nilai awal. Penyelesaian dari persamaan integral tersebut tidak dapat dihitung secara

eksplisit, maka digunakan metode iterasi Picard untuk mencari hampirannya. Metode tersebut dimulai dengan menentukan syarat awal �0 0 = 0. Kemudian �1 diperoleh dengan mensubstitusikan �0 untuk �( ) pada ruas kanan persamaan (2.3), sehingga diperoleh

1 � = �0 [ ,�0 ] �1 0 = 0

2 diperoleh dari �1

2 � = �0 [ ,�1 ] �2 0 = 0

dan secara umum,

+1 � = � [ ,� ]

0

+1 0 = 0

Jadi setiap anggota barisan � =�0,�1,�2,…,�,… memenuhi syarat awal. Jika pada suatu tahap, misalnya � =�, �+1 � =� � , maka

�+1 � = �0 [ ,� ] ��+1 � = �

� = �0 [ ,� ]

sehingga � merupakan penyelesaian dari persamaan integral (2.3). Jadi � juga merupakan penyelesaian dari masalah nilai awal (2.2) karena masalah nilai awal dan persamaan integral tersebut adalah ekuivalen.

Pembuktian bahwa persamaan integral tersebut mempunyai penyelesaian dan tunggal akan dilakukan dalam beberapa langkah:

a. Pertama, akan dibuktikan bahwa semua anggota barisan � ada. Dari teo-rema tersebut diketahui bahwa � dan ��

�� kontinu hanya pada bidang �: � ≤ �, � ≤ . Anggota dari barisan � tidak dapat dihitung secara eksplisit dan jika pada suatu tahap, misal �= � grafik dari �=� � memuat titik yang berada di luar bidang �, maka perhitungan untuk ��+1 � tidak dapat dilakukan karena memuat perhitungan � �,� pada titik yang tidak diketahui kontinuitasnya. Oleh karena itu, diperlukan batasan untuk � agar semua anggota barisan tersebut terde-finisi. Karena � kontinu di dalam �, maka � terbatas dalam � dan ada bilangan positif � sedemikian sehingga � �,� ≤ � untuk setiap �,� di �. Karena � �,� � sama dengan �

�+1 � , maka nilai maksimum gradien dari grafik per-samaan �= �+1 � adalah �. Karena grafik tersebut memuat titik 0,0 , maka grafik ini terletak pada daerah arsiran (Gambar 2.1.1). Akhirnya diperoleh batasan untuk �, yaitu � ≤ ℎ dimana ℎ = min(�, �). Oleh karena itu, dengan adanya batasan untuk �, maka semua anggota barisan � terdefinisi.

Gambar 2.1.1 �<� (kiri), � >� (kanan)

b. Kedua, akan dibuktikan bahwa barisan � konvergen. Misalkan �,��−1(�) dan �,�(�) adalah dua titik sembarang di dalam �. Dengan

meng-x x x x x x x x

gunakan teorema nilai rata-rata pada � dan menganggap �(�,�) sebagai fungsi dari �, maka diperoleh

� �,��−1(�) − � �,�(�) = ��

�� �,� (�) ��−1 � − �(�) (2.5) dimana � (�) berada di antara ��−1(�) dan �(�). Karena ��

�� kontinu di dalam �, maka terbatas di dalam �, sehingga ada bilangan positif sedemikian sehingga

��

��(�,�) ≤ untuk setiap (�,�) di dalam � (2.6) Dari (2.5) dan (2.6) berlaku bahwa untuk setiap pasang titik �,��−1(�) dan �,�(�) di dalam �, fungsi � memenuhi syarat

� �,��−1(�) − � �,�(�) ≤ ��−1 � − �(�) (2.7) Suatu fungsi � yang terdefinisi di dalam suatu himpunan � dan memenuhi syarat (2.7) untuk suatu konstanta positif dan setiap pasang titik �,��−1(�) dan �,�(�) di dalam � disebut kontinu Lipschitz dalam � di � dengan konstanta Lipschitz .

Selanjutnya akan dibuktikan bahwa �(�), untuk � = 0, 1, 2,… ada di dalam � ≤ ℎ dan kontinu pada interval ini serta memenuhi ketaksamaan

(�) ≤ untuk � ≤ ℎ, � = 0, 1, 2,… (2.8) Pembuktian ini adalah untuk menunjukkan bahwa barisan (2.4) benar terdefinisi. Dibuktikan dengan induksi:

Untuk � = 0, �0 � = 0 kontinu dalam � ≤ ℎ (karena fungsi konstan kontinu dimana-mana). Jadi �0 � = 0≤ , sehingga (2.8) benar untuk � = 0.

Misalkan � � kontinu dalam � ≤ ℎ dan bahwa (2.8) berlaku untuk � =�, ma-ka � �,�(�) kontinu dalam � pada interval � ≤ ℎ. Karena untuk � =�+ 1,

+1 � terdefinisi oleh (2.4), maka kontinu pada interval � ≤ ℎ (karena integral dari fungsi kontinu akan kontinu juga) dan diperoleh

�+1(�) = � 0 ,�( )

≤ � 0 ,�( ) ≤ � 0

≤ � � ≤ �ℎ. Dipilih ℎ = �, maka diperoleh

+1(�) ≤ �=

Terbukti bahwa (2.8) berlaku untuk semua �.

Berikutnya akan dibuktikan pula dengan induksi bahwa untuk � ≤ ℎ ketaksa-maan berikut ini berlaku untuk �= 0, 1, 2,…

� − ��−1(�) ≤ � −!1 � −!1 (2.9) Untuk � = 1

1 � − �0 � = � 0 ,�0 ≤ � 0 = � � ≤ �ℎ Jadi (2.9) benar untuk � = 1.

Misalkan (2.9) benar untuk �= , yaitu dimisalkan untuk � ≤ ℎ

� � − � 1(�) ≤ !1 !1 (2.10) Untuk � = + 1

Berdasarkan (2.4) dan (2.7), maka

+1 � − � (�) = � 0 ,� − � 0 ,� 1 ≤ � 0 ,� − � ,� −1 ≤ � − �0 1

Berdasarkan (2.10), maka diperoleh

+1 � − � (�) ≤ ! 0

= +1

( +1)!( +1)! +1

Jadi (2.9) benar untuk �= + 1, sehingga ketaksamaan tersebut berlaku untuk semua �.

Langkah selanjutnya dalam pembuktian ini yaitu menunjukkan bahwa barisan �(�) konvergen seragam ke suatu limit fungsi pada interval � ≤ ℎ. Barisan � � dapat dinyatakan sebagai jumlahan dari deret berikut

� − ��−1(�)

�=1 (2.11) Jadi deret (2.11) dan barisan � � mempunyai sifat-sifat kekonvergenan yang sama. Berdasarkan (2.9), maka deret (2.11) dipengaruhi oleh deret dengan suku-suku konstanta

� −1ℎ �!

�=1

Deret terakhir ini adalah konvergen dan dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih sederhana � −1ℎ� �! �=1 = ( ) �! �=1 =(� −1).

Menurut uji−� Weierstrass, deret (2.11) konvergen mutlak dan seragam pada interval � ≤ ℎ. Oleh karena itu, barisan � � konvergen seragam pada interval � ≤ ℎ. Jadi dengan menyatakan limit fungsi dengan �(�), maka diperoleh

� � = lim�→∞ � (2.12) c. Ketiga, akan dibuktikan bahwa � � memenuhi persamaan integral, sehingga merupakan penyelesaian dari masalah nilai awal (2.2). Berdasarkan (2.4), maka � � memenuhi syarat awal

0 = 0, �= 0, 1, 2,…

Diambil limit dari kedua ruasnya, maka untuk � → ∞ diperoleh � 0 = 0. � � kontinu pada interval � ≤ ℎ karena � � merupakan limit seragam dari fungsi kontinu � � di dalam interval � ≤ ℎ untuk �= 0, 1, 2,…. Berdasarkan (2.8), dengan mengambil limit dari kedua ruasnya juga bila � → ∞, maka untuk � ≤ ℎ

�(�) ≤

Jadi fungsi �(�,� � ) benar terdefinisi dan kontinu pada interval � ≤ ℎ, sehing-ga

,�( )

0

ada. Berdasarkan (2.7), untuk � ≤ ℎ diperoleh � �,�(�) − � �,�(�) ≤ � � − �(�)

Karena barisan � � konvergen seragam ke � � pada interval � ≤ ℎ, maka barisan � �,�(�) juga konvergen seragam ke � �,�(�) dan akibatnya

Diambil limit pada kedua ruas dari (2.4) bila � → ∞ dan berdasarkan (2.12) dan (2.13), diperoleh

� � = � 0 ,�( ) (2.14) Jadi terbukti bahwa �(�) memenuhi persamaan integral dan berarti merupakan penyelesaian dari masalah nilai awal (2.2).

d. Terakhir, akan dibuktikan bahwa � � merupakan penyelesaian tunggal dari masalah nilai awal (2.2). Misalkan ada penyelesaian lain dari masalah nilai awal (2.2), yaitu �(�), maka

(�)− � � =� �,� � − � �,�(�) (2.15) Karena kedua penyelesaian tersebut memenuhi syarat awal, maka � 0 = 0 =

� 0 , sehingga dengan mengintegralkan kedua ruas (2.15) dari 0 sampai �, dipe-roleh

�(�)− � � = � 0 ,� − � ,�( ) (2.16)

Kemudian berdasarkan (2.7) maka diperoleh

�(�)− � � ≤ �0 ( )− � (2.17) Misalkan � = �0 ( )− � (2.18) dimana 0 = 0 (2.19) � 0 untuk � 0. (2.20)

Berdasarkan (2.17) dan (2.18) maka diperoleh ′ � ≤ (�)

atau

(�)− (�) ≤0 (2.21) Kalikan kedua ruas pertidaksamaan (2.21) dengan faktor pengintegralan �− �,

maka diperoleh

− � (�)− (�) ≤ 0 �− � ′ � − �− � (�) ≤ 0 �− � (�) ′ ≤ 0

Integralkan kedua ruas (2.22) dari 0 sampai � dan berdasarkan (2.19), maka dipe-roleh

− � � ≤0 untuk � 0

Karena �− � tidak pernah bernilai kurang dari atau sama dengan nol, maka (�)≤ 0 untuk � 0, sehingga berdasarkan (2.20), diperoleh bahwa

0 ≤ (�)≤ 0

atau

(�) ≡0 (2.23) Jadi berdasarkan (2.18) dan (2.23) dapat diambil kesimpulan bahwa � � = � � , sehingga terbukti bahwa � � merupakan penyelesaian tunggal dari masalah nilai awal (2.2).

Persamaan diferensial pada masalah nilai awal yang diberikan dalam contoh-contoh sebelumnya dapat diselesaikan secara analitik dengan menggunakan metode pengintegralan langsung. Namun, masih ada beberapa metode analitik lain yang juga dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial tersebut, antara lain yaitu Metode Faktor Integral, Metode Substitusi, Metode Bernoulli. Akan tetapi masih tetap ada persamaan diferensial yang rumit jika diselesaikan secara analitik. Oleh karena itu, dibutuhkan metode numerik untuk menentukan penyelesaian hampiran (pendekatan) untuk persamaan diferensial tersebut.

B. PERSAMAAN BEDA DENGAN KOEFISIEN KONSTAN

Pembahasan mengenai metode numerik untuk menyelesaikan masalah nilai awal tidak lepas dari penggunaan persamaan beda. Oleh karena itu, dalam subbab ini akan dibahas mengenai persamaan beda linear dengan koefisien konstan ( li-near constant-coefficient difference equations). Persamaan beda adalah relasi an-tara �+ 1 suku berturut-turut dari barisan �0,�1,…,�,…, yang mana bentuk umumnya adalah

�+� +�−1�+�−1+⋯+�0 = (2.24)

dimana �,�−1,…,�0 merupakan koefisien dan � adalah barisan bilangan.

Diberikan �> 0, atur koefisien-koefisien dan barisan � sehingga diperoleh

rumus untuk suku ke-� dari barisan yang memenuhi (2.24). Penyelesaian umum untuk (2.24) disusun dari penjumlahan antara fungsi pelengkap (complementary function), yaitu penyelesaian umum dari persamaan beda homogen dan

penyele-saian khusus (particular solution), yaitu suatu penyelesaian dari persamaan beda yang diberikan. Konstanta-konstanta sembarang pada penyelesaian umum dapat ditentukan dengan memasukkan nilai � yang sesuai dari nilai-nilai awal yang di-ketahui, yaitu � = � untuk = 0, 1,…,� −1.

1. Persamaan Orde Pertama

Diberikan masalah koefisien konstan orde pertama

+1 = �� + , �= 0, 1,… (2.25) Kemudian untuk � = 0, 1, 2 diperoleh

1 =��0+

2 = ��1+ =� ��0+ + =�20+ �+ 1 �3 = ��2+ =� �20+ �+ 1 +

=�30+ �2+�+ 1

dan jika dilanjutkan akan diperoleh suatu suku dalam barisan �, meskipun suku ke-� yang sesungguhnya mungkin tidak dapat ditemukan.

Pertama, akan dicari fungsi pelengkap untuk (2.25). Diberikan persamaan homogen �+1 =��, dimana �1 = ��0, �2 =��1 =�20 dan dengan induksi diperoleh suku ke-� barisan tersebut, yaitu � = �0, untuk suatu nilai �0. Di-ambil �0 = , yaitu sembarang konstanta, maka diperoleh fungsi pelengkap � = �.

Selanjutnya akan dicari penyelesaian khusus dari (2.25), yaitu dalam bentuk barisan konstanta � =�. Substitusikan � = �+1 =� ke dalam (2.25), sehing-ga

+1 =�� + � − �� = 1− � � = �= 1−� Maka, � = 1−� , � ≠1

Jumlahan dari fungsi pelengkap dan penyelesaian khusus menghasilkan � = � +

1−� , � ≠1 (2.26) yang merupakan penyelesaian umum dari (2.25) ketika � ≠1. Sedangkan, ketika �= 1, maka

+1 − � =

dan dengan syarat deret teleskop diperoleh

= � − ��−1 + ��−1− ��−2 +⋯+ �1− �0 +�0

= + +⋯+ +�0

=� +�0

Sehingga penyelesaian umum dari persamaan tersebut adalah � = +�

dimana adalah sembarang konstanta. Jadi penyelesaian umum dari (2.25) adalah

= +

1−� (� ≠1)

Setelah diperoleh penyelesaian umum dari (2.25), maka dapat dicari juga penyelesaian umum dari persamaan beda berikut

+1 =�� + �, �= 0, 1,… (2.28) Substitusikan � =

ke dalam (2.28), maka diperoleh

�+1 �+1 =�� + �+1 =�� ��+1 + ��+1 = + Jadi memenuhi �+1 = + (2.29) dimana bentuknya sama seperti (2.25). kemudian dengan membandingkan penye-lesaian umum dari (2.25), maka dapat ditunjukkan bahwa (2.29) mempunyai pe-nyelesaian umum = + 1− ≠ 1 + = 1 Karena � = , maka �� �� = = + 1− �� �� = + 1−

= �� +�� 1− = � + � −1 1− = � + �−� = + �� �� = + � � = + = � + ���−1

Jadi penyelesaian umum dari (2.28) adalah � = +

�−� (� ≠ �)

+ ���−1 (�= �)

(2.30)

2. Persamaan Orde Kedua

Diberikan persamaan homogen

+2+��+1 + � = 0 (2.31) Persamaan tersebut akan mempunyai penyelesaian dalam bentuk � = , di-mana adalah sembarang kontanta.

Maka,

�+2 +� �+1+ = 0

( 2+� + ) = 0 Karena ≠0, maka

yang disebut persamaan tambahan (auxiliary equation). Andaikan bahwa persa-maan tersebut mempunyai akar-akar dan , maka

− − = 2− + +

Sehingga

� =− + dan =

Jadi persamaan tak homogen berikut

�+2 +���+1+ � = (2.33)

dapat ditulis menjadi

�+2 − + ��+1 + � =

atau

+2− �+1 − (�+1 − �) =� Didefinisikan =+1− �, maka

�+1 =�

Jadi (2.33) dapat dinyatakan dengan sistem persamaan orde satu dari persamaan beda dengan koefisien konstan berikut

(i) �+1− � =

(ii) �+1 =

Ketika � ≡0, yaitu untuk kasus homogen, (ii) pada (2.34) menjadi

�+1 = 0

yang mempunyai penyelesaian umum =, dimana � adalah sembarang konstanta. Jadi (i) pada (2.34) menjadi

+1 − � = � (2.35)

dimana bentuknya sama seperti (2.28), sehingga berdasarkan (2.30) diperoleh penyelesaian umum dari (2.34), yaitu

=

+

( ≠ ) +�� �−1 ( = )

(2.36)

dimana dan � adalah sembarang konstanta.

Persamaan tak homogen (2.33) yang akan dijelaskan yaitu untuk kasus dimana � ≡ � untuk semua �, sehingga (ii) pada (2.34) menjadi

�+1 =�

dan mempunyai penyelesaian umum

= +

1− ( ≠1)

�+�� ( = 1)

Substitusikan kedua penyelesaian tersebut ke (i) pada (2.34) sehingga diperoleh �+1 − � = � +

1− untuk ≠1

dan

+1 − � = �+�� untuk = 1

Penyelesaian umum dari kedua persamaan tersebut adalah

= + + 1− (1− ) ( ≠ 1, ≠1, ≠ ) + � + 1− 2 = ≠1 + + 1− � ≠ = 1 �+ + 1− � ≠ = 1 + �+1 2��2 = = 1

3. Persamaan Orde Tinggi

Bentuk umum dari pesamaan beda dengan koefisien konstan homogen ada-lah

�+� +�−1�+�−1+⋯+�0 = 0 (2.37)

Penyelesaian umum dari (2.37) adalah dalam bentuk � =

Sehingga untuk menentukan penyelesaian tersebut dibutuhkan , yaitu akar dari persamaan tambahan

+�−1 �−1+⋯+�0 = 0 (2.38) Andaikan bahwa setiap akar dari (2.38) mempunyai multiplisitas , maka kontribusi untuk fungsi pelengkap adalah

(�)

dimana (�) adalah polinomial dalam � berderajat ( −1) (memuat semba-rang koefisien). Sebagai contoh, ketika = 1, polinomial (�) berderajat 0, yai-tu � = . Ketika = 2, polinomial (�) berderajat 1 dan bentuk umumnya adalah � = + �.

C. DERET TAYLOR DAN ORDE PENGHAMPIRAN

Kegunaan dari Deret Taylor adalah untuk menghampiri suatu fungsi dengan bentuk polinom yang disebut fungsi hampiran. Perhitungan dengan menggunakan fungsi yang sesungguhnya akan menghasilkan penyelesaian sejati, sedangkan dengan fungsi hampiran akan menghasilkan penyelesaian hampiran, sehingga terdapat galat sebesar selisih antara penyelesaian sejati dan hampiran. Besar galat

yang dihasilkan akan bergantung pada seberapa teliti polinom menghampiri fungsi yang sesungguhnya.

1. Deret Taylor Definisi 2.3.1

Andaikan � dan semua turunannya �,′′,′′′,… kontinu di dalam interval [�, ]. Misalkan �0 ∈ [�, ], maka untuk nilai-nilai � di sekitar �0 dan � ∈[�, ], �(�)

dapat diperluas ke dalam Deret Taylor � � = � �0 + �−�0

1!0 + �−�0 2

2!′′0 +⋯+ �−�0

! 0 +⋯ (2.39)

Persamaan (2.39) merupakan penjumlahan dari suku-suku yang disebut deret. Jika dimisalkan � − �0 = ℎ, maka � � juga dapat ditulis menjadi

� �0+ℎ = � �0 +

1!0 +2

2!′′0 +⋯+

! 0 +⋯ (2.40) Deret Taylor panjangnya tak berhingga sehingga untuk alasan praktis deret tersebut dipotong sampai suku orde tertentu. Deret Taylor yang dipotong sampai suku orde ke-� dinyatakan dengan

� � =� �0 + �−�0

1!0 + �−�0 2

2!′′0 +⋯+ �−�0

�!0 +�(�) dimana � � = �−�0 �+1

(�+1)! �+1 adalah suku sisa (galat), dengan �0 < <�.

2. Orde Penghampiran

Salah satu cara untuk menyatakan tingkat ketelitian suatu hampiran adalah dengan menggunakan orde penghampiran yang dinyatakan dengan -besar (

big-Oh). Misalkan fungsi �(ℎ) dihampiri dengan fungsi (ℎ). Jika � ℎ − (ℎ) ≤ � ℎ , dimana � > 0 adalah konstanta real, maka dapat dikatakan bahwa (ℎ)

menghampiri � ℎ dengan orde penghampiran (ℎ) dan ditulis

� ℎ = ℎ + (ℎ)

(ℎ) juga dapat diartikan sebagai orde galat dari fungsi hampiran. Nilai ℎ adalah kurang dari 1, maka semakin tinggi nilai � akan semakin kecil galat yang dihasilkan sehingga hampiran fungsinya semakin teliti. Misalnya, metode yang berorde (ℎ2) akan lebih teliti dibandingkan metode dengan orde (ℎ).

Definisi 2.3.2

Andaikan � dan semua turunannya �,′′,′′′,… kontinu di dalam interval [�, ]. Misalkan �+1 = �+ℎ, � = 0, 1, 2,… adalah titik-titik selebar ℎ, hampiran untuk �(�+1) dengan menggunakan deret Taylor di sekitar � adalah

� �+1 =� � + 1! +2 2!′′ +⋯+ �! +�(�+1) (2.41) dimana �+1 =+1

+1 ! �+1 , � < <�+1, maka orde penghampiran untuk fungsi tersebut adalah ℎ�+1 =��+1 .

Persamaan (2.41) juga dapat ditulis menjadi � �+1 =

!()

Persamaan (2.42) menyatakan bahwa jika fungsi �(�) dihampiri dengan deret Taylor derajat �, maka suku sisanya cukup dinyatakan dengan lambang (ℎ�+1). Suku sisa (ℎ�+1), yaitu suku yang dimulai dengan perpangkatan ℎ�+1.

D. METODE SATU LANGKAH

Masalah nilai awal yang telah dijelaskan pada contoh-contoh dalam subbab sebelumnya dapat diselesaikan secara analitik sehingga penyelesaiannya disebut penyelesaian sejati. Jika metode analitik tidak bisa lagi diterapkan, maka penyelesaian masalah nilai awal dapat dicari dengan menggunakan metode numerik. Penyelesaian yang dihasilkan oleh metode numerik adalah berupa hampiran (pendekatan) terhadap penyelesaian sejati sehingga terdapat selisih antara keduanya. Selisih tersebut disebut galat total. Ada beberapa metode numerik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah nilai awal, diantaranya yaitu metode Euler dan metode Deret Taylor. Kedua metode tersebut merupakan metode satu langkah dimana untuk menghitung pendekatan pada titik tertentu digunakan data pada satu titik sebelumnya.

1. Metode Euler

Metode Euler merupakan metode yang paling sederhana untuk menyelesaikan masalah nilai awal dalam bentuk

� =� �,� � , � >�0 � �0 =�

yang mempunyai penyelesaian tunggal pada interval � ∈ [�0,�].

Langkah awal dari penyusunan metode Euler yaitu dengan membagi interval (�0,�) ke dalam subinterval yang sama besar. Sehingga dapat dihitung pendekatan terhadap penyelesaian sejati dari masalah nilai awal pada titik

=�0+�ℎ untuk � = 0, 1, 2,…,

dimana ℎ merupakan ukuran langkah. Metode Euler diturunkan dari deret Taylor pada �(�+ℎ) yang dipotong sampai suku orde dua

� �+ℎ =� � +ℎ� � +�1(�) (2.44) Kemudian substitusikan � � =�(�,�(�)) ke dalam deret Taylor (2.44) sehingga diperoleh

� �+ℎ =� � +ℎ� �,� � +�1 � (2.45) Ketika �= �, maka persamaan (2.45) menjadi

� ��+1 =� � +ℎ� �,� � +�1 ,

� = 0, 1, 2,…, −1

Suku �1 dapat dibuat sangat kecil dengan mengambil ukuran langkah ℎ yang cukup kecil, sehingga diperoleh bentuk umum dari metode Euler

+1 =� +ℎ�, untuk � = 0, 1, 2,…, −1 (2.46) dimana � =�(�,�), �+1 merupakan pendekatan terhadap � �+1 , � merupakan pendekatan terhadap � � , dan � merupakan pendekatan terhadap � �,� � .

Selanjutnya, karena metode Euler disusun dari deret Taylor yang dipotong sampai suku orde dua, maka metode tersebut mempunyai galat pemotongan, yaitu

Galat pemotongan tersebut juga dapat dinyatakan dengan � = 1 = � �+1 −� � − � �,� �

yang diperoleh dengan memasukkan penyelesaian sejati dari masalah nilai awal ke dalam metode numerik dan membaginya dengan ukuran langkah ℎ. Pemberian pembagi ℎ tidak berpengaruh terhadap keakuratan metode tersebut karena ini hanya untuk pembobotan saja.

Seperti disebutkan di awal bahwa terdapat selisih antara penyelesaian sejati dengan penyelesaian hampiran dari suatu masalah nilai awal yang disebut galat total. Besar galat total dari suatu metode numerik didefinisikan dengan

= � � − � ,

dimana � � merupakan penyelesaian sejati dan merupakan penyelesaian

hampiran pada titik �.

Contoh 2.4.1

Gunakan metode Euler dengan ukuran langkah ℎ = 0.3 untuk menghitung penyelesaian hampiran masalah nilai awal

� = 1−2� � � , � > 0

� 0 = 1

pada interval 0≤ � ≤ 0.9, dimana penyelesaian sejati dari masalah nilai awal tersebut adalah � � =��−�2

Penyelesaian:

Dari masalah nilai awal yang diketahui maka diperoleh bahwa �0 = 0, � 0 = 1, � 0 = 1.

Kemudian dengan menggunakan informasi tersebut ditarik garis singgung melalui titik P00,�0 = (0,1) dengan gradien �′0 =� 0 = 1 dan berhenti di titik

P11,�1 (lihat Gambar 2.4.1 (a)).

Perhitungan pada langkah selanjutnya diperoleh �1 = �0+ℎ= 0.3

1 =�0+ℎ�′0 = 1 + 0.3 = 1.3

�′1 = 1−2�11 = 1−0.6 1.3 = 0.52

Kemudian ditarik garis melalui titik P11,�1 = (0.3, 1.3) dengan gradien �

1 = 0.52 dan berhenti di titik P22,�2 (lihat Gambar 2.4.1 (b)). Pada langkah berikutnya diperoleh

2 =�1+ℎ= 0.6

2 = �1+ℎ�′1 = 1.3 + 0.3 × 0.52 = 1.456 �′2 = 1−2�22 = 1−1.2 1.456 =−0.2912

Kemudian ditarik garis melalui titik P22,�2 = (0.6, 1.456) dengan gradien �

2 = −0.2912 dan berhenti di titik P33,�3 (lihat Gambar 2.4.1 (c)). Perhitungan untuk langkah terakhir diperoleh

3 =�2+ℎ = 0.9

Gambar 2.4.1 Grafik penyelesaian sejati, penyelesaian hampiran, dan galat total.

Dari contoh ini dapat ditunjukkan penurunan metode Euler. Gambar 2.4.1 menunjukkan hampiran pada titik �+1 terhadap penyelesaian sejati masalah nilai awal dihitung dengan menggunakan persamaan garis yang melalui titik (�,�)

dengan gradien �

sehingga �+1 =� +ℎ�′ yang tidak lain merupakan

metode Euler.

Contoh 2.4.2

Gunakan metode Euler untuk menyelesaikan masalah nilai awal berikut � � = 1−2� � � � 0 = 1, untuk � ∈ (0,4] dengan ℎ= 0.2. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 0 0.5 1 1.5 (a) p e n y e le s a ia n

Grafik Peny.sejati dan Peny.hampiran

peny.numerik peny.sejati 0 0.2 0.4 0.6 0.8 0 0.5 1 1.5 (b) p e n y e le s a ia n

Grafik Peny.sejati dan Peny.hampiran

peny.numerik peny.sejati 0 0.2 0.4 0.6 0.8 0 0.5 1 1.5 (c) p e n y e le s a ia n

Grafik Peny.sejati dan Peny.hampiran

peny.numerik peny.sejati 0 0.2 0.4 0.6 0.8 0 0.1 0.2 (d) g a la t

Grafik Galat Total

Penyelesaian:

Hasil perhitungan dengan menggunakan program Matlab ditunjukkan pada Gam-bar 2.4.2 berikut:

Gambar 2.4.2 Grafik penyelesaian sejati dan hampiran dengan metode Euler (kiri) dan grafik galat total (kanan)

Definisi 2.4.1

Metode numerik dikatakan konvergen terhadap penyelesaian �(�) dari masalah

Dokumen terkait